Jurnal Tentang PPJB [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Hak Atas Tanah Yang Dibuat Dibawah Tangan Nama Email Fakultas Hukum Universitas Airlangga



1. Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( yang selanjutnya disebut sebagai KUHPer) dalam pasal 1313, perjanjian merupakan suatu bentuk perbuatan antara satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dari pasal tersebut perjanjian tidak selalu disamakn dengan kontrak karena tidak tercantum kalimat “ perjanjian harus dibuat secara tertulis “. Namun menurut para ahli, seperti Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain dan yang memberi hak pada satu pihak untuk menuntut sesuatu dari pihak lainnya dan lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.1Selain Subekti, M.Yahya Harahap mengemukakan pendapatnya bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.2 Namun menurut Ricardo Simanjuntak, kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang mempunyai konsekwensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.3 Dari pernyataan beliau tersebut memiliki korelasi dengan Pasal 1313 KUHPer terkait definisi perjanjian dan kontrak. Selain itu menurut guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prof. Agus Yudha Hernoko, kontrak atau perjanjian yang dikemukakan para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 KUHPer, sehingga perjanjian atau kontrak dalam pengertian lengkap adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.4 Dalam hukum kontrak dikenal dengan berbagai macam asas yaitu : 1



Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1988, h.122 Syahman AK, Hukum Kontrak Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, h.1 3 Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Kontan Publisher, Jakarta, 2011, h.30-32 4 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, 2014, h.18 2



1



1.1. Asas Konsensualisme



Asas konsensualisme merupakan asas paling penting dalam hukum kontrak atau hukum perjanjian, karena asas ini menekankan pada awal penyusunan perjanjian. Asas ini di atur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal tersebut terkandung bahwa para pihak dalam kontrak atau perjanjian harus sepakat, setuju, atau se-iya dan sekata mengenai hal-hal pokok yang tercantum dalam pokok perjanjian atau kontrak yang diadakan, atau secara garis besar apa yang dikehendaki oleh satu pihak dikehendaki pula oleh pihak lainnya secara timbal balik.5 Dalam asas konsensualisme sebuah kontrak lahir saat terjadi kesepakatan walau kontrak tersebut tidak langsung dilaksanakan pada saat itu juga, namun asas konsensualisme tidak berlaku bagi kontrak formal dan kontrak riel, hanya berlaku terhadap kontrak konsensual.6 Asas konsen sualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman, dimana dalam hukum mereka dikenal dengan istilah contractus verbis literis dan Contractus innominant yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.7 1.2.



Asas Kebebasan Berkontrak Salah satu asas hukum yang dianut dalam hukum perjanjian atau hukum kontrak adalah asas kebebasan berkontrak, yang berarti setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian dengan siapapun dan dengan berbagai macam syarat selama dibuat secara sah, didasari dengan itikad baik serta tidak melanggar norma, ketertiban umum dan kesusilaan.8 Penjelasan tersebut diatas didasari oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPer yang menjelaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.



Dalam pasal tersebut asas kebebasan berkontrak menjamin para 5



Erizka Permatasari, 2021, Asas-Asas Hukum Kontrak Perdata Yang Harus Kamu Tahu, https://www.hukumonline.com/klinik/a/asas-hukum-perdata-lt617a88d958bb9, Dikunjungi pada tanggal 10 Juni 2022. 6 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Dan Perancangan Kontrak, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2014, h.3 7 Admin, 2021, 5 Asas-Asas Kontrak Yang Wajib Kamu Ketahui, https://smartlawyer.id/asas-asaskontrak/, Dikunjungi 11 Juni 2022 8 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah, Kencana, Jakarta, 2004, h.187



2



pihak untuk : - membuat atau tidak membuat kontrak atau perjanjian - mengadakan perjanjian atau kontrak dengan pihak manapun - menentukan isi perjanjian atau kontrak, persyaratan, serta pelaksanaannya - menentukan bentuk perjanjian apakah tertulis atau lisan.9 1.3.



Asas Kepastian Hukum Asas kepastian hukum atau juga dikenal dengan pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas Kepastian hukum didasari atas Pasal 1338 ayat (1) KUHPer yang berbunyi semua perjanjian yang dibuat sesuai denga undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa para pihak yang melaksanakan kontrak, para pihak tersebut terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji-janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.10 Jika kita menilik Kembali kebelakang, asas kepastian hukum atau pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah, hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.11 Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.12



1.4.



Asas Itikad Baik



9



Salim HS, et.al. Perancangan Kontrak Dan Memorandum Of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h.9 10 Ahmad Miru, Op.Cit, h.4-5 11 Muhtarom-Muhammad, 2014, Asas-Asas Hukum Perjanjian : Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak, SUHUF, Vol.26, No.1, h.52 12 Ibid.



3



Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang menjelaskan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam pasal tersebut asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh dan kemauan yang baik dari para pihak.13 Dalam asas itikad baik terbagi menjadi 2 macam yaitu itikad baik nisbi yang mana dititik beratkan terhadap sikap dan tingkah laku para pihak atau dalam kata lain itikad baik nisbi bersifat subjektif, dan itikad baik mutlak dimana penilaiannya dititik beratkan terhadap akal sehat dan keadilan sebagai tolak ukur untuk menilai keadaan, atau dapat dikatakan sebagai penilaian dengan norma-norma yang objektif.14 1.5.



Asas Kepribadian.



Asas kepribadian berarti isi kontrak hanya mengikat para pihak yang membuatnya secara personal dan tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seperti disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa semua kontrak dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Pada prinsipnya, seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat kontrak. Dalam Pasal 1315 KUHPer menegaskan bahwa pada umumnya seseorang mengadakan perjanjian atau kontrak untuk dirinya sendiri. Dlam Pasal 1340 KUHPer menjelasakn bahwa perjanjian berlaku untuk para pihak yang membuatnya. Dari 2 pasal diatas perjanjian diadakan oleh para pihak yang bersangkutan dan berlaku hanya bagi para pihak tersebut. Namun dalam Pasal 1317 KUHPer menjelaskan bahwa dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian atau suatu pemberian kepada pihak lain mengandung suatu syarat semacam itu. Dalam Pasal 1318 KUHPer juga menjelaskan bahwa perjanjian juga boleh dibuat untuk kepentingan para ahli waris serta untuk pihak-pihak yang mendapatkan haknya. Dari kedua pasal tersebut memberikan ruang lingkup yang luas tidak hanya bagi pihak ketiga yang terlibat, namun juga bagi para ahli waris dan pihak lain yang menerima hak.



Selain asas-asas dalam kontrak, penulis juga akan menjabarkan mengenai 13 14



Ibid, h.52 Ibid.



4



syarat sahnya sebuah kontrak. Walaupun secara umum sebuah kontrak lahir karena adanya kesepakatan, namun ada hal lain yang perlu diperhatikan yaitu Pasal 1320 KUHPer yang menjelasakn mengenai syarat sahnya kontrak. Pasal 1320 KUHPer menjabarkan 4 (empat) syarat sah kontrak yaitu, kesepakatan,cakap, suatu hal tertentu, dan kausa yang halal. Kesepakatan para pihak dapat diartikan sebagai penyesuaian kehendak yang bebas atas para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian, cara untuk terjadinya kesepakatan dapat dilakukan secara tegas seperti dengan cara tertulis atau pun secara lisan maupun secara tidak tegas seperti dengan kode atau symbol tertentu, bahkan dengan cara berdiam diri.15 Dalam hal kesepakatan, setiap pihak harus memiliki kemauan bebas atau dapat dikatakan kesepakatan dibuat secara sukarela tanpa paksaan, tipudaya maupun kekhilafan.16 Apabila ada unsur paksaan, tipudaya, maupun kekhilafan hal-hal tersebut dapat membatalkan sebuah perjanjian karena melanggar syarat sah perjanjian dimana dalam Pasal 1321 KUHPer menjelaskan bahwa, tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diberikan atas dasar paksaan atau penipuan. Selain kesepakatan para pihak, faktor dari syarat sah perjanjian adalah kecakapan para pihak. Cakap dalam hal ini bukan termasuk perwujudan fisik melainkan apakah pihak tersebut mampu membuat kontrak dan mampu mempertanggung jawabkan tindakannya. Dalam Pasal 1329 KUHPer menerangkan bahwa setiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali ia dinyatakan tidak cakap untuk hal tersebut. Terkait pihak-pihak yang tidak cakap, dalam Pasal 1330 KUHPer menjelaskan bahwa yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah anak yang belum dewasa, orang yang dibawah pengampuan, perempuan yang telah kawin dalam hal yang ditentukan undangundang, serta orang-orang yang pada umumnya dilarang oleh undang-undang untuk membuat suatu persetujuan.



Dalam suatu perjanjian atau kontrak menurut Pasal 1332 KUHPer hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang menjadi pokok persetujuan, 15



Ahmad Miru, Op.Cit., h.14 Tim Publikasi Hukum Online, 2022, 4 Syarat Sah Perjanjian di Mata Hukum, https://www.hukumonline.com/berita/a/4-syarat-sah-perjanjian-di-mata-hukumlt6273669575348/?page=2, Dikunjungi pada tangtgal 13 Juni 2022. 16



5



Kemudian dalam Pasal 1333 KUHPer menerangkan bahwa suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang tidak perlu pasti, namun dapat dihitung atau ditentukan dengan satuan tertentu. Dari kedua pasal tersebut berkaitan dengan syarat sah kontrak mengenai suatu hal tertentu, dimana yang dimaksud hal tertentu adalah suatu bentuk yang dapat dimiliki atau dihitung dengan satuan tertentu. Syarat sah sebuah perjanjian yang terakhir adalah sebab yang halal. Dalam Pasal 1337 KUHPer menjelaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Dari pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa, makna dari sebab yang halalo atau sebab yang tidak terlarang dalam halnya perjanjian berkaitan erat denga nisi atau tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak dalam sebuah perjanjian atau kontrak. Isi suatu perjanjian menurut pasal tersebut diatas tidaklah boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun bertentangan dengan ketertiban umum. 2. Jenis-Jenis perjanjian (Perjanjian Otentik Dan Perjanjian Bawah Tangan) Dengan Kekuatannya Dimata Hukum. Dalam pembahasan sebelumnya, para pihak dapat melaksanakan perjanjian baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Dalam pembahasan kali ini penulis akan menjabarkan mengenai kontrak atau perjanjian tertulis, para pihak yang melaksanakan perjanjian secara tertulis biasanya dilakukan antara menggunakan akta otentik atau akta dibawah tangan. Menurut Pasal 1867 KUHPer dijelaskan bahwa Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik (akta otentik) atau dengan tulisan dibawah tangan (perjanjian bawah tangan). Pengertian akta otentik dijelasakn dalam Pasal 1868 KUHPer bahwa suatu akta dikatakan otentik apabila dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang dan bentuknya ditentukan oleh undang-undang. Terkait pembuktian, dalam Pasal 1870 KUHPer menjelaskan bahwa bagi para pihak beserta ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna terkait apa yang tercantum didalamnya.



Sempurnanya pembuktian akta otentik selain karena bentuk perjanjiannya diatur oleh undang-undang sesuai Pasal 1868 KUHPer, juga karena pembuat



6



perjanjian atau akta tersebut. Dalam Pasal 1868 KUHPer dijelasakn bahwa yang membuat akta otentik adalah pejabat yang berwenang seperti KUA (Kantor Urusan Agama) dan/atau pejabat catatan sipil yang membuat akta nikah, bisa juga Pejabat Pembuat Akta Tanah yang membuat akta tanah, dimana lembaga-lembaga tersebut diatur dan diawasi oleh pemerintah dan terikat undang-undang.17 Selain pejabat dari lembaga negara, akta otentik yang berkaitan dengan hubungan serta hak-hak keperdataan seseorang dibuat oleh notaris. Dalam Undadng-Undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.2 Tahun 2014 (selanjutnya disebut sebagai UUJN) dalam Pasal 1 ayat angka 1 disebutkan bahwa notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lain sebagai mana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undangundang lainnya.18 Selain itu dijelaskan pula dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN dimana notarisberwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan gorosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.19



Kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat notaris tidak terlepas dari kewajiban notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN yang menjelaskan 17



Irma Devita Purnamasari, 2012, Perbedaan Akta Otentik Dengan Surat Di bawah Tangan, https://irmadevita.com/2012/perbedaan-akta-otentik-dengan-surat-di-bawah-tangan/, Dikunjungi pada tanggal 15 Juni 2022 18 Irma Devita Purnamasari, 2015, Akta Notaris, Sebagai Akta Otentik, https://www.hukumonline.com/klinik/a/akta-notaris-sebagai-akta-otentik-lt550c0a7450a04, Dikunjungo pada tanggal 15 Juni 2022 19 Krisdianto R. Maradesa, 2014, Kewenangan Serta Tanggung Jawab Hukum Atas Pembuatan Akta Otentik Oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris, Lex Privatum, Vol.II, No.3, h.139



7



bahwa : a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. mengeluarkan Gross Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang- undang ini, terkecuali ada alas an untuk menolaknya; e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, Kekaula Undang-undang menentukan lain; f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggungjawabnya dibidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari minggu pertama setiap bulan berikutnya; j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat setiap akhir bulan; k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; l. membaca akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.20



Faktor yang mempengaruhi akta otentik yang dibuat notaris memiliki kekuatan hukum yang sempurna selain kewajiban notaris yang sudah dibahas 20



Ibid, h.140-141



8



diatas oleh penulis, yaitu factor pengawasan yang dilakukan terhadap jabatan notaris. Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 67 UUJN dimana bila penulis mengambil kesimpulan dari pasal tersbut menjelaskan bahwa, pengawasan atas jabatan notaris diawasi oleh kementrian melalui dewan pengurus yang terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu pemerintah, organisasi notaris, dan ahli atau akademisi.21 Selain akta otentik, ada juga akta atau perjanjian bawah tangan. Perjanjian bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut. Sedangkan kekuatan pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat).22 Dari pernyataan diatas dapat kita pahami bahwa akta bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang kurang sempurna karena hanya diketahui oleh para pihak yang melakukan perjanjian saja, sehingga besar kemungkinan akta bawah tangan tersebut didasari atas kepentingan-kepentingan yang melanggar norma atau aturan tertentu dimana pelanggaran tersebut tidak dapat dilakukan pada akta otentik seperti, pembuatan dengan waktu yang tidak sesuai. Terhadap penjelasan diatas, kita dapat melihat ciri-ciri dari akta bawah tangan yaitu : 1) Bentuknya bebas; 2) Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum; 3) Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya, artinya bahwa isi dari akta tersebut tidak perlu dibuktikan lagi kecuali ada yang bisa membuktikan sebaliknya (menyangkal isinya); 4) Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.23



3. Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Dalam Peralihan Hak Atas Tanah 21



Ibid, h.141-142 Richard Cisanto Palit, 2015, Kekuatan Akta Dibawah Tangan Sebagai Alat Bukti di Pengadilan, Lex Privatum, Vol.III, No.2, h.137 23 Ayu Riskiana Dinaryanti, 2013, Tinjauan Yuridis Legalisasi Akta Dibawah Tangan Oleh Notaris, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol.I, No.3, h.2 22



9



3.1.



Latar belakang diperlukannya Perjanjian Pengikatan JualBeli



Menurut Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (Selanjutnya disebut sebagai PP 12/2021) menjelaskan bahwa, Perjanjian Pengikatan Jual-Beli atau biasa disebut dengan istilah PPJB merupakan rangkaian proses kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku pembangunan dalam kegiatan pemasaran yang dituangkan dalam perjanjian pendahuluan jual-beli atau PPJB sebelum ditandatanganinya akta jual-beli di kantor notaris yang ditunjuk atau disepakati. Menurut R.Subekti PPJB adalah perjanjian antara pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual-beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melaksanakan jual-beli tersebut, seperti halnya sertifikat hak atas tanah belum ada karena sedang dalam proses, atau belum terjadinya pelunasan harga atau pajak-pajak yang dikenakan terhadap jual-beli ha katas tanah belum dapat dibayar baik oleh pihak penjual maupun oleh pihak pembeli.24 Dari kedua penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa latar belakangnya diterbitkan PPJB adalah untuk mengikat pihak penjual dan pembeli dalam bentuk kesepakatan awal dimana para pihak tersebut memperjanjikan mengenai pelaksanaan kegiatan jual-beli atas suatu benda, pada umumnya benda tidak bergerak termasuk tanah dan rumah. 3.2.



Syarat Sahnya Perjanjian Pengikatan Jual-Beli



Untuk pelaksanaannya dalam Pasal 22 ayat (3) dan (5) PP 12/2021, satuan rumah susun, rumah deret, dan/atau rumah tunggal yang masih dalam pembangunan dapat dilakukan pemasaran pelaku pembangunan melalui system PPJB dengan catatatn harus memenuhi persyaratan seperti : - Status Kepemilikan Tanah - Hal yang diperjanjikan - PBG - Ketersediaan Prasaranan, Saranam dan Utilitas Umum - Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen)



3.3. 24



Urgensi Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Dalam Peralihan



Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h.29



10



Hak Atas Tanah Pada dasarnya menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Peralihan Hak Atas Tanah (Selanjutnya disebut sebagai PP 24/1997) menjelaskan bahwa, Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dari peraturan tersebut dapat kita simpulkan bahwa pendaftaran peralihan ha katas tanah harus melalui proses pembuatan akta yang dibuat oleh Pejanbat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun pada praktiknya pihak pengembang memperbolehkan memasarkan properti mereka walaupun proses pembangunannya belum selesai, namun harus memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh PP 12/2021. Sehingga apabila terjadi kesepakatan jual-beli secara lisan para pihak tidak dapat melangsungkan pembuatan akta di hadapan pejabat yang berwenang yaitu notaris/PPAT untuk melanjutkan proses peralihan ha katas tanah. Hal tersebut sudah dijelaskan oleh penulis dalam pengertian PPJB menurut R.Subekti dimana muncul kesepakatan antara para pihak untuk melakukan jualbeli namun objek dari jual-beli tersebut belum dilunasi, belum membayar pajak, juga sertifikat hak atas tanahnya masih dalam proses. Namun dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya akan disebut UUPA) menjelaskan bahwa hukum agrarian yang berlaku atas bumi,air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.



Dalam pasal di atas dapat diartikan sebagai, segala Tindakan terkait



11



dengan hukum pertanahan dapat menggunakan hukum adat selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Terkait dengan PPJB, sesungguhnya konsep PPJB dan hukum adat merupakan dua hal yang identik yaitu terkait dengan tanda ikatan dengan uang muka atau dapat disebut dengan voorschot.25 Jika kita dalami lebih lanjut mengenai hukum perjanjian adat dikenal apa yang disebut tanda akan jadi atau dalam Bahasa jawa disebut dengan panjer, yaitu tanda pengikat dari suatu perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga kedua belah pihak berkewajiban untuk memenuhi perjanjian tersebut dimana hal tersebut masih dilakukan hingga saat ini.26 Terkait dengan tanda akan jadi atau panjer, dalam Pasal 1454 KUHPer menyatakan bahwa perjanjian jual-beli yang didahului dengan panjer tidak dapat dibatalkan. Selanjutnya dalam Pasal 1464 KUHPer menjelaskan bahwa jika pembelian dilakukan dengan panjer tak dapatlah salah satu pihak meniadakan pembelian dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya. Dari semua penjabaran mengenai PPJB, dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah ada kesepakatan dan pihak pembeli memberikan tanda akan jadi maka pihak penjual dan pembeli akan membuat PPJB guna mengikat dan memberikan kepastiaan hukum. Kesimpulan tersebut didasari atas Pasal 22 atay (3) dan (5) PP 12/2021 karena pihak penjual disini diperbolehkan untuk memasarkan barangnya walaupun belum selesai 100% (seratus persen). 4. Keabsahan dan Kekuatan Pembuktian Perjanjian Pengikatan JualBeli Yang Dibuat Dibawah Tangan Terkait keabsahan PPJB, dalam pembahasan sebelumnya sudah dibahas bahwa ketentuan PPJB diatur dalam Pasal 1 angka 10 PP 12/2021 menjelaskan bahwa, Perjanjian Pengikatan Jual-Beli atau biasa disebut dengan istilah PPJB merupakan rangkaian proses kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku pembangunan dalam kegiatan pemasaran yang dituangkan dalam perjanjian pendahuluan jual-beli atau PPJB sebelum ditandatanganinya akta jual-beli di kantor notaris yang ditunjuk atau disepakati. Selain itu dalam Pasal 22 ayat (3) dan (5) PP 12/2021 menjelaskan bahwa, satuan rumah susun, rumah deret, dan/atau rumah tunggal yang masih dalam pembangunan dapat dilakukan pemasaran pelaku pembangunan melalui system PPJB dengan catatatn harus memenuhi persyaratan seperti : - Status Kepemilikan Tanah 25



Supriyadi, 2016, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Hukum Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional Mataram, DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00902.3, h.212 26 Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung, 1982, h.103



12



-



Hal yang diperjanjikan PBG Ketersediaan Prasaranan, Saranam dan Utilitas Umum Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen)



Selain itu Pasal 5 UUPA menerangkan bahwa hukum agrarian yang berlaku atas bumi,air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Hukum adat yang ditekankan disini oleh penulis merupakan hukum adat uang tanda akan jadi atau dapat dikatakan sebagai panjer atau dalam Bahasa Belanda disebut sebagai voorschot. Terkait tanda akan jadi atau panjer ataupun voorschot dijelaskan dalam Pasal 1454 KUHPer menyatakan bahwa perjanjian jual-beli yang didahului dengan panjer tidak dapat dibatalkan. Selanjutnya dalam Pasal 1464 KUHPer menjelaskan bahwa jika pembelian dilakukan dengan panjer tak dapatlah salah satu pihak meniadakan pembelian dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya. Hal ini sesuai dengan sifat konsensuil dalam perjanjian yang diatur dalam KUHPer, karena dengan adanya tanda akan jadi atau uang panjer dapat dikatakan sebagai bentuk konsensus antara calon pembeli dengan pihak penjual. Selain itu sampai saat ini pun belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya PPJB secara khusus di Indonesia. Sehingga dalam hal isi PPJB tunduk kepada KUHPer yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat diberlakukan untuk sahnya suatu perjanjian jual beli hak atas tanah dibawah tangan27. Terkait kekuatan pembuktian jika kita melihat Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997 menyatakan bahwa Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Adapun dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan 27



Ibid, h.205



13



Jabatan Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut sebagai PP 24/2016) menjelaskan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Dari peraturan diatas dapat diakui bahwa adanya Akta Jual-Beli (AJB) dapat secara tegas menjadi bukti sebagai peralihan hak atas tanah melalui jual-beli. 28 Namun dalam Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997 tersebut sesungguhnya tidak menentukan mengenai sah atau tidaknya serta terjadinya suatu peralihan hak atas tanah, misalnya melalui jual beli, tetapi mengatur mengenai pendaftaran peralihan haknya, sehingga mengenai sah atau tidaknya serta terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan hak atas tanah tidak tergantung dari ada atau tidak adanya akta PPAT tersebut, serta dilakukan dan/atau tidak dilakukan dihadapan PPAT.29 Jika kita melihat ayat selanjutnya yaitu dalam Pasal 37 ayat (2) PP 24/1997 menerangkan bahwa Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan.



Selain itu, apabila kita merujuk kepada lampiran Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (Selanjutnay disebut sebagai SEMA 4/2016) dalam halaman 5 menjelaskan bahwa peraliahan hak atas tanah berdasarkan PPJB secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual-beli dan dilakukan dengan itikad baik. Sehingga dapat dikatakan apabila pembeli telah melunasi pembayarannya dan objek jual-beli sudah siap, dengan pertain sertifikat ha katas tanah sudah ada serta bangunan sudah siap dan pajak sudah dilunasi sesuai dengan penjelasan R.Subekti yang sudah dibahas di sub-bab sebelumnya. Maka PPJB dapat dikatakan sebagai bukti untuk peraliahan ha katas tanah.



5. Akibat Hukum Pembatalan PPJB Atas Wanprestasi Pembeli Dan Perlindungan Hukum Bagi Penjual 28



Wilson Pompana, 2022, Kedudukan PPJB dalam Jual-Beli Tanah, https://www.hukumonline.com/klinik/a/kedudukan-hukum-PPJB-dalam-proses-jual-beli-tanahlt6086d9ebd6b6d, Dikunjungi pada tanggal 18 Juni 2022 29 Hilman Hadikususma, Op.Cit, h.205



14



Dalam perjanjian jual-beli ada kalanya dimana salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasinya. Wanprestasi atau perbuatan cidera/ingkar janji secara etimologis berasal dari Bahasa Belanda yang artinya “prestasi” yang buruk dari seorang debitur (atau orang yang berhutang) dalam melaksanakan suatu perjanjian. Menurut J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya30 Menurut R.Subekti wanprestasi (kelalaian/kealpaan) seorang debitur dapat berupa: a.   Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. b.   Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. c.   Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat. d.   Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.31 Dari penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa wanprestasi dapat terjadi baik secara sengaja mau pun tidak sengaja. Konsep ketidak sengajaan dalam wanprestasi dapat disebabkan karena ketidak mampuan untuk memenuhi prestasi ataupun terpaksa untuk tidak memenuhi prestasi. Tindakan wanprestasi sendiri dapat berupa tidak sama sekali memenuhi prestasi, prestasi tidak dipenuhi secara sempurna, keterlambatan pemenuhan prestasi, dan/atau melakukan Tindakan yang dimana dialarang dalam perjanjian tersebut. Dari tindakan-tindakan tersebut dapat menyebabkan kerugian bagi pihak lain dalam perjanjian tersebut, apalagi jika pihak lain tersebut adalah pelaku usaha maka pihak tersebut dapat kehilangan margin keuntungan. Akibat dari kerugian tersebut, pihak yang melakukan wanprestasi diharuskan menanggung kewajiban atas tuntutan pihak lawan berupa pembatalan kontrak disertai ganti rugi ataupun tanpa ganti rugi.



Namun apabila kita khususkan akibat hukum yang harus ditanggung oleh pihak pembeli apabila piahk tersebut melakukan wanprestasi dimana dalam hal ini penulis menekankan bahwa PPJB terjadi karena pihak pembeli melakukan 30



Gde Yogi Yustyawan Marwanto, Akibat Hukum Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Pembeli Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Yang Belum Lunas Di Kabupaten Badung, Program Kekhususan Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana, h.3 31 Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, h.45



15



pembayaran dengan cara mencicil adalah ; - Pembeli diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita oleh penjual sesuai dengan Pasal 1243 KUHPer. - Dalam Pasal 1266 KUHPer menjelaskan bahwa dalam perjanjian bilateral, wanprestasi dari satu pihak memberikan pihak lainnya untuk membatalkan perjanjian melewati hakim (pengadilan). - Dalam Pasal 1237 ayat (2) KUHPer ditekankan bahwa resiko beralih kepada pembeli sejak saat terjadinya wanprestasi. - Pembeli yang terbukti melakukan wanprestasi di muka pengadilan, sesuai dengan Pasal 181 ayat (1) Herziene Inland Reglement (selanjutnya akan disebut sebagai HIR) akan dibebankan biaya perkara sepenuhnya. - Apabila dimungkinkan pihak yang melakukan wanprestasi untuk memenuhi perjanjian, apabila tidak akan dilakukan pembatalan perjanjian disertai pembayaran ganti rugi dimana hal ini diatur dalam Pasal 1267 KUHPer.32 6. Kesimpulan PPJB yang dilaksanakam dibawah tangan terkait peralihan hak atas tanah tetap diakui sebagai alat bukti walaupun perjanjian tersebut bukan termasuk akta otentik, dan dianggap sah selama tidak bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPer terkait keabsahan perjanjian atau kontrak. Hal tersebut didasari atas Pasal 1 angka 10 PP12/2021 dimana aturan tersebut menegaskan mengenai pengertian PPJB, yang dilanjutkan dalam Pasal 22 ayat (3) dan (5) yang menekankan bahwa PPJB dapat dilaksanakan walaupun belum terjadi pelunasan dan objek PPJB belum siap diserahkan dengan syarat tertentu. Jika kita menkhususkan terkait PPJB sebagai bukti terkait peralihan hak atas tanah, hal tersebut sudah dijabarkan dalam Pasal 37 ayat (2) PP 24/1997 dimana jika terjadi keadaan khusus PPJB dapat dijadikan alat bukti terkait peralihan hak atas tanah.



Sehingga apabila terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pihak pembeli, penjual dapat mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan, dengan konsekwensi bagi pihak pembeli sebagai berikut : 32



Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, h.47



16



-



-



Pembeli diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita oleh penjual sesuai dengan Pasal 1243 KUHPer. Dalam Pasal 1266 KUHPer menjelaskan bahwa dalam perjanjian bilateral, wanprestasi dari satu pihak memberikan pihak lainnya untuk membatalkan perjanjian melewati hakim (pengadilan). Dalam Pasal 1237 ayat (2) KUHPer ditekankan bahwa resiko beralih kepada pembeli sejak saat terjadinya wanprestasi. Pembeli yang terbukti melakukan wanprestasi di muka pengadilan, sesuai dengan Pasal 181 ayat (1) Herziene Inland Reglement (selanjutnya akan disebut sebagai HIR) akan dibebankan biaya perkara sepenuhnya.



DAFTAR PUSTAKA Buku AK, S. (2006). Hukum Kontrak Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada.



17



Dewi, G. (2004). Aspek-Aspek Hukum Perbankan Dan Perasuransian Syariah. Jakarta: Kencana. Hadikusuma, H. (1982). Hukum Perjanjian Adat. Bandung: Alumni. Hernoko, A. Y. (2014). Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil. Jakarta: Perdana Media Group. Miru, A. (2014). Hukum Kontrak Dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Salim HS, e. (2006). Perancangan Kontrak Dan Memorandum Of Undersatnding (MOU). Jakarta: Sinar Grafika. Siamnjuntak, R. (2011). Teknik Perancangan Kontrak Bisnis . Jakarta: Kontan Publisher. Subekti. (1995). Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti. Subekti. (1998). Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasioanl. Bandung: Citra Aditya Bakti. Subekti. (1998). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT.Intermasa. Subekti. (2008). Hukum Perjanjian. Jakarta: PT.Intermasa. Jurnal Dinaryanti, A. R. (2013). Tinjauan Yuridis Legalisasi Akta DIbawah Tangan Oleh Notaris. Jurnal Hukum Legal Opinion, 2. Maradesa, K. R. (2014). Kewenangan Serta Tanggung Jawab Hukum Atas Pembuatan Akta Otentik Oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris. Lex Privatum, 139. Marwanto, G. Y. (n.d.). Akibat Hukum Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Pembeli Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Yang Belum Lunas Di Kabupaten Badung. Program Kekhususan Keperdataan Fakultas Hukum Udayana, 3. Muhtarom, M. (2014). Asas-Asas Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Hukum Kontrak. SUHUF, 52. Palit, R. C. (2015). Kekuatan Akta Dibawah Tangan Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan. Lex Privatum, 137. Supriyadi. (2016). Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Aatas Tanah Dalam Perspektif Hukum Pertanahan . Badan Pertanahan Nasional Mataram, 212.



Website Admin, 2021, 5 Asas-Asas Kontrak Yang Wajib Kamu Ketahui, https://smartlawyer.id/asas-asas-kontrak/, Dikunjungi 11 Juni 2022 18



Erizka Permatasari, 2021, Asas-Asas Hukum Kontrak Perdata Yang Harus Kamu Tahu, https://www.hukumonline.com/klinik/a/asas-hukum-perdatalt617a88d958bb9, Dikunjungi pada tanggal 10 Juni 2022. Irma Devita Purnamasari, 2012, Perbedaan Akta Otentik Dengan Surat Di bawah Tangan, https://irmadevita.com/2012/perbedaan-akta-otentik-dengansurat-di-bawah-tangan/, Dikunjungi pada tanggal 15 Juni 2022 Irma Devita Purnamasari, 2015, Akta Notaris, Sebagai Akta Otentik, https://www.hukumonline.com/klinik/a/akta-notaris-sebagai-aktaotentik-lt550c0a7450a04, Dikunjungo pada tanggal 15 Juni 2022 Tim Publikasi Hukum Online, 2022, 4 Syarat Sah Perjanjian di Mata Hukum, https://www.hukumonline.com/berita/a/4-syarat-sah-perjanjian-di-matahukum-lt6273669575348/?page=2, Dikunjungi pada tangtgal 13 Juni 2022. Wilson Pompana, 2022, Kedudukan PPJB dalam Jual-Beli Tanah, https://www.hukumonline.com/klinik/a/kedudukan-hukum-PPJB-dalamproses-jual-beli-tanah-lt6086d9ebd6b6d, Dikunjungi pada tanggal 18 Juni 2022



19