Drug Eruption [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Case Report Session (CRS) *Program Studi Profesi Dokter/ G1A220037/ Maret 2022 ** Pembimbing/ Bagian Dermatovenerologi



Drug Eruption Winda Meriyani, S.Ked* dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.DV



KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MANAP KOTA JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2022



HALAMAN PENGESAHAN Case Report Session



Drug Eruption



Disusun Oleh Winda Meriysni , S.Ked G1A220037



Program Studi Profesi Dokter Bagian Dermatovenerologi RSUD Abdul Manap Kota Jambi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi



Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan Pada Maret 2022



PEMBIMBING



dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.DV



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaika Case Report Session (CRS) yang berjudul “Drug Eruption” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD Raden Mattaher Jambi. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.DV yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD Raden Mattaher Jambi Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup semoga kiranya laporan Case Report Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.



Jambi, Maret 2022



Winda Meriyani.



BAB I PENDAHULUAN



Erupsi obat adalah erupsi kulit yang disebabkan karena obat-obatan. Penggunaan obat yang sembarangan, masuknya obat – obatan baru yang hampir setiap harinya di pasaran, serta kurangnya kebiasaan untuk melaporkan kejadian reaksi simpang obat, telah mengakibatkan meningginya angka insidensi reaksi simpang obat yang terjadi. Adverse Drug Reaction dibagi menjadi 2 kategori, yaitu reaksi tipe A (dapat diperkirakan) dan tipe B (tidak dapat diperkirakan). Tipe A pada umumnya terkait dengan bagian obat yang memberikan efek farmakologi maupun toksik sehingga dapat diperkirakan dan dapat timbul pada siapapun. Tipe B cenderung tidak dapat diperkirakan sebelumnya, tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, reaksinya cenderung lebih berat tetapi kejadiannya relatif jarang, timbul pada individu yang memiliki faktor predisposisi, dan merupakan reaksi idiosinkrasi yang dapat dipengaruhi oleh faktor imunologis dan genetik. Sebagian besar erupsi obat (75 – 80%) disebabkan oleh tipe A, sisanya disebabkan oleh efek yang tidak dapat diperkirakan yang mungkin melibatkan proses imunologis maupun tidak. Manifestasi klinis yang sering didapatkan pada reaksi tipe B adalah reaksi kulit yang disebut sebagai Adverse Cutaneous Drug Reaction (ACDR).1 Erupsi obat dapat terjadi melalui 2 proses, yaitu secara imunologis dan non-imunologis. Erupsi obat yang terjadi karena proses imunologis disebut dengan erupsi obat alergi. Bentuk erupsi obat alergi yang sering ditemui adalah eksantema morbiliformis, urtikaria, eritroderma, Fixed Drug Eruption (FDE) dan fotosensitifitas. Erupsi obat dapat diklasifikasikan sebagai erupsi obat berat yang disebut dengan Severe Cutaneous Adverse Drug Reaction (SCAR) dan erupsi obat tidak berat. Beberapa bentuk SCAR yang timbul dapat mengancam jiwa diantaranya Stevens-Johnson’s Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis (SJS/TEN), eritroderma, Drug with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS), Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP), angioedema, dan vaskulitis.1



Beberapa



faktor



risiko



yang



terindentifikasi



berperan



dalam



mengembangkan terjadinya erupsi obat berat di antaranya yaitu, seorang perempuan,



lanjut



usia,



infeksi



virus



(khususnya



HIV),



iatrogenic



immunosuppression, penyakit imun yang mendasarinya dan kanker. Erupsi obat sering terjadi dan mempengaruhi 2 – 3% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit. Untungnya, hanya sekitar 2% reaksi erupsi obat yang parah dan sangat sedikit yang fatal. Sayangnya, hanya ada beberapa data terbaru tentang epidemiologi ACDR. Insiden ACDR di negara maju berkisar antara 1-3% pasien, sedangkan di negara berkembang seperti India, beberapa penelitian menunjukkan angka 2-5% dari pada pasien. Berbagai penelitian terkait erupsi obat ini sudah banyak dilakukan, dengan konsentrasi berbeda-beda di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Saiful Anwar Malang sejak Januari 2011 hingga Desember 2013 ditemukan sebanyak 136 kasus (0,91%) dari 15.025 kasus baru. Angka kejadian erupsi kulit akibat obat dibagian rawat inap menunjukkan adanya variasi dengan kisaran 1-3% hingga 10 – 15%. Angka mortalitas sebesar 1,47% didapatkan pada 1 kasus Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan 1 kasus Toxic Epidermal Necrolysis (TEN), dengan penyebab kematian adalah syok septik.1,2 Terdapat penelitian yang menunjukkan beberapa obat-obatan yang terlibat dalam mencetuskan erupsi obat sebagian besar adalah antimikroba (48%), diikuti OAINS (30%) dan antiepilepsi (12%). Dalam penelitian tersebut, antimikroba seperti sulfonamida (kotrimoksazol), penisilin (ampisilin, amoksisilin), dan fluorokuinolon (ofloksasin, norfloksasin, siprofloksasin) adalah obat-obatan yang paling umum menyumbang hampir 60% dari semua kasus erupsi obat oleh agen antimikroba. Reaksi erupsi obat oleh OAINS, sekitar 83% kasus tersebut disebabkan oleh ibuprofen dan natrium diklofenak. Fenitoin bertanggung jawab atas 50% kasus yang disebabkan oleh antiepilepsi kemudian diikuti oleh karbamazepin. Durasi rata-rata antara pemberian obat dan munculnya ruam adalah 4 hari (1-120 hari). 1,3



BAB I LAPORAN KASUS



IDENTITAS PASIEN



Nama



: Nn. M



Umur



: 19 tahun



Jenis Kelamin



: Perempuan



Alamat



: Telanai Pura



Pekerjaan



: Mahasiswa



Status Pernikahan



: Belum menikah



Suku Bangsa



: Melayu



Hobi



:-



I.



ANAMNESIS A. Keluhan Utama : muncul bengkak disertai nyeri pada bibir sejak ± 1 minggu yang lalu



B. Keluhan Tambahan : -



C. Riwayat Perjalanan Penyakit : ± 1 minggu pasien sempat berobat ke salah satu bidan karena keluhan tidak enak badan dan diberikan obat berupa Paracetamol, Amoxcilin, Antasida, dan vitamin. ± 5 hari yang lalu saat bangun tidur pasien mengeluhkan bibir kiri atas mengalami bengkak dan kemerahan namun tidak terasa nyeri. Pasien mengaku tetap mengkonsumsi obat yang diberikan oleh bidan tersebut. Bengkak yang bermula-mula pada bibir kiri atas kemudian menyebar hingga keseluruh bibir atas hingga bibir bawah dan juga disertai dengan nyeri. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan berkurang dan juga terasa nyeri tenggorokan. Pasien mengaku mengkonsumsi obat Kenalog yang didapatkan dari situs online namun



keluhan pasien tidak berkurang.



± 2 hari yang lalu pasien Kembali



berobat kebidan yang berbeda dan disarankan untuk berobat ke poli kulit RSUD Raden Mattaher.



D. Riwayat Penyakit Dahulu : -



Riwayat keluhan serupa (-)



-



Riwayat alergi tidak diketahui



-



Riwayat minum obat dalam jangka waktu yang lama (-)



E. Riwayat Penyakit Keluarga : -



Riwayat keluhan serupa (-)



-



Riwayat alergi (-)



F. Riwayat Sosial Ekonomi : -



Pasien tinggal Bersama orangtua di lingkungan yang bersih, mandi sehari minimal 2 kali sehari, memakai handuk sendiri.



II. PEMERIKSAAN FISIK



A. Status Generalis 1. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan 2. Tanda Vital : Kesadaran



: CM (E4V5M6)



RR



: 20x/menit



TD



: 100/70 mmHg



Nadi



: 79x/menit



Suhu



: 36,9 ºC



3. Kepala



: normochepal



a. Mata : conj.anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RC (+/+), isokor b. THT : tidak dilakukan pemeriksaan c. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-) 4. Thoraks : 1) Jantung: tidak dilakukan pemeriksaan 2) Paru



: tidak dilakukan pemeriksaan



5. Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan, 6. Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan



7. Ekstremitas a. Superior: CRT 3), berbatas tegas, dengan tepi tidak aktif, distribusi regional, permukaan tidak rata, dengan konsistensi kenyal-keras, dan sekitar lesi utama terdapat erosi. Berdasarkan teori usia muda dan jenis kelamin wanita meningkatkan kecenderungan terjadinya alergi obat. Langkah pertama pendekatan diagnosis EOA adalah mencurigai terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi pasien. Kecurigaan tersebut didukung oleh bukti riwayat konsumsi obat pada saat anamnesis, manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta pemeriksaan penunjang.



Erupsi obat alergik dapat bermanifestasi klinis ringan dan berat hingga mengancam jiwa. Lesi dominan yang timbul merupakan petunjuk reaksi hipersensitivitas yang mendasari. Pada pasien ini ditemukan manifestasi klinis Angioedema yang biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID. Dari keterangan pasien sebelumnya pasien mengkonsumsi obat amoxicillin yang merupakan obat dari golongan penisilin yang kemungkinan merupakan penyebab dari keluhan pasien tersebut. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Namun untuk lebih memastikan diagnosis kerja, usulan pemeriksaan penunjang yang dilakukan: tes kulit untuk reaksi hipersensitivitas cepat (lgE), tes tempel, tes provokasi atau tes dosing, radioallergosorbent test (RAST), mengukur lgG atau lgM yang spesifik untuk obat, mengukur aktivasi komplemen, mengukur pelepasan histamin atau mediator lain dari basofil, mengukur mediator seperti histamin, prostaglandin, leukotrien, triptase, transformasi limfosit, uji toksisitas leukosit, evaluasi dengan bantuan komputer. Pada pasien diberikan terapi Nacl 0,9% dengan kassa steril dikompres selama 30 menit 6x sehari pada lesi, metilprednisolon tab 16 mg, diminum 3x sehari selama 5 hari, eritromisin 500 mg diminum 2x sehari selama 5 hari, cetirizin tablet 10 mg diminum 1x sehari. Berdasarkan teori jika ditemukan lesi dalam keadaan basah perlu dilakukan kompres, pada pasien ini diberikan kompres Nacl 0,9% yang dimana merupakan cairan isotonis yang bersifat fiiologis, non toksik dan tidak menimbulkan hipersensitivitas sehingga aman digunakan untuk tubuh dalam kondisi apapun. Nacl 0,9% juga melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga kelembaban sekitar luka, dan membantu luka menjalani proses penyembuhan. Pasien diberikan metilprednisolon dimana pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Pasien juga diberikan antibiotik berupa eritromisin yang bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pada



pasien juga diberikan obat oral cetirizine tab 10 mg yang merupakan golongan antihistamin digunakan untuk mengurangi rasa gatal.



BAB V KESIMPULAN Erupsi obat berdasarkan WHO adalah segala sesuatu yang berbahaya, tidak disengaja, dan efek obat yang tidak diinginkan yang terjadi pada dosis yang digunakan untuk pencegahan, diagnosis, atau pengobatan. Untuk menegakkan diagnosis langkah pertama adalah mencurigai terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi pasien. Kecurigaan tersebut didukung oleh bukti riwayat konsumsi obat pada saat anamnesis, manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta pemeriksaan penunjang. Manifestasi



klinis



terdiri



dari



urtikaria



dan



angioedema,



erupsi



makulopapular, fixed drug eruption, pustulosis eksantematosa generalisata akut, eritroderma, sindrom hipersensitivitas obat, dan bentuk lain adalah dermatitis medikamentosa, purpura atau vaskulitis, eritema multiforme, sindrom Stevens – Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik. Pemeriksaan penunjang terdiri dari 2 yaitu pemeriksaan penunjang umum dan pemeriksaan penunjang khusus. Pada laporan kasus ini pasien atas nama Nn. M, usia 19 tahun datang dengan keluhan muncul bengkak disertai nyeri pada bibir sejak ± 1 minggu yang lalu. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis dengan drug eruption. Diberikan terapi Nacl 0,9% dengan kassa steril dikompres selama 30 menit 6x sehari pada lesi, metilprednisolon tab 16 mg, diminum 3x sehari selama 5 hari, eritromisin 500 mg diminum 2x sehari selama 5 hari, cetirizin tablet 10 mg diminum 1x sehari.



DAFTAR PUSTAKA 1. Tanzira, Diza. Batubara, DE. Jurnal Ilmiah Maksitek : Profil Erupsi Obat di RSUD dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2015 – 2017. Vol 5 No 04. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Medan : 2020. 2. Anggarini DR, Rosita C, Prakoeswa S. Penatalaksanaan Pasien Erupsi Obat di Instalasi Rawat Inap (IRNA) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya: Studi Retrospektif (Management. Berk Ilmu Kesehat Kulit dan Kelamin. 2015;27(1):1-8. 3. Alexopoulou A, Dourakis SP, Mantzoukis D, et al. Adverse Drug Reactions As A Cause Of Hospital Admissions: A 6-Month Experience in A Single Center



in



Greece.



Eur



J



Intern



Med.



2008;19(7):505-510.



doi:10.1016/j.ejim.2007.06.030 4. Hamzah, Mochtar. Erupsi Obat Alergi Dalam Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2010. 5. Budianti, Windy Keumala. Erupsi Obat Alergik Dalam Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketujuh Cetakan Kedua 2016. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2016. 6. Khan DA. Cutaneous Drug Reaction. J



Allergy Clin Immunol.



2012;130(5):1225 7. Ahmed AM, Pritchard S, Reichenberg J. A Review of Cutaneous Drug Eruption. Clin Geriatr Med. 2013;29(1):527-545. 8. Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. Alergi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: FKUI; 2009.hal.459-92. 9. Barranco P, Lopez-Serrano MC: General and epidemiological aspects of allergic drug reactions. Clin Exp Allergy. 1998;28(Suppl 4):61-2. 10. Thong BY, Tan TC. Epidemiology and risk factors fordrug allergy.Br J Clin Pharmacol. 2011;71(5):684-700. 11. Joint Task Force on Practice Parameters; American Academy of Alergy, Asthma and Immunology; American College of Allergy, Asthma and



Immunology; Joint Council of Allergy, Asthma and Immunology. Drug allergy: an updated practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol. 2010;105(4):259-73. 12. Sogn DD, Evans R, Shepherd GM, et al. Results of the National Institute of Allergy and Infectious Diseases collaborative clinical trial to test the predictive value of skin testing with major and minor penicillin derivatives in hospitalized adults. Ann Intern Med. 1992;152(5):1025–32. 13. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt Sl, Gilchrest BA, Paller AS, LeffellDJ, editor. Dalam :Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke – 8. New York : McGraw – Hill; 2012.