LP Drug Eruption [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DRUG ERUPTION



DOSEN PEMBIMBING: Ns. MONALISA, S.Kep , M.Kep PEMBIMBING KLINIK : Ns. SARILITI MANALU, S.Kep



DISUSUN OLEH : INTAN PERMATA SARI NIM.PO.71.20.2.21.0025



KEMENTERIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAMBI PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2021/2022



LAPORAN PENDAHULUAN DRUGS ERUPSION A. Konsep Dasar 1. Pengertian Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh satu atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lesi bervariasidari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Gambaran yang khas dari EOA adalah kecenderungannya untuk berulang di tempat lesi yang sama bila terpapar kembali dengan obat yang sama. 2. Etiologi



Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian alergi obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat tersebut. Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1 – 3% terhadap sebagian besar jenis obat. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah analgetik lain (asam mefenamat), antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion), sedatif (terutama luminal) dan trankuilizer (fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat). Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering dihubungkan dengan penisilin dan sulfa. 3. Faktor Resiko Alergi Obat



Adapun faktor – faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat antara lain : a. Jenis Kelamin Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. b. Sistem Imunitas Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun.



c. Usia Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama anak – anak dan orang dewasa. Pada anak – anak disebabkan perkembangan sistem imunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya berkontak dengan bahan antigenetik. d. Dosis Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi, jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. e. Infeksi dan Keganasan Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai dengan keganasan. f. Atopik Faktor risiko yang bersifat atopik ini masih dalam perdebatan. 4. Gambaran Klinis Gambaran klinis erupsi obat dapat bermacam-macam, tergantung pada tipe reaksi, Antara lain : morbiliformis, eritem multiforme, eksantem fikstum, erupsi akneiformis, urtikaria, purpura, dermatitis eksfoliativa, nekrosis epidermal toksik, Sindrom StevenJohnson.



5.



Patofisiologi Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara nonimunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik, erupsi alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya yang berupa hapten ini harus berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein. Obat dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Sehingga mengakibatkan terjadinya erupsi obat. Mekanisme patofisiologi alergi drug eruption belum diketahui secara pasti. Namun penelitian terakhir menyebutkan adanya peran sel mediator yang mengawali



munculnya lesi yang aktif. Proses ini meliputi suatu antibodi-dependent dan reaksi sel mediator sitotoksik. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, defisiensi enzim, dan hipersensitivitas terhadap zat, dapat menjadi bagian dari proses patofisiologi alergi drug eruption. Obat-obat yang masuk dianggap sebagai hapten yang berikatan dengan sel basal keratinosit atau dengan melanosit pada lapisan basal epidermis, yang menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi. Melalui pelepasan sitokin, seperti tumor necrosis factoralpha, keratinosit mengekspresikan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Pengaturan ICAM-1 akan mendorong sel T (CD4 dan CD8) berpindah ke lokasi lesi. Sel CD4 memproduksi IL-10, yang menekan sistem imun, yang menyebabkan lesi yang terus aktif.  Jika respon inflamasinya sudah hilang, IL-15 yang diekspresikan keratinosit akan membantu mempertahankan sel CD8, yang akan memberikan memori fenotipe. Sehingga ketika paparan obat berulang, respon akan berkembang lebih cepat pada lokasi yang sama. Keluhan disekitar lesi yang disertai rasa terbakar, demam, malaise, dan gejala abdomen. Adapula gejala lainnya yaitu nyeri, rasa tidak nyaman, dan kadang gatal. Gejala sistemik dapat berupa demam, malaise, mual, diare, anorexia, dan disuria. Lesi paling sering ditemukan di ekstremitas atas, ekstremitas bawah, genital, serta perianal. Namun dapat juga ditemukan pada daerah peroral dan periorbita. Lesi soliter, makula eritema, plak yang disertai edema, dan bula yang kadang dapat ditemui. Pada awalnya berupa lesi soliter, namun dengan paparan obat yang berulang memunculkan lesi pada lokasi yang sama, dan dapat pula pada lokasi lainnya, dengan ukuran lebih besar atau sama. Lesi bulat/oval, diameter 1 cm atau lebih, plakat eritema, hiperpigmentasi, dan dapat disertai edema. Lesi muncul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah penggunaan obat, dan mulai memudar dalam 12 minggu, namun meninggalkan bekas berwarna coklat, biru tua, atau hitam. (Ami Misbah) 6. Manifestasi Klinis



Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai dengan IV). a. Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat)



Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi otot polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. 1) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang – kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas. 2) Urtikaria, 3) Angiodema, 4) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin. Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial membahayakan. Reaksi ini sering disebut sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin. Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu : 1) Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE; 2) Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual yang dapat menimbulkan reaksi; 3) Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan mediator. b. Tipe II Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya IgM atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini. c. Tipe III Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.



Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa : 1) Demam; 2) Limfadenopati; 3) Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi; 4) Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut sering disertai pruritis; 5) Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus eritematosus sistemk serta vaskulitis. Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1 – 5 hari. d. Tipe IV Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu. Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain : a. Cutaneous Basophil Hypersensitivity; b.   Hipersensivitas kontak (kontak dermatits); c.  Reaksi tuberkulin; d.  Reaksi granuloma. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantion, nefritis intersyisial, ensefalomielitis dan hepatitis. Namun, dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang – kadang gejala baru timbul bertahun – tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian obat tropikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 – 24 jam setelah obat dioleskan. 7. Diagnosis



a. Anamnesis Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting untuk diagnosis alergi obat karena cara – cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manfestasi alergi obat.



Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat. Hal – hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah : 1) Riwayat pemakaian obat masa lalu dan catat bila ada reaksi; 2) Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu; 3) Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan terjadinya sensitasi obat yang harus diperhatikan; 4) Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama; 5) Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum dan obat yang sebelumnya sering dipakai, tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat; 6) Catat lama pemakaian serta riwayat obat obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang – seling, berulang – ulang serta dosis tinggi secara parental; 7) Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang – kadang gejala alergi obat baru timbul 7 – 10 hari setelah pemakian pertama. b. Uji Kulit Uji kulit yang ada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat – obatan yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini dikarenakan : 1) Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin) sehingga uji positif yang terjadi adalah semu; 2) Konsentrasi obat terlalu tinggi juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten. Oleh sebab itu, sukar untuk menentukan antigennya; 3) Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali penisilin yang diketahui hasil metabolismenya serta obat – obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur). 8. Pemeriksaan Penunjang



Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah : a. Pemeriksaan in vivo Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul seperti insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Uji ini antara lain : 1)  Uji Tempel (patch test) Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48 – 72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan. 2)  Uji Tusuk (prick/scratch test) Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I, dengan adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif untuk diagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena pada saat ini baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul



(insulin,



antisera,



ekstrak



organ),



sedangkan



untuk



mikromolekul sejauh ini hanya dapat mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin. 3)  Uji Provokasi (exposure test) Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang



memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan kontra indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat. b. Pemeriksaan in vitro Uji in vitro  untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain – lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat. Tujuan dari uji ini untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan. 9. Penatalaksanaan a. Penatalaksanaan Umum 1) Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus dihentikan segera; 2) Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase pemulihan; 3) Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik; 4) Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow b. Penatalaksanaan Khusus 1) Sistemik a) Kortikosteroid



Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan NET pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan NET perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2 – 0.75 g/kg selama 4 hari pertama.



b) Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid. 2) Topikal Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% – 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian – sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak.



B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Identitas b. Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register. c. Riwayat Kesehatan 1) Keluhan Utama Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan kesehatan 2) Riwayat Kesehatan Sekarang Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan Steven Johnson biasanya mengeluhkan dema, malaise, kulit merah dan gatal, nyeri kepala, batuk, pilek, dan sakit tenggorokan. 3) Riwayat Kesehatan Dahulu Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu, riwayat penyakit yang sebelumnya dialami klien. 4) Riwayat Kesehatan Keluarga Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang sama. 5) Riwayat Psikososial Kaji bagaimana hubungan klien dengan keluarganya dan interaksi sosial. d. Pengkajian fisik 1) Kaji riwayat adanya alergi obat 2) Inspeksi kulit dengan cermat untuk mengetahui adanya lesi, dan penyebarannya 3) Inspeksi rongga mulut untuk mengetahui adanya lesi 4) Inspeksi keadaan genetalia untuk mengetahui adanya les 5) Kaji kemampuan menelan dan meminum cairan 6) Kaji kemampuan klien untuk bernafas 7) Kaji kemampuan visual klien, gangguan penglihatan, adanya peradangan, 8) Monitor tanda vital terutama suhu untuk mengetahui karakter demam 9) Catat volume urine, berat jenis, dan warnanya 10) Kaji tingkat kecemasan, kemampuan koping 2. Diagnosis Keperawatan



a. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal. b. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan respons sekunder dari keruakan krusta pada mukosa mulut. c. Nyeri akut berhubngan dengan kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak. d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi e. Defisit prawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik secara umum. f. Ansietas berhubungan dengan kondisi penyakit, penurunan kesembuhan. 3. Intervensi Keperawatan a. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal. Tujuan : Integritas Kulit Membaik Kriteria hasil : pertumbuhan jaringan membaik dan lesi psoarisis berkurang. Intervensi : Perawatan Integritas Kulit (I.11353) Observasi 1) Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis. Perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, peneurunan kelembaban, suhu lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas) Terapeutik 1) Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring 2) Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu 3) Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode diare 4) Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada kulit kering 5) Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit sensitif 6) Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering Edukasi 1) Anjurkan menggunakan pelembab (mis. Lotin, serum) 2) Anjurkan minum air yang cukup 3) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi 4) Anjurkan meningkat asupan buah dan saur 5) Anjurkan menghindari terpapar suhu ektrime



6) Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30 saat berada diluar rumah b. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan respons sekunder dari keruakan krusta pada mukosa mulut. Tujuan : Integritas Kulit Membaik Kriteria hasil : 1) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat 2) Kekuatan otot mengunyah meningkat 3) Kekuatan otot menelan meningkat 4) Berat badan membaik 5) Frekuensi makan membaik 6) Nafsu mkan membaik 7) Membran mukosa membaik Intervensi: Manajemen nutrisi Observasi 1) Identifikasi status nutrisi 2) Identifikasi alergi dan toleransi makanan 3) Identifikasi makanan yang disukai 4) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrisi 5) Monitor asupan makanan 6) Monitor berat badan Terapeutik 1) Lakukan oral hygiene 2) Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi 3) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein 4) Berikan suplemen makanan 5) Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi Edukasi 1) Anjurkan posisi duduk 2) Ajarkan diet yang diprogramkan Kolaborasi 1) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan( mis: pereda nyeri,



antiemetik) 2) Kolaborasi dengan ahli gizi c. Nyeri akut berhubngan dengan kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak. Tujuan : Tingkat Nyeri Menurun Kriteria Hasil: 1) Keluhan nyeri menurun 2) Gelisah menurun Intervensi: Manajemen Nyeri (I. 08238) Observasi 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri 2) Identifikasi skala nyeri 3) Identifikasi respon nyeri non verbal 4) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri 5) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri 6) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri 7) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup 8) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan 9) Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik 1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain) 2) Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan) 3) Fasilitasi istirahat dan tidur 4) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi 1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri 2) Jelaskan strategi meredakan nyeri 3) Anjurkan memonitor nyri secara mandiri 4) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat



5) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi 1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi. Tujuan : Tingkat infeksi menurun Kriteria hasil : 1) Demam menurun 2) Kemerahan menurun 3) Nyeri menurun 4) Bengkak menurun Intervensi: Pencegahan Infeksi Observasi 1) Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik Terapeutik 1) Batasi jumlah pengunjung 2) Berikan perawatan kulit pada area edema 3) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien 4) Pertahankan teknik aseptic pada pasien beresiko tinggi Edukasi 1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi 2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar 3) Ajarkan etika batuk 4) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka dan luka operasi 5) Anjurkan cara meningkatkan asupan nutrisi 6) Anjurkan cara meningkatkan asupan cairan Kolaborasi 1) Kolaborasi pemberian imunisasi



PENYIMPANGAN KDM Allergi Drugs Erupsion



Sebum



Allergen : Pityrosporum Ovale



Iritan Primer



Sel langerhans & Makrofag



Mengiritasi Kulit



Kerusakan Integritas Kulit



Peradangan Kulit (lesi)



Sel T Sensifitas sel T oleh saluran limfe Reaksi hipersensifitas IV



Resiko Infeksi



Nyeri



Gangguan Citra Tubuh



Terpajan ulang



sel efektor mengeluarkan limfokin Gejala klinis : Gatal, kemerahan



panas,



Gangguan Pola tidur



DAFTAR PUSTAKA Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 Edisi 5. Jakarta : EGC. Wilkinson, Judith. 2006. Buku Saku Diagnosis keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.



Anhira



forever. 2012. Makalah erupsi alergi obat. Oneline dari http://wikimed.blogbeken.com/erupsi-alergi-obat. Di akses pada tanggal 29 juni 2015



Kesehatan Vegan (pola makan berbasis nabati). 2010. Online dari http://kesehatanvegan.com/2010/07/14/erupsi-alergi-obat. di akses pada tanggal 29 Juni 2015 Ifan. 2010. Drug eruption. Oneline dari http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/08/drugeruption/. Di akses tanggal 29 Juni 2015 Kautsar Prastudia Eko Binuko. 2011. Oneline dari http://www.scrib.com/doc/5571797/ERUPSI-OBAT-ALERGIK. di akses tanggal 29 Juni 2015 PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi I. Jakarta: DPP PPNI. PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI. PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI