11 0 2 MB
Laporan Akhir
BAB 1
PENDAHULUAN Bab Pendahuluan ini menguraikan latar belakang, tujuan dan sasaran studi, lingkup materi, dan keluaran, serta kerangka pemikiran dan pendekatan studi pekerjaan Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat.
1.1 Latar Belakang RIPPDA Provinsi Jawa Barat ‐yang disusun tahun 2005, dan telah didasari oleh Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 48 Tahun 2006, adalah rencana yang memuat kebijakan pengembangan kepariwisataan Jawa Barat dari aspek perwilayahan pariwisata, aspek pengembangan produk wisata, pengembangan pasar dan pemasaran, pengembangan sumber daya manusia (SDM) kepariwisataan, dan pengembangan kelembagaan pariwisata. Dokumen ini merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Jawa Barat, serta “stakeholders” lainnya, yang mengakomodasikan isu‐isu strategis dan perkembangan terbaru secara terintegrasi dan sinergis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. RIPPDA Jawa Barat fokus pada pengembangan Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi Jawa Barat dengan menetapkan tema pengembangan produk wisata yang unik dan memunculkan kekhasan Jawa Barat. Pengembangan 9 (sembilan) KWU diharapkan dapat mengarahkan kepariwisataan Jawa Barat menjadi lebih fokus, namun tetap memberikan fleksibilitas/kelenturan untuk berkembangnya potensi‐potensi lain sehingga tetap mewadahi kekayaan alam dan sosial budaya Jawa Barat, saling melengkapi dan meningkatkan daya tarik wisata Jawa Barat secara keseluruhan. Strategi pengembangan dan indikasi kegiatan dijabarkan pada setiap KWU untuk mendukung terwujudnya KWU yang berdaya saing tinggi. Dalam pelaksanaan implementasi RIPPDA Jawa Barat, perlu ditunjang dengan rencana tindak yang lebih rinci untuk setiap KWU Provinsi. Action Plan dalam laporan ini fokus pada Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan, yang merupakan salah satu kawasan unggulan yang memunculkan budaya Sunda Priangan yang mendukung pengembangan jati diri dan masyarakat Jawa Barat. Lokasinya yang strategis, antara KWU Pendidikan dan Perkotaan Bandung dengan jalur selatan menuju Jawa Tengah dan Pangandaran, memposisikan KWU ini secara strategis dalam lingkup Jawa Barat maupun nasional. Action plan merupakan rencana detil program dan kegiatan yang bersifat aplikatif dan taktis, sebagai bagian dari kerangka kebijakan dan strategi pengembangan pariwisata. Sebagai penjabaran RIPPDA, maka action plan mengacu pada kebijakan dan strategi yang telah dirumuskan dalam RIPPDA Provinsi Jawa Barat. Penyusunan action plan diarahkan Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
I ‐ 1
Laporan Akhir
kepada penyusunan kajian yang dapat menjadi pedoman pengembangan pariwisata yang implementatif dan terintegrasi antarwilayah serta antarsektor di Provinsi Jawa Barat. Namun di sisi lain, action plan yang dihasilkan harus terintegrasi dengan rencana pengembangan wilayah keseluruhan dan sejalan dengan rencana pengembangan kepariwisataan wilayah masing‐masing. Action plan perlu diselaraskan dengan RIPPDA dan RTRW kabupaten/kota terkait, maupun rencana pengembangan lainnya di wilayah tersebut. Lebih lanjut, sebagai suatu rencana tindak, program yang dirumuskan harus terfokus, terukur, menjawab kebutuhan, dan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di wilayah, dalam jangka pendek, melalui pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara optimal. Rencana yang disusun didasarkan pada tingkat kepentingan dan kemampuan sumber daya, dan mengadaptasikan berbagai kemungkinan perubahan yang terjadi dalam 5 tahun kedepan. Pemahaman dan pertimbangan‐pertimbangan tersebut perlu dicermati dalam penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat. Tema pengembangan yang telah ditentukan di Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan perlu lebih dimunculkan dan diperkuat untuk mendukung pengembangan kawasan, yang diharapkan dapat dijadikan sebagai motor penggerak kepariwisataan di Jawa Barat, sekaligus menumbuhkembangkan potensi kawasan‐kawasan wisata lainnya. Untuk lebih jelasnya, latar belakang penyusunan studi dapat dilihat pada gambar 1.1 berikut.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
I ‐ 2
Laporan Akhir
Gambar 1.1 Pemahaman terhadap Latar Belakang Penyusunan Studi RIPPDA Provinsi Jawa Barat 2005 Kebijakan pengembangan kepariwisataan Jawa Barat: - aspek perwilayahan, pengembangan produk, pasar dan pemasaran, SDM dan kelembagaan.
Kawasan Wisata Unggulan (KWU): Memunculkan produk wisata yang unik dan khas Jawa Barat, saling melengkapi dan meningkatkan daya tarik wisata secara keseluruhan
ACTION PLAN Pedoman pengembangan yang lebih implementatif dan terintegrasi antarwilayah dan antarsektor. Fokus pada peningkatan peran serta masyarakat melalui penerapan Community Based Tourism Development. Untuk memperkuat tema produk wisata unggulan di masing-masing Kawasan
9 KWU Provinsi Jawa Barat Kawasan Wisata Industri & Bisnis Bekasi-Karawang
Kawasan Wisata Agro Purwakarta Subang
Kawasan Wisata Perkotaan dan Pendidikan Bandung (2006)
RIPPDA/RTRW/Renstra, dll yang terkait Potensi, permasalahan, isu strategis: Produk unggulan Potensi pasar, SDM, kelembagaan
Kawasan Wisata Budaya Pesisir Cirebon (2006)
Kawasan Wisata Minat Khusus Jabar Selatan
Kawasan Wisata Alam Pegunungan Puncak Kawasan Wisata Rekreasi Pantai Pangandaran
Kawasan Ekowisata PALABUHAN RATU (2007)
Kawasan Wisata KRIA dan BUDAYA PRIANGAN (2007)
Prinsip konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat, ekonomi, wisata.
Community Based Tourism Development, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal
RIPPDA/RTRW/Renstra, dll yang terkait Potensi, permasalahan, isu strategis: Produk unggulan Potensi pasar, SDM, kelembagaan
1.2 Dasar Hukum Dalam pekerjaan Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat ini, terdapat landasan hukum yang perlu dicermati, yaitu sebagai berikut: 1.
Undang‐Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990, Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427).
2.
Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya.
3.
Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Tahun 1992, Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3470)
4.
Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 1992, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699).
5.
Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004, Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421).
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
I ‐ 3
Laporan Akhir
6.
Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004, Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4434)
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan (Lembaran Negara Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3638)
8.
Intruksi Presiden RI Nomor 16 Tahun 2005, tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
9.
Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.64/HK.201/MKP/04, tentang Pedoman Pengembangan Pariwisata Daerah.
10.
Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.06/UM.001/MKP/06, tentang Penetapan Rencana Strategis Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2005‐2009.
11.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 15 Tahun 2000, tentang Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat.
12.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2002, tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2000.
13.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003, tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah.
14.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 15 Tahun 2000, tentang Pemeliharaan Kesenian.
15.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2003, tentang Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai‐nilai Tradisional dan Museum.
16.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2004, tentang Rencana Strategis Provinsi Jawa Barat Tahun 2003‐2008.
17.
Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 52 Tahun 2001, tentang Tugas, Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas Unit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat.
18.
Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 64 Tahun 2003, tentang Tupoksi UPTD (Balai) di Lingkungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat.
19.
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 48 Tahun 2006, tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi Jawa Barat.
20.
Keputusan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat Nomor 556/SK.1351/2006‐Binprog tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat Nomor 556/SK‐707 Binprog/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang Rencana Strategis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat Tahun 2005‐2009.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
I ‐ 4
Laporan Akhir
21.
Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 23 Tahun 2001 Tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kabupaten Garut Tahun 2001 – 2010.
22.
Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Retribusi Pelayanan Izin Usaha Kepariwisataan.
23.
Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Retribusi Pelayanan Tempat dan Sarana Rekreasi.
24.
Keputusan Bupati Garut Nomor 319 Tahun 2004 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut.
25.
Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD 2006 – 2010).
26.
Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Ibukota Kabupaten Tasikmalaya.
27.
Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya.
28.
Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Retribusi Tarif Masuk dan Pemanfaatan Obyek dan Daya Tarik Wisata Situ Gede.
29.
Keputusan Walikota Tasikmalaya Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas Unit Dinas Perindustrian dn Perdagangan Kota Tasikmalaya.
30.
Peraturan Daerah Kota Banjar Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Rencana Stratejik Pemerintah Kota Banjar Tahun 2004 – 2009.
31.
Peraturan Daerah Kota Banjar Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Ijin Usaha Kepariwisataan Dalam Kota Banjar.
32.
Peraturan Walikota Banjar Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata kerja Unsur Organisasi Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kota Banjar.
33.
Peraturan Walikota Banjar Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Unsur Organisasi Kantor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kota Banjar.
34.
Keputusan Walikota Banjar Nomor 230/Kpts.90‐Huk/V/2004 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Unsur Organisasi Badan Perencanaan Daerah Kota Banjar.
35.
Peraturan Walikota Banjar Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Unsur Organisasi Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjar.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
I ‐ 5
Laporan Akhir
1.3 Tujuan dan Sasaran Action Plan ini bertujuan sebagai pedoman yang mengarahkan perkembangan kepariwisataan Jawa Barat khususnya di KWU Kria dan Budaya Priangan, dengan memperkuat tema utama masing‐masing kawasan, secara terintegrasi antarwilayah dan antarsektor, yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan . Untuk mencapai tujuan pekerjaan seperti yang tercantum di atas, maka sasaran yang perlu dicapai adalah sebagai berikut: ‐
Menguatnya tema kawasan sebagai tema produk wisata yang diunggulkan di KWU Kria dan Budaya Priangan.
‐
Berkembangnya sektor‐sektor lain yang mendukung tema produk wisata unggulan.
‐
Meningkatnya keterlibatan masyarakat setempat dalam pengembangan produk wisata unggulan kawasan.
‐
Meningkatnya perhatian terhadap pelestarian lingkungan di daya tarik wisata unggulan KWU Kria dan Budaya Priangan dan sekitarnya.
1.4 Lingkup 1.4.1 Lingkup Wilayah Ruang lingkup wilayah pada pekerjaan Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Tahun 2007 ini adalah Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan, yang merupakan salah satu kawasan unggulan Provinsi Jawa Barat (lihat gambar 1.2 di halaman berikut). Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
I ‐ 6
Laporan Akhir
Gambar 1.2 Lingkup Wilayah Studi dalam Konstelasi Provinsi Jawa Barat
1.4.2 Lingkup Materi Secara garis besar, lingkup materi Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat meliputi: 1. Rencana pengembangan kepariwisataan maupun pengembangan wilayah yang terkait. 2. Pengembangan wisata kria dan budaya, serta wisata gunung api. 3. Karakteristik Kawasan Wisata Unggulan (KWU) dan pasar wisatawan potensial, khususnya di wilayah perencanaan. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
I ‐ 7
Laporan Akhir
1.5 Keluaran Adapun keluaran yang terkait dengan substansi pekerjaan meliputi: 1. Arahan pengembangan kepariwisataan di Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan, mencakup visi, misi, tujuan, dan sasaran pengembangan kawasan, serta kebijakan dan strategi pengembangan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, dengan dimensi waktu jangka menengah (15 tahun). 2. Rumusan program pengembangan / kegiatan yang merupakan penjabaran strategi, yang memuat tujuan dan sasaran program, jangka waktu pelaksanaan, pengalokasian sumber daya, termasuk instansi pelaksana, dan institusi terkait, dalam dimensi waktu 5 (lima) tahun. Skema keluaran studi dapat dilihat dalam Gambar 1.3 berikut. Gambar 1.3 Skema Keluaran Studi
1.6 Kerangka Pemikiran dan Pendekatan Studi Action Plan merupakan suatu rencana yang strategik yang berisi program‐program (termasuk indikasi kegiatan/proyek) dengan sasaran jangka pendek. Action Plan mencakup apa, dimana, kapan, siapa, dan bagaimana mengembangkan pariwisata, dan menjadi kerangka kerja bagi seluruh stakeholder kepariwisataan yang terkait. Sebagai suatu rencana tindak, program yang dirumuskan harus terfokus, terukur, menjawab kebutuhan, dan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di kedua wilayah studi, dalam jangka pendek, melalui pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara optimal. Program disusun berdasarkan pada tingkat kepentingan dan kemampuan sumber daya, dan mengadaptasikan berbagai kemungkinan perubahan yang terjadi dalam 5 (lima) tahun kedepan. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
I ‐ 8
Laporan Akhir
Untuk itu perlu dikaji dengan lebih rinci dan mendalam mengenai: -
Kebijakan dan rencana yang terkait dengan pengembangan kepariwisataan di wilayah studi.
-
Potensi dan permasalahan pengembangan kepariwisataan di wilayah studi, yang mencakup aspek perwilayahan, produk wisata, pasar dan pemasaran, serta SDM dan kelembagaan pariwisata, dengan penekanan pada tema pengembangan kawasan wisata.
-
Isu‐isu strategis pengembangan kepariwisataan di wilayah studi dan keterkaitannya dengan perkembangan sektor‐sektor lain di wilayah, maupun dengan KWU lainnya di Provinsi Jawa Barat.
Kajian tersebut akan didasarkan pada data hasil survei primer dan sekunder, serta diskusi dengan stakeholders kepariwisataan di kedua wilayah studi. Hasil kajian tersebut selanjutnya akan menjadi bahan dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan, dari aspek perwilayahan, pengembangan produk, pasar dan pemasaran, SDM, dan kelembagaan, baik spasial maupun non spasial. Selanjutnya kebijakan dan strategi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam rumusan program‐program melalui diskusi terfokus (pelaksanaan FGD di wilayah studi) bersama seluruh stakeholders kepariwisataan yang terkait. Adapun rumusan program kegiatan yang dihasilkan meliputi : -
JUDUL program/kegiatan, tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai dari program tersebut, serta indikator keberhasilan program.
-
penentuan BATAS WAKTU pelaksanaan program
-
penentuan SUMBER DAYA yang diperlukan untuk melaksanakan program, dan pengorganisasiannya.
-
penugasan TANGGUNG JAWAB pelaksanaan program; siapa yang bertanggung jawab untuk melaksanakan suatu program.
Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran studi ini, dapat dilihat pada gambar 1.4 pada halaman berikut.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
I ‐ 9
Laporan Akhir
Gambar 1.4 Kerangka Pemikiran Studi RIPPDA Provinsi Jawa Barat Kebijakan dan strategi pengembangan Indikasi program pengembangan 9 Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi
KWU Lainnya Kebijakan dan rencana terkait
Perkembangan sektor lain
Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
Kawasan Ekowisata Palabuhan Ratu
Potensi, permasalahan, dan isu-isu strategis pengembangan kepariwisataan
Isu-isu strategis pengembangan kepariwisataan regional/ nasional Kepariwisataan regional, nasional
ACTION PLAN KWU Lainnya Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
Kawasan Ekowisata Palabuhan Ratu
KEBIJAKAN dan STRATEGI Pengembangan KWU RINCIAN PROGRAM/KEGIATAN: Judul, tujuan, sasaran Penanggung jawab, kerangka waktu, pengorganisasian sumber daya
Penyusunan action plan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan perencanaan participatory planning (pendekatan perencanaan partisipatif), dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam pembangunan kepariwisataan di wilayah studi. Pihak‐ pihak yang terlibat, dengan kata lain berpartisipasi, selanjutnya melakukan kerjasama dalam mencapai suatu tujuan yang melibatkan kepentingan‐kepentingan masing‐masing pihak. Focus Group Discussion (FGD) dilaksanakan di Kota Tasikmalaya, selaku pusat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan dihadiri oleh stakeholders kepariwisataan di wilayah studi. FGD menghasilkan rumusan potensi, permasalahan, serta isu‐isu strategis yang dihadapi dalam pengembangan wisata kria dan budaya, yang menjadi pertimbangan utama dalam merumuskan arahan pengembangan kepariwisataan di Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan ini.
1.7 Sistematika Pelaporan Laporan Akhir Studi Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat ini terdiri dari:
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
I ‐ 10
Laporan Akhir
Bab 1 PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, tujuan dan sasaran studi, lingkup wilayah dan materi, keluaran pekerjaan, kerangka pemikiran dan pendekatan studi, serta sistematika laporan. Bab 2 KAJIAN KEBIJAKAN DAN PUSTAKA TERKAIT Bab ini menguraikan kajian tentang RIPPDA Provinsi Jawa Barat serta konsep pengembangan Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi, dan penjelasan mengenai rencana tindak dan tahapan penyusunannya. Pada bagian akhir bab akan ditinjau pula bahasan dan pengertian mengenai wisata kria dan budaya, serta wisata gunung api. Bab 3 POTENSI DAN PERMASALAHAN DALAM KEPARIWISATAAN DI KWU KRIA DAN BUDAYA PRIANGAN
PENGEMBANGAN
Bab ini menguraikan potensi, permasalahan, maupun isu‐isu strategis pengembangan kepariwisataan yang dihadapi kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan dengan fokus pada pengembangan tema produk wisata utama di kawasan tersebut. Pada bagian akhir bab ini akan disampaikan positioning kawasan dalam konteks KWU Provinsi Jawa Barat. Bab 4 ARAHAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KAWASAN Bab ini akan menjelaskan visi, misi, tujuan, dan sasaran pengembangan masing‐masing kawasan, serta kebijakan dan strategi pengembangan kepariwisataan yang terkait dengan pengembangan tema produk unggulan di kawasan. Bab 5 PROGRAM PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN Bab ini menguraikan rangkaian program pengembangan kepariwisataan di kawasan studi untuk aspek pengembangan produk, pengembangan pasar dan pemasaran, pengembangan SDM, pengembangan kelembagaan, serta pengembangan investasi. Program akan dirinci mencakup tujuan dan sasaran program, pentahapan dan pengalokasian sumber daya, serta instansi penanggung jawab tiap program.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
I ‐ 11
Laporan Akhir
BAB 2
KAJIAN KEBIJAKAN DAN PUSTAKA TERKAIT Pada bab ini akan ditinjau kembali RIPPDA Provinsi Jawa Barat dan penetapan KWU Provinsi untuk mendudukkan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan dalam konteks KWU Provinsi Jawa Barat. Selain itu juga akan diuraikan pemahaman tentang rencana tindak pariwisata, serta pengertian‐pengertian mengenai wisata kria dan budaya, maupun wisata gunung api.
2.1
RIPPDA Provinsi Jawa Barat dan Kawasan Wisata Unggulan
2.1.1 RIPPDA Provinsi Jawa Barat Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi Jawa Barat merupakan pedoman utama bagi pemangku kepentingan pariwisata Jawa Barat, termasuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. RIPPDA ini mengakomodasi isu‐isu strategis dan perkembangan terbaru secara terintegrasi dan sinerjis yang dimaksudkan untuk mengarahkan perkembangan kepariwisataan Jawa Barat mencapai kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. RIPPDA Provinsi Jawa Barat memfokuskan pada perencanaan satu atau beberapa daerah tujuan wisata yang memang menjadi, atau akan menjadi, unggulan provinsi. Pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi diharapkan akan berdampak ganda terhadap pengembangan kawasan‐kawasan wisata maupun sektor‐sektor lain di Jawa Barat. Sebagai pedoman utama, RIPPDA Provinsi Jawa Barat berisikan (1) konsep pengembangan kepariwisataan Provinsi Jawa Barat yang dilandasi pendekatan perencanaan dan isu‐isu strategis pengembangan kepariwisataan Jawa Barat, (2) identifikasi Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi Jawa Barat dan kawasan wisata unggulan kabupaten/kota, serta (3) arahan kebijakan dan strategi pengembangan kepariwisataan Provinsi Jawa Barat dan tahapan indikasi kegiatan pengembangan kepariwisataan di setiap kawasan wisata unggulan provinsi. Konsep pengembangan pariwisata Provinsi Jawa Barat menjadi kerangka dalam menyusun visi, misi, tujuan, dan sasaran pengembangan, serta arahan dan strategi pengembangan kepariwisataan Provinsi Jawa Barat, baik secara umum maupun khusus di kawasan wisata unggulan provinsi. Konsep pengembangan kepariwisataan Jawa Barat yang dirumuskan dalam RIPPDA terkait dengan potensi dan permasalahan
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 1
Laporan Akhir
pengembangan kepariwisataan Jawa Barat, serta isu‐isu strategis pengembangan kepariwisataan yang dihadapi Jawa Barat.
2.1.2 Visi dan Misi Pengembangan Pariwisata Jawa Barat Visi pengembangan pariwisata Jawa Barat adalah “Terwujudnya pariwisata Jawa Barat yang mengangkat harkat dan martabat, serta meningkatkan kesejahteraan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat dalam lingkungan yang berkelanjutan”. Adapun misi pengembangannya meliputi: 1. Menyebarluaskan implementasi pengembangan pariwisata yang berkelanjutan melalui konservasi, preservasi, dan rehabilitasi sumber daya alam dan budaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup Jawa Barat. 2. Meningkatkan daya saing pariwisata Jawa Barat di tingkat nasional dan internasional melalui pengelolaan daya tarik wisata dan pelayanan wisata, serta pemasaran pariwisata yang tepat sasaran oleh sumber daya manusia Jawa Barat yang berkualitas tinggi. 3. Mengurangi ketimpangan pembangunan melalui penyebaran kegiatan pariwisata yang mencakup daerah‐daerah yang belum maju di Jawa Barat. 4. Mengembangkan kelembagaan kepariwisataan yang berazaskan kerja sama yang saling menguntungkan antara sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat. 5. Meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat luas dan masyarakat lokal dalam pengembangan dan kegiatan pariwisata untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
2.1.3 Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi Dalam RIPPDA ini, definisi kawasan wisata mengacu pada konsep yang diajukan Gunn (1996), yaitu kawasan yang secara teknis digunakan untuk kegiatan pariwisata yang ramah lingkungan dengan batasan‐batasan sebagai berikut:
1. Kawasan wisata adalah area unggulan untuk pengembangan pariwisata provinsi atau daerah (kabupaten/kota).
2. Kawasan wisata akan atau sudah berfungsi sebagai identitas daerah, misalnya kawasan bersejarah, pusat perbelanjaan, gunung, pantai, dan sebagainya.
3. Kawasan wisata dapat tumpang tindih (overlap) dengan kawasan lain, baik kawasan budidaya (misalnya kawasan pertanian, perdagangan) maupun kawasan lindung.
4. Memiliki keragaman daya tarik wisata, baik yang belum maupun yang sudah berkembang atau dikunjungi wisatawan.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 2
Laporan Akhir
5. Memiliki batas kawasan secara imaginer, dengan unsur pengikat yang dapat berupa fisik (misalnya jalan), dan atau non fisik seperti pengaruh budaya atau tema produk/kegiatan wisata. Kawasan Wisata Unggulan (KWU) provinsi merupakan kawasan wisata yang diunggulkan di tingkat provinsi yang berperan dalam menjawab isu‐isu pokok pembangunan kepariwisataan provinsi. KWU berperan strategis karena keunikan lokasi maupun tingginya intensitas kunjungan wisatawan. KWU Provinsi dapat terdiri dari beberapa daya tarik wisata dalam daerah administratif yang berbeda (lintaskabupaten/kota), yang memiliki keunggulan produk wisata yang dapat bersaing di tingkat regional, nasional (dan bahkan internasional), dengan target segmen pasar wisatawan nasional/internasional. Pemerintah provinsi menjadi pemain utama dalam hal pembinaan dan pengembangan KWU serta ikut bertanggung jawab dalam merencanakan dan mendukung pengembangannya. KWU provinsi dapat memiliki cakupan wilayah yang berbeda luasannya dengan batas ʹimajinerʹ kabupaten/kota yang berada dalam cakupannya. Dengan demikian, suatu KWU memiliki faktor pengikat kawasan yang dapat bersifat fisik (geomorfologis), seperti jalur jalan dan jalur pantai, maupun nonfisik yang bersifat pengaruh suatu budaya. Selain itu, setiap KWU memiliki sumber daya wisata utama/kegiatan yang telah berkembang atau sumber daya wisata lain maupun kegiatan wisata lain yang diusulkan untuk dikembangkan, serta potensi pasar wisatawan eksisting dan yang akan menjadi sasaran pasar, baik dilihat dari daerah asal wisatawan, maupun karakteristik wisatawannya. Sumber daya wisata utama suatu KWU nantinya menjadi tema produk wisata utama yang akan diunggulkan dari KWU tersebut, dan akan terkait dengan segmen pasar wisatawan yang menjadi sasaran.
2.1.4 Keterkaitan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan dengan KWU Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil diskusi terfokus (FGD) yang mempertimbangkan aksesibilitas jalur jalan utama dan daya tarik wisata unggulan yang membentuk tema produk kawasan, maka RIPPDA Provinsi Jawa Barat telah menetapkan Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 9 (sembilan) kawasan sebagai berikut : 1. Kawasan Wisata Industri dan Bisnis Bekasi‐Karawang 2. Kawasan Wisata Agro Purwakarta Subang 3. Kawasan Wisata Budaya Pesisir Cirebon 4. Kawasan Wisata Alam Pegunungan Puncak 5. Kawasan Wisata Perkotaan dan Pendidikan Bandung 6. Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan 7. Kawasan Ekowisata Palabuhan Ratu
8. Kawasan Wisata Minat Khusus Jabar Selatan Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 3
Laporan Akhir
9. Kawasan Wisata Rekreasi Pantai Pangandaran Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.1 Pembagian KWU Jawa Barat di halaman berikut ini. Gambar 2.1 Pembagian Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Jawa Barat
Sumber: RIPPDA Provinsi Jawa Barat Tahun 2005
Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan memiliki produk unggulan yang menjadi tema utama adalah barang‐barang kria serta potensi budaya; dengan tema pendukung adalah wisata gunung api dan fenomenanya. Kawasan ini merupakan kawasan yang paling kental nuansa budaya Priangannya. Diharapkan wisatawan yang datang ke KWU ini dapat mengenali kebudayaan Sunda Priangan, maupun keterkaitannya dengan kondisi pegunungan api yang menjadi setting wilayah. Budaya Sunda Priangan hidup dan berkembang di tanah Pasundan atau Tatar Sunda yang dibatasi oleh Sungai Cilosari dan Citanduy (Harjoso, 1993). Dalam kehidupannya, digunakan Bahasa Sunda (Basa Sunda) untuk pergaulan sehari‐hari. Basa Sunda yang dikenal halus (lemes) dan murni (pituin) adalah bahasa yang digunakan masyarakat daerah Priangan, diantaranya Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, dan Cianjur (Ekadjati, 1995).
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 4
Laporan Akhir
Kata sunda sendiri berasal dari bahasa sansekerta suddha yang dipakai sebagai nama sebuah gunung tertinggi yang berada di wilayah itu, yaitu Gunung Sunda (ketinggian 1.850 meter). Gunung ini terlihat dari jauh berwarna putih bercahaya – makna kata suddha dalam bahasa sansekerta‐ karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung tersebut. Selanjutnya, nama gunung itu dipakai untuk menamai wilayah di sekitarnya 1 . Menurut data sejarah, istilah Sunda yang menunjukkan pengertian wilayah di bagian barat Pulau Jawa dengan segala aktivitas manusia di dalamnya baru dikenal pada abad ke‐9 Masehi. Istilah tersebut terdapat dalam prasasti yang ditemukan di Kebon Kopi, Bogor. Sebelum masuknya pengaruh Hindu‐Budha, di Tatar Sunda telah hidup kebudayaan yang diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang mendiami wilayah ini, sebagaimana tampak dari peninggalan benda‐benda budayanya. Sayangnya, pada masa tersebut peninggalan berupa tulisan hampir tidak ada sama sekali. Maka oleh para ahli sejarah, masa sejarah Tatar Sunda diperkirakan baru muncul sekitar 1600 tahun (dari abad ke‐5 hingga awal abad‐21). Kebudayaan Sunda setelah masuknya pengaruh kebudayaan Hindu‐Budha terbentuk dan berkembang pada masa Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Sunda. Masa ini berlangsung pada abad ke‐5 hingga ke‐16 Masehi. Selanjutnya terbentuklah masa Kerajaan Sunda Islami yang berkembang pada masa Kerajaan Cirebon dan Kasultanan Banten. Masa ini berlangsung dari abad ke‐16 hingga awal abad ke‐21. Pada perkembangan selanjutnya setelah abad ke‐16, kebudayaan Sunda juga dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa dan budaya barat, akibat adanya kolonialisasi oleh Belanda selama kurang lebih 3,5 abad. Perkembangan sejarah Tatar Sunda membuat sebagian wilayahnya kini sudah tidak lagi memiliki budaya khas Sunda, karena sudah berakulturasi dengan budaya‐budaya lain, khususnya wilayah yang berada di pesisir. Budaya Sunda Priangan yang masih asli umumnya berada di wilayah pegunungan yang berada di bagian tengah wilayah Jawa Barat. Sejarah panjang di kawasan Tatar Sunda membuat wilayah tersebut banyak memiliki peninggalan sejarah maupun budaya, salah satunya berupa situs arkeologis, beberapa perkampungan adat Sunda yang masih memegang teguh tradisinya, serta seni dan kria yang dihasilkan masyarakatnya. Potensi yang khususnya berada di wilayah KWU Kria dan Budaya Priangan ini kemudian berkembang menjadi daya tarik wisata. Salah satu contohnya adalah adanya desa wisata, yang memiliki artian suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku 2 . Di desa wisata ini, wisatawan yang datang dapat hidup dan mengalami aktivitas sebagaimana layaknya penghuni desa/kampung tersebut. Pengalaman berada dalam kehidupan Sunda Priangan memiliki nilai tersendiri jika dibandingkan dengan wisata lain yang ditawarkan oleh KWU lainnya di Jawa Barat. Wilayah Priangan juga ditandai dengan pertanian perdesaan sebagai unit sosial yang utama. Di beberapa tempat di wilayah ini masih dilakukan pertanian yang bersifat tradisional. Dua macam penggarapan tanah pertanian yaitu pertanian di sawah dan di Ekadjati, Edi S. “Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah” Jilid 1. Pustaka Jaya. Bandung 2005. Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 2‐3
1 2
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 5
Laporan Akhir
ladang, memiliki peranan penting bagi masyarakat Sunda. Para petani dan masyarakat memiliki hubungan batin yang erat dengan lingkungan (patempatan), antara lain dengan tanah, air, dan sawah/ladang garapannya (Priyani, 2000). Keterkaitan masyarakat Sunda dengan lingkungan alam‐budaya (cultural landscape) ditunjukkan pula melalui kerajinan lokal yang kini berkembang ke arah industri kria. Kria dapat didefinisikan sebagai ”seni dari rakyat untuk rakyat, berupa karya yang anonim, dikerjakan melalui tangan, tidak mahal, berakar dari benda yang digunakan secara massal dan fungsional dalam kehidupan sehari‐hari, dan merupakan representasi wilayah tempat benda tersebut diproduksi” (ICCROM, 2002) Dalam studi ini, kria tidak hanya dipahami sebagai ’barang’ atau ’benda’ hasil budidaya manusia, tetapi juga sebagai proses pembelajaran, proses ekonomi, dan proses kreatif. Wisata kria atau craft tourism, memiliki dua peran yang saling berkaitan. Di satu sisi, wisata kria adalah salah satu strategi pemasaran dan promosi wilayah, dalam hal ini Kawasan Wisata Unggulan Priangan, dan di sisi lain, berperan dalam upaya pelestarian/konservasi craftsmanship keunikan lokal, menghadapi tantangan era industrialisasi dan globalisasi. Jika dilihat lokasinya dalam Provinsi Jawa Barat, Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan ini berada diantara KWU Pendidikan dan Perkotaan Bandung, KWU Rekreasi Pantai Pangandaran, dan KWU Budaya Pesisir Cirebon. KWU Pendidikan dan Perkotaan Bandung merupakan KWU yang banyak dikunjungi wisatawan, khususnya wisnus Jakarta, sehingga merupakan sumber pasar wisatawan yang sangat potensial bagi KWU Priangan. Selain itu, KWU Priangan juga dilalui oleh wisatawan yang akan menuju ke KWU Pangandaran, atau bahkan melanjutkan perjalanan ke Jawa Tengah/Yogyakarta. Lokasi ini strategis sebagai tempat persinggahan wisatawan. Kondisi yang telah terjadi, Kampung Naga merupakan salah satu objek wisata yang disinggahi oleh banyak wisatawan yang melakukan land‐tour ke Pangandaran atau Yogyakarta. Peluang ini tentunya perlu dimanfaatkan oleh KW Kria dan Budaya Priangan dengan sebaik‐baiknya melalui pengemasan objek wisata yang menjadi unggulannya.
2.2
Rencana Tindak Pariwisata
Karakteristik pariwisata Provinsi Jawa Barat yang memiliki ciri‐ciri yang berupa perpaduan antara destinasi pariwisata di kabupaten dan kota didalamnya, menyebabkan kompleksitas pengelolaan yang amat tinggi. Oleh karena itu dalam melakukan perencanaannya harus secara cermat mengetahui tentang kondisi lingkungan strategis kepariwisataan secara efektif dan efisien dan juga berorientasi kepada permintaan pasar. Hal ini bertujuan agar kegiatan pembangunan yang dilakukan dapat dimengerti, disepakati, ditindaklanjuti dan dirasakan manfaatnya oleh pelaku pariwisata di tingkat kabupaten/ kota yang menjadi sasaran pembangunan yang dilakukan. Rencana tindak (action plan) merupakan suatu dokumen perencanaan yang menjadi rujukan operasional bagi pelaku atau pengelola berkaitan dengan jenis kegiatan, lokasi, Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 6
Laporan Akhir
biaya, instansi pelaksana dan waktu pelaksanaan. Rencana tindak membagi strategi‐ strategi ke dalam bagian‐bagian yang dapat memudahkan koordinasi dalam implementasi rencana strategis menuju sasaran dan tujuan. Rencana tindak ini berkaitan dengan spesifikasi tugas‐tugas yang mencakup penugasan orang/instansi, alokasi sumber daya manusia, alokasi sumber daya material dan finansial, dan jadwal untuk penyelesaian tugas tersebut. Untuk lebih mengoperasionalkan kebijakan maupun strategi, program‐program strategis yang harus dilaksanakan sehingga diperlukan suatu rencana tindak di tingkat pelaksana di lapangan (sektoral maupun regional). Tanpa rencana tindak ini, implementasi perencanaan pengelolaan belum terjabarkan secara eksplisit karena program yang diuraikan dari setiap isu hanya melahirkan strategi‐strategi. Rencana tindak memuat kegiatan‐kegiatan untuk mewujudkan pencapaian setiap sasaran sehingga rencana ini harus disusun berdasarkan prioritas, tujuan, indikator, kerangka waktu dan sistem pemantauan. Rencana tindak pariwisata mencakup siapa, apa, dimana, kapan, dan bagaimana membuat kegiatan pariwisata dapat berjalan. Kondisi tentu harus dapat dilihat dari berbagai sudut pandang pelaku kepentingan, tidak saja pemerintah daerah setempat, namun juga pelaku industri pariwisata, organisasi/ lembaga swadaya masyarakat, maupun stakeholder lainnya. Analisis mengenai sumber daya pariwisata dan berbagai kepentingan yang ada sangat mendukung pengembangan dan pemasaran bagi wilayah yang akan dikembangkan. Tujuan akhir dari rencana tindak selain untuk mengembangkan sektor pariwisata di suatu wilayah, juga untuk meningkatkan kontribusi sektor pariwisata khususnya bagi perekonomian lokal, sehingga pada akhirnya dapat memiliki nilai kompetitif terhadap wilayah lainnya. Rencana tindak pengembangan pariwisata berupa rencana detil program dan kegiatan yang bersifat aplikatif dan taktis sebagai bagian atau sub sistem dari kerangka kebijakan makro dan strategi rencana pengembangan pariwisata. Strategi taktis yang dirumuskan dalam rencana tindak ini merupakan suatu rencana implementasi yang bersifat fokus, terukur, menjawab kebutuhan, dan dapat memecahkan persoalan pembangunan kepariwisataan yang terjadi, khususnya dalam jangka pendek dan menengah. Lebih lanjut, rencana yang disusun haruslah juga dapat mengendalikan proses berjalan dan pengendalian sumber daya pariwisata secara proporsional. Penjabaran strategi menjadi rencana tindak terhadap pengembangan kawasan pariwisata unggulan secara fungsional, terpadu antarwilayah, dan saling menguntungkan. Rencana tindak pengembangan pariwisata ini diharapkan akan mampu mendorong terwujudnya kedekatan visi dan persepsi, menumbuhkembangkan prilaku koordinasi, kerjasama, dan self correction dari para pelaku terkait.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 7
Laporan Akhir
2.2.1 Komponen‐komponen Rencana Tindak Pariwisata Pengembangan rencana tindak pariwisata mencakup 5 (lima) komponen, yaitu: 1. Atraksi Wisata Berupa daya tarik wisata, baik alam maupun buatan yang berada di dalam suatu wilayah dan memiliki daya tarik yang dapat mendatangkan wisatawan, misalnya pantai, danau, pegunungan, situs budaya, taman, industri, pameran, dan lain sebagainya. 2. Promosi Merupakan sarana pemasaran, berupa periklanan, pameran pariwisata, artikel di media cetak, brosur, peta, video atau film, pemandu wisata elektronik, serta poster dan pusat informasi wisatawan. 3. Infrastruktur Berupa sarana dan prasarana dasar yang menunjang kegiatan pariwisata, misalnya jalan, bandara, jaringan komunikasi, terminal, lokasi parkir, tempat pembuangan sampah, pelayanan listrik dan air bersih, rambu‐rambu lalu lintas, serta lapangan atau area terbuka milik masyarakat yang dapat digunakan sebagai lokasi kegiatan pariwisata. 4. Pelayanan Berupa fasilitas yang dibutuhkan oleh wisatawan selama melakukan perjalanan wisata, mencakup diantaranya, akomodasi, camping ground, restoran dan rumah makan, pertokoan, serta toko cenderamata. 5. Hospitality Keramahtamahan merupakan kunci penting yang dapat menggabungkan keempat komponen di atas menjadi satu kesatuan kepariwisataan yang utuh. Hal ini juga menjadi faktor penting yang dapat membuat wisatawan menjadi nyaman dalam berwisata dan bukan tidak mungkin akan kembali datang, serta secara tidak langsung turut mempromosikan suatu wilayah kepada kerabatnya. Untuk dapat menghasilkan rencana tindak pengembangan pariwisata yang bersifat terintegrasi, maka proses perencanaan yang bersifat koordinatif, komunikatif, dan sinergis amat penting dilakukan oleh setiap pihak yang terlibat sesuai dengan kapasitas, fungsi, tugas dan tanggung jawab masing‐masing. Oleh karena itu, untuk dapat merumuskan rencana tindak pengembangan pariwisata yang terpadu (integrated) maka dalam proses perencanaannya harus melibatkan berbagai pihak terkait (stakeholder). Dengan kata lain diperlukan koordinasi yang baik antar stakeholder kepariwisataan maupun dengan pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan pengembangan kepariwisataan di kawasan tersebut.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 8
Laporan Akhir
2.2.2 Tahapan Penyusunan Rencana Tindak Pariwisata Secara garis besar penyusunan rencana tindak (action plan) pariwisata terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:
Kesepakatan dan penentuan organisasi pelaksana pekerjaan, serta pembentukan steering committee yang terdiri dari stakeholder atau pihak‐pihak yang memiliki kepentingan, baik pemerintah, swasta/ industri pariwisata, organisasi pariwisata dan praktisi maupun masyarakat di kawasan studi. Steering committee akan memberikan masukan maupun saran terhadap analisis dan langkah‐langkah yang terkait dengan rencana tindak.
Mengidentifikasi pasar wisatawan yang ada sekarang, untuk mendapatkan informasi yang relevan mengenai kondisi pemasaran di wilayah studi. Informasi ini nantinya akan digunakan sebagai data utama dalam penyusunan rencana tindak. Beberapa hal yang perlu dicermati dalam mengidentifikasi pasar wisatawan eksisting, antara lain: -
Alasan kedatangan wisatawan, apakah untuk bisnis, pleasure, pelayanan lokal, mengunjungi kerabat atau teman, atau hanya sekedar melewati kawasan studi.
-
Pelayanan yang biasanya diminati atau dicari oleh wisatawan yang datang.
-
Waktu kunjungan wisatawan; peak season dalam satu tahun, di bulan‐bulan apa saja.
-
Moda transportasi yang biasa digunakan baik ke dan dari kawasan studi maupun di dalam kawasan studi itu sendiri.
-
Lama tinggal wisatawan.
-
Biaya yang mereka keluarkan selama berwisata/ berkunjung ke kawasan studi.
-
Sosio‐demografis wisatawan; umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, kelas pendapatan, serta daerah asal wisatawan.
-
Kecenderungan baru wisatawan yang dapat merubah gaya berwisata (jika ada).
Pengembangan profil pasar pariwisata, untuk mengetahui lebih detail mengenai profil wisatawan yang datang ke kawasan studi, khususnya dari kegiatan‐kegiatan yang dilakukan di kawasan studi. Misalnya untuk jenis wisatawan bisnis, mereka berkunjung untuk urusan pekerjaan, rapat atau temu bisnis; namun disamping itu mereka juga berwisata ke pantai atau berbelanja cenderamata. Dengan mengetahui profil wisatawan dengan lebih detail, maka akan lebih mudah dalam menentukan pasar dan promosi yang tepat serta efektif di kawasan studi.
Menyusun daftar aset pariwisata yang ada di kawasan studi. Aset pariwisata sendiri dapat dikategorikan ke dalam: (1) Atraksi/Daya Tarik Wisata; (2) Promosi; (3) Infrastruktur; (4) Hospitality; dan (5) Pelayanan. Daftar aset ini penting untuk
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 9
Laporan Akhir
mengetahui potensi kepariwisataan yang telah ada ataupun yang dapat dikembangkan di kawasan studi.
Mengenali kepentingan pariwisata, khususnya aspek negatif atau dianggap kurang yang terkait di kawasan studi, mencakup: -
Aset negatif
-
Kekurangan yang ada
-
Ide/rencana/proposal yang belum dikembangkan
Dari ketiga aspek tersebut dapat dijabarkan kembali aspek mana yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kegiatan pariwisata di kawasan studi. Penentuan ini dapat dilakukan dengan diskusi khususnya bersama masyarakat sekitar kawasan yang lebih memahami wilayah studi. Bukan tidak mungkin aspek yang awalnya dinilai negatif atau mengalami kekurangan dapat menjadi aspek unggulan bagi pariwisata di wilayah tersebut.
Menentukan pasar wisatawan yang potensial, setelah sebelumnya mengidentifikasi dan menganalisis mengenai profil wisatawan yang datang ke kawasan studi. Penentuan pasar potensial menjadi salah satu dasar penentuan dalam fokus pengembangan pariwisata di kawasan studi.
Penentuan tujuan dan sasaran pariwisata yang sinergis dengan kebijakan pariwisata di wilayah yang lebih luas (kabupaten atau provinsi) maupun kebijakan/ nilai lokal kemasyarakatan di kawasan studi. Sebaiknya tujuan dan sasaran dibuat sesederhana mungkin agar realistis dan lebih mudah diukur. Sebaiknya tujuan dan sasaran juga dibuat berdasarkan anggaran biaya yang direncanakan serta target waktu pencapaian yang jelas.
Pengembangan langkah atau tahapan program dan kegiatan yang sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Tahapan ini harus dibuat lebih spesifik, sedetail mungkin, dan harus realistis agar lebih mudah dipahami maupun diimplementasilkan.
Mengadakan focus group discussion (FGD), lokakarya atau diskusi dengan melibatkan stakeholder, khususnya masyarakat dan pelaku pariwisata di kawasan studi guna mendapatkan umpan balik terhadap rencana yang telah disusun. Hasil diskusi dan masukan yang diperoleh dari stakeholder nantinya akan digunakan untuk menyempurnakan rencana tindak yang telah disusun.
Penyempurnaan rencana tindak (action plan) setelah mengevaluasi rencana berdasarkan masukan dari FGD/diskusi dengan stakeholder.
Setelah Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan menghasilkan dokumen rencana tindak, beberapa langkah lagi yang perlu dilakukan, yaitu:
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 10
Laporan Akhir
Implementasi dari rencana tindak yang telah disepakati bersama oleh seluruh stakeholder. Pada implementasi ini juga ditentukan badan pengelola atau pelaksana rencana tindak sesuai dengan kesepakatan dari berbagai pihak yang berkepentingan.
Pendapat dari pihak yang berpengalaman di luar stakeholder terhadap implementasi dari rencana tindak yang telah dilakukan. Pihak luar ini dapat berupa (1) konsultan, (2) publikasi di media, (3) organisasi swasta terkait pariwisata. Masukan, kritik dan saran dari pihak luar ini sebetulnya dapat bermanfaat bagi umpan balik implementasi dari rencana tindak, karena secara tidak langsung pihak‐pihak ini telah mengevaluasi rencana tindak yang sedang dilakukan.
Monitoring atau evaluasi dari hasil rencana tindak yang telah dilakukan. Tahapan ini sebaiknya dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat di dalam penyusunan rencana tindak, agar hasilnya lebih objektif. Beberapa garis besar evaluasi, antara lain (1) rencana atau langkah yang telah dilakukan, (2) hasil yang signifikan dari rencana tindak yang telah dilaksanakan, (3) perubahan dari tujuan maupun sasaran yang telah ditentukan di awal penyusunan rencana tindak, (4) usulan revisi rencana tindak (jika diperlukan), (5) komentar personal dengan se‐obyektif mungkin, sesuai dengan kondisi yang ada.
Berikut adalah diagram tahapan penyusunan Rencana Tindak. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 11
Laporan Akhir
Gambar 2.2 Tahapan Penyusunan Rencana Tindak (Action Plan) Rencana Strategis Penyusunan Action Plan
Pembentukan Organisasi Pelaksana & Steering Committe
Identifikasi dan analisis profil Pasar Wisatawan
Identifikasi Aset Pariwisata Kawasan Studi
Pasar Wisatawan Potensial
Potensi Kepariwisataan Wilayah Studi
Review Kebijakan & Peraturan Terkait
Penentuan Tujuan & Sasaran Pariwisata
Penyusunan/ Pengembangan Tahapan Program Focus Group Discussion (FGD)
Dokumen Rencana Tindak
Dengan selesainya tahapan dari rencana tindak bukan berarti pekerjaan di kawasan studi sudah selesai, yang terpenting dalam penyusunan rencana tindak ini adalah bagaimana seluruh stakeholder terkait dapat bekerjasama dengan efektif dalam mempertahankan kondisi setelah rencana dijalankan. Jika tidak, sangat dimungkinkan kondisi di kawasan tersebut akan jauh lebih buruk dari sebelum penyusunan rencana tindak.
2.3
Wisata Kria dan Budaya Priangan
Pariwisata memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan budaya dan kebudayaan suatu daerah. Sesuai dengan sifatnya yang mobile dengan perjalanan menapaki ruang dan
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 12
Laporan Akhir
waktu, kegiatan wisata dapat mengakibatkan terjadinya persentuhan antara wisatawan dengan aspek‐aspek budaya dari daerah yang dikunjunginya. Budaya atau kebudayaan sendiri dapat dipahami sebagai hal yang merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia, termasuk di dalamnya benda‐benda hasil kreativitas/ciptaan manusia. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup, melakukan komunikasi dan upaya untuk beradaptasi dengan lingkungan. Kebudayaan memiliki wujud yang konkrit/tangible (peralatan, arsitektur, pakaian, makanan, hasil teknologi, kegiatan ritual, upacara keagamaan, seni pertunjukan, kerajinan, dan lainnya), dan abstrak/ intangible (sistem keyakinan, pengetahuan, nilai dan norma). Dapat dikatakan bahwa pariwisata budaya merupakan jenis pariwisata yang berdasarkan pada mosaik tempat, tradisi, kesenian, upacara‐upacara, dan pengalaman yang memotret suatu bangsa/suku bangsa dengan masyarakatnya, yang merefleksikan keanekaragaman dan identitas suatu masyarakat atau bangsa. Budaya, kria, dan pariwisata merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Kerajinan lokal sebagai hasil kria merupakan salah satu elemen penting dari budaya, dimana wisatawan pergi untuk melihat dan menyelami budaya, tradisi dan cara hidup yang asing dari apa yang biasa dirasakannya. Produk kria membentuk elemen penting yang menjadi motor penjualan sehingga memberikan tambahan nilai ekonomi dalam skala lokal. Kepariwisataan juga mendukung keberadaan kria dengan mempertahankan keberlanjutan produksi kria dan memperkuat budaya lokal. Contoh produk kria misalnya kerajinan yang terbuat dari kayu, batu, kertas, tekstil dan lainnya. Jalinan yang erat antara budaya, kria, dan pariwisata ini telah diakui sebagai sumber peningkatan ekonomi dan sumber lapangan kerja. Budaya mempunyai peran penting dalam membuat produk wisata menjadi lebih kompetitif dimana aspek‐aspek tangible dan intangible‐nya dapat membuat suatu produk wisata mempunyai keunikan dan diferensiasi tersendiri. Budaya juga menyediakan elemen ‘hidup’ dari suatu produk sehingga menghasilkan pengalaman tersendiri yang kian diminati oleh wisatawan. Hal ini didukung oleh kecenderungan masa kini yang mengalami pergeseran dari wisatawan massal ke wisatawan individual dimana motivasi wisatawan lebih didasari oleh keinginan unuk mengunjungi dan melihat kebudayaan serta kerajinan lokal. Pada akhirnya hal ini akan meningkatkan kualitas kehidupan sosial masyarakat karena meningkatkan rasa bangga terhadap kebudayaan masyarakat lokal. Mengembangkan budaya, kria, dan pariwisata ke dalam suatu kesatuan produk dan pengalaman wisata tidaklah mudah. Hal ini didasari oleh keterbatasan akses wisatawan dalam menikmati dan meresapi kebudayaan lokal yang antara lain disebabkan oleh keterbatasan waktu yang mereka miliki. Diperlukan semacam ‘jembatan budaya’ yang berfungsi dalam mendistribusikan pergerakan dan pertukaran simbol‐simbol budaya, antara kebudayaan lokal dan kebudayaan wisatawan.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 13
Laporan Akhir
KARAKTERISTIK KRIA DAN ASPEK‐ASPEK TERKAIT Kria, umumnya dikenal sebagai kerajinan tangan, memiliki beragam definisi sebagai berikut: -
Kria dapat didefinisikan sebagai proses pembuatan, yang objeknya dihasilkan dengan tangan, dengan menggunakan alat‐alat tertentu dan memerlukan keahlian tertentu (Pye, 1968, the Nature and Art of Workmanship dalam ICCROM, 2001).
-
Karakter kria dapat dikenali melalui tipe produk kerajinan tertentu, yang umumnya merupakan objek‐objek penting dan fungsional.
-
Kria tidak dapat dipisahkan dari media, sehingga karakternya selalu dikaitkan dengan bahan dan teknologi pembuatan/manufaktur.
Dalam konteks produk kria Jepang, atau yang lebih dikenal sebagai “mingei”, kria diartikan sebagai seni yang berbasis komunitas, dari rakyat dan untuk rakyat dengan karakteristik berikut ini (ICCROM, 2001): -
umumnya dikerjakan oleh pengrajin yang anonim,
-
merupakan pekerjaan tangan,
-
diproduksi dengan jumlah besar,
-
relatif tidak mahal,
-
digunakan secara massal,
-
fungsional, untuk kehidupan sehari‐hari,
-
representasi daerah, tempat kria tersebut diproduksi.
Merujuk pada definisi‐definisi tersebut, kria bukan hanya berupa kerajinan tangan maupun proses pembuatannya tetapi lebih dari itu, kria berakar pada latar belakang suatu komunitas, misalnya struktur masyarakat, nilai‐nilai sosial budaya, dan sejarah. Lebih lanjut, kria dapat dirinci sebagai suatu proses (keahlian dan pengetahuan, proses pembelajaran, proses ekonomi, dan proses kreatif), memiliki dimensi yang signifikan (dimensi sosial, religius, dan budaya) serta memiliki keterkaitan dengan ruang dan lingkungan secara dinamis, seperti dijelaskan pada Gambar 2.3 berikut.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 14
Laporan Akhir
Gambar 2.3 Karakteristik Kria: Proses, Dimensi, dan Konteks a. Kria sebagai Keahlian dan Pengetahuan Kria membutuhkan kemampuan tingkat tinggi dalam mengkoordinasikan gerakan tangan (karena sebagian besar pembuatannya dilakukan secara manual), yang terkait dengan pengendalian motorik seseorang. Seorang pengrajin umumnya memiliki intelejensi kinetik tinggi yang dimanifestasikan dalam keahlian (skill) mengolah kria. Kria juga merupakan suatu pengetahuan (tacit knowledge) yang tidak saja bersifat personal, tetapi juga yang diturunkan atau diwarisi melalui institusi dan komunitas. Karakter ini menunjukkan kompleksitas kria, terkait pada lingkungan yang lebih luas, yaitu komunitas. Melestarikan dan mengembangkan kria, dalam kasus Kria Budaya Priangan di KWU ini, tidak dapat didekati secara personal atau perorangan saja, tetapi lebih condong pada komunitas pengrajin dalam suatu institusi lokal. b. Kria sebagai Proses Pembelajaran Menguasai proses pembuatan kria membutuhkan waktu yang panjang, mungkin bertahun‐tahun. Keahlian umumnya diwarisi secara tradisional dan pembelajarannya dimulai sejak masa kanak‐kanak atau remaja. Hal ini menunjukkan bahwa menguasai pembuatan kria lebih bermakna pada keberlangsungan suatu tradisi, yang kemudian dapat mendorong kreativitas individu. Menarik untuk dicermati, pembelajaran ‘keahlian kria’ disampaikan dengan ‘melakukan’ atau mendemonstrasikan suatu proses, bukan dengan penjelasan verbal atau kata‐kata. Pewarisan keahlian kria terkait dengan hubungan dekat secara personal, misalnya dari orang tua ke anak, atau dari seseorang yang sudah ahli kepada seseorang yang belum ahli.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 15
Laporan Akhir
Aspek lain dari proses pembelajaran, di beberapa tempat, pembuatan kria terkait dengan jender. Pada kasus tertentu, ibu‐ibu yang memproduksi kria untuk konsumsi rumah tangga, melakukan pembuatan kria secara informal di rumah mereka. Proses pembuatan tersebut diamati dan kemudian diikuti atau diimitasi oleh anggota keluarga (perempuan) lainnya. Kasus lain, proses pembelajaran kria juga dapat dilakukan secara formal, di luar rumah, misalnya bapak‐bapak yang memproduksi kria sebagai benda komersial. c. Kria sebagai Proses Ekonomi Kria yang dapat memberikan manfaat ekonomi secara signifikan sangat bervariasi, tergantung pada budaya dan tipe kria yang dihasilkan. Walau demikian, menurut Persatuan Bangsa Bangsa, lebih dari 90% perempuan di negara berkembang menggantungkan hidupnya pada kegiatan [profesi] kerajinan sepanjang tahun (www.craftscenter.org). Di tahun 1980an, negara‐negara Dunia Ketiga mengekspor kria ke pusat‐pusat industri dengan nilai lebih dari 1 milyar USD (ICCROM, 2001). Terkait dengan proses ekonomi, kegiatan kria di beberapa tempat, khususnya komunitas perdesaan, dilakukan secara musiman sebagai bagian dari ritual budaya. Objek yang dihasilkan seringkali dikonsumsi secara perorangan, keluarga atau dalam lingkup komunitas dan etnik tertentu. Bahan diperoleh dengan membeli atau membuat sendiri. Dalam kasus lainnya, pembuatan kria adalah kegiatan atau profesi purnawaktu (full‐time) dengan tujuan komersial. Benda yang dihasilkan dapat berkontribusi untuk kebutuhan komunitas lokal atau diperjualbelikan di area yang lebih luas. Kria sebagai proses ekonomi di KWU ini dijelaskan melalui salah satu jenis kerajinan khas Kota Tasik yaitu bordir. Rohayati Bordir merupakan perusahaan keluarga di Kecamatan Kawalu, Tasikmalaya. Produk kria bordir yang yang dihasilkan antara lain berupa taplak meja, bantal kursi, tas, mukena, dan sajadah. Produk ini dipasarkan di wilayah Jawa Barat dan wilayah lain di Indonesia, serta telah diekspor ke Malaysia dan Singapura (Hasil wawancara, 2007). d. Kria sebagai Proses Kreatif Kria adalah kegiatan kreasi, membuat sesuatu, suatu aspek yang berkontribusi pada signifikansi religius dalam beragam budaya. Produk kria merupakan tangible heritage, yang terkait dengan nilai intangible. Konsep kreativitas seringkali diasosiasikan dengan orisinalitas dan kontribusi individu yang beragam bergantung pada tempat dan waktu. Kria sebagai proses kreatif menghadapi dua hal yang dianggap bertentantangan, yaitu orisinalitas individu yang dimulai dari pembuatan konsep, desain, dan pelaksanaan serta karya kria yang anonim dan dikerjakan secara berkelompok. e. Dimensi Sosial Kria Pembuatan kria dapat memiliki peran signifikan secara sosial. Bila kegiatan tersebut bersifat musiman, seluruh komunitas [desa] umumnya terlibat. Mereka bekerja sama Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 16
Laporan Akhir
dengan pembagian tugas menurut umur, jender, dan keahlian. Etnik, klan, atau keluarga tertentu, dapat diasosiasikan dengan keahlian kria yang spesifik. Meski keahlian ini diturunkan dari generasi ke generasi, namun perubahan dapat terjadi seiring dengan kemampuan pekerja/pengrajin dan perubahan cara pikir. Di lingkungan perkotaan, organisasi atau ‘gilda’ umumnya bekerja secara berkelompok untuk menjamin standar produk, mengendalikan proses dan melindungi hak‐hak pengrajin. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasik sejak tahun 1990an memberikan bantuan dana Jaringan Pengaman Sosial untuk mengembangkan mutu kualitas produk kerajinan Kota Tasik, khususnya bagi kelompok pengrajin yang tergabung dalam ”Rumah Tasik” (Hasil wawancara, 2007). f. Dimensi Religius Kria Pembuatan kria, dari sisi pembuat maupun masyarakat luas, dapat berdimensi religius. Sebagai kegiatan kreasi atau menghasilkan sesuatu, kria dapat dipersepsikan sebagai pekerjaan sakral. Membuat pedang (keris, kujang, dsb.) bagi komunitas tertentu adalah kegiatan suci. Kesakralan umumnya ditunjukkan melalui ritual pensucian alat‐alat dan aktor pembuat kria. Pekerjaan atau kegiatan ini umumnya terintegrasi dengan tugas sosial/religius yang mengikutsertakan seluruh komunitas dalam upacara atau ritual keagamaan. g. Dimensi Budaya Kria Merujuk pada penjelasan‐penjelasan sebelumnya, kria memiliki peran penting dalam membentuk identitas dan budaya beragam kelompok, baik secara etnik/suku, nasional, dan regional (antar negara). Dimensi budaya dalam pembuatan kria antara lain: - Kria terkait dengan cara manusia hidup, yang berasosiasi pada produk yang dibutuhkan dengan bahan yang tersedia. Misalnya, komunitas pegunungan, petani, dan nelayan memiliki kria yang secara spesifik berbeda. -
Produk kria umumnya sangat spesifik, bersifat lokal, terkait dengan tempat diproduksi. Sebagian hal ini mungkin terjadi karena ketersediaan bahan dan kebutuhan khusus, tetapi juga karena produk tersebut ditujukan untuk mengekspresikan identitas tertentu. Hal ini umumnya ditunjukkan melalui produk fashion, seperti ragam hias bordir Tasikmalaya. Kawalu dikenal sebagai daerah pengrajin bordir yang memiliki corak ragam hias khas Tasikmalaya. Penelitian yang dilakukan oleh Hendar Suhendar, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB menjelaskan bahwa kehidupan budaya agraris berpengaruh pada ide dasar rancangan ragam hias bordir Kawalu. Hal ini, secara langsung ditunjukkan melalui corak tumbuhan daun pecah beling, kembang wera, bunga melati, kembang cengkih, bunga mawar, bunga matahari, daun vanili, kupu‐kupu, dan keong (Kajian Estetik Ragam Hias Bordir Kawalu Tasikmalaya Jawa Barat Tahun 1990‐2005, Thesis Magister FSRD ITB, 2006). Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 17
Laporan Akhir
h. Keterkaitan Kria dengan Ruang dan Lingkungan Kria melibatkan para pengrajin dan proses pembuatannya dalam hubungan yang erat dengan ruang yang berupa lingkungan alam maupun binaan. Kria yang berbasis perdesaan, umumnya menggunakan bahan lokal, seperti tumbuhan, tanah liat, kayu, dan bahan alam lainnya, serta produk hewani seperti wool, tulang, dan kulit. Hal ini menunjukkan bahwa pengrajin sangat familiar dengan bahan sehingga produk kria yang dihasilkan dapat diperbaiki dengan mudah oleh dan dengan sumber daya lokal. Produksi kria dalam hal ini, bergantung pada musim panen (bahan yang digunakan) dan mungkin terkait dengan manajemen lahan secara tradisional, yang menciptakan ‘cultural landscape’. Produk kria umumnya digunakan dalam lingkungan khusus dengan keunikan lokal. Pembuatan kria di di beberapa tempat, umumnya di perkotaan dicerminkan dalam struktur lingkungan binaan dan organisasi ruang, baik dalam bangunan (misalnya galeri) dan permukiman sebagai keseluruhan. Organisasi ruang ini berasosiasi dengan hubungan sosial penduduk. Struktur kota yang membagi ruang tempat bekerja dan hunian terkait dengan kelompok kerja (gilda) kria. Umumnya, pusat kota mewadahi tempat pertukaran uang dan penyimpanan barang, sedangkan para pengrajin tinggal berkelompok di daerah sekitarnya. Struktur seperti ini memungkinkan terjadinya aktivitas yang overlapping dan integrasi berbagai fungsi. Kasus di KWU ini menunjukkan adanya keterkaitan kria dengan ruang dan lingkungan. Rumah Tasik merupakan sebuah showroom milik Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasik yang menampung aneka kerajinan khas Kota Tasik, seperti bordir, anyaman, batik, dll. Tempat usaha berupa toko/butik yang berlokasi di pusat kota umumnya merupakan tempat display atau showroom sedangkan proses pembuatan bordir dilakukan di tempat tinggal pengrajin di pelosok kampung wilayah Tasikmalaya, diantaranya Kecamatan Cibalong (Hasil wawancara, 2007). A. WISATA KRIA Produk kria perlu memperhatikan kebutuhan dan keinginan wisatawan. Pemahaman terhadap pasar wisatawan yang mencakup asal, karakteristik dan preferensi berwisata menjadi hal yang penting, sehingga suatu produk kria dapat selain mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat juga memberikan esensi dari wisata itu sendiri, yaitu kenangan atau pengalaman yang tak terlupakan bagi wisatawan (memorable experience). Pengembangan wisata kria tak akan berhasil tanpa pemasaran yang merupakan sistem integratif untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam menyediakan suatu produk tertentu (baik barang maupun jasa) pada saat yang tepat, tempat/ lokasi yang cocok, dan harga yang sesuai. Marketing mix (Product, Price, Promotion, Place, dan People) yang tersusun dengan baik merupakan prasyarat bagi kesuksesan penjualan suatu produk wisata, dalam hal ini adalah produk kria.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 18
Laporan Akhir
Pengembangan wisata kria tak lepas dari dukungan masyarakat sebagai pelaku/ produsen produk kria. Pendekatan community tourism development merupakan hal yang esensial karena masyarakat merupakan pihak yang paling terkena dampak maupun perubahan dari suatu kegiatan wisata, sehingga mereka berhak menentukan, merencanakan dan terlibat langsung dalam pengembangan dan pengelolaan wisata. Kekhawatiran dari adanya pengembangan produk kria yang ditujukan bagi pariwisata adalah adanya produksi barang kria secara massal yang mengurangi kualitas keaslian atau keotentikan dari sebuah produk budaya tradisional. Istilah keotentikan atau authenticity bisa diartikan sebagai suatu kualitas yang dapat menggambarkan suatu benda, budaya, atau lingkungan yang sebenar‐benarnya. Untuk menunjang produk kria secara otentik sebagai basis bagi pengembangan pariwisata berkelanjutan, perlu diperhatikan beberapa aspek berikut ini:
Adanya identifikasi dan penilaian terhadap pengembangan kemampuan dalam pembuatan produk kria tradisional, Hal ini didasari oleh kurangnya sumber daya manusia/generasi penerus, persaingan bebas dengan produk kria berteknik modern, serta persaingan horizontal dengan aktivitas ekonomi lain yang memberikan lahan penghidupan yang lebih baik. Penerapan skema transfer kemampuan selain dapat memberikan bekal ketrampilan berupa sistem produksi bagi masyarakat lokal, juga dapat menarik wisatawan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kria‐dinamakan dengan ‘atelier tourism’ atau ‘workshop tourism’. Skema ini mempunyai banyak keuntungan, antara lain merupakan sumber pemasukan langsung bagi masyarakat; menjembatani keinginan masyarakat untuk dapat merasakan kebudayaan lokal dari tangan pertama; menekankan pentingnya nilai produk kria bagi masyarakat lokal sehingga menghasilkan multiplier effect dengan munculnya kegiatan usaha lain yang menunjang wisata kria, yaitu tumbuhnya restoran, akomodasi dan lainnya sehingga dapat memperpanjang lama tinggal wisatawan.
Pengembangan program yang meningkatkan kemampuan pemasaran masyarakat lokal (marketing skill).
Pengembangan sistem distribusi yang berkelanjutan (sustainable distribution system) dengan memperhatikan harga barang, kontrak dan negosiasi dengan pihak lain, serta mengamankan jalur distribusi dan pemasaran. B. WISATA BUDAYA Abad industrialisasi dan modernisasi telah menggiring simbol‐simbol budaya ke dalam bentuk kegiatan ekonomi yang terbahasakan dalam produk wisata yang kian hari makin banyak diminati oleh wisatawan, dimana dalam prosesnya merupakan aktivitas pertukaran informasi dan simbol‐simbol budaya antara wisatawan sebagai tamu dengan masyarakat sebagai tuan rumah. Hal ini selaras dengan pemahaman pariwisata yang cenderung untuk dikaitkan dengan kebutuhan manusia atas suatu kemajuan yang menuntut adanya unsur perubahan secara terus menerus. Pada abad globalisasi ini, pariwisata budaya sebagai sebuah sistem tak dapat dipisahkan dari sebuah industri. Namun patut digarisbawahi bahwa aspek budaya janganlah Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 19
Laporan Akhir
terjerumus pada pengertian komoditi (culture as a commodity), dimana fabrikasi dan masalisasi kerap kali merupakan jawaban atas penalaran pendek supply dan demand. Merupakan tantangan dalam mengembangkan suatu pariwisata budaya yang berkelanjutan dengan tetap melestarikan warisan budaya masa lalu akan tetapi juga mampu mengakomodir kebutuhan masa kini. Menempatkan pariwisata budaya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan menghasilkan dampak pada peningkatan lapangan kerja dan tingkat perekonomian masyarakat, selain juga mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan peningkatan nilai harga diri, serta menghasilkan dana bagi konservasi lingkungan alam dan binaan. Pariwisata budaya sebagai suatu kegiatan industri hendaknya mencakup pemahaman yang menggabungkan unsur perencanaan dan pengelolaan secara terpadu. Hal ini mencakup aspek‐aspek supply dan demand seperti daya tarik budaya sebagai supply dan pasar pariwisata budaya sebagai demand. Kedua aspek ini dicermati dengan melihat potensi, karakteristik dan daya dukungnya. Misalnya pasar pariwisata budaya yang memperhitungkan keragaman pangsa pasar dengan karakteristik yang variatif, dilihat dari status sosial, tingkat perekonomian, ataupun gaya hidup seseorang. Daya dukung lingkungan alam, sosial dan budaya masyarakat khususnya masyarakat lokal terhadap dampak negatif pariwisata pun sangat diperlukan. Pendekatan pengelolaan pariwisata antara lain pada pembangunan fasilitas pendukung wisata, tingkat kunjungan wisatawan dan kegiatan wisatawan di sebuah destinasi wisata misalnya, harus memperhatikan carrying capacity yang mampu diterima oleh lingkungan alam, sosial dan budaya masyarakatnya. Dalam UU No.9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, Pasal 19 disebutkan bahwa pengusahaan objek dan daya tarik wisata budaya merupakan usaha pemanfaatan seni bangsa untuk dijadikan sasaran wisata. Produk wisata ini merupakan daya tarik unik yang menyebabkan wisatawan bersedia untuk mengeluarkan biaya sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah. Dengan kemasan yang unik, wisatawan dapat memperoleh pengalaman kebudayaan dengan cara melihat sesuatu secara berbeda yang memperkaya kebutuhan spiritualnya. Wisata budaya dapat dibedakan menjadi: -
wisata budaya peninggalan sejarah ; mencakup berbagai bentuk peninggalan sejarah dan budaya, yang dapat berupa museum, artefak, struktur kota kuno/ unik, situs arkeologis dan lain‐lain. Bentuk kegiatan wisata yang dapat dikembangkan antara lain wisata arsitektural, wisata jalur arkeologis, wisata ziarah.
-
wisata budaya kehidupan masyarakat (living culture); mencakup gaya hidup (life style), pedesaan dan esoterik. Wisata etnik yang berupa kegiatan gaya hidup memberi pengetahuan kepada wisatawan untuk melakukan kegiatan‐kegiatan keseharian yang biasa dilakukan masyarakat setempat.
-
wisata etnik esoterik merupakan jenis wisata yang melakukan kegiatan spiritual mediatif yang bersumber pada kebudayaan/agama setempat.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 20
Laporan Akhir
Menurut Suranti (1995:29) hal inilah yang membedakannya dengan pariwisata budaya, dimana wisata budaya hanya mencakup perjalanan dan aktivitas belaka, sedang pariwisata budaya mencakup juga aktivitas atau upaya yang dilakukan pihak terkait dalam menjaga keberlangsungan daya tarik budaya sebagai sumber daya yang bersifat unik, terbatas dan tidak terbarukan. Pertimbangan pengembangan fasilitas untuk mendukung pengembangan objek dan daya tarik wisata peninggalan sejarah antara lain adalah: -
mengembangkan fungsi‐fungsi tertentu untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan, seperti museum, area penelitian dan pendidikan, area rekreasi pendukung, pusat informasi pariwisata, rumah makan, dan lain‐lain serta area pengelola.
-
denah kunjungan wisatawan; yang menginformasikan mengenai akses, pintu keluar dan jalur wisatawan di dalam area, signage, brosur maupun informasi‐informasi lain.
Pengelolaan pariwisata budaya selayaknya menonjolkan kehadiran interpretasi sebagai suatu proses komunikasi yang didesain untuk mengungkapkan arti, makna dan hubungan antara budaya dan tradisi yang hidup di suatu masyarakat secara interaktif terhadap wisatawan. Dengan demikian, wisatawan dapat memaknai dan menyelami kehidupan yang dirasakan “asing” baginya sehingga perannya beranjak dari sekedar pengamat yang bersifat “pasif” menjadi “aktif “ yang berpartisipasi secara fisik dalam kegiatan tersebut. Tak dapat dipungkiri pula keterlibatan unsur pemasaran sebagai ujung tombak pengelolaan pariwisata budaya. Upaya untuk membangun dan mengembangkan suatu daya tarik wisata budaya dengan image atau citra tersendiri membutuhkan strategi pemasaran yang membedakan keunggulan suatu produk satu dengan lainnya. Pengelolaan pariwisata budaya dapat berhasil jika proses pemantauan dan evaluasi dilaksanakan oleh stakeholder dengan cara partisipatif yang melibatkan seluruh pihak. Pemantauan dilakukan secara berkala pada setiap tingkatan implementasi, serta menggunakan alat ukur atau indikator pengelolaan pariwisata budaya yang bertujuan menjaga kelestarian lingkungan, sosial dan budaya maupun peningkatan ekonomi masyarakat. Intinya, prinsip‐prinsip yang menjadi dasar pengelolaan pariwisata budaya harus berbasis pada masyarakat dengan melibatkan mereka pada seluruh kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pariwisata budaya. Hal ini berarti membutuhkan kesadaran dan apresiasi mereka terhadap perlindungan aspek‐aspek budaya. Pada akhirnya pariwisata budaya merupakan sesuatu yang unik karena kegiatan wisata tidak hanya berupa kumpulan kegiatan komersial, akan tetapi berperan dalam membentuk ideologi sejarah dan tradisi, yang pada akhirnya memiliki kekuatan untuk membentuk kembali budaya masyarakatnya sendiri.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 21
Laporan Akhir
2.4
Wisata Gunung Api
Secara umum, gunung api (atau volcano dalam bahasa Inggris) didefinisikan sebagai suatu tempat di permukaan bumi dimana magma keluar. Dengan demikian sebenarnya, terminologi gunung api tidak terbatas pada bentuk seperti pengertian umum yang menganggap gunung api harus selalu berupa gunung berbentuk kerucut. Dengan pengertian ini, segala bentuk morfologi dimana magma keluar disebut sebagai gunung api, seperti misalnya satu celah di suatu dataran, atau bahkan di dasar laut. Di Indonesia yang berada pada lingkungan tektonik penunjaman kerak samudra di bawah kerak benua, umumnya menghasilkan jajaran gunung api yang bersifat strato, atau gunung api dengan produk endapannya yang berlapis‐lapis. Umumnya adalah lapisan endapan piroklastik, yaitu produk letusan berbagai ukuran fragmen (dari abu halus hingga bongkah‐bongkah besar) dan lava, yaitu aliran magma yang meleleh keluar kepundan. Tipe gunung api strato umumnya memberikan bentuk kerucut. Dengan cara terbentuknya yang sangat luar biasa karena melibatkan gaya‐gaya dari bawah permukaan Bumi dan mengeluarkan cairan batuan pijar magma yang mengalir sebagai lava, aktivitas semburan gas atau uap air, serta aktivitas volkanisme lainnya, kawasan gunung api menjadi daya tarik yang luar biasa. Untuk tujuan wisata gunung api, ditinjau dari sisi wisatawan sebagai subjek, sedikitnya akan dibedakan atas dua kegiatan, yaitu yang bersifat pasif dan yang bersifat aktif. 1. Wisata gunung api pasif Kegiatan wisata gunung api pasif adalah wisata yang sebenarnya telah dikategorikan sebagai wisata alam biasa. Dalam kategori ini, wisatawan hanya menyaksikan panorama, bentang alam atau sekedar mengamati aktivitas volkanisme. Wiasatawan jenis ini biasanya wisatawan umum yang datang ke suatu kawah gunung api kemudian melihat pemandangan dan berfoto‐foto. Kegiatan seperti ini bahkan bisa berjalan tanpa ada faktor pendukung lainnya, seperti ketersediaan pemandu. Pada tahap yang paling minimal, dengan pamflet pun wisata pasif ini dapat berjalan dengan sendirinya. Untuk jenis ini, aksesibilitas, prasarana dan sarana penunjang merupakan kebutuhan yang umumnya akan menjadi kewajiban pengelola wisata gunung api. Misalnya jalan ke kawah dengan moda transportasinya, tempat parkir yang tidak jauh dari kawah, serta sarana penunjang pariwisata pada umumnya. 2. Wisata gunung api aktif Berbeda dengan wisata gunung api pasif, wisata gunung api aktif memerlukan berbagai program yang terrencana dengan baik, karena dalam kategori ini, wisatawan bersifat aktif menjelajah dan berusaha untuk sebanyak mungkin mendapatkan informasi tentang objek gunung api yang dikunjunginya. Dengan demikian, jenis wisata gunung api aktif ini tidak hanya memerlukan sekedar pamflet, tetapi juga buku panduan yang menjelaskan selain objek yang akan dilihat, juga pengetahuan Geologi dan Vulkanologi dari objek tersebut, termasuk misalnya jenis‐jenis batuan, jenis‐jenis aktivitas kawah, sejarah letusan, dan lain sebagainya. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 22
Laporan Akhir
Jenis wisata gunung api aktif secara ekstrim bahkan tidak memerlukan fasilitas yang lengkap seperti pada jenis wisata gunung api pasif. Wisatawan memang bertujuan untuk menjelajah sudut‐sudut dan seluk beluk gunung api yang dikunjunginya. Untuk itulah diperlukan pemandu yang berbakat yang selain mengenal medan dan jalur trekking‐nya, juga dilengkapi dengan latar belakang pengetahuan tentang ilmu Geologi dan Vulkanologi secara umum. Dengan demikian, wisata gunung api aktif perlu terprogram dengan baik, baik dari segi waktu (kapan jam terbaik mendaki gunung), segi jalur (terbagi atas jalur‐jalur dengan tingkat kesulitan tertentu), pemandu yang handal, buku‐buku saku yang akan menjadi dasar pengetahuan kegunungapian, peralatan standar tertentu tergantung jalur pilihan, pemahaman akan aktivitas gunung api, serta juga informasi pendukung lainnya, seperti misalnya adat budaya masyarakat yang mendiami gunung api (kemungkinan pantangan, upacara tertentu, dan sebagainya).
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
II ‐ 23
Laporan Akhir
BAB 3
POTENSI DAN PERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN DI KWU KRIA DAN BUDAYA PRIANGAN Bab ini menguraikan secara ringkas potensi, permasalahan, dan isu‐isu strategis pengembangan kepariwisataan di salah satu Kawasan Wisata Unggulan (KWU) yang menjadi lingkup studi, yaitu Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan. Uraian tersebut mencakup potensi dan permasalahan objek dan daya tarik wisata terkait, fasilitas pendukung khususnya yang mendukung tema kawasan, pasar wisatawan, SDM, serta kelembagaan pendukung termasuk analisis tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) kelembagaan terkait. Dalam bab ini juga akan memuat review ringkas mengenai keterkaitan kawasan studi dengan KWU lainnya dalam RIPPDA Jawa Barat, positioning kawasan dalam konteks KWU Jawa Barat terhadap sektor maupun rencana dan kebijakan lainnya, serta pokok permasalahan dan isu strategis di kawasan studi yang akan digunakan sebagai acuan dalam menentukan arahan pengembangan kepariwisataan pada bab selanjutnya.
3.1 Objek dan Daya Tarik Wisata Objek dan daya tarik wisata yang terdapat di Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan meliputi daya tarik wisata yang terdapat di Kabupaten Garut bagian utara, Kota Tasikmalaya, sebagian Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis bagian utara serta Kota Banjar. Daya tarik wisata unggulan di kawasan ini mencakup potensi sumber daya alam dan seni budaya tradisional Priangan. Untuk lebih jelasnya, lokasi kawasan wisata kria dan budaya Priangan dan sebaran daya tarik wisata di kawasan tersebut dapat dilihat pada 2 (dua) gambar di halaman berikut ini. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 1
Laporan Akhir
Gambar 3.1 Peta Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 2
Laporan Akhir
Gambar 3.2 Peta Sebaran Daya Tarik Wisata di Kawasan Kria dan Budaya Priangan
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐
3
Laporan Akhir
Budaya Priangan yang masih banyak terlihat di masyarakat, khususnya keterampilan kria dan cenderamata, serta perilaku dalam kehidupan keseharian merupakan butir penting yang kemudian diangkat sebagai tema kawasan ini. Kerajinan anyaman Rajapolah, tikar mendong, payung dan kelom geulis maupun bordir Tasik telah terkenal tidak hanya di Jawa Barat, tapi juga di tingkat nasional dan bahkan internasional. Demikian juga dengan berbagai cenderamata makanan khas seperti dodol Garut. Budaya Priangan juga terlihat jelas pada beberapa kampung tradisional yang ada di kawasan ini, seperti Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya dan Kampung Pulo di Leles, Garut. Mata pencaharian sebagian besar penduduk kawasan ini bergantung pada kegiatan pertanian. Kondisi ini tidak terlepas dari kesuburan tanah akibat keberadaan beberapa gunung api yang ada di kawasan ini, seperti Gunung Galunggung dan Gunung Papandayan. Sebagian dari potensi yang dimiliki oleh kawasan wisata kria dan budaya Priangan ini telah dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata. Kondisi infrastruktur maupun fasilitas pendukung kepariwisataan di kawasan Priangan ini juga cukup baik, walaupun belum merata disemua lokasi. Pasar wisatawan di kawasan ini pada umumnya adalah wisatawan nusantara lokal maupun regional dengan kecenderungan berupa wisatawan minat khusus. Wisatawan minat khusus kebanyakan tertarik dengan budaya tradisional maupun alam atau gunung api yang ada di kawasan ini. Potensi dan permasalahan yang terdapat pada daya tarik wisata di kawasan wisata kria dan budaya Priangan secara terinci akan dirangkum dalam penjelasan berikut.
3.1.1 Wilayah Garut Awalnya, pada tahun 1811 Garut termasuk ke dalam bagian dari wilayah Karesidenan Balubur Limbangan yang saat itu terdiri dari 6 sub‐distrik, yaitu Balubur, Malangbong, Wanaraja, Wanakerta, Cibeureum, dan Papandak. Pada tahun 1813, oleh Thomas S. Raffles Keresidenan ini kemudian dipindahkan ke wilayah Garut dan menjadi Keresidenan Garut. RAA. Adiwijaya atau yang lebih dikenal dengan julukan Dalem Cipeujeuh kemudian menjadi bupati pertama dari wilayah ini, dari tahun 1813 hingga tahun 1821. Setelah kemerdekaan nama Keresidenan Garut berubah menjadi Kabupaten Garut yang termasuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Barat. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, Kabupaten Garut kemudian menjadi wilayah administratif dengan pemerintahan tersendiri. Secara administratif Wilayah Kabupaten Garut terdiri dari 42 Kecamatan, 403 Desa dan 21 Kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten ini berada di Kecamatan Garut. Luas kecamatan terbesar adalah Kecamatan Cikelet dengan luas wilayah 301,27 km² dan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Tarogong Kidul dengan luas wilayah 12,59 km². Kabupaten Garut terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Barat atau sekitar 63 km ke arah tenggara Kota Bandung. Secara geografis lokasinya terletak pada 6°57′34″ – 7°44′57″ LS dan 107°24′34″ – 108°7′34″ BT. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah sekitar 306.688 Ha atau kurang lebih 6,94 % dari keseluruhan wilayah Provinsi Jawa Barat. Adapun batasan wilayah Kabupaten Garut yaitu: ‐
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 4
Laporan Akhir
‐
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.
‐
Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
‐
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya.
Wilayah Kabupaten Garut merupakan daerah dataran tinggi yang dikelilingi sejumlah pegunungan yang sebagian adalah gunung vulkanis. Iklim tropis berhawa sejuk yang berkisar pada suhu 24°C (76°F) dengan curah hujan dan hari hujan yang tinggi di wilayah ini, serta banyaknya sungai membuat kondisi tanah Kabupaten Garut menjadi subur. Hal ini membuat daerah Garut menjadi kawasan pertanian yang subur dan dikenal sebagai pusat penghasil sayur‐mayur, jeruk, teh, serta tembakau. Gambaran Pariwisata Kabupaten Garut bagian Utara Objek dan daya tarik wisata Garut bagian utara relatif lebih berkembang dibandingkan dengan Garut selatan, hal ini dikarenakan akses yang lebih baik. Pada umumnya di wilayah ini daya tariknya berbasis kekayaan alam seperti air panas Cipanas, Situ Bagendit, Situ Cangkuang, Curug Citiis, Gunung Guntur, Gunung Haruman, Gunung Papandayan dan Kawah Telaga Bodas. Selain itu terdapat pula potensi objek dan daya tarik wisata ziarah yang cukup dikenal oleh wisatawan tertentu. Konsep pengembangan pariwisata di wilayah Garut utara ini dititikberatkan kepada pengembangan wisata alam dan budaya. Wisata budaya pada umumnya telah memiliki mekanisme pasar tersendiri yang lebih kepada wisata ziarah. Adapun objek wisata di Kabupaten Garut yang termasuk dalam wilayah studi Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan adalah sebagai berikut. Tabel 3.1 Sebaran Objek Wisata dan Jumlah Wisatawan Kabupaten Garut yang Termasuk Dalam Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan Objek Wisata
Kecamatan
Jenis Wisata
Daya Tarik
Jumlah Wisman 1.159
Wisnus 24.423
Candi Cangkuang Kampung Pulo
Leles
Alam, Budaya
Candi, situ, danau
Leles
Alam, Budaya
Kampung adat
t.a.d
t.a.d
Situ Bagendit
Banyuresmi
Alam
Situ, taman rekreasi
43
75.053
Curug Citiis
Tarogong Kaler Alam
Curug, air terjun
23
15.875
Gunung Guntur Taman Rekreasi Cipanas Talaga Bodas
Tarogong Kaler Tarogong Kidul Wanaraja
Alam Buatan Alam
Panorama Alam Taman rekreasi, kolam air panas, jogging Telaga, danau
t.a.d 115
t.a.d 370.332
7
24.543
Kampung Dukuh Paraglaiding Gn.Haruman
Cikelet
Alam,Budaya
Kampung Adat
4
25.792
Kadungora
Alam, Olahraga
Paraglaiding
t.a .d
t.a. d
1.385
37.191
Kawah Cisurupan Alam Kawah Papandayan Keterangan: t.a.d = tidak ada data Sumber : www.garut.go.id (data: sampai dengan Juni 2007) Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 5
Laporan Akhir
Daya Tarik Wisata Kabupaten Garut
WISATA KRIA a. Industri Kulit Kerajinan kulit termasuk salah satu kerajinan tertua di wilayah Garut. Industri ini berpusat di kawasan Sukaregang. Produk yang dihasilkan dari industri ini antara lain jaket, dompet, ikat pinggang, topi, aneka tas dan sandal khas yang dikenal dengan nama Tarumpah. Di dalam industri kulit Garut, popularitas produk jaket kulit lebih menonjol dibandingkan dengan komoditas kerajinan kulit lainnya. Salah satu penyebabnya adalah pengrajin untuk jaket kulit yang dapat memenuhi permintaan lebih sedikit dibandingkan dengan pengrajin sepatu, ikat pinggang, sarung tangan, dompet dan kerajinan dari kulit lainnya, sehingga kesan eksklusif pada jaket kulit masih dapat dirasakan oleh konsumen. Meskipun demikian, semangat untuk terus meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi masih terus ditingkatkan, sejalan dengan peningkatan daya beli dan selera masyarakat. Jumlah kapasitas produksi kerajinan kulit rata‐rata pertahun di Kabupaten Garut adalah sarung tangan sebanyak 168.000 pasang, dompet sebanyak 31.500 buah, serta sepatu dan sandal sebanyak 135.000 pasang. Tabel berikut ini menunjukkan potensi usaha kerajinan kulit di Kabupaten Garut pada tahun 2006: Tabel 3.2 Potensi Usaha Kerajinan Kulit Kabupaten Garut Jumlah Nilai Nilai Jumlah Unit Usaha Investasi Produksi/Tahun Tenaga Kerja 45,96 milyar 1.662 orang 1,928 429 unit, Rupiah milyar yang tersebar di 8 Rupiah kecamatan
Produk yang Dihasilkan Tas, sepatu/sandal, dompet, topi, ikat pinggang, sarung tangan, dan barang kerajinan kulit lainnya.
Daerah Pemasaran Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Batam, Kalimantan.
Sumber: www.garut.go.id, 2007
b. Batik Tulis Garutan Kegiatan dan usaha pembatikan di Garut merupakan warisan nenek moyang yang berlangsung turun temurun dan telah berkembang sejak masa kolonialisme. Pada tahun 1945, Batik Garut semakin populer dengan sebutan Batik Tulis Garutan dan mengalami masa jaya antara tahun 1967 sampai dengan tahun 1985 dengan jumlah industri sebanyak 126 unit usaha pada masa itu. Dalam perkembangan berikutnya produksi Batik Garutan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan oleh semakin pesatnya batik printing atau batik cap, kurangnya minat generasi penerus pada usaha batik tulis, ketidaktersediaan bahan dan modal, serta lemahnya strategi kebutuhan sandang dan lainnya. Batik Garutan umumnya digunakan untuk kain sinjang, namun dapat berfungsi pula untuk memenuhi kebutuhan sandang dan lainnya. Bentuk motif Batik Garutan merupakan cerminan dari kehidupan sosial budaya, falsafah hidup, dan adat‐istiadat Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 6
Laporan Akhir
masyarakat Sunda. Beberapa perwujudan Batik Garutan secara visual dapat digambarkan melalui motif dan warnanya. Berdasarkan pemikiran yang melatarbelakangi penciptaan Batik Garutan, maka motif‐motif yang dihadirkan kebanyakan berbentuk geometrik yang sekaligus menjadi ciri khas ragam hiasnya. Bentuk‐bentuk lain dari motif Batik Garutan adalah flora dan fauna. Bentuk geometrik umumnya mengarah ke garis diagonal dan bentuk kawung atau belah ketupat. Warna batik ini banyak didominasi oleh warna krem yang dipadukan dengan warna‐warna cerah lainnya, seperti hijau, merah, kuning, biru, ungu dan warna lainnya yang sekaligus merupakan karakteristik khas batik Garutan. Saat ini pengolahan batik Garutan terkonsentrasi di Kota Garut. Rata‐rata kapasitas produksi batik per‐tahun‐nya adalah sebanyak 1.296 potong. Adapun potensi industri batik tulis garutan pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut ini. Tabel 3.3 Potensi Industri Batik Tulis Garutan Pada Tahun 2006 Uraian Formal Non Formal Jumlah Jumlah Unit Usaha (Unit) 1 2 3 Tenaga Kerja (Orang) 11 25 36 Investasi (000 Rp) 10.000 20.000 30.000 Nilai Produksi (000 Rp) 150.000 238.000 388.000 Wujud Produksi Produk Sandang, Sinjang, Kain Bahan, dll Daerah Pemasaran Jakarta , Bandung , Bali , dll Sumber: Dinas Perindag dan Penanaman Modal Kabupaten Garut
c. Kerajinan Bulu Unggas Kerajinan bulu unggas masih tergolong industri baru di wilayah Kabupaten Garut. Kerajinan bulu unggas ini terpusat di Kampung Cipancar, Kecamatan Leles yang kebanyakan dikerjakan oleh ibu rumah tangga. Produk yang dihasilkan berupa berbagai jenis aksesoris seperti bros, penjepit rambut, dan lainnya. Selain asesoris produk kerajinan bulu unggas ini dapat digunakan sebagai penambah keindahan interior rumah dengan menaruhnya di gordyn, sarung bantal, atau pada vas bunga. d. Kerajinan Akar Wangi Kerajinan akar wangi juga merupakan kerajinan yang relatif baru di wilayah Kabupaten Garut. Kerajinan ini memiliki prospek yang cukup baik, karena bahan baku yang cukup banyak. Selain itu, akar wangi hanya dapat tumbuh di 3 (tiga) negara yaitu Haiti di Amerika Tengah, Bourbon di Prancis, dan di Indonesia sendiri. Dari beberapa varietas akar wangi yang terdapat di Indonesia, hanya akar wangi di wilayah Garut saja yang dapat menghasilkan wewangian dengan baik. Pada umumnya akar wangi disuling untuk diambil minyaknya sebagai bahan pengikat utama untuk parfum, kosmetik maupun wewangian lainnya. Namun, di Kabupaten Garut, akar wangi diubah menjadi kerajinan tangan yang indah, seperti tutup lampu, taplak meja, tas wanita, hiasan dinding maupun pelengkap interior lainnya.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 7
Laporan Akhir
WISATA KULINER a. Industri Makanan Dodol Garut Dodol Garut merupakan salah satu komoditas penganan yang telah mampu mengangkat citra Kabupaten Garut sebagai produsen dodol yang berkualitas tinggi dengan jenis yang beraneka ragam. Dodol Garut dikenal luas karena rasanya yang khas, legit dan memiliki kekenyalan yang berbeda dari produk sejenis dari daerah lain. Bahan dasar dari industri dodol ini adalah tepung ketan, gula aren, dan santan kelapa. Industri dodol berkembang sejak tahun 1926, diawali oleh seorang pengusaha yang bernama Ibu Karsinah dengan proses pembuatan yang sangat sederhana dan terus berkembang hingga saat ini. Beberapa hal yang menyebabkan dodol Garut memiliki kekhasan tersendiri adalah: 1. Memiliki cita rasa yang berbeda dan mampu bersaing dengan jenis dodol yang berasal dari daerah lain; 2. Harganya terjangkau dan merupakan makanan yang sangat digemari oleh masyarakat; 3. Proses pembuatannya sangat sederhana dan bahan bakunya mudah diperoleh; 4. Tidak menggunakan bahan pengawet dan tambahan bahan makanan yang bersifat sintetis; 5. Memiliki daya tahan cukup lama (3 bulan). Keunggulan lain dari komoditi ini adalah produknya yang mudah dikembangkan dengan memodifikasi bahan baku utamanya yaitu dengan memanfaatkan bahan lain seperti misalnya buah waluh, kentang, kacang, pepaya, nenas, sirsak dan lain sebagainya. Dekranasda juga membantu pemasaran melalui pameran‐pameran, perbaikan kualitas produk maupun perbaikan desain kemasan melalui pelatihan ataupun training bagi pengusaha yang bergerak di industri ini. Rata‐rata kapasitas produksi dodol Garut pertahun adalah sebanyak 4.378 ton. Potensi industri dodol Garut pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3.4 Potensi Industri Dodol Garut Pada Tahun 2006 Uraian Jumlah Unit Usaha (Unit) Tenaga Kerja (Orang) Investasi (000 Rp) Nilai Produksi (000 Rp)
Formal
Non Formal
Jumlah
40
45
85
1.178
1.261
2.439
570.000
337.500
907.500
23.860.770
16.784.000
40.644.770
Wujud Produksi
Dodol ketan, kacang, susu, coklat, wijen, dan dodol buah‐buahan
Daerah pemasaran
Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Bali , Brunai, Malayasia, Jepang, Arab Saudi, Singapura, Inggris.
Sumber : Dinas Perindag Penanaman Modal Kabupaten Garut
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 8
Laporan Akhir
b. Jeruk Garut Citra Kabupaten Garut sebagai sentra produksi jeruk di Jawa Barat khususnya dan nasional pada umumnya, diperkuat melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 760/KPTS.240/6/99 tanggal 22 Juni 1999 tentang Jeruk Garut yang telah ditetapkan sebagai Jeruk Varietas Unggul Nasional dengan nama Jeruk Keprok Garut I. Penetapan tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa Jeruk Garut merupakan salah satu komoditas pertanian unggulan nasional yang perlu terus dipertahankan dan ditingkatkan kualitas maupun kuantitas produksinya. Sudah sejak lama, jeruk Garut telah populer dan menjadi trademark dari Kabupaten Garut. Oleh karena itu, sesuai dengan Perda No. 9 Tahun 1981, jeruk Garut kemudian dijadikan sebagai komponen penyusun lambang daerah Kabupaten Garut. Selain sebagai buah yang menjadi ciri khas Kabupaten Garut, jeruk juga merupakan komoditas sub‐ sektor pertanian tanaman pangan yang mempunyai prospek cukup cerah dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi. Sebagai komoditas unggulan khas daerah, jeruk Garut mempunyai peluang tinggi untuk terus dikembangkan karena adanya keunggulan komparatif dan kompetitifnya, serta adanya peluang yang masih terbuka luas. Dengan berbagai usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya, jeruk Garut akan mampu bersaing dengan produk sejenis baik pada tingkat nasional seperti halnya jeruk Medan, jeruk Pontianak serta jeruk impor seperti jeruk Mandarin dan jeruk New Zealand. Investasi pada komoditas ini cukup prospektif dan dapat memberikan nilai tambah ekonomis yang cukup tinggi baik bagi para petani maupun investor yang terlibat didalamnya. Sebagai daerah sentra produksi jeruk, Pemerintah Kabupaten Garut yang telah didukung oleh berbagai pihak terkait terus berusaha untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya. Saat ini belum ada sumber yang melaporkan kapasitas jeruk Garut secara spesifik, karena pada umumnya dalam pelaporannya, komoditas jeruk Garut terselip di antara tanaman jeruk siam/keprok yang tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Garut. c. Makanan Khas Garut Lainnya Selain dodol dan jeruk, Kabupaten Garut juga memiliki beberapa makanan khas daerah yang sudah cukup dikenal luas oleh masyarakat dan telah berkembang menjadi usaha industri kecil maupun rumah tangga, diantaranya yaitu: Burayot Burayot terbuat dari gula merah dan tepung beras pilihan, bahan dan rasanya sama dengan makanan khas daerah lainnya yang dikenal dengan nama ali agrem atau kue cuhcur. Bedanya yaitu dari segi bentuk, kue ini di Garut dibuat bundar keriput atau dikenal dengan istilah ʺngaburayotʺ (kata orang Sunda) maka kemudian kue terssbut banyak dikenal dengan nama burayot. Makanan ini banyak diproduksi oleh masyarakat Garut terutama di wilayah Leles, karena bahannya mudah didapat dan cara membuatnya yang mudah.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 9
Laporan Akhir
Ladu Ladu adalah makanan yang terbuat dari beras ketan dan diolah sedemikian rupa sehingga menjadi hidangan yang khas serta rasanya yang berbeda dengan makanan lainnya. Pertama kali ladu diperkenalkan oleh masyarakat di wilayah Malangbong Garut. Angleng dan Aneka Wajit Angleng dan wajit, sebenarnya mirip dengan dodol Garut yang diproduksi dari beras ketan dan gula merah. Bedanya kalau dodol diolah menjadi semacam karamel, sedangkan wajit tidak. Makanan ini banyak diproduksi oleh masyarakat di Kabupaten Garut khususnya di wilayah Kecamatan Cihurip. Kurupuk Kulit Khas Garut Makanan yang berupa kerupuk ini berkembang seiring dengan banyaknya penyamakan kulit di wilayah Kabupaten Garut. Pada proses penyamakan ada bagian dari bahan baku kulit yang tidak diolah dan kemudian dibuang begitu saja. Untuk memanfaatkan bagian yang terbuang ini, maka diperoleh ide untuk mengolahnya menjadi kerupuk kulit agar bernilai ekonomis. Kerupuk kulit atau dikenal dengan nama dorokdok Garut ini mempunyai citarasa yang sangat khas. Produksi kerupuk kulit tersebar di Kota Garut, wilayah Tarogong dan daerah lainnya di sekitarnya. Pindang Ikan Penampilan ikan pindang Garut sama dengan ikan pindang dari daerah lainnya, yang menjadikan pindang ikan Garut berbeda adalah cara pengolahan yang menjadikannya memiliki citarasa tersendiri yang khas. Pindang ikan dapat diperoleh di berbagai tempat khususnya di daerah yang banyak memproduksinya, seperti di wilayah Cikajang, Cisurupan, dan Cihideung. Sambel Cibiuk Menurut sumber yang tersebar di masyarakat Kecamatan Cibiuk, resep sambel Cibiuk merupakan resep yang dibawa langsung dari Arab. Terlepas benar atau tidaknya, sambel yang dibuat di Kecamatan Cibiuk ini mempunyai perbedaan dengan sambal‐sambal lainnya pada umumnya, karena dibuat dari bahan: tomat hijau, serawung atau daun kemangi, cabe rawit dan bumbu‐bumbu lainnya. Walaupun pedas tetapi tidak akan menimbulkan panas pada perut orang yang menkonsumsinya. Karena terkenalnya, maka sekarang restoran dengan menu sambel Cibiuk sudah ada di berbagai kota besar khususnya di wilayah Bandung dan Jakarta. Sambal Cibiuk mulanya hanya disajikan bila ada tamu istimewa. Zaman dahulu sambal ini hanya dapat dinikmati oleh masyarakat Cibiuk dan para pejabat saja, tetapi seiring perkembangan peradaban maka sekarang dapat dinikmati oleh seluruh kalangan. Rumah makan sambal Cibiuk yang ada saat ini di Kecamatan Cibiuk merupakan keturunan langsung dari pemegang resep Sambal Cibiuk yang asli. Akan tetapi untuk sekadar mengenal saja seperti apa bentuk dan citarasa sambal Cibiuk, peminat dapat memesannya di berbagai rumah makan yang berada di wilayah di Kota Garut, Tarogong dan sekitarnya.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 10
Laporan Akhir
Ceprus Makanan ini bisa diperoleh di Garut bagian Selatan. Ceprus adalah makanan yang terbuat dari singkong bakar panas yang kemudian dicelupkan pada gula merah yang telah dipanaskan (kinca). Makanan ini tergolong langka karena hanya tersaji di sentra gula merah asli dari pohon kawung (aren).
WISATA BUDAYA a. Situ Cangkuang Situ Cangkuang terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles atau sekitar 16 km dari Kota Garut dan 54 km jika ditempuh dari Kota Bandung. Situ Cangkuang berada pada ketinggian 600‐650 m dpl. Luas situ (danau) ini adalah 25,55 Ha dengan volume air 288.340 m3, tetapi kini keadaannya makin dangkal karena dibeberapa bagian sudah tertutup oleh tanaman enceng gondok, ganggang dan teratai. Situ Cangkuang berbentuk memanjang dari barat ke timur, mengikuti lembah yang bagian baratnya menyempit dan merupakan daerah persawahan, sedangkan di sebelah selatan bertepi bukit terjal. Ada 3 objek wisata yang cukup menarik untuk dikunjungi di Situ Cangkuang ini, yaitu Kampung Pulo dengan makam Arif Muhamad dan Candi Cangkuang. Gambar 3.3 Makam Arif Muhamad
Untuk mencapai lokasi ini bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum/ bus dari Bandung‐Garut, kemudian dari Garut menuju Kecamatan Leles dilanjutkan dengan angkutan umum (angkot). Jalan menuju Situ Cangkuang dari jalan raya berjarak sekitar 3 km dengan jalan beraspal, dapat dilalui dengan menggunakan kendaraan bermotor, berjalan kaki selama 30 menit, atau naik kendaraan tradisional berupa andong. Untuk melintasi Situ Cangkuang dan mengunjungi Kampung Pulo, makam Arif Muhamad dan Candi Cangkuang, pengunjung harus menaiki rakit dari bambu yang dicat dengan beraneka warna. Rakit yang berkapasitas 30 orang ini baru beroperasi kalau penumpangnya sudah penuh dengan tarif Rp. 2.000/orang, atau dapat disewa sebuah rakit. Biasanya pengemudi dan rakitnya akan menunggu pengunjung untuk kemudian diantar kembali ke tempat keberangkatan. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 11
Laporan Akhir
Gambar 3.4 Penyewaan Rakit Menuju Kawasan Candi Cangkuang dan Kampung Pulo
Candi Cangkuang adalah candi yang berasal dari abad ke‐7 dan merupakan salah satu dari sedikit candi peninggalan Hindu yang terdapat di Jawa Barat. Candi ini memiliki ketinggian sekitar 8,5 m. Persis di samping Candi Cangkuang terdapat makam Embah Dalem Arif Muhammad, yaitu seorang penyebar agama Islam di daerah ini. Arif Muhammad dan kawan‐kawannya yang mensyiarkan Islam sendiri berasal dari kerajaan Mataram di Jawa Timur. Kegiatan wisata yang bisa dilakukan oleh wisatawan di kawasan cagar budaya Candi Cangkuang, antara lain adalah melihat pemandangan, memancing, berjalan‐jalan, berziarah dan melakukan penelitian tentang kebudayaan. Gambar 3.5 Candi Cangkuang
Fasilitas yang terdapat di kawasan ini antara lain adalah toilet umum sebanyak 6 buah dengan kondisi yang cukup baik. Terdapat pula 3 buah shelter, namun dengan kondisi yang kurang baik. Pusat informasi dan loket tiket yang letaknya di pinggir situ. Sebuah museum kecil dan pendopo yang terdapat di depan candi. Di kawasan ini juga terdapat sebuah masjid yang berada di kawasan adat Kampung Pulo. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 12
Laporan Akhir
WISATA BUDAYA KAMPUNG TRADISIONAL a. Kampung Pulo Kampung Pulo merupakan suatu perkampungan tradisional yang terdapat di dalam pulau di tengah kawasan Situ Cangkuang. Kondisi di kawasan ini memiliki kualitas lingkungan yang baik dengan kebersihan yang cukup terjaga dan juga bentang alam yang baik. Tingkat visabilitas di kawasan ini digolongkan cukup bebas dengan tingkat kebisingan yang rendah. Dulu Kampung Pulo terletak di tengah pulau dan dikelilingi Situ Cangkuang, tetapi sekarang sebagian telah menjadi lahan persawahan. Luas areal perkampungan ini sekitar ± 2,5 Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 61 jiwa yang terhimpun kedalam 6 kepala keluarga. Kampung Pulo terdiri dari enam buah rumah yang berderet dan saling berhadapan satu dengan lainnya, masing‐masing tiga di sebelah kiri dan tiga disebelah kanan, ditambah dengan satu mushala. Suatu keunikan yang menjadi ciri khas Kampung Pulo adalah adanya aturan adat yang mengatur pola permukiman dan jumlah kepala keluarga yang diperbolehkan tinggal di kampung tersebut, yaitu hanya boleh ditempati oleh 6 kepala keluarga (atau 6 keluarga inti) saja. Keseluruhan bangunan yang ada di Kampung Pulo, yaitu 6 buah rumah dan sebuah langgar/surau dibangun di atas tanah seluah 0,5 Ha. Tipologi, bentukan, bahan bangunan maupun orientasi rumah di Kampung Pulo semua seragam tanpa terkecuali. Batas antar rumah hampir tidak ada, sehingga letaknya hampir berdempetan, pekarangan ada di bagian tengah dari ke‐enam bangunan rumah tersebut. Rumah di Kampung Pulo memiliki orientasi dari arah barat ke timur dengan arsitektur rumah panggung yang memiliki kolong di bagian bawahnya. Gambar 3.6 Kampung Pulo
Hingga saat ini masyarakat penghuni Kampung Pulo masih tetap teguh memegang adat dan tradisi yang telah ada secara turun temurun. Diantara tradisinya adalah penyelenggaraan upacara adat yang sering dilakukan, antara lain Upacara Marhaban, Upacara Kematian, Upacara Jaroh Mitembeyan, Upacara Ngadegkeun Susuhunan, Upacara Ngibakan Benda Pusaka. Kesenian dan olahraga di kalangan masyarakat Kampung Pulo kurang berkembang. Hal ini dikarenakan tidak adanya lapangan olahraga dan tidak pernah diselenggarakannya pertunjukan kesenian. Selain tidak ada grup kesenian, kondisi tersebut juga berkaitan dengan adanya peraturan adat yang mentabukan pemukulan gong besar. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 13
Laporan Akhir
WISATA ALAM a. Situ Bagendit Objek wisata Situ Bagendit terletak di Desa Bagendit, Kecamatan Banyuresmi atau berjarak sekitar 13 km dari Kota Garut. Situ Bagendit merupakan sebuah tempat rekreasi air berupa danau dengan luas sekitar 124 Ha yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal. Objek wisata ini dikelola oleh Bapak Ajan Sobari dengan status kepemilikan berada di tangan Pemerintah Daerah Kabupaten Garut yang kewenangannya dilimpahkan kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut yang bekerjasama dengan pihak swasta yaitu Bapak Adang Kurnia. Kawasan wisata Situ Bagendit berjarak 4 km dari pusat Kota Garut. Terdapat angkutan umum berupa angkot jurusan Terminal Guntur – Kp. Mengger dan Garut – Limbangan dengan tarif Rp. 1.500/orang dan ojeg dengan tarif sekitar Rp. 2.000. Kualitas pemandangan dan tingkat keamanan sepanjang jalan menuju kawasan objek dan daya tarik wisata ini cukup baik. Aktivitas wisata yang dapat dilakukan di kawasan Situ Bagendit ini antara lain adalah menikmati pemandangan dan mengelilingi danau dengan menggunakan perahu atau rakit. Para pengunjung juga dapat melakukan kegiatan rekreasi keluarga, bersepeda air, naik rakit atau perahu dari bambu, serta memancing. Di belakang telaga kecil itu, terbentang pemandangan Gunung Guntur. Pada waktu pagi atau menjelang senja hari bayangan gunung tersebut sering terpantul pada permukaan air, dan nampak sangat indah. Seperti juga beberapa daya tarik wisata lain di Jawa Barat, Situ Bagendit juga memiliki cerita legenda terbentuknya situ ini. Legenda tersebut dikenal dengan sebutan Nyi Endit. Setiap tahunnya diadakan Festival Bagendit di lokasi ini dengan tujuan untuk mempromosikan budaya setempat. Fasilitas yang tersedia di kawasan ini yaitu penyewaan 60 buah rakit dengan tarif Rp. 25.000/15 menit tiap rakitnya, 11 buah sepeda air dengan tarif Rp. 10.000/15 menit. Terdapat juga kereta api mini dengan tarif Rp. 2.000 dan kolam renang di kawasan Situ Bagendit ini. Berdasarkan Perda No. 11 tahun 2001 harga masuk tiket ke kawasan ini adalah Rp. 1.000/orang untuk dewasa dan Rp. 500/orang untuk anak‐anak. Di bagian depan kawasan Situ Bagendit terdapat tempat parkir dengan luas 1.400 m2 yang berdaya tampung 30 bus, 60 kendaraan pribadi dan 180 kendaraan bermotor. Lokasi parkir ini dalam kondisi yang cukup baik walaupun lapisan permukaan masih berupa tanah. Terdapat sebuah pos tiket yang juga berfungsi sebagai pintu masuk dalam kondisi yang cukup baik, serta beberapa toilet umum dalam kondisi bangunan dan kebersihan yang cukup. Di kawasan ini juga terdapat taman bermain dengan vegetasi peneduh, tempat ibadah berupa Mushola, serta beberapa kedai penjual makanan dan cenderamata. Jumlah karyawan di objek dan daya tarik wisata Situ Bagendit ini hanya berjumlah 6 orang. Jumlah pengunjung yang berkunjung ke objek wisata ini perbulannya mencapai
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 14
Laporan Akhir
sekitar 400 – 600 orang. Para pengunjung tersebut umumnya adalah wisatawan lokal yang berasal dari Garut, Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, Bandung, dan Jakarta. b. Gunung Papandayan Objek dan daya tarik wisata Gunung Papandayan terletak di Desa Sirna Jaya dan Desa Keramat Wangi, Kecamatan Cisurupan, atau sekitar 28 Km barat daya wilayah Garut. Gunung ini merupakan salah satu gunung yang masih aktif di Jawa Barat, gunung berapi dengan ketinggian 2.638 m dpl. Luas kawasan objek wisata ini secara keseluruhan adalah 7.132 Ha, yang terdiri dari cagar alam dengan luas 6.807 Ha dan taman wisata alam seluas 225 Ha. Pengelola kedua objek wisata tersebut adalah BKSDA Jabar II. Aksesibilitas menuju kawasan ini berupa jalan raya dari Garut – Pameungpeuk yang merupakan jalan Provinsi dengan lebar 6 m dan dalam kondisi yang cukup baik. Akses masuk dari Cisurupan – Taman Wisata Alam berupa jalan sepanjang 9 km dan lebar 5 km dengan kualitas jalannya yang cukup baik dan dilanjutkan dengan jalan setapak dari tempat parkir ke kawah sepanjang kurang lebih 1 km. Dari tempat parkir wisatawan harus berjalan kaki mendaki selama kurang lebih setengah jam menuju ke kawah yang terdiri dari kolam lumpur yang terus menerus mengeluarkan gelembung atau lubang‐ lubang yang mengeluarkan uap panas dan belerang. Untuk menuju Taman Wisata Alam Papandayan dapat menggunakan kendaraan pribadi atau alat transportasi umum berupa bis pariwisata, angkot yang disewa khusus, atau angkutan lokal berupa mobil pick up dari Cisurupan ke kawah atau ojeg dengan rute yang sama. Selain itu, untuk mencapai Gunung Papandayan dengan kendaraan umum, wisatawan dapat juga menumpang minibus dari Garut ke jurusan Cikajang. Gambar 3.7 Gunung Papandayan
Daya tarik Gunung Papandayan yang utama adalah kawah, panorama pegunungan dan perkemahan. Kawah di Gunung Papandayan ada 4 (empat) buah, yaitu Kawah Baru, Kawah Mas, Kawah Nagklak, dan Kawah Manuk. Gunung Papandayan merupakan gunung berapi dengan kaldera terluas di Asia. Daya tarik potensial lainnya berupa hutan yang terdapat di cagar alam yang memiliki sifat khusus untuk penelitian, pendidikan maupun perkebunan. Terdapat juga kebun teh yang berada di luar kawasan yang kini Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 15
Laporan Akhir
dikelola oleh PTPN VIII Sedep, Bandung. Aktivitas yang dapat dilakukan oleh wisatawan yaitu trekking, hiking, fotografi, bird watching, rekreasi dan piknik hutan, serta berkemah yang dapat dilakukan di kawasan taman wisata alam. Sedangkan aktivitas penunjangnya lainnya adalah penelitian fauna dan flora di cagar alam. Taman wisata alam di kawasan ini memiliki flora yang dominan yaitu suwagi dan kiteke, sedangkan fauna yang dominan yaitu babi hutan dan burung. Di dalam cagar alam jenis flora yang dominan yaitu hiur, puspa, pasang hura, saninten, jamuju dan sega, sedangkan jenis fauna yang dominan di dalam cagar alam yaitu babi hutan, beberapa jenis burung, macan kumbang dan macan tutul. Beberapa flora dan fauna langka yang terdapat di cagar alam ini diantaranya adalah saninten dan rusa, elang Jawa, lutung dan surili. Di Papandayan terdapat 10 buah kios serta 1 buah toko cenderamata yang terletak di deket pintu masuk (loket karcis) yang berada di sekitar lahan parkir. Tempat parkir di kawasan ini memiliki luas 1 ha terletak di dekat pintu masuk dan berkapasitas 100 bus, 200 mobil dan motor dengan jumlah yang cukup banyak. Kondisi tempat parkir cukup baik dengan lapisan permukaan bervariasi, sebagian beraspal, dan sebagian lainnya masih tanah berbatu kerikil yang ditumbuhi rumput. Terdapat 1 buah toilet umum dengan kebersihan/sanitasi cukup dan kondisi bangunan sederhana. Terdapat juga sebuah shelter dan 3 buah tempat sampah berupa keranjang sampah yang terletak di dekat lokasi parkir. Di kawasan Gunung Papandayan ini terdapat 2 bumi perkemahan, yaitu Pondok Salada yang berjarak 3 km dari pintu masuk ke arah puncak dengan luas lahan 2 Ha dan Camp David yang terletak di belakang tempat parkir dengan luas lahan kurang lebih 1 Ha. Di bumi perkemahan ini tersedia fasilitas tempat api unggun dan lapangan upacara. Sayangnya, air bersih di Camp David dan taman wisata alam belum ada, akibat aktivitas gunung api, sedangkan di Pondok Salada terdapat mata air yang berasal dari Sungai Cisalada. Tingkat kebersihan dan kondisi perkemahan di Gunung Papandayan cukup baik. Sudah ada sebuah interpretative center dengan tingkat kebersihan dan kondisinya baik yang terletak di pos jaga atau loket. Kondisi keamanan di wilayah ini juga relatif aman dan terjaga dengan baik. c. Gunung Guntur Gunung Guntur merupakan salah satu gunung yang berada di wilayah Kabupaten Garut, yang terletak di Kampung Dukuh, Desa Pananjung, Kecamatan Tarogong Kaler. Gunung ini memiliki luas kawasan sekitar 250 ha yang sebagian besar masih berupa areal terbuka, dan seluruhnya dikelola oleh BKSDA Jawa Barat II yang mengacu pada aspek legalitas dari SK Menteri Kehutanan No: 274/kpts II/99. Gunung Guntur yang merupakan gunung api aktif dengan aktivitas vulkanik ini, memiliki ketinggian 2.000 m dpl dan memiliki satu kawah pada salah satu puncaknya. Gunung Guntur memiliki karakter bentang alam yang unik yaitu memiliki tiga bukit pada puncaknya, yang masing‐masing bukitnya memiliki ketinggian 1.000 m (dari kaki gunung), 1200 m, dan 1.300 m pada puncak paling tinggi. Aksesibilitas untuk menuju wilayah Gunung Guntur berupa jalan raya dengan kelas jalan kecamatan yang memiliki lebar 3 m dan panjang 3 km dengan kondisi baik. Jalan akses selanjutnya memiliki kondisi yang cukup dengan kelas jalan desa dengan lebar 2.5 Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 16
Laporan Akhir
– 3 m dan panjang 2 km. Terdapat pula akses jalan setapak dengan lebar 0.5 – 1 m dengan kondisi yang cukup baik. Untuk mencapai ke kaki gunung yang berjarak 5 km dari terminal Kota Garut, yaitu terminal Guntur, dapat menggunakan angkutan kota jurusan Garut – Cipanas yang beroperasi dari pukul 05.00 hingga pukul 19.00 WIB, atau dapat menggunakan angkutan tradisional berupa delman. Gunung ini memiliki daya tarik berupa medan gunung yang menantang, lembah, air terjun, sungai, panorama alam dan kawah. Gunung Guntur memiliki konfigurasi umum berupa lahan bergunung dengan kemiringan yang sangat curam dan memiliki material tanah berupa tanah pasir berbatu. Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Guntur belum dikembangkan secara intensif untuk kegiatan pariwisata, saat ini hanya para penjelajah dan petualang (wisatawan minat khusus) saja yang mengunjungi kawasan Gunung Guntur, khususnya untuk berkemah, hiking maupun trekking. Kawasan wisata ini memiliki sumber mata air panas yang disalurkan ke kolam‐kolam dan pemandian yang terdapat di berbagai penginapan di wilayah Cipanas. Tempat ini dapat dijadikan pangkalan (base) sebelum menjelajahi beberapa objek wisata lain di sekitarnya. Tempat‐tempat peristirahatan dan pemandian air panas tersebut dikemas bervariasi dalam bentuk mewah hingga yang sederhana. Tak jarang di beberapa penginapan disediakan kolam renang air hangat dan tempat berendam yang berada di dalam kamar‐kamar. Berjarak sekitar 3 Km dari Cipanas, melalui jalan yang mendaki ke arah puncak Gunung Guntur, terdapat air terjun yang dikenal dengan nama Curug Citiis. Dari lokasi air terjun ini, wisatawan dapat melanjutkan pendakian selama kurang lebih 4 jam ke puncak Gunung Guntur. Para pendaki umumnya memulai pendakian sekitar jam 5 pagi untuk mendapatkan pemandangan yang jelas pada saat tiba di puncak gunung. d. Curug Citiis Curug Citiis adalah air terjun yang terletak di Desa Pasawahan, Kecamatan Tarogong dengan luas 30 m2 dan berada pada ketinggian 1.000 m dpl. Konfigurasi umum lahan di kawasan ini pada umumnya berbukit‐bukit dengan tingkat kemiringan yang agak curam, dan stabilitas tanah yang sedang. Pada musim kemarau, debit air Curug Citiis akan berkurang. Kualitas lingkungan di sekitar kawasan ini cukup baik dengan tingkat sanitasi yang baik dan bentang alam yang cukup indah. Pencemaran udara hampir tidak ada, namun terdapat pencemaran air akibat sampah‐sampah sisa makanan yang ditinggalkan para pengunjung dan penambang pasir yang bekerja di kawasan tersebut. Objek ini berjarak sekitar 10 km dari ibukota Kec. Tarogong, dan sekitar 15 km dari Kota Garut. Jarak terminal terdekat menuju kawasan ini adalah dari perkampungan terdekat yaitu Kampung Dukuh yang berada di kaki Gunung Guntur dan berjarak sekitar 5 km. Jalan akses menuju ke Curug Citiis memiliki lebar sekitar 4 m dengan panjang sekitar 2 km, dan dilanjutkan jalan setapak dengan lebar 1 m dan panjang 4 km. Untuk menuju ke objek ini, pengunjung bisa menggunakan kendaraan pribadi hingga kaki Gunung Guntur, serta angkutan tradisional dari Cipanas ataupun dari Kota Garut berupa delman ataupun menggunakan ojeg.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 17
Laporan Akhir
Konon air terjun ini merupakan tempat bertemunya para raja dari seluruh Pulau Jawa. Nama Curug Citiis sendiri berasal dari kata cai tiis yang berarti air dingin karena menurut penduduk sekitar suhu air dari air terjun ini paling dingin sewilayah Garut. Sumber air curug berasal dari Gunung Guntur yang mempunyai dua buah mata air, yaitu mata air panas yang mengalir ke daerah Cipanas, dan mata air dingin yang mengalir ke aliran Curug Citiis. Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain hiking, trekking, menikmati pemandangan, berkemah dan berekreasi. Di kawasan ini terdapat tiga buah shelter dalam kondisi cukup baik namun banyak terdapat coretan, sebuah kios dalam kondisi yang cukup yang hanya buka pada hari Minggu. Objek wisata ini belum memiliki fasilitas akomodasi, kamar kecil atau tempat ibadah. Fasilitas‐fasilitas tersebut dapat dijumpai di kawasan Cipanas yang hanya berjarak sekitar 7 km dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Untuk fasilitas rumah makan hanya terdapat di Kecamatan Tarogong. e. Taman Rekreasi Cipanas Objek wisata buatan berupa taman rekreasi dan kolam renang air panas Cipanas terletak di wilayah Cipanas, Kecamatan Tarogong. Luas keseluruhan tanah yang dimiliki oleh Pemda Garut berikut Hotel Cipanas Indah adalah 9.335 m2. Lahan taman rekreasi ini berbukit‐bukit, dengan kemiringan lahan agak curam, stabilitas tanah sedang, daya serap tanah baik, serta kualitas lingkungan cukup baik. Selain milik Pemda, di lokasi ini banyak terdapat penginapan atau hotel maupun kolam renang dan fasilitas berendam yang diusahakan oleh masyarakat sekitar ataupun swasta. Untuk menuju ke kawasan ini dapat menggunakan kendaraan pribadi yang akan menempuh jarak kurang lebih 2 km dari Kecamatan Tarogong. Selain itu juga dapat menggunakan angkutan kota dengan rute Cipanas – Tarogong. Kondisi jalan menuju kawasan ini cukup baik, dengan lebar jalan 3 – 4 meter. Fasilitas yang ada di kawasan ini berupa penginapan, kolam renang, serta pemandian air panas yang dikelola oleh Pemda, swasta dan masyarakat. Pengunjung yang datang bebas memilih tempat mana yang hendak dikunjungi di kawasan Cipanas ini. Umumnya kolam renang air panas yang tersedia berukuran sekitar 20 x 10 m2 dan masing‐masing tempat memiliki toilet umum atau kamar mandi. Di kawasan ini terdapat sebuah pusat informasi yang terletak di dekat pintu keluar masuk, dan sebuah menara pengawas. Sarana umum lain yang terdapat di kawasan ini adalah tempat parkir yang dapat menampung 30 kendaraan pribadi serta 80 sepeda motor. Aktivitas yang dapat dilakukan wisatawan di taman rekreasi ini adalah berenang, berendam, berekreasi atau bersantai. Di kawasan ini juga terdapat fasilitas resort hotel, hotel kelas melati sampai dengan bintang tiga, beberapa restoran, lapangan tenis dan bulutangkis, kios cenderamata & jajanan, masjid serta pemandu wisata dari masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 18
Laporan Akhir
f.
Taman Wisata Alam Talaga Bodas
Di sebelah timur wilayah Garut terdapat Gunung Telaga Bodas dengan ketinggian 2.201 m dpl yang memiliki kawah berwarna hijau terang dan mengeluarkan gelembung. Tepatnya terletak di Desa Wana Raja, atau sekitar 27 kilometer dari Kota Garut. Wisata Kawah Telaga Bodas ini termasuk ke dalam Taman Wisata Alam (TWA) Talaga Bodas. Kawasan TWA Kawah Talaga Bodas memiliki luas kurang lebih 23,85 Ha dan berada di ketinggian 1.512 m dpl. Air kawah Talaga Bodas ini sering berubah‐ubah warna tergantung dari suhu dan kelembaban. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh E.W. de Kroon pada tahun 1938, suhu di kawah Talaga Bodas ini mencapai 94o C. Stabilitas tanah dan daya serap air kawasan ini tergolong sedang. Jenis material tanah adalah tanah cadas berbatu. Kondisi lingkungan di kawah Talaga Bodas cukup baik dengan kebersihan dan bentang alam yang tergolong baik, terbukti dari tidak terdapatnya pencemaran air, tanah, udara dan sampah, hanya saja masih terdapat coretan ditempat tertentu yang dilakukan oleh pengunjung. Kawasan ini dikelola oleh BKSDA Jawa Barat ll berdasarkan SK Menteri No: 98/KPTS/UM/1978, dengan status kepemilikan lahan oleh Departemen Kehutanan. Aksebilitas menuju objek dan daya tarik wisata ini berupa jalan kelas kecamatan dengan kondisi yang baik. Untuk mencapai lokasi TWA ini dapat menggunakan kendaraan pribadi maupun alat transportasi umum berupa angkutan kota dengan trayek: Garut – Cibatu, Garut – Cikelet, terminal Guntur – Sukawening, dan jalur terminal Guntur Perumnas Cempaka Indah, atau dapat juga mempergunakan alat transportasi tradisional berupa delman dan ojek. Para pengunjung umumnya mencapai lokasi dengan membawa kendaraan roda dua (motor). Untuk mencapai tempat ini dengan kendaraan umum wisatawan dapat menumpang angkot ke Wanaraja dilanjutkan dengan angkot ke tempat parkir dan kemudian berjalan kaki menuju kawah. Keadaan jalan menuju lokasi ini kondisinya rusak parah hingga praktis tidak dapat dilalui oleh mobil sekelas sedan atau city car. Pengunjung yang datang ke TWA Talaga Bodas ini biasanya melakukan aktivitas berupa trekking, hiking, piknik, atau sekedar jalan‐jalan dan bersantai. Di kawasan ini terdapat pula hutan wisata, cagar alam yang sering digunakan untuk tempat berkemah. TWA Talaga Bodas yang menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 98/Kpts/UM/2/1978 memiliki luas kurang lebih 23,85 Ha itu, sampai sekarang belum dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang memadai. Fasilitas yang kini tersedia di kawasan ini adalah 1 pos masuk dan 2 buah shelter. Fasilitas ibadah terdekat hanya ada di Desa Sukamanak. Di kawasan ini juga tidak terdapat fasilitas akomodasi dan rumah makan yang memadai. g. Paragliding Gunung Haruman Objek wisata dan daya tarik olah raga paraglading Gunung Haruman ini berlokasi di Desa Haruman Sari, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut. Status kepemilikan tanah yang digunakan untuk paraglaiding adalah tanah masyarakat yang masih belum Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 19
Laporan Akhir
dikelola secara khusus. Gunung Haruman sendiri memiliki ketingian lebih kurang 1.300 m dpl dan bukan merupakan jenis gunung api. Konfigurasi umum lahan di kawasan ini adalah berbukit dengan kemiringan lahan agak curam, berdaya serap tanah baik, stabilitas tanah cukup baik, serta jenis material tanahnya pasir berbatu. Untuk mencapai kawasan terbang layang Gunung Haruman dapat melalui jalan raya Garut – Bandung yang melewati Kecamatan Kadungora. Dari Kecamatan Kadungora dapat menggunakan kendaraan pribadi atau ojeg menuju Desa Haruman Sari. Adapun jarak yang ditempuh dari Kecamatan Kadungora menuju Desa Haruman Sari berjarak lebih kurang 15 km dengan lebar jalan 2 – 4 m yang berkondisi agak kurang baik. Untuk menuju landasan terbang layang dari Desa Haruman Sari masih berjarak sekitar 7 – 8 km, biasanya para pengunjung yang datang menggunakan mobil jeep atau sejenisnya untuk menuju ke lokasi. Hal ini disebabkan oleh kondisi jalan yang sangat rusak sehingga tidak memungkinkan untuk dilalui oleh mobil selain jeep. Kegiatan wisata yang dapat dilakukan wisatawan di kawasan ini adalah terbang layang, trekking, menikmati pemandangan dan fotografi. Pengunjung yang datang ke Gunung Haruman umumnya berasal dari Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan pengunjung mancanegara berasal dari negara Singapura, Belanda, Korea dan Amerika Serikat yang datang khusus untuk melakukan olah raga paraglaiding. Landasan yang digunakan untuk terbang layang memiliki luas 40 x 15 m2 dengan lapisan permukaan tanah rerumputan berkemiringan lahan yang cukup landai. Untuk melakukan olah raga terbang layang, setiap pengunjung biasanya membawa peralatan sendiri, hal ini dikarenakan belum adanya pengelolaan secara khusus sehingga tidak tersedia tempat penyewaan peralatan yang dibutuhkan.
WISATA KESENIAN TRADISIONAL a. Surak Ibra Kesenian Surak Ibra atau juga dikenal dengan nama Boboyongan merupakan kesenian tradisional yang sudah ada sejak tahun 1910. Kesenian ini awalnya berkembang di Kampung Sindang Sari, Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja yang diciptakan oleh Raden Djajadiwangsa yaitu putra Raden Wangsa Muhamad atau Pangeran Papak. Kesenian ini diciptakan untuk menyindir penjajahan yang kala itu sangat bertindak sewenang‐wenang dengan pribumi. Surak Ibra ditampilkan oleh puluhan orang yang terdiri dari pemain angklung, dog‐dog, serta instrumen lainnya, dan juga dilengkapi dengan beberapa orang penari. Pada puncak acara salah seorang dari pemain dilemparkan ke atas sambil dikelilingi oleh pembawa obor. b. Lais Lais merupakan kesenian akrobatik yang sudah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda. Nama lais sendiri diambil dari seorang penduduk Kampung Nangka Pait, Kecamatan Sukawening, Kabupaten Garut yang sangat terampil memanjat pohon kelapa. Permainan yang ditampilkan berupa kesenian akrobatik tradisional dimana pemain utamanya bergelantungan sembari menari berputar‐putar pada seutas tambang yang dikaitkan
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 20
Laporan Akhir
pada dua batang bambu. Pada saat berakrobat, pemain diiringi oleh musik pencak silat tradisional Sunda dengan sesekali diiringi oleh cerita jenaka dari para pemain musik. b. Hadro Hadro merupakan kesenian yang berasal dari daerah Bojong di Kecamatan Bungbulang yang sudah ada sejak tahun 1971. Kesenian ini pertama kali diperkenalkan oleh K.H. Ahmad Sayuti dari Kampung Singuru, Kecamatan Samarang. Hadra berupa gabungan dari lagu‐lagu serta syair‐syair keagamaan Islami yang diikuti dengan gerakan pencak silat ringan dan alunan musik dari rebana dan dog‐dog. c. Pencak Ular Pencak ular adalah kesenian yang berasal dari Kecamatan Samarang. Sebenarnya kesenian ini tidak jauh berbeda dengan kesenian pencak silat dari daerah lainnya. Bedanya adalah pada kesenian ini para pemainnya membawa serta ular untuk dijadikan sebagai bagian dari atraksi pencak silatnya. Uniknya ular yang dibawa biasanya masih berbisa. Pada atraksinya para pemain dapat menjinakkan ular berbisa tersebut dan bahkan kebal akan racunnya, bila tergigit. d. Gesrek Kesenian Gesrek berasal dari Kampung Kamongan, Desa Pakenjeng, Kecamatan Pamulihan. Kesenian ini disebut juga Seni Bubuang Diri yang artinya adalah seni mempertaruhkan nyawa. Atraksinya mirip dengan kesenian debus, para pemain memainkan golok yang tajam sembari disertai gerakan pencak silat, para pemain juga saling memukul dengan bambu kemudian berguling‐guling atau berjalan di atas bara api. Kesenian ini terdiri dari 10 (sepuluh) pemain utama dan 4 sampai 7 orang pemain yang bertugas menjaga pemain utama. Permasalahan dan Isu‐Isu Strategis Pengembangan Daya Tarik Wisata di Wilayah Kabupaten Garut (terkiat dengan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan) Permasalahan dan isu strategis yang terkait pengembangan daya tarik wisata dan budaya di Kabupaten Garut yang terangkum dalam dokumen Rencana Kerja Tahunan (Renjata) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut tahun 2007, hasil penelitian melalui angket dan indepth interview yang terangkum dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Garut Tahun 2006, serta hasil Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan dalam rangka pengerjaan studi, khususnya pada objek wisata alam dan budaya adalah sebagai berikut: ‐ Permasalahan
Belum maksimalnya upaya dalam menciptakan rasa aman bagi pengunjung, karena pada beberapa tempat objek wisata masih terjadi tindakan kejahatan dan pemerasan.
Lemahnya kemampuan manajerial di dalam pengelolaan dan pemanfaatan produk‐ produk wisata, padahal pilihan objek wisata semakin beragam dan berkualitas.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 21
Laporan Akhir
Belum adanya apresiasi pengembangan yang memadai terhadap keunikan dan citra kawasan.
Belum terintegrasinya komplementaritas antarobjek dan daya tarik wisata.
Pariwisata masih berada pada aspek nonrasional dan tidak pada apresiasi budaya, kesejarahan, dan pengemasan dalam hubungan dengan nilai‐nilai kesejamanan.
Kurangnya perhatian akan AMDAL atau bahkan tidak ada AMDAL sama sekali, padahal ini merupakan salah satu syarat sebelum suatu sumber daya alam akan dikembangkan menjadi objek wisata alam.
Kurangnya penelitian akan kebutuhan suatu objek wisata, khususnya melalui riset pasar baik secara regional, nasional maupun global.
Kurangnya keterkaitan antarobjek wisata yang satu dengan yang lainnya, baik di dalam lingkup kabupaten sendiri maupun dengan kabupaten sekitarnya.
Kurangnya pemahaman dan perhatian akan tata guna lahan maupun tata ruang di sekitar kawasan objek dan daya tarik wisata.
Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap seni budaya di daerahnya sendiri.
Kurangnya perhatian akan sarana dan prasarana pada objek wisata baik dalam perencanaan, implementasi maupun operasional dan perawatan di lapangan. Khususnya sarana MCK atau air bersih yang sering tidak memperhatikan sanitasi yang baik.
Kurangnya diversifikasi produk dan daya tarik wisata yang sudah ada dan berkembang, sehingga dikhawatirkan akan membuat wisatawan jenuh.
Kurang menariknya pengemasan dan pemasaran hasil/produk kria.
Kurangnya pemeliharaan dan penataan sektor pembinaan seni tradisional.
Kurangnya koordinasi dengan pelaku wisata dan stakeholder lainnya, (4) perlu adanya penataan dan pemeliharaan situs budaya.
Kurangnya kerjasama antara Kompepar dengan BMG untuk pengembangan wisata gunung api.
Daerah rawan bencana dan ketidaksiapan dalam menangani gempa/bencana alam
Aksesibilitas yang masih terbatas dalam mengembangkan wisata gunung api.
‐ Isu‐isu Strategis
Kemajemukan suku, budaya, bahasa daerah dan adat istiadat merupakan daya tarik wisata yang dapat dikembangkan.
Kekayaan cagar alam, seni dan lingkungan yang kondusif merupakan daya dorong pengembangan wisata.
Melemahnya tatanan ekonomi nasional berpengaruh terhadap perkembangan wisata lokal.
Lemahnya sistem pelayanan terhadap wisatawan yang dapat memperlemah daya saing.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 22
Laporan Akhir
Lambannya pembangunan daerah‐daerah wisata yang menyebabkan tidak tergalinya secara optimal potensi budaya dan wisata di Kabupaten Garut.
Bergesernya budaya santun, kekeluargaan, dan gotong royong ke budaya liberal, terbuka, individualisme, materialisme, dan kapitalisme.
Perhatian terhadap kearifan lokal urang Priangan.
Kegiatan pariwisata harus dapat menciptakan lapangan kerja.
Penanggulangan kecelakaan, termasuk mitigasi bencana gunung api.
Informasi dan komunikasi.
Pengadaan sarana dan prasarana penunjang wisata budaya.
3.1.2 Wilayah Tasikmalaya Terbagi ke dalam 2 (dua) wilayah administratif, yaitu: A. Kota Tasikmalaya Kota Tasikmalaya sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Tasikmalaya. Kemudian Kota Tasikmalaya diresmikan menjadi Kota Administratif Tasikmalaya melalui Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1976. Pada awal pembentukannya, wilayah administratifnya meliputi 3 kecamatan, yaitu Cipedes, Cihideung, dan Tawang yang membawahi 13 desa. Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, pada tanggal 17 Oktober 2001 melalui Undang‐Undang No. 10 Tahun 2001, Kota Tasikmalaya diresmikan menjadi wilayah otonom. Sekarang, wilayah Kota Tasikmalaya meliputi 8 kecamatan dengan 15 kelurahan dan 54 desa. Secara geografis, Kota Tasikmalaya berada pada 108°08’38” ‐ 108°24’02” BT dan 7°10’ ‐ 7°26’32” LS, tepatnya di bagian tenggara Provinsi Jawa Barat atau sekitar 105 km dari Kota Bandung dan kurang lebih 255 km dari Kota Jakarta. Adapun batasan wilayah Kota Tasikmalaya, mencakup: ‐
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis.
‐
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya.
‐
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya.
‐
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis.
Kota Tasikmalaya memiliki luas keseluruhan administratif sebesar 17.156,20 Ha atau sekitar 171,56 Km² dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 mencapai 551.072 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat melihat pada tabel berikut. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 23
Laporan Akhir
Tabel 3.5 Luas Administratif Kecamatan, Jumlah Kelurahan/Desa, serta Jumlah Penduduk Kota Tasikmalaya Tahun 2005 Luas Wilayah Jumlah Kelurahan/Desa (Km²) 1. Cipedes 8,10 4 2. Cihideung 5,30 6 3. Tawang 5,33 5 4. Cibeureum 29,41 15 5. Tamansari 28,52 8 6. Kawalu 41,12 10 7. Mangkubumi 23,68 8 8. Indihiang 30,10 13 Jumlah Total 171,56 69 Sumber : Kota Tasikmalaya dalam Angka, 2006
No.
Kecamatan
Jumlah Penduduk (jiwa) 66.997 64.367 52.522 89.370 52.161 72.759 70.683 82.213 551.072
Kota Tasikmalaya dikenal dengan hasil barang‐barang kerajinan tangan dari rotan. Dengan bahan dasar dari daun palem dan bambu, kerajinan tangan yang dihasilkan banyak menghasilkan tikar, keranjang, asbak, topi anyaman, dan payung kertas. Selain itu, Kota Tasikmalaya juga dikenal dengan kerajinan renda bordel, sendal kayu (kelom geulis), serta industri batik skala kecil. Banyak wisatawan menganggap Kota Tasikmalaya hanyalah kota transit, namun di beberapa tempat di sekitar Kota Tasikmalaya juga memiliki objek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Bahkan untuk mendukung kegiatan pariwisata dan perdagangan, Pemerintah Kota Tasikmalaya membuat sebuah lokasi khusus yang menjadi tempat pameran bordir untuk para pengrajin Tasik, yang berlokasi di Kawalu. Sekarang kota ini berkembang menjadi salah satu pusat perdagangan di Jawa Barat. Berdasarkan data tahun 2006 yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikmalaya, jumlah unit usaha yang ada di wilayah ini berjumlah 3.426 unit yang menyerap tenaga kerja sebanyak 33.744 orang dengan total nilai produksi sebesar 1,115 trilyun rupiah. Industri kerajinan yang ada di Kota Tasikmalaya ini tergabung ke dalam 133 sentra industri yaitu dapat dilihat pada tabel 3.6 berikut.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 24
Laporan Akhir
Tabel 3.6 Sentra Industri Kerajinan di Kota Tasikmalaya Sentra Industri Sentra Bordir
Jumlah Lokasi 32 Kec. Kawalu, Tawang, Cihideung, Cibeureum, Indihiang, Mangkubumi Sentra Kelom Geulis 18 Kec. Mangkubumi, Cihideung, Tamansari, Cibeureum Sentra Kerajinan Mendong 12 Kec. Cibeurum, Tamansari Sentra Kerajinan Bambu 5 Kec. Tawang, Indihiang, Tamansari Sentra Konveksi 13 Kec. Cibeureum, Tawang, Cipedes, Tamansari Sentra Kerajinan Payung 1 Kec. Indihiang Sentra Batik 2 Kec. Indihiang, Cipedes Sentra Kerajinan Pandan 1 Kec. Kawalu Sentra Meubel 7 Kec. Tamansari, Tawang, Cipedes, Cibeureum Sentra Makanan 22 Tersebar di setiap kecamatan Sentra Bata Merah 9 Kec. Kawalu, Indihiang, Tamansari Sentra Boneka 1 Kec. Mangkubumi Sentra Kerajinan Logam 3 Kec. Cihideung, Cibeureum, Cipedes Sentra Kerajinan Kulit 6 Kec. Cipedes, Indihiang Jumlah 133 Sumber : Potensi Industri dan Perdagangan Kota Tasikmalaya tahun 2006
Dari keseluruhan industri yang ada di Kota Tasikmalaya, yang termasuk kedalam industri kerajinan unggulan adalah industri kerajinan bordir, kerajinan anyaman mendong, kerajinan anyaman bambu, kerajinan alas kaki/kelom geulis, kerajinan meubel, kerajinan batik, dan kerajinan payung geulis. Selain industri kerajinan, di Kota Tasikmalaya juga terdapat objek dan daya tarik wisata lain yang berupa wisata budaya, alam maupun ziarah. Adapun beberapa objek wisata yang terdapat di Kota Tasikmalaya dapat dilihat pada tabel 3.7 di halaman berikut.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 25
Laporan Akhir
Tabel 3.7 Sebaran Objek Wisata di Kota Tasikmalaya yang Termasuk Dalam Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan Nama Lokasi Situ Gede Kec. Mangkubumi Taman Rekreasi Mangkubumi Indah Kec. Mangkubumi Taman Rekreasi Mutiara Sukamulya /Aboh Kec. Inhidiang Taman Rekreasi Karang Resik Perbatasan dengan Kab. Tasikmalaya Kolam Renang Asia Kec. Cihideung Kolam Renang Gelora Sukapura Kec. Cihideung Makam Syech Abdul Ghorib Kec. Kawalu Makam Syech Abdul Muchyi Gunung Gede Kec. Kawalu Makam Eyang Prabudilaya Kec. Mangkubumi Makam Dalem Sakarembong Kec. Indihiang Makam Embah Jalari Kec. Tamansari Petilasan Purbasari Kec. Cibeureum Hutan Wisata Kec. Kawalu Situs Lingga dan Yoni Sukamaju Kidul, Kec. Indihiang Situ Cibeureum Kec. Tamansari Situ Rusdi Kec. Tamansari Situ Malingping Kec. Tamansari Situ Bojong Kec. Tamansari Situ Cipajaran Kec. Tamansari Situ Cicangri Kec. Tamansari Sumber : Kota Tasikmalaya dalam Angka, 2004 dan 2005 Buku Saku “Ada Apa di Kota Tasik”, 2007
Daya Tarik Wisata Kota Tasikmalaya
WISATA KRIA a. Sentra Industri Bordir Bordir memang sudah menjadi industri perdagangan di wilayah Tasikmalaya, bahkan sudah menjadi daya tarik wisata. Banyak wisatawan yang sengaja datang ke Tasikmalaya untuk melihat sekaligus berbelanja bordir khas Tasik. Produk kerajinan ini juga sudah menembus pasar ekspor. Negara‐negara yang telah menjadi pasar bordir Tasik di antaranya adalah Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Mesir, dan negara‐negara Timur Tengah, Australia, Kanada, AS, Prancis, New Zealand, Inggris, dan Jerman. Meluasnya pasar bordir Tasik tidak terlepas dari harganya yang relatif murah, namun kualitasnya cukup bagus dan bisa diandalkan. Sentra industri bordir Tasikmalaya tersebar di 6 kecamatan dan telah mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 10.713 orang yang tersebar di 1.123 unit usaha. Ke‐6 (enam) kecamatan itu adalah Kecamatan Kawalu, Tawang, Cihideung, Cibeureum, Indihiang dan Mangkubumi. Di antara ke‐6 kecamatan itu, daerah yang paling dikenal sebagai sentra industri bordir adalah Kecamatan Kawalu. Industri bordir di Kota Tasikmalaya memiliki nilai produksi total sekitar 442,5 milyar rupiah.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 26
Laporan Akhir
Jenis produk bordir bermacam‐macam, salah satunya adalah pakaian. Permintaan produk bordir berupa pakaian senantiasa mengalami peningkatan terutama menjelang perayaan hari besar umat Islam yaitu pada Idul Fitri dan Idul Adha. Sebaliknya, permintaan produk bordir jenis lainnya relatif stabil tidak terlalu terpengaruh dengan hari‐hari besar Islam, misalnya produk berupa bedcover, penunjang alat makan dan lain‐ lain. Hingga saat ini sebagian besar produk bordir yang dihasilkan ditujukan untuk memenuhi permintaan konsumen luar negeri, hanya sekitar 40% produksi bordir saja yang ditujukan untuk konsumen dalam negeri. Sumber daya lokal yang digunakan dalam bidang usaha bordir adalah tenaga kerja. Sedangkan bahan baku utama usaha bordir yang berupa kain dan benang masih diperoleh dari luar daerah atau di‐import dari luar negeri. Dengan demikian bidang usaha bordir pada dasarnya kurang mengakar pada sumber daya lokal. Kekuatan bidang usaha bordir terletak pada ketersediaan tenaga kerja yang cukup murah, namun memiliki keterampilan yang bisa diarahkan pada selera pasar. Bidang usaha yang kurang mengakar pada sumberdaya lokal sangat riskan, dan rentan terhadap goncangan ekonomi global. Namun demikian, karena upah tenaga kerja yang masih relatif rendah dibanding dengan upah yang berlaku dalam tatanan ekonomi global, maka usaha bordir masih dapat mengimbangi nilai bahan baku impor tersebut. b. Industri Kerajinan Bambu Industri kerajinan bambu merupakan kegiatan padat karya, seperti halnya industri kerajinan lain yang telah diuraikan sebelumnya. Industri ini mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja untuk setiap satu satuan investasi. Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tasikmalaya, industri kerajinan bambu mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 632 orang yang tergabung dalam 75 unit usaha dan memiliki nilai produksi sekitar 4,98 milyar rupiah. Kurang lebih 20% produk kerajinan bambu adalah produk untuk pemenuhan permintaan ekspor. Sasaran pasar konsumen luar negeri adalah para peminat kerajinan bambu dari negara Jepang, Italia, Jerman dan Hongaria. Jenis produk kerajinan bambu yang diminati oleh konsumen‐konsumen tersebut antara lain adalah aneka kerajinan bambu yang memiliki fungsi seperti, tempat buah, kue, baki lamaran maupun tempat sampah. Sistem penjualannya adalah pembeli dari daerah Tasikmalaya sendiri maupun dari luar daerah sendiri yang datang langsung kepada pengrajin. Pembeli tersebut umumnya membeli produk kerajinan bambu untuk dijual kembali kepada konsumen lainnya. Sebagian besar pembeli datang dari kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Di samping itu ada pembeli yang datang dari daerah wisata, misalnya pembeli dari Bali. Untuk memenuhi permintaan konsumen luar negeri dilakukan kerjasama pemasaran dengan para eksportir kerajinan, khususnya yang tergabung dalam Asosiasi Handycraft Indonesia cabang Tasikmalaya dan beberapa eksportir lain yang berlokasi di Cirebon.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 27
Laporan Akhir
c. Industri Kerajinan Kelom Geulis Kelom geulis yaitu sandal kayu wanita merupakan produk andalan Kota Tasikmalaya. Kelom geulis ini tidak hanya diminati oleh konsumen dalam negeri saja, tetapi juga oleh konsumen luar negeri, khususnya wisatawan mancanegara. Kelom geulis telah menjadi salah satu komoditi ekspor dari Kota dan Kabupaten Tasikmalaya yang telah menembus pasar Asia Tenggara, Panama, Korea, Jepang, Afrika, Timur Tengah, dan sebagian wilayah Eropa. Gambar 3.8 Kerajinan Kelom Geulis
Kini, jumlah unit usaha kerajinan kelom geulis ada 419 unit dengan 4.657 tenaga kerja. Kelom geulis, sandal khas Tasik yang berasal dari kayu damar atau albazzia ini termasuk primadona kria yang cukup diandalkan. Komoditas ini telah ditekuni masyarakat sejak tahun enam puluhan dan sempat mengalami puncaknya dua puluh tahun kemudian, atau sekitar tahun 1980‐an. Wilayah perajin sandal kayu di Tasikmalaya meliputi Kecamatan Mangkubumi, Cibeureum, Tamansari, dan Cihideung. Hasil penjualan sandal kayu produk Tasikmalaya dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2006 nilai total produksinya tercatat sekitar 156,7 milyar rupiah. d. Industri Payung Geulis Umumnya orang membayangkan bahwa payung diciptakan untuk menaungi kita dari terpaan gerimis dan hujan. Tapi tidak dengan payung geulis, payung yang jadi produk kebanggaan dan salah satu simbol Kota Tasikmalaya ini pantang terkena gerimis apalagi hujan. Mengapa demikian, karena payung ini menggunakan lapisan penutup yang terbuat dari kertas. Tetapi, payung geulis punya peran yang lebih membuatnya sangat dihargai. Payung geulis pada masa lalu adalah salah satu kelengkapan mode mojang Tasik. Mojang Tasik yang cantik berkebaya tak akan sempurna kecantikannya bila tidak menggenggam payung jenis ini untuk melindungi wajah ayunya dari sengatan matahari yang terik. Jadilah payung ini dikenal dengan istilah payung geulis yang berarti payung yang membuat penampilan tambah geulis atau cantik. Keunikan lain dari payung geulis adalah adanya lukisan bunga maupun ornamen berwarna‐warni pada lapisan penutupnya. Lukisan ini kerjakan secara manual oleh tangan‐tangan terampil mojang Tasik ataupun ibu rumah tangga yang mengekspresikan kekreativitasannya dalam membentuk aneka bunga. Payung geulis dibuat dari bahan‐ bahan seperti kertas atau kain kanvas, kayu, benang, serta keperluan untuk melukis Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 28
Laporan Akhir
seperti cat warna‐warni dan kuas beraneka ukuran. Pada tahun 2006 tercatat ada 4 unit usaha payung geulis dengan pekerja yang berjumlah 37 orang dengan nilai total produksi sekitar 332,8 juta rupiah. Industri kerajinan payung ini terpusat di satu sentra yang ada di Kecamatan Indihiang. e. Industri Batik Tasik Batik bukan saja diproduksi di Pekalongan, Surakarta ataupun di Yogyakarta saja. Batik juga diciptakan di sejumlah kawasan Jawa Barat, salah satunya adalah Kota Tasikmalaya. Pada masa kejayaannya, batik Tasik telah membuat kota ini dijuluki pusat industri batik di selatan Jawa Barat. Sama dengan produksi di wilayah lainnya, batik Tasik dikerjakan dengan dua teknik yakni dengan teknik cetak dan teknik tulis (handmade). Untuk batik tulis, nilainya cukup tinggi sehingga mampu menjadi cenderamata yang bergengsi. Untuk produksi massal menggunakan teknik cetak agar lebih hemat baik dari segi biaya dan waktu. Industri Batik Tasik yang memiliki motif yang khas kini tengah menggeliat. Ada dua sentra batik di Kota Tasikmalaya, yakni industri batik di Kecamatan Cipedes dan Indihiang. Berdasarkan data tahun 2006, tidak kurang dari 30 unit industri kecil dan menengah yang menekuni industri batik dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 446 orang, serta dapat menciptakan hasil produksi senilai sekitar 10,22 milyar rupiah. f.
Industri Mebel Kayu
Satu lagi industri Kota Tasikmalaya yang berpotensi untuk menjadi produk unggulan adalah industri pengolahan kayu. Ini terlihat dari mudahnya menjumpai toko‐toko mebel yang menjajakan aneka perangkat furniture, mulai dari meja dan kursi tamu hingga tempat tidur. Industri mebel kayu memang sedang tumbuh pesat di Kota Tasikmalaya, selain karena adanya pasar dari keluarga muda juga karena ketersediaan bahan baku yang cukup memadai di sekitar wilayah Kota Tasikmalaya. Kawasan yang menjadi sentra industri pengolahan kayu di Kota Tasikmalaya adalah Kecamatan Tamansari, Tawang, Cipedes dan Cibeureum. Berdasarkan data tahun 2006 ada 224 unit unit usaha industri kecil dan menengah yang bergerak di bidang industri pengolahan kayu ini. Industri ini menyerap tenaga kerja sebanyak 1.463 orang dan telah menciptakan hasil produksi senilai 44,37 milyar rupiah. Namun demikian, industri mebel kini tengah menghadapi tantangan serius, terutama dengan semakin dibatasinya bahan baku kayu. Kebijakan pelestarian alam, terutama perlindungan hutan menyebabkan pasokan bahan baku kayu menjadi tidak semudah tahun‐tahun sebelumnya. Karenanya industri kayu olahan di Kota Tasikmalaya pun kini tengah didorong untuk memproduksi kayu olahan yang hemat bahan baku namun tetap bernilai tambah tinggi. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 29
Laporan Akhir
g. Industri Kerajinan Mendong Di Kota Tasikmalaya juga terdapat industri kerajinan anyaman mendong. Berdasarkan data tahun 2006, jumlah unit usaha yang bergerak di industri kerajinan mendong ini ada 165 unit dengan 2.055 orang tenaga kerja. Kerajinan mendong sendiri di Kota Tasikmalaya telah memiliki nilai total produksi sekitar 34,18 milyar rupiah.
WISATA KULINER a. Industri Makanan Ringan Olahan Selain wisata kria, Kota Tasikmalaya memiliki potensi industri yang lain yaitu industri makanan. Selama ini Kota Tasikmalaya sudah dikenal dengan beraneka ragam makanan olahan, misalnya saja, opak, rangginang, wajit, dodol, ladu, kue tambang, kuping gajah, kue kering, kue sus, kue tar, kue lapis, kue bibika, kue pia, kue bawang, kue aci, kue terigu, kue uceng, sukro, cangro, uniko, cistik, kerupuk, tahu, tempe, telur gabus, bolu, agar‐agar, cincau, tepung hankue, kacang telur, manisan belimbing, lapis legit, kalua jeruk, kembang gula, kolontong, pastel, kacang kanali, asinan, lontong, keripik singkong, mie bumbu, roti tawar, roti manis, mie basah, chiki, mie jujut, mie gulung, dan telor asin. Daftar makanan ini bisa semakin panjang mengingat masyarakat Tasik yang kreatif dan dikenal suka jajanan. Sebagai sebuah industri tentu saja industri makanan sangat mendominasi, tak kurang dari 338 unit usaha yang bergerak dalam industri makanan ini, belum termasuk yang ditangani secara perorangan dan sebagai industri rumahan. Jumlah tenaga kerja yang diserapnya pun cukup besar, yaitu mencapai 2.147 orang dan telah mampu menciptakan hasil produksi senilai Rp. 49,23 milyar (data tahun 2002).
WISATA ZIARAH a. Makam Syech Abdul Muchyi Setiap bulan Mulud, Rajab dan Sapar, ribuan orang seringkali melakukan wisata ziarah ke makam keramat Waliyulloh Syech Abdul Muchyi yang berada di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong atau sekitar 60 km dari pusat Kota Tasikmalaya. Ribuan peziarah itu berasal dari berbagai kota di Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. Syech Abdul Muhyi adalah seorang waliyulloh (wali) yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat bagian selatan, walaupun syiarnya juga menyebar luas ke berbagai kota di Pulau Jawa dan Madura bahkan hingga ke mancanegara. Makam keramat Syech Abdul Muchyi cukup menarik untuk dikunjungi para peziarah. Termasuk di dalamnya adalah Goa Saparwadi karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari peninggalan sejarah Syech Abdul Muchyi di dalam melaksanakan pendidikan dan penyebaran agama Islam. Sebagai bukti keberadaan waliyulloh di Pamijahan, di dalam goa tersebut ada ruangan‐ruangan seperti masjid lengkap dengan mihrob (pemimbaran), tempat penyimpanan kitab suci Alquran, Jabal Kopiah, padaringan (tempat penyimpanan beras) dan lainnya. Selain itu, ada pula Cikahuripan, berupa representasi air zam‐zam yang dilengkapi dengan bebatuan stalagtit dan stalagmit yang
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 30
Laporan Akhir
cukup indah. Konon salah satu ruangan goa memiliki jalan tembus menuju Cirebon, Surabaya, dan kota suci Mekkah. Untuk dapat mengunjungi lokasi ini, para peziarah dapat memasuki kompleks pemakaman keramat Syech Abdul Muchyi dengan terlebih dahulu melapor kepada kuncen (juru kunci) untuk kemudian dicatat pada buku tamu peziarah. Setelah selesai berziarah, para pengunjung dapat membeli beraneka ragam cenderamata berupa kerajinan tangan maupun makanan dan minuman tradisional khas Pamijahan dan Kota Tasikmalaya. b. Makam Syech Abdul Ghorib Makam Syech Abdul Ghorib terletak di Kampung Cibeas, Kelurahan Gunung Tandala, Kecamatan Kawalu. Untuk mencapai lokasi ini pengunjung dari pusat kota dapat membawa kendaraan pribadi atau naik angkutan umum No. 03 lalu diteruskan dengan berjalan kaki atau naik ojeg sejauh kurang lebih 300 meter. Syech Abdul Ghorib merupakan tokoh penyebar agama Islam di wilayah ini. Lokasi makamnya merupakan kompleks pemakaman dengan 9 makam lainnya. Lokasi ini dijaga oleh juru kunci (kuncen) turun temurun, kini kuncen yang menjaga lokasi makam merupakan kuncen ketujuh. Di bagian utara kompleks pemakaman ini ada sebuah sumur dengan diameter 1,5 meter yang dikelilingi oleh tiga pohon besar. Penduduk sekitar memberi nama sumur ini dengan Sumur Sempur, karena salah satu pohon yang menaunginya adalah pohon sempur. Di dekat sumur ini terdapat sebuah batu datar yang konon dijadikan tempat sembahyang. Pada bagian selatan kompleks pemakaman terdapat sebuah sungai kecil dengan nama Sungai Cibeas, diberi nama demikian karena dulu sungai ini memiliki air berwarna putih seperti cucian beras. Sarana dan prasana yang terdapat di lokasi ini yaitu lokasi parkir, terdapat jalan setapak dan penghijauan yang rapi dan tertata dengan baik.
WISATA ALAM a. Situ Gede Situ Gede merupakan sebuah danau yang berlokasi di Kelurahan Mangkubumi dan Linggajaya, Kecamatan Mangkubumi atau sekitar 5 Km dari pusat kota Tasikmalaya. Situ ini memiliki luas sekitar 47 Ha dengan kondisi alam yang dikelilingi oleh bukit dan kawasan hijau. Di tengah Situ Gede terdapat daratan dengan luas kurang lebih 1 Ha atau yang dikenal dengan nama Nusa Gede. Di Nusa Gede tersebut terdapat makam Eyang Prabudilaya yang sering dijadikan sebagai tujuan berziarah. Selain berziarah, wisatawan yang datang dapat berlakukan beragam aktivitas, mulai dari berekreasi, mengelilingi danau dengan rakit atau perahu bermotor, memancing atau hanya sekedar duduk bersantai sambil menikmati panorama Situ Gede yang indah. Akses jalan menuju Situ Gede sudah cukup baik hingga ke tepi danaunya. Selain dengan kendaraan pribadi, objek wisata ini dapat dicapai dengan kendaraan umum menggunakan angkutan kota no. 04 dan turun di Nagrog yang kemudian dilanjutkan
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 31
Laporan Akhir
dengan berjalan kaki sekitar 600 meter atau naik ojeg. Sarana dan prasarana yang ada di Situ Gede antara lain adalah tempat parkir, kedai penjual makanan dan cenderamata, shelter yang berupa saung, penyewaan rakit dan perahu motor, serta lokasi pemancingan. Untuk masuk dan berekreasi ke Situ Gede, pengunjung harus membayar retribusi sebesar Rp. 4.000/orang untuk orang dewasa dan Rp. 2.000/orang untuk anak usia 5 sampai 17 tahun. Pemanfaatan fasilitas lain berupa kegiatan memancing, menyewa rakit, dan lain sebagainya juga ditarik biaya retribusi yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya nomor 5 tahun 2007. Permasalahan dan Isu‐Isu Strategis Pengembangan Kepariwisataan di Kota Tasikmalaya Terkait dengan Rencana Strategis (Renstra) Kota Tasikmalaya tahun 2002 – 2007, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya tahun 2003 – 2013, serta hasil Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka pengerjaan studi, terdapat beberapa permasalahan dan isu strategis yang terkait dengan objek wisata alam dan budaya di Kota Tasikmalaya, yaitu: ‐ Permasalahan
Pengelolaan objek wisata yang belum baik dan belum adanya sistem jaringan informasi yang memadai.
Sistem penyajian paket wisata yang masih memerlukan pembinaan dari pihak terkait
Permasalahan persaingan teknologi industri kerajinan, khususnya dengan negara lain (misalnya: kerajinan bordir Korea).
Pengemasan produk.
Penatan tempat/showroom pengrajin yang layak.
‐ Isu‐isu Strategis
Pembinaan dan pemberdayaan industri kerajinan tangan.
Pemeliharaan dan pengembangan kesenian lokal sebagai kekayaan nasional.
Pengembangan budaya sebagai pengikat semangat kedaerahan dalam kerangka kebangsaan.
Ketergantungan terhadap bahan baku dan sistem pemasaran terkait dengan kerajinan cenderamata.
Lemahnya daya saing produksi industri kecil dan menengah, terbatasnya modal, teknologi dan keterampilan.
Masih rendahnya kualitas dan desain produk.
Kurangnya investor yang bersedia menanamkan modalnya di daerah‐daerah wisata di Kota Tasikmalaya.
Penataan dan pengembangan kawasan pariwisata.
Belum adanya kesadaran bahwa pariwisata dapat menjadi aset ekonomi yang menguntungkan.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 32
Laporan Akhir
B. Kabupaten Tasikmalaya Sejak dikeluarkannya Undang‐Undang Nomor 10 Tahun 2001 tentang pembentukan Kota Tasikmalaya, maka pada tanggal 23 Juni 2001 Kabupaten Tasikmalaya berdiri sendiri menjadi daerah otonom. Wilayah Kabupaten Tasikmalaya terdiri dari 39 kecamatan dan 348 desa/kelurahan. Pusat pemerintahannya kini berada di Kecamatan Singaparna. Secara geografis, Kabupaten Tasikmalaya berada pada 107°56ʹ ‐ 108°8ʹ BT dan 7°10ʹ ‐ 7°49ʹ LS, tepatnya di bagian tenggara Provinsi Jawa Barat atau kurang lebih 308 km dari Kota Jakarta. Sebagian besar wilayah Kabupaten Tasikmalaya beriklim pegunungan dan dataran rendah dengan curah hujan rata‐rata 2.000 – 3.000 mm per tahunnya. Adapun batasan wilayah Kabupaten Tasikmalaya, mencakup: ‐
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Majalengka.
‐
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Garut.
‐
Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
‐
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ciamis.
Kabupaten Tasikmalaya memiliki luas keseluruhan administratif sebesar 256.756.969 Ha dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 mencapai 1.645.971 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar 642 jiwa/km². Perekonomian Tasikmalaya umumnya bertumpu pada sektor pertanian, peternakan, dan perikanan, selain juga bertumpu pada sektor pertambangan seperti pasir Galunggung yang memiliki kualitas cukup baik bagi bahan bangunan, industri, dan perdagangan. Sama dengan Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya juga dikenal dengan industri kerajinan tangannya yang khas. Produk yang dihasilkan juga sama, seperti anyaman mendong, bordir, alas kaki/kelom geulis, kerajinan payung, kerajinan bambu, payung kertas dan lain sebagainya. Berdasarkan data dari Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tasikmalaya, produk kerajinan telah diekspor ke negara Jepang, Australia, Brunei, Saudi Arabia, Malaysia, Korea, Spanyol dan Amerika Serikat dengan total nilai ekspor pada tahun 2006 mencapai US$ 1,48 juta. Selain industri kerajinan, di Kabupaten Tasikmalaya juga terdapat objek dan daya tarik wisata lain yang berupa wisata budaya, alam maupun ziarah. Adapun beberapa objek tersebut yang termasuk ke dalam kawasan studi ini dapat dilihat pada tabel 3.8 di halaman berikut.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 33
Laporan Akhir
Tabel 3.8 Sebaran Objek Wisata Kabupaten Tasikmalaya yang Termasuk dalam Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
Nama Lokasi Kawasan Wisata Gunung Galunggung Kec. Sukaratu Masjid Kuno Manonjaya Kec. Manonjaya Situs Gimbal Kec. Manonjaya Situs Cilangkap Kec. Manonjaya Situs Kabuyutan Kec. Cineam Kadaleman Nagaratengah Kec. Cineam Prasasti Geger Hanjuang Kec. Leuwisari Curug Ciparay Kec. Cigalontong Kampung Naga Kec. Neglasari Sumber : Informasi Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya, 2007
Daya Tarik Wisata Kabupaten Tasikmalaya
WISATA KRIA a. Kerajinan Anyaman Rajapolah Pusat Kerajinan Rajapolah berada di jalur utama lintas selatan tepatnya di Jalan Raya Bandung‐Tasikmalaya yang melalui Malangbong. Lokasi ini berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Tasikmalaya, atau sekitar 85 kilometer dari Kota Bandung. Bagi pengendara kendaraan dari timur ke barat (atau sebaliknya) yang melintasi jalur selatan melalui wilayah Tasikmalaya pasti akan melewati Rajapolah. Walaupun kini sekitar tiga kilometer sebelum pusat kerajinan Rajapolah dari arah barat telah dibangun jalan layang, namun tetap saja para pengendara meluangkan waktu untuk dapat singgah di pusat kerajinan ini. Daerah Rajapolah amat terkenal dengan kerajinan anyaman, seperti misalnya tikar, anyaman dari bambu, perabotan rumah tangga, dan sebagainya. Industri kecil lainnya yang juga menarik yaitu Payung Tasik, Kelom Geulis, dan Batik Tulis. Komoditas ini mampu menyerap tenaga kerja cukup banyak dan mempunyai ciri khas khusus yang tidak dimiliki oleh daerah lain, sehingga mempunyai peluang positif untuk dapat terus dikembangkan. Untuk memasarkan hasil produksi tersebut, Kecamatan Rajapolah sejak tahun 1989 telah dicanangkan sebagai Pusat Pemasaran Kerajinan Rakyat Tasikmalaya dan juga dibangun Pusat Kerajinan Rajapolah. Akibat dari perkembangannya, Rajapolah kemudian menjadi salah satu penopang utama Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tasikmalaya.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 34
Laporan Akhir
Gambar 3.9 Beragam Kerajinan Kria yang Diperdagangkan di Rajapolah
Di Pusat Kerajinan Rajapolah itu terdapat sekitar 102 buah toko yang berderet di sepanjang jalan raya Bandung‐Tasikmalaya. Beberapa toko lainnya berada di Pusat Promosi dan Pemasaran Kerajinan Tasikmalaya. Toko‐toko itu berada di dua desa berbeda. Toko yang berada di Kampung Kaum Kulon berada di Desa Manggungjaya sedangkan toko di Kampung Kaum Wetan dan Pasar Kaler termasuk ke dalam wilayah Desa Rajapolah. Hampir setiap toko di Pusat Kerajinan Rajapolah dilengkapi dengan studio atau bengkel kerajinan, hingga setiap pembeli yang datang dapat melihat proses pembuatan kerajinan secara langsung. Selain berjualan, para pemilik toko itu pun tak jarang merangkap menjadi pemasok atau supplier kerajinan khas Tasikmalaya ini ke berbagai wilayah, bahkan hingga ke luar negeri. b. Industri Kerajinan Mendong Produk kerajinan anyaman mendong telah ditetapkan sebagai komoditas khas Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan SK Bupati Tasikmalaya No. 522.4/189‐LH/94 Tahun 1994 tentang Penetapan Flora dan Fauna Kompetitif dan Komparatif yang mampu menyumbangkan impact point terhadap pertumbuhan ekonomi. Produk kerajinan anyaman mendong antara lain berupa topi, tikar, tas, boks, dan lain‐lain sesuai dengan pesanan konsumen. Seperti halnya produk kerajinan lainnya, produk kerajinan anyaman mendong ditekuni oleh masyarakat luas, sehingga setiap upaya pengembangannya akan membawa dampak multiplier luas terhadap perekonomian masyarakat. Sentra produksi mendong tersebar di 12 desa yang meliputi 4 wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Cineam, Karangnunggal, Manonjaya, dan Salopa. Produk kerajinan anyaman mendong merupakan jenis kerajinan yang sedang mengalami peningkatan permintaan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan dari dalam negeri terutama dari kota‐kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Bali, sedangkan dari luar negeri permintaan datang dari negara Jepang, Belanda, Australia, Timur Tengah dan Malaysia. Berdasarkan data tahun 1999 total produksi anyaman mendong adalah Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 35
Laporan Akhir
sebesar 6.636.600 satuan produk dengan total nilai mencapai Rp. 49.245.300.000. padahal, dari total produksi tersebut baru sekitar 10%‐nya saja yang diekspor. Gambar 3.10 Salah Satu Produk Kerajinan Mendong
Kendala yang paling dirasakan dalam bidang usaha kerajinan mendong ini adalah bahan baku yang tidak mencukupi untuk memenuhi keseluruhan pesanan. Untuk mengatasi kebutuhan bahan baku tersebut, para pengrajin medong mencari bahan baku hingga ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akibat kesulitan bahan baku ini, produksi mendong baru bisa mencukupi kebutuhan kurang lebih 15% dari total pesanan. Apabila kesulitan bahan baku ini berlangsung terus‐menerus maka akan mengakibatkan tidak terpenuhinya skala ekonomis apabila harus memasarkan produk tersebut ke manca negara. Padahal wilayah Kabupaten Tasikmalaya memiliki sumber air yang cukup, bahkan di beberapa tempat dapat dikatakan melimpah. Fakta ini merupakan kondisi yang cocok dalam pengembangan tanaman mendong untuk kemudian menjadi bahan baku kerajinan. Habitat tanaman mendong adalah lahan basah seperti sawah atau rawa‐rawa. Karakteristik tanaman mendong sesuai dengan agroklimat sebagian zona dataran di wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Pengembangan tanaman mendong masih memungkinkan di Tasikmalaya, namun harus dilakukan secara selektif yaitu pada lahan‐lahan berawa yang kurang produktif untuk tanaman padi. c. Industri Kerajinan Pandan Usaha kerajinan pandan hampir sama dengan usaha kerajinan mendong, sama‐sama sudah ditekuni sejak lama oleh sebagian penduduk secara turun temurun, khususnya di sekitar lokasi sentra produksinya. Kegiatan proses produksi kerajinan pandan dikerjakan dengan menggunakan alat sederhana sehingga sangat mudah dikerjakan oleh siapapun termasuk ibu‐ibu rumah tangga. Pengadaan sarana produksi dan bahan baku usaha kerajinan pandan diupayakan sendiri oleh para pengrajin. Bahan baku dan penunjang industri kerajinan pandan yang biasa digunakan oleh para pengrajin yaitu anyaman pandan, kain, benang jahit, kancing dari batok kelapa, lem, zat warna/pengkilap, pernis, resluiting, tambang dan karton. Lokasi sentra produksi kerajinan pandan terletak di 11 (sebelas) desa yang berada di 5 (lima) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Rajapolah,
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 36
Laporan Akhir
Cibalong, Cikalong, Cipatujah dan Pagerageung. Sentra produksi terbesar dari usaha kerajinan pandan ini ada di Kecamatan Rajapolah. Pemasaran hasil kerajinan pandan terbilang tidak sulit, karena pada umumnya pembeli datang sendiri ketempat pengrajin. Pembeli yang datang ke tempat pengrajin adalah pedagang, baik pedagang besar maupun kecil, atau konsumen secara langsung. Pembeli umumnya berasal dari Tasikmalaya dan daerah lain terutama dari kota besar seperti Jakarta, Bandung maupun Bali. Barang kerajinan yang dibeli di Tasikmalaya terkadang dijadikan barang cenderamata dengan dijual lagi di daerah pariwisata lain. Tidak sedikit barang kerajinan pandan Tasikmalaya yang dijual di pasar seni di wilayah Bali yang kemudian dianggap cenderamata khas Bali. Biasanya pembeli dari daerah pariwisata untuk dipasarkan kembali agak sedikit mengubah tampilan kerajinan pandan ini, misalnya dengan tambahan finishing. Sementara itu pembeli dari luar negeri kebanyakan datang dari negara Jepang, Amerika, Singapura dan Eropa. Kebanyakan produk tas anyaman pandan dan produk setengah jadi diminati oleh konsumen dari Jepang dan Eropa, sementara konsumen dalam negeri tidak begitu banyak berminat terhadap jenis produk tersebut. Konsumen Eropa, terutama Italia menggunakan produk anyaman pandan setengah jadi untuk bahan pendukung sol sepatu, sedangkan pembeli dari Jerman mengggunakan produk setengah jadi ini untuk bahan pendukung interior mobil. Produk‐produk yang terbuat dari bahan dasar anyaman pandan ini banyak diminati oleh konsumen mancanegara karena memiliki sifat produk yang mudah didaur ulang dan ramah lingkungan, sehingga sampah produk ini nantinya tidak mengganggu lingkungan hidup. Adanya peningkatan permintaan terhadap produk kerajinan pandan ini membuat ketersediaan bahan baku yang ada di Tasikmalaya tidak mencukupi lagi, sehingga harus mendatangkan bahan baku dari luar daerah seperti Pangandaran, Ciamis, Gombong dan Kebumen. Melihat kondisi ini, sebenarnya masih terbuka peluang yang sangat besar untuk memanfaatkan lahan yang kurang produktif untuk menjadi lahan budidaya bagi tanaman pandan. Kendala lain yaitu walaupun usaha kerajinan pandan ini telah memiliki dukungan sumber daya yang terampil dan berpengalaman, namun para pengrajin umumnya adalah keluarga petani yang memanfaatkan waktu senggangnya di saat tidak menggarap sawah. Alhasil pada saat masa tanam atau panen banyak pengrajin yang tidak dapat bekerja karena mengutamakan menggarap sawahnya terlebih dahulu. Jika hal ini terus menerus terjadi, maka akan mengganggu keberlanjutan produksi kerajinan pandan secara keseluruhan. d. Wisata Kria Nagaratengah Berada di bawah Kompepar Kabuyutan Nagaratengah, wilayah Nagaratengah merupakan salah satu desa pengrajin yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Salah satu hasil produksinya adalah kerajinan dari batang salak yang dikembangkan oleh sarjana desain interior ITB asal Cineam. Kerajinan ini memanfaatkan batang salak yang banyak terdapat di wilayah Cineam. Wilayah Cineam sendiri dikenal dengan banyaknya perkebunan salak yang dimiliki oleh warganya. Adanya inovasi kerajinan dari batang salak ini membuat masyarakat Cineam memiliki alternatif pekerjaan lain selain Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 37
Laporan Akhir
berkebun. Produk yang dihasilkan antara lain berupa taplak meja, tatakan piring dan gelas, tas wanita dan lain sebagainya. Prospek kerajinan ini di masa mendatang sangat baik dan bisa menjadi pelopor daerah lain untuk mengembangkan produk ini. Hanya saja produksi kerajinan dari batang salak ini masih tergolong sedikit dan masih disesuaikan dengan permintaan saja. Selain kerajinan dari batang salak di Kecamatan Cineam juga terdapat kerajinan lainnya, antara lain, kerajinan anyaman bambu yang dikombinasikan dengan rotan dari Desa Ciampanan, pembuatan peralatan gamelan dari Desa Cineam, pembuatan calung dari Desa Rajadatu, serta kerajinan pahatan kayu dan batu dari Desa Nagaratengah. Jumlah produk yang dihasilkan juga masih relatif terbatas dan terkadang hanya disesuaikan dengan pesanan saja.
WISATA KULINER a. Makanan Tradisional Selain industri kerajinan, di Kabupaten Tasikmalaya juga terdapat beberapa industri makanan tradisional, khususnya makanan ringan. Beberapa industri makanan tradisional itu antara lain, dodol sirsak yang berpusat di Kecamatan Singaparna, dodol susu yang berpusat di Kecamatan Pagerageung, gula aren yang berpusat di Kecamatan Salopa, gula kelapa dan gulampo yang berpusat di Kecamatan Cikalong, serta keripik pisang dan sale pisang yang berpusat di Kecamatan Cipatujah. Umumnya makanan ringan tersebut diproduksi pada industri kecil dan rumah tangga. Pemasaran utama makanan ini dilakukan di Rajapolah bersama dengan hasil dari industri kerajinan lainnya. Selain itu makanan buatan Kabupaten Tasikmalaya ini juga dipasarkan di wilayah/kabupaten sekitarnya, bahkan hingga ke Bandung dan Jakarta.
WISATA BUDAYA a. Masjid Agung Manonjaya Masjid Agung Manonjaya terletak di Desa Manonjaya, Kecamatan Manonjaya, atau sekitar 12 Km dari pusat Kota Tasikmalaya. Masjid dengan gabungan arsitektur tradisional dan arsitektur klasik Eropa ini merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang dilindungi oleh undang‐undang kepurbakalaan Badan Arkeologi Nasional. Masjid ini dibangun pada tahun 1832 dan memiliki keterkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Sukapura serta sejarah berdirinya wilayah Tasikmalaya. Arsitek yang merencanakan dan membangun masjid ini adalah Patih Raden Tumenggung Danuningrat, tepat pada masa pemerintahan Bupati Sukapura yang ke‐8 (delapan). Hingga saat ini Masjid Manonjaya masih terawat dengan baik dan masih berfungsi sebagaimana layaknya sebuah bangunan masjid.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 38
Laporan Akhir
WISATA BUDAYA KAMPUNG TRADISIONAL a. Kampung Naga Objek wisata ini cukup banyak dikunjungi wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara karena letaknya yang strategis yaitu di jalur Tasikmalaya‐ Bandung melalui Garut. Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal ± 1,5 ha dengan lebih kurang 325 penduduk dari 100 keluarga yang hingga saat ini masih memegang teguh adat istiadatnya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di bagian Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat yang di dalamnya terdapat makam para leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah‐sawah penduduk, dan di sebelah utara serta timur dibatasi oleh Sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Secara administratif, Kampung Naga temasuk ke dalam wilayah Kampung Legok Dage, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu. Umumnya penduduk Kampung Naga memiliki mata pencaharian dari pertanian sawah dan ladang atau membuat kerajinan anyaman dari bambu. Gambar 3.11 Kampung Naga
Ketaatan terhadap adat dicerminkan dalam tatanan masyarakat dan karakter fisik permukiman tradisional Priangan yang khas. Daya tarik objek wisata Kampung Naga terletak pada kehidupan yang unik dari komunitas yang terletak di Kampung Naga tersebut. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyarakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memelihara adat istiadat leluhurnya, seperti misalnya berbagai upacara adat, upacara hari‐hari besar Islam, contohnya upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang). Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan dan wisatawan boleh mengikuti acara tersebut dengan syarat harus patuh pada aturan disana. Upacara‐upacara yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga lainnya ialah Upacara Menyepi, Upacara Hajat Sasih, dan Upacara Perkawinan. Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga memiliki pantangan mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, pertunjukan musik dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan alat musik sejenis gong. Hanya kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga, yaitu terbangan, angklung, beluk, dan rengkong yang boleh dipertunjukkan di Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 39
Laporan Akhir
dalam wilayah Kampung Naga. Namun demikian, warga Kampung Naga diperbolehkan untuk menyaksikan pertunjukan wayang atau kesenian lainnya asal pertunjukan tersebut berada di luar wilayah Kampung Naga. Rumah yang terdapat di Kampung Naga tidak boleh lebih dan kurang dari 108 bangunan baru, selain bangunan mesjid dan tempat pertemuan penduduk. Semua bangunan di Kampung Naga memiliki tipologi arsitektur yang sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagai penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik) dengan pintu dan jendela bangunan yang terbuat dari serat rotan. Orientasi bangunan di Kampung Naga seluruhnya menghadap ke Utara atau Selatan. Adanya tumpukan batu yang tersusun rapi dibeberapa tempat dengan ketinggian berbeda dan penggunaan bahan alami dalam tatanan bangunan maupun lingkungan merupakan ciri khas Perkampungan Naga. Di sepanjang jalan menuju Kampung Naga banyak toko‐toko yang menyediakan berbagai macam cenderamata hasil kerajinan tangan warga Kampung Naga dan warga Tasikmalaya pada umumnya dengan harga yang sangat murah dan dengan pilihan yang beraneka ragam. Cenderamata khas buatan warga Kampung Naga juga dapat dibeli langsung di rumah penduduk yang memproduksinya. Beberapa penduduk bahkan membuat display khusus cenderamata di bagian depan rumahnya.
WISATA ALAM a. Kawasan Wisata Gunung Galunggung Gunung Galunggung merupakan gunung api yang menjadi icon pariwisata Kabupaten Tasikmalaya. Gunung dengan ketinggian 2.167 m dpl ini dapat dicapai melalui jalan beraspal dengan menggunakan kendaraan roda empat dan atau roda dua. Jarak tempuh ke lokasi ini adalah sekitar 17 km dari pusat Kota Tasikmalaya. Objek wisata ini berupa kawasan wana wisata Kawah Gunung Galunggung dengan luas 5 ha, termasuk kedalam RPH Cisayong, BKPH Tasikmalaya, KPH Tasikmalaya. Secara administratif wilayah ini termasuk kedalam Desa Linggajati, Kecamatan Indihiang, Kabupaten Tasikmalaya. Kawasan wana wisata ini terletak pada ketinggian 1.250 m dpl ini memiliki suhu udara rata‐rata sekitar 250 C. Aktivitas wisata yang ditawarkan antara lain daya tarik wana wisata di areal seluas 120 ha yang mencakup kawah Gunung Galunggung. Objek lainnya adalah keindahan panorama hutan lindung, pemandian air dari sumber air panas pegunungan dengan kandungan belerang yang bermanfaat untuk pengobatan dan kesehatan (cure tourism). Perum Perhutani membangun Wana Wisata Cipanas Galunggung sejak tahun 1988. Wisatawan yang datang ke objek wisata ini dapat melakukan berbagai aktivitas seperti mandi, berendam dan berenang air panas, hiking, camping, maupun sekedar berekreasi sambil menikmati pemandangan alam pegunungan. Kawah yang begitu luas dan indah tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Salah satu keunikan Gunung Galunggung adalah danau yang terdapat dalam kawah, airnya dingin serta tidak tercium bau belerang dan ini merupakan hal
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 40
Laporan Akhir
yang berbeda dari gunung‐gunung berapi lainnya. Pada saat cuaca yang cerah disertai awan putih, wisatawan dapat menyaksikan keajaiban alam lainnya yaitu sungai‐sungai yang turun dari bukit Gunung Galunggung yang terlihat seolah‐olah dari langit. Lubang kepundan ini memang menjadi daya tarik kuat sehingga wisatawan umumnya tak puas hanya sekadar mandi air panas. Potensi wisata Gunung Galunggung dapat dan telah dikembangkan sebagai kawasan wisata. Fasilitas yang ada di kawasan ini berupa pemandian air panas, sepeda air, toko cenderamata & kios pedagang, mushola, tempat parkir dan gardu keamanan. Pemandian air panas (Cipanas) memiliki luas kurang lebih sekitar 3 hektar dan telah dilengkapi dengan fasilitas kolam renang, kamar mandi dan bak rendam air panas, serta bangunan untuk pemandian sebanyak 12 (dua belas) pancuran. Umumnya pengunjung objek wisata Galunggung adalah wisatawan lokal/domestik, khususnya yang datang dari wilayah Priangan Timur. Kedatangan mereka biasanya memanfaatkan hari libur nasional atau pada akhir pekan, biasanya hari Minggu. Peak season kedatangan pengunjung terjadi setahun sekali, yakni sebelum puasa (munggahan) dan setelah Lebaran. Kunjungan wisatawan dari mancanegara masih dibawah hitungan 100 orang rata‐rata per tahun. Rata‐rata wisatawan dalam maupun luar negeri yang berkunjung ke Gunung Galunggung berjumlah 213.382 orang per‐tahun. Permasalahan dan Isu‐Isu Strategis Pengembangan Kepariwisataan di Kabupaten Tasikmalaya Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tasikmalaya tahun 2004 – 2014 dan berdasarkan hasil Focus Group Disscussion (FGD) yang diadakan dalam rangka pengerjaan, terdapat beberapa permasalahan maupun isu strategis yang terkait dengan objek wisata alam dan budaya di Kabupaten Tasikmalaya, diantaranya: ‐ Permasalahan
Adanya beberapa kawasan rawan bencana, diantaranya kemungkinan meletusnya Gunung Galunggung, bencana banjir khususnya di wilayah sekitar sungai, kemungkinan tsunami di pesisir pantai selatan dan longsor pada wilayah dengan kondisi fisik kurang baik, khususnya di bagian selatan Kabupaten Tasikmalaya.
Masih perlunya sarana dan prasarana transportasi, sistem komunikasi, promosi yang baik, pengelolaan dan pemeliharaan objek wisata sesuai dengan karakteristik masing‐ masing potensi daya tarik wisata.
Masih kurangnya modal/dana dan tempat/bengkel industri kerajinan.
Akses jalan yang buruk di beberapa lokasi daya tarik.
Rendahnya riset sebagai dasar program
Bahan baku kerajinan yang terkadang kurang.
‐ Isu‐isu Strategis
Mitigasi bencana di kawasan‐kawasan tertentu.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 41
Laporan Akhir
Kualitas pengemasan cenderamata sebagai daya tarik wisata.
Hubungan antar pengrajin.
Produk pariwisata yang saling terkait dan menunjang satu sama lain.
3.1.3 Wilayah Ciamis Sebelum otonomi daerah, Kabupaten Ciamis bersatu dengan Kota Banjar, namun sejak 11 Desember 2002 wilayah Kabupaten Ciamis merupakan daerah otonom yang berdiri sendiri. Wilayah Kabupaten Ciamis terdiri dari 36 kecamatan dan 339 desa/kelurahan dengan pusat pemerintahan yang berada di Kota Ciamis. Secara geografis, Kabupaten Ciamis terletak pada 108°20ʹ ‐ 108°40ʹ BT dan 7°40ʹ20” LS, tepatnya di bagian tenggara Provinsi Jawa Barat atau sekitar 112 Km dari Kota Bandung. Adapun batasan wilayah Kabupaten Ciamis, mencakup: ‐
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan.
‐
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya.
‐
Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
‐
Sebelah timur berbatasan dengan Kota Banjar dan Provinsi Jawa Tengah.
Kabupaten Ciamis memiliki luas keseluruhan administratif sebesar 248.763 Ha dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 mencapai 1.457.146 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar 586 jiwa/km². Sebagian besar wilayah Kabupaten Ciamis berupa pegunungan dan dataran tinggi, kecuali di perbatasan dengan Jawa Tengah bagian selatan, serta sebagian wilayah pesisir pantai selatan. Kabupaten Ciamis memiliki garis pantai yang mencapai 91 Km dan terbentang di 6 kecamatan. Pantai selatan Ciamis bagian timur berupa teluk, diantaranya Teluk Pangandaran, Teluk Parigi, dan Teluk Pananjung. Kondisi alam Kabupaten Ciamis membuat wilayah ini kaya akan potensi pertanian, perikanan, dan pariwisata alam. Khusus untuk sektor pariwisata, unggulan dari Kabupaten Ciamis adalah keindahan pantai dan peninggalan sejarah Kerajaan Galuh. Adapun beberapa objek dan daya tarik wisata yang berada dalam kawasan studi ini, meliputi: Tabel 3.9 Sebaran Objek Wisata Kabupaten Ciamis yang Termasuk dalam Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan Nama Lokasi Karangkamulyan Kec. Cijeungjing Situs Gunung Susuru Kec. Cijeungjing Kampung Kuta Kec. Tambaksari Urug Kasang Kec. Tambaksari Astana Gede Kec. Kawali Situ Lengkong Panjalu Kec. Panjalu Curug Tujuh Kec. Panjalu Sumber : Petunjuk Pariwisata Kabupaten Ciamis, 2007
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 42
Laporan Akhir
Daya Tarik Wisata Kabupaten Ciamis
WISATA KRIA a. Industri Kerajinan Kaligrafi Warga Desa Padamulya, Kecamatan Cihaurbeuti, Kabupaten Ciamis, sudah lama menggeluti berbagai kerajinan tangan, mulai dari kipas hias ukuran besar, anyaman bambu untuk kebutuhan rumah tangga, hingga kaligrafi. Sebagian dari hasil kerajinan itu sejak tahun 1993 telah mampu tembus ke pasar luar negeri. Keterampilan membuat kerajinan ini sudah sejak lama diperoleh secara turun temurun. Sudah sejak lama Desa Padamulya menjadi sentra kerajinan, namun karena tidak memiliki pasar atau tempat khusus untuk menjualnya, maka sebagian besar kerajinan dari Padamulya dipasarkan di wilayah Rajapolah. Perkembangan kerajinan kaligrafi di wilayah ini didukung oleh bahan baku, yaitu pohon bambu yang relatif mudah ditemui. Kemudahan bahan baku ini semakin mempermudah usaha masyarakat dalam menjalankan usahanya.
WISATA KULINER a. Galendo Jawa Barat dikenal sebagai daerah yang kaya akan makanan tradisional, terutama makanan ringannya. Salah satunya adalah galendo (gelendo) Ciamis. Penganan berwarna merah yang terbuat dari ampas pembuatan minyak kelapa itu memang identik dengan wilayah Ciamis. Meski penganan sejenis sudah banyak bermunculan di sejumlah daerah lain, galendo Ciamis tetap punya keistimewaan tersendiri di lidah konsumen. Uniknya galendo khas Ciamis, kini memiliki banyak varian rasa, seperti cokelat, stroberi, nanas dan lain sebagainya. Makanan ringan ini umumnya dipasarkan ke kota atau kabupaten lain di sekitar Kabupaten Ciamis, bahkan hingga ke Jakarta. Kini galendo selain dipasarkan di toko oleh‐oleh juga sudah banyak tersedia di sejumlah supermarket ataupun toko serba ada dan dalam kemasaran yang menawan. b. Selai Pisang Banyak daerah menghasilkan panganan ringan berupa selai pisang ini, salah satunya ada di Kabupaten Ciamis. Bedanya selai pisang khas Ciamis berupa selai pisang yang telah digulung ataupun variasi bentuk lainnya. Namanya pun tak kalah unik, misalnya saja selai pisang lidah, selai pisang kipas dan lain sebagainya. Selai pisang khas Ciamis ini banyak diproduksi di Kecamatan Cijeungjing dan sudah cukup dapat diandalkan menjadi komoditas ekspor. Selain dipasarkan di dalam negeri, khususnya di wilayah Jawa Barat, selai pisang ini juga telah diekspor ke negara‐negara ASEAN dan Amerika Serikat.
WISATA BUDAYA a. Cagar Budaya Astana Gede Cagar budaya Astana Gede terletak di Desa Kawali, Kecamatan Kawali yang berjarak kurang lebih 21 km dari arah utara Kota Ciamis. Di sini terdapat beberapa buah batu
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 43
Laporan Akhir
bertulis (prasasti) yang merupakan cikal bakal bukti keberadaan Kerajaan Sunda yang dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kencana. Salah satu dari batu bertulis tersebut bertuliskan ʺMahayunan Ayunan Kadatuanʺ yang kemudian dijadikan sebagai motto juang Kabupaten Ciamis. Selain batu‐batu prasasti tersebut terdapat pula peninggalan lainnya yaitu: -
Seperangkat batu disolit, yakni batu tempat pelantikan raja yang disebut Palangka. Batu telapak kaki dan tangan dengan garis retak‐retak menggambarkan kekuasaan dan penanggalan (kalender). Tiga buah batu menhir: Batu Panyandaan, Batu Panyandangan, Batu Pamuruyan (alat untuk bercermin).
b. Cagar Budaya Karangkamulyan – Cijeungjing Cagar Budaya Karangkamulyan merupakan peninggalan dari pusat Kerajaan Galuh Pusaka yang dikukuhkan oleh Sang Hyang Parmanadikusumah. Lokasi cagar budaya ini terletak di Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, atau lebih kurang sekitar 16 km dari Kota Ciamis menuju ke arah timur. Fasilitas yang ada di lokasi ini antara lain adalah lapangan parkir, kios‐kios makanan serta cenderamata, rest area, masjid dan toilet. Gambar 3.12 Salah Satu Batu di Situs Karang Kamulyan
Di situs ini kita juga dapat melihat tempat‐tempat bekas peninggalan dari legenda Ciung Wanara yang merupakan salah seorang putera Sang Hyang Permanadikusumah. Peninggalan‐peninggalan tersebut antara lain: -
Batu Pangcalikan yaitu merupakan bekas singgasana yang juga berfungsi sebagai tempat bermusyawarah Raja. Penyambungan ayam, tempat Ciung Wanara menyabung ayam dengan Bondan Sarati. Sanghyang Bedil. Lambang Peribadatan. Sumber Air Citeguh dan Cirahayu. Makam Adipati Panaekan. Pamangkonan. Batu Anyandaan.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 44
Laporan Akhir
-
Patimuan. Leuwi Sipatahunan yang merupakan tempat bayi Ciung Wanara dibuang di Sungai Citanduy.
c. Situ Lengkong – Panjalu Objek wisata ini terletak di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu yang berjarak kurang lebih 41 km dari Kota Ciamis ke arah utara. Situ Lengkong Panjalu merupakan perpaduan antara objek wisata alam dan objek wisata budaya. Di objek wisata ini kita bisa menyaksikan indahnya danau (situ) yang berhawa sejuk dengan sebuah pulau terdapat di tengahnya (nusa) yang dikenal dengan nama Nusa Larang. Luas danau tersebut sekitar 70 Ha dan pulau Nusa Larang yang ada tengah‐tengahnya memiliki luas sekitar 9,25 Ha. Gambar 3.13 Situ Lengkong
Di Nusa Larang terdapat Makam Hariang Kencana yang merupakan putra dari Hariang Borosngora, yaitu Raja Panjalu yang membuat Situ Lengkong pada masa beliau memerintah di Kerajaan Panjalu. Untuk menghormati jasa para leluhur Panjalu, maka hingga saat ini warga keturunan Panjalu biasa melaksanakan semacam upacara adat yang disebut Nyangku. Acara ini dilaksanakan pada tiap‐tiap bulan Maulud dengan cara membersihkan benda‐benda pusaka yang disimpan di sebuah tempat khusus yang disebut Bumi Alit. Bumi alit ini termasuk dalam salah satu museum kecil yang ada di Kabupaten Ciamis dan memiliki koleksi berjumlah9 buah yang berupa sebuah pedang cis, 2 (dua) buah pedang biasa, 3 (tiga) buah keris, sebuah naskah, serta sebuah baju kebesaran peninggalan Raja Panjalu. Kegiatan wisata yang bisa wisatawan di lokasi ini antara lain, berperahu mengelilingi Nusa Larang, memancing, berkemah, berekreasi, atau hanya sekedar duduk‐duduk santai sembari melihat keindahan danau. d. Urug Kasang Urug kasang berupa lokasi dimana telah ditemukannya fosil‐fosil purba. Lokasi ini berada di Desa Tambaksari, Kecamatan Tambaksari yang berada ke arah timur laut Kota
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 45
Laporan Akhir
Ciamis. Fosil‐fosil yang ditemukan di lokasi ini diperkirakan berasal dari sekitar 700.000 sampai dengan 2 juta tahun yang lalu. Di lokasi ini terdapat sebuah museum kecil yang diberi nama Museum Fosil Tambaksari. Museum ini memiliki 21 benda koleksi yang terdiri dari 4 (empat) bagian fosil gajah purba, 2 (dua) bagian fosil rusa purba, 3 (tiga) bagian fosil kerbau purba, 6 (enam) jenis fosil kerang laut, dan 3 (tiga) jenis keramik. e. Situs Gunung Susuru Lokasi situs ini terletak di Desa Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing. Situs Gunung Susuru ini merupakan peninggalan cagar budaya berupa punden berundak dari masa Kerajaan Hindu (klasik). Luas situs ini kurang lebih 7 Ha yang berada diantara dua sungai, yaitu Sungai Cimuntur dan Sungai Cileueur. Pada lokasi ini juga terdapat 3 (tiga) buah gua, sebuah sumur batu, 3 (tiga) buah dolmen, 3 (tiga) buah altar dan peninggalan lainnya seperti manik‐manik, keramik, senjata, batu pipisan, batu peluru, dan lain sebagainya.
WISATA BUDAYA KAMPUNG TRADISIONAL a. Kampung Kuta Kampung Kuta secara administratif berada di wilayah Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, tepatnya di Desa Karangpaningal dan ditetapkan sebagai sebuah Dusun yaitu Dusun Kuta. Untuk menuju ke lokasi ini jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Ciamis berjarak sekitar 34 km menuju ke arah utara. Secara geografis, Kampung Kuta letaknya terpisah dengan kampung lain yang ada di Desa Karangpaninggal, karena berada di suatu lembah yang dikelilingi tebing‐tebing tegak lurus yang sekaligus menjadi batasan wilayah dengan kampung lainnya. Sebagai daerah yang berada di lembah, Kampung Kuta merupakan daerah yang subur. Amanat leluhurnya yang masih tetap dipertahankan di Kampung Kuta ini, antara lain: 1. Rumah panggung harus beratap rumbia atau ijuk (tidak boleh permanen). 2. Bentuk rumah persegi dan tidak boleh berbentuk sikon. 3. Penduduk yang meninggal harus dimakamkan di luar Kampung Kuta. 4. Dilarang ke tempat keramat selama hari Senin dan Jumat. 5. Tidak boleh menggunakan pakaian yang serba hitam. Karena ketaatannya memegang teguh adat dan aturan termasuk dalam menjaga kelestarian lingkungannya, pada tahun 2002, Kampung Kuta memperoleh penghargaan untuk kategori penyelamat lingkungan.
WISATA ALAM a. Curug Tujuh Cibolang Objek wisata ini diberi nama Curug Tujuh Cibolang karena mempunyai 7 (tujuh) buah air terjun (curug) yang terdapat pada sebuah bukit di kaki Gunung Sawal. Luas keseluruhan
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 46
Laporan Akhir
Wana Wisata Curug Cibolang ini adalah sekitar 20 Ha yang terletak di RPH Panjalu BKPH Ciamis. Lokasi tepatnya terletak di Desa Sandingtaman, Kecamatan Panjalu, atau lebih kurang 35 km arah utara Kota Ciamis. Wana wisata ini terletak pada ketinggian antara 800 – 900 m dpl, dengan konfigurasi lahan umumnya bergunung. Kawasan ini mempunyai suhu udara rata‐rata antara 18 – 170 C. Lokasi Curug Tujuh Cibolang ini berjarak sekitar 5 km dari Kecamatan Panjalu, 31 km dari Kabupaten Ciamis dan 112 km dari Kota Bandung. Kondisi jalan pada umumnya beraspal dan dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Sarana transportasi umum yang ada hanya ojek. Untuk menuju objek wisata ini dapat menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat atau mountain bike bagi yang mempunyai hobi olahraga bersepeda. Jika menggunakan kendaraan umum, dapat berangkat dari Terminal Ciamis menggunakan angkutan dengan jurusan Kawali Panjalu, atau langsung dari Bandung menggunakan angkutan jurusan Ciamis via Panjalu. Sebagian besar lokasi di wana wisata Curug Tujuh Cibolang terdiri dari hutan tanaman pinus. Sumber air yang ada di wilayah ini berupa mata air dan sungai yang saat ini dimanfaatkan dengan cara membuat instalasi penampungan untuk kepentingan air bersih dan MCK. Kita dapat menikmati keindahan dan keasrian ketujuh air terjun tersebut dengan cara mengitari bukit, menapaki jalan setapak mulai dari kaki bukit sampai ke puncak bukit dan berjalan memutar kembali. Potensi visual lansekap menuju lokasi air terjun ini cukup menarik dengan pemandangan alam berupa panorama hutan dan pegunungan. Wana wisata ini umumnya digunakan untuk wisata harian dan wisata berkemah. Kegiatan wisata harian yang dapat dilakukan adalah mandi di air terjun, piknik, jalan santai, hiking, trekking dan melihat adu binatang, sedangkan untuk kegiatan berkemah tersedia sebuah kompleks perkemahan seluas kurang lebih 2 Ha. Permasalahan dan Isu‐Isu Strategis Pengembangan Kepariwisataan di Kabupaten Ciamis Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ciamis tahun 2004 – 2013 serta berdasarkan hasil Focus Group Disscussion (FGD) terangkum permasalahan dan isu strategis yang terkait dengan objek wisata alam dan budaya Kabupaten Ciamis, yang mencakup: ‐ Permasalahan
Perkembangan pembangunan fisik di bagian utara kabupaten pada areal yang seharusnya untuk kawasan lindung dan kawasan penyangga.
Pengembangan bandar udara Nusawiru di Cijulang yang berfungsi untuk menunjang kepariwisataan dan pengembangan wilayah Kabupaten Ciamis bagian selatan yang kurang termanfaatkan dengan optimal.
Kawasan yang memiliki peranan khusus berupa fungsi lindung, sejarah dan kepariwisataan yaitu kawasan cagar budaya Situ Panjalu, kawasan Karangkamulyan di Kecamatan Cijeungjing, serta kawasan Kampung Kuta. Namun dalam pengembangannya belum optimal.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 47
Laporan Akhir
Sarana aksesibilitas yang sebagian masih dalam kondisi buruk.
Sarana dan prasarana pendukung kepariwisataan yang belum memadai.
‐ Isu‐isu Strategis
Perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian kurang terserap oleh sektor industri dan pariwisata. Dengan demikian sektor industri dan pariwisata di Kabupaten Ciamis memiliki laju peryumbuhan nilai tambah yang tidak seimbang dibandingkan dengan laju kesempatan kerjanya.
Pengembangan kawasan pariwisata berada di bagian selatan kabupaten, yaitu di wilayah Pangandaran, Cijulang Parigi dan Cimerak, sekaligus merupakan ketimpangan dengan wilayah Ciamis bagian utara.
3.1.4 Wilayah Banjar Pembentukan Kota Banjar tidak terlepas dari perkembangan Kabupaten Ciamis. Pada tahun 1992, Banjar menjadi Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 1991 tentang Pembentukan Banjar Kota Administratif yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 2 Maret 1992. Seiring dengan otonomi daerah, sejak tanggal 11 Desember 2002 wilayah Banjar ditetapkan menjadi kota yang otonom dan terpisah dari Kabupaten Ciamis. Secara administratif Kota Banjar terdiri dari 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Pataruman, Banjar, Purwaharja, dan Langensari, serta terdiri dari 24 desa/kelurahan. Secara geografis, Kota Banjar terletak pada 108°26ʹ ‐ 108°40ʹ BT dan 07°19ʹ ‐ 07°26ʹ LS, tepatnya di bagian tenggara Provinsi Jawa Barat atau sekitar 3 jam perjalanan berkendara dari Kota Bandung. Adapun batasan wilayah Kota Banjar, mencakup: ‐
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cisaga Kabupaten Ciamis.
‐
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cimaragas dan Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis.
‐
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Lakbok dan Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis.
‐
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis dan Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah
Kabupaten Ciamis memiliki luas keseluruhan administratif sebesar 13.197,23 Ha dengan jumlah penduduk pada tahun 2006 mencapai 168.912 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar 1.477,67 jiwa/km². Kota Banjar merupakan wilayah dengan ketinggian antara 20 sampai dengan 500 m dpl yang beriklim tropis. Tingkat kesuburan tanah di Kota Banjar umumnya tergolong sedang (baik). Sektor pertanian merupakan sektor yang memegang peranan cukup besar dalam perekonomian Kota Banjar, karena sebagian besar penduduk Kota Banjar masih menggantungkan mata pencaharian pada sektor ini. Selain itu sektor industri dan Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 48
Laporan Akhir
perdagangan juga menjadi sektor penting di kota ini. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kota Banjar, sektor industri di kota ini berjumlah 1.517 unit usaha dengan 6.897 tenaga kerja dan telah menghasilkan investasi sebesar 20,97 milyar rupiah. Sedangkan sektor perdagangan sendiri jumlah unit usaha ada 947 yang menyerap 3.272 tenaga kerja dan telah menghasilkan investasi sebesar 52,52 milyar rupiah. Sektor industri yang cukup berkembang adalah industri kerajinan dan makanan olahan. Dari data tersebut sebelumnya industri kerajinan memiliki 117 unit usaha yang menyerap 1.305 tenaga kerja dan memiliki nilai investasi sebesar 358,5 juta rupiah. Adapun komoditi unggulan dari sektor industri dan perdagangan di Kota banjar ini dapat dilihat pada tabel di halaman berikut. Tabel 3.10 Komoditi Unggulan Kota Banjar No. 1.
Komoditi
2.
Bordir/konveksi ‐ Kaos, baju koko, celana pendek ‐ Busana muslim, kebaya Tikar mendong
3.
Meubel
4.
Anyaman bambu
5. 6.
11.
Industri kerajinan bambu/kayu Kerajinan ‐ Miniatur alat musik ‐ Sanggar burung ‐ Ukiran tunggul kayu Industri makanan olahan ‐ Sale pisang ‐ Keripik pisang, singkong ‐ Rangginang ‐ Makanan ringan Air minum dalam kemasan Gula kelapa Industri logam alat rumah tangga Bata merah
12. 13. 14.
Kambing PE Beras organik Kentang hitam
7.
8. 9. 10.
Jumlah Unit Usaha Kapasitas/Tahun 5 kelompok
44,3 potong
2 unit usaha, 30 plasma 43 unit usaha
960 kodi
Langensari
780 pasang
Banjar, Pataruman, Purwaharja dan Langensari Langensari, Neglasari
1.080.000 buah 1.200 set 96 buah
Banjar, Neglasari Pataruman, Neglasari, dan Purwaharja
20 unit usaha 15 unit usaha 25 unit usaha 6 unit usaha
440 ton 53,2 ton 80 ton 72 bungkus
Pataruman, Langensari Pataruman Purwaharja Banjar
1 unit usaha 602 unit usaha 1 unit usaha
35.800 galon 1.200 ton 6.300 kodi
Banjar Langensari Langensari
400 unit usaha
17.863 buah
1.350 ekor 998,7 Ha 356,7 Ha
200 liter/hari 20 ton 68 ton
Pananjung, Karangpucung, dan Langensari Langensari Koptan Banjar Langensari
2 sentra, 65 unit usaha 1 unit usaha 4 unit usaha 1 unit usaha 2 unit usaha
372.074 buah
Lokasi Banjar, Pataruman
Sumber : http://www.banjar‐jabar.go.id/
Sementara itu sektor pariwisata saat ini belum menjadi sektor andalan bagi Kota Banjar. Namun demikian di wilayah ini terdapat beberapa objek dan daya tarik yang cukup sering
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 49
Laporan Akhir
dikunjungi, khususnya oleh wisatawan lokal dan regional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.11 berikut.
Tabel 3.11 Sebaran Objek Wisata di Kota Banjar yang Termasuk Dalam Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan Nama Situ Mustika Pulo Majeti/Rawa Onom Kokoplak Terowongan
Lokasi Desa Purwaharja, Kecamatan Purwaharja Desa Purwaharja, Kecamatan Purwaharja Desa Mulyasari, Kecamatan Pataruman Desa Binangun, Kecamatan Pataruman
Luas 2,5 Ha 2 Ha 1 Ha
Sumber : Petunjuk Pariwisata Kabupaten Ciamis, 2007
Daya Tarik Wisata Kota Banjar
WISATA KRIA a. Miniatur Alat Musik Kota Banjar memiliki komoditi unggulan berupa kerajinan tangan dari kayu yaitu miniatur alat musik. Kerajinan ini berpusat di Kecamatan Pataruman, Neglasari dan Purwaharja. Kerajinan miniatur alat musik saat ini terdiri dari 4 unit usaha dengan kapasitas total rata‐rata per‐tahun sebesar 1.200 set produk miniatur alat musik. Pasar dari usaha kerajinan miniatur alat musik ini masih terbatas pada pasar lokal, terutama kota atau kabupaten di sekitar Kota Banjar, seperti Tasikmalaya, Garut, Ciamis dan Bandung.
b. Sangkar Burung Produk kria lainnya yang diproduksi oleh Kota Banjar adalah kerajinan sangkar burung. Kerajinan sangkar burung ini terbuat dari kayu. Sama halnya dengan kerajinan miniatur alat musik, kerajinan sangkar burung ini berpusat di Kecamatan Pataruman, Neglasari dan Purwaharja. Kerajinan sangkar burung pada saat ini terdiri dari 1 unit usaha, dengan total kapasitas rata‐rata per‐tahun sebanyak 96 buah sangkar burung. Pasar dari usaha kerajinan sarang burung adalah pasar lokal wilayah Jawa Barat, khususnya wilayah kabupaten dan kota di sekitar Kota Banjar.
WISATA KULINER a. Sale Pisang Sale pisang, merupakan jenis makanan ringan umum yang terbuat dari bahan dasar pisang. Hampir setiap daerah memiliki makanan khas berupa sale pisang ini, tetapi sale pisang produksi Kota Banjar memiliki citarasa yang khas dan berbeda dengan sale pisang yang ada di tempat lain. Produksi sale pisang ini banyak terdapat di Kecamatan Pataruman dan Langen. Saat ini, produksi industri makanan ringan sale pisang yang ada
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 50
Laporan Akhir
di Kota Banjar berjumlah sekitar 20 unit usaha yang setiap tahunnya menghasilkan total produksi kurang lebih sekitar 440 ton sale pisang. Hasil dari industri ini didistribusikan ke wilayah Tasikmalaya, Garut, Banjar dan Ciamis untuk kemudian dijual di sentra makanan tradisional atau toko oleh‐oleh. b. Keripik Pisang dan Singkong Banyaknya sumber daya berupa bahan baku buah pisang dan singkong menjadi suatu peluang bernilai ekonomi bagi masyakarat Kota Banjar. Dengan kreativitas dan keuletan warga Kecamatan Pataruman, buah pisang dan singkong diubah menjadi makanan olahan khas Banjar yaitu keripik pisang dan singkong. Pada saat ini industri makanan ringan olahan berupa keripik pisang dan singkong berjumlah sekitar 15 unit usaha, dengan total produksi yang dihasilkan per‐tahunnya sebanyak kurang lebih 53,2 ton. Keripik pisang dan singkong ini umumnya dipasarkan ke wilayah Tasikmalaya, Bandung, Ciamis, Banjar dan Garut untuk dijual di sentra makanan tradisional ataupun toko oleh‐oleh.
WISATA ALAM a. Situ Mustika Situ Mustika adalah daya tarik wisata alam yang berupa danau dan berlokasi di Dusun Katapang, Desa Purwaharja, Kecamatan Purwaharja. Kawasan Situ Mustika ini memiliki luas area 2,5 Ha yang merupakan milik PT. Perhutani. Lokasi ini memiliki jarak sekitar 1 Km dari pusat Kota Banjar. Situ Mustika merupakan situ atau danau buatan yang awalnya berfungsi sebagai penampungan air pada kawasan hutan jati. Aktivitas pariwisata yang dapat dilakukan oleh wisatawan antara lain adalah memancing, berperahu, berekreasi, bersepeda air, serta berkemah. Biasanya lokasi ini dipadati pengunjung pada akhir pekan atau hari libur. Untuk masuk ke objek ini wisatawan yang datang ditarik retribusi sebesar Rp. 2.500/orang. Hingga saat ini wisatawan yang datang seluruhnya merupakan wisatawan nusantara (wisnus). Berdasarkan data tahun 2005, jumlah wisnus yang datang ke Situ Mustika sebanyak 1.575 orang, sedangkan pada tahun 2006, wisnus yang datang sebanyak 1.560 orang. Sarana dan prasarana yang ada di kawasan ini mencakup pintu gerbang yang berfungsi sebagai loket karcis, tempat parkir dan fasilitas toilet yang kurang terawat.
WISATA BUDAYA a. Situs Pulo Majeti Situs Pulo Majeti berlokasi di Dusun Siluman Baru, Desa Purwaharja, Kecamatan Purwaharja. Lokasi ini berjarak sekitar 4 Km dari pusat Kota Banjar. Kawasan Situs Pulo Majeti memiliki luas lahan sekitar 2 Ha dengan status kepemilikan oleh masyarakat. Wisatawan yang banyak datang ke situs ini seluruhnya adalah wisatawan nusantara (wisnus). Berdasarkan data tahun 2005, jumlah wisnus yang berkunjung ke Situs Pulo Majeti berjumlah 117 orang.
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 51
Laporan Akhir
b. Situs Kokoplak Situs Kokoplak terletak di Dusun Pananjung, Desa Mulyasari, Kecamatan Pataruman atau sekitar 2 Km dari pusat Kota Banjar. Kawasan ini memiliki luas kurang lebih 1 Ha yang statusnya masih merupakan tanah milik masyarakat. Wisatawan yang banyak datang ke situs ini seluruhnya adalah wisatawan nusantara (wisnus). Berdasarkan data tahun 2005 dari Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kota Banjar, jumlah wisnus yang berkunjung ke Situs Kokoplak ini berjumlah 265 orang. c. Wisata Seni Budaya Calang/Reog Tumaritis Batulawang Wisata seni budaya Calang atau lebih dikenal dengan sebutan Reog Tumaritis Batulawang ini merupakan pertunjukan kesenian khas Kota Banjar. Kesenian ini banyak diminati oleh masyarakat Banjar dan biasanya ditampilkan pada event‐event atau acara tertentu. Permasalahan dan Isu‐Isu Strategis Pengembangan Kepariwisataan di Kota Banjar Terkait dengan pengembangan objek wisat alam dan budaya di Kota Banjar terdapat beberapa permasalahan dan isu strategis, yang mencakup: ‐ Permasalahan
Objek dan daya tarik wisata yang ada belum dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang pengembangan wisata kria dan budaya Priangan, padahal banyak daya tarik yang potensial.
Sarana dan prasarana di objek dan daya tarik wisata masih kurang. Fasilitas yang sekarang tersedia pun banyak yang kurang terawat dengan baik.
‐ Isu Strategis
Pariwisata belum menjadi sektor andalan bagi Kota Banjar.
Potensi sektor pendukung (misalnya: sektor pertanian) belum dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang pariwisata Kota Banjar.
3.1.5 Potensi Wisata Gunung Api Wilayah Priangan yang meliputi gunung‐gunung utama di Jawa Barat memang terkenal dengan puncak kerucut gunung apinya. Wilayah Priangan yang meliputi Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar, dikelilingi oleh gunung‐gunung api, baik yang aktif, istirahat, maupun yang sudah tidak aktif. Tabel 3.12 berikut ini menunjukkan beberapa gunung api dan kemungkinan daya tarik wisata yang dapat dikembangkan. Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 52
Laporan Akhir
Tabel 3.12 Gunung Api di Wilayah Priangan dan Kemungkinan Daya Tarik Wisata yang Dapat Dikembangkan No. Nama Gunung Api Daerah 1 Guntur Kab. Garut
2
Papandayan
Kab. Garut
3
Cikuray
Kab. Garut
4
Kamojang Darajat
5
Situ Cangkuang
Kab. Garut
6
Galunggung
Kab. Tasikmalaya
7
Situ Gede
Kota Tasikmalaya
8
Sawal
Kabupaten Ciamis
dan Kab. Garut
Daya Tarik Wisata Mata air panas di kaki Gunung Guntur (Cipanas), hiking ke puncak/kawah 7 jam perjalanan melewati beberapa fenomena seperti air terjun, aliran lava, dan aktivitas kawah. Perlu dirancang pencapaian di puncak ketika matahari terbit Hiking ke berbagai kawah yang muncul setelah letusan tahun 2002; pengamatan aktivitas kawah utama maupun kawah‐ kawah penghasil belerang. Camping di beberapa puncak yang agak jauh dari kawah aktif seperti di Tegal Alun‐alun. Penjelajahan hingga menembus ke arah perkebunan teh Sedep dan Malabar di Kabupaten Bandung. Catatan: gunung api aktif. Sewaktu‐ waktu ditutup. Perlu pengetahuan tentang perilaku gunung api Hiking ke puncak untuk mendapatkan suasana matahari terbit. Memandang laut selatan dari puncak Aktivitas panas bumi (pembangkit listrik tenaga geotermal / PLTG). Beberapa tempat bisa dikembangkan spa (berendam dalam mata air panas/hangat) Danau sisa‐sisa dari hasil letusan G. Guntur purba. Pengamatan kawah baru setelah letusan tahun 1982 dengan mendaki 620 anak tangga. Penjelajahan beberapa puncak di sekitar kawah, dan fenomena di kaki gunung api seperti Perbukitan Sepuluh Ribu atau mata air panas Seperti juga Situ Cangkuang di Garut, Situ Gede adalah danau yang terbentuk setelah letusan purbakala dari Gunung Galunggung, bersamaan dengan terbentuknya Perbukitan Sepuluh Ribu. Perlu disurvei kemungkinan jalur hiking ke puncak Gunung Sawal, gunung api yang sudah tidak aktif lagi.
Sesuai dengan tema KWU Priangan yaitu kria dan budaya, pengembangan wisata gunung api dapat dikaitkan dengan tema utama, karena produk budaya masyarakat gunung api tentunya akan menghasilkan sutau budaya yang khas. Sebagai contoh, selain volcano‐ Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 53
Laporan Akhir
trekking ke puncak‐puncak gunung api, juga dapat dirancang penjelajahan situs‐situs purbakala yang berada di kaki atau lereng tengah gunung api. Mengapa situs ada di tempat itu, dari bahan batu apa situs dibangun, adakah kaitannya dengan letusan gunung api di masa lalu, hingga aktivitas upacara adat yang mungkin terkait dengan gunung api, bisa dikembangkan. Rekomendasi terbaik untuk wisata gunung api ketika aksesibitas dan fasilitas pendukung belum layak mendekati objek kawah, adalah dengan mengembangkan wisata gunung api aktif. Contohnya adalah volcano‐trekking dengan pemandu handal dalam beberapa grup kecil, jika dikemas dengan baik, akan menghasilkan suatu daya tarik wisata yang potensial.
3.2 Fasilitas Pendukung Kepariwisataan 3.2.1 Akomodasi Sebagai pendukung kegiatan berwisata, sarana akomodasi memegang peranan penting, khususnya untuk wisatawan yang datang dari luar daerah. Selain menunjang kegiatan pariwisata itu, keberadaan sarana akomodasi juga akan berpengaruh bagi pendapatan sektor pariwisata khususnya, dan pendapatan daerah pada umumnya. Jumlah hotel berbintang di masing‐masing kabupaten/kota yang termasuk dalam KWU Kria dan Budaya Priangan sebanyak 8 hotel, 331 jumlah kamar dan 542 tempat tidur. Jumlah hotel di Kabupaten Garut sebanyak 5 buah, dengan 176 jumlah kamar dan 360 jumlah tempat tidur, Kabupaten Tasikmalaya tidak memiliki hotel berbintang, Kabupaten Ciamis memiliki 1 buah hotel berbintang dengan jumlah kamar sebanyak 69 dan jumlah tempat tidur sebanyak 59 buah, Kota Tasikmalaya memiliki 2 hotel berbintang dengan jumlah kamar 86 buah dan jumlah tempat tidur 123 buah, sedangkan Kota Banjar tidak memiliki hotel berbintang. Untuk data selengkapnnya tercantum dalam tabel 3.13, 3.14 dan 3.15 berikut ini. Tabel 3.13 Jumlah Hotel Berbintang di Kabupaten/Kota yang Wilayahnya Termasuk dalam KWU Kria & Budaya Priangan Tahun 2006 Jumlah Hotel Bintang Kab. Garut 5 Kab. Tasikmalaya 0 Kab. Ciamis 1 Kota Tasikmalaya 2 Kota Banjar 0 Jumlah 8 Sumber :Hasil Kompilasi Data, 2007 Nama Kota/Kab
Jumlah Kamar 176 0 69 86 0 331
Jumlah Tempat Tidur 360 0 59 123 0 542
Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
III ‐ 54
Laporan Akhir
Tabel 3.14 Jumlah Akomodasi Lainnya di Kabupaten/Kota yang Wilyahnya termasuk dalam KWU Kria & Budaya Priangan Tahun 2005 Nama Kota/Kab
Akomodasi (Menurut Jumlah Kamar)