Kawasan Wisata Unggulan Priangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Akhir



BAB 1 



PENDAHULUAN            Bab Pendahuluan ini menguraikan latar belakang, tujuan dan sasaran studi, lingkup materi,  dan keluaran, serta kerangka pemikiran dan pendekatan studi pekerjaan Penyusunan Action  Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat.    



1.1 Latar Belakang  RIPPDA  Provinsi  Jawa  Barat  ‐yang  disusun  tahun  2005,  dan  telah  didasari  oleh  Peraturan  Gubernur  Jawa  Barat  Nomor  48  Tahun  2006,  adalah  rencana  yang  memuat  kebijakan  pengembangan  kepariwisataan  Jawa  Barat  dari  aspek  perwilayahan  pariwisata,  aspek  pengembangan  produk  wisata,  pengembangan  pasar  dan  pemasaran,  pengembangan  sumber daya manusia (SDM) kepariwisataan, dan pengembangan kelembagaan pariwisata.  Dokumen ini merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota  di  Jawa  Barat,  serta  “stakeholders”  lainnya,  yang  mengakomodasikan  isu‐isu  strategis  dan  perkembangan  terbaru  secara  terintegrasi  dan  sinergis  untuk  mencapai  kesejahteraan  masyarakat secara berkelanjutan.  RIPPDA Jawa Barat fokus pada pengembangan Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi  Jawa  Barat  dengan  menetapkan  tema  pengembangan  produk  wisata  yang  unik  dan  memunculkan  kekhasan  Jawa  Barat.  Pengembangan  9  (sembilan)  KWU  diharapkan  dapat  mengarahkan  kepariwisataan  Jawa  Barat  menjadi  lebih  fokus,  namun  tetap  memberikan  fleksibilitas/kelenturan untuk berkembangnya potensi‐potensi lain sehingga tetap mewadahi  kekayaan  alam  dan  sosial  budaya  Jawa  Barat,  saling  melengkapi  dan  meningkatkan  daya  tarik  wisata  Jawa  Barat  secara  keseluruhan.  Strategi  pengembangan  dan  indikasi  kegiatan  dijabarkan  pada  setiap  KWU  untuk  mendukung  terwujudnya  KWU  yang  berdaya  saing  tinggi.  Dalam  pelaksanaan  implementasi  RIPPDA  Jawa  Barat,  perlu  ditunjang  dengan  rencana tindak yang lebih rinci untuk setiap KWU Provinsi.   Action Plan dalam laporan ini fokus pada Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan, yang  merupakan salah satu kawasan unggulan yang memunculkan budaya Sunda Priangan yang  mendukung  pengembangan  jati  diri  dan  masyarakat  Jawa  Barat.  Lokasinya  yang  strategis,  antara KWU Pendidikan dan Perkotaan Bandung dengan jalur selatan menuju Jawa Tengah  dan  Pangandaran,  memposisikan  KWU  ini  secara  strategis  dalam  lingkup  Jawa  Barat  maupun nasional.   Action  plan  merupakan  rencana  detil  program  dan  kegiatan  yang  bersifat  aplikatif  dan  taktis,  sebagai  bagian  dari  kerangka  kebijakan  dan  strategi  pengembangan  pariwisata.  Sebagai  penjabaran  RIPPDA,  maka  action  plan  mengacu  pada  kebijakan  dan  strategi  yang  telah  dirumuskan  dalam  RIPPDA  Provinsi  Jawa  Barat.  Penyusunan  action  plan  diarahkan  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   



I   ‐   1



Laporan Akhir



kepada  penyusunan  kajian  yang  dapat  menjadi  pedoman  pengembangan  pariwisata  yang  implementatif  dan  terintegrasi  antarwilayah  serta  antarsektor  di  Provinsi  Jawa  Barat.  Namun  di  sisi  lain,  action  plan  yang  dihasilkan  harus  terintegrasi  dengan  rencana  pengembangan  wilayah  keseluruhan  dan  sejalan  dengan  rencana  pengembangan  kepariwisataan wilayah masing‐masing. Action plan perlu diselaraskan dengan RIPPDA dan  RTRW kabupaten/kota terkait, maupun rencana pengembangan lainnya di wilayah tersebut.   Lebih  lanjut,  sebagai  suatu  rencana  tindak,  program  yang  dirumuskan  harus  terfokus,  terukur,  menjawab  kebutuhan,  dan  diharapkan  dapat  menyelesaikan  permasalahan  yang  terjadi  di  wilayah,  dalam  jangka  pendek,  melalui  pemanfaatan  sumber  daya  yang  dimiliki  secara  optimal.  Rencana  yang  disusun  didasarkan  pada  tingkat  kepentingan  dan  kemampuan  sumber  daya,  dan  mengadaptasikan  berbagai  kemungkinan  perubahan  yang  terjadi dalam 5 tahun kedepan.  Pemahaman  dan  pertimbangan‐pertimbangan  tersebut  perlu  dicermati  dalam  penyusunan  Action  Plan  Pengembangan  Kepariwisataan  Jawa  Barat.  Tema  pengembangan  yang  telah  ditentukan  di  Kawasan  Wisata  Kria  dan  Budaya  Priangan  perlu  lebih  dimunculkan  dan  diperkuat  untuk  mendukung  pengembangan  kawasan,  yang  diharapkan  dapat  dijadikan  sebagai  motor  penggerak  kepariwisataan  di  Jawa  Barat,  sekaligus  menumbuhkembangkan  potensi kawasan‐kawasan wisata lainnya.  Untuk  lebih  jelasnya,  latar  belakang  penyusunan  studi  dapat  dilihat  pada  gambar  1.1  berikut.  



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   



I   ‐   2



Laporan Akhir



Gambar 1.1  Pemahaman terhadap Latar Belakang Penyusunan Studi    RIPPDA Provinsi Jawa Barat 2005 Kebijakan pengembangan kepariwisataan Jawa Barat: - aspek perwilayahan, pengembangan produk, pasar dan pemasaran, SDM dan kelembagaan.



Kawasan Wisata Unggulan (KWU): Memunculkan produk wisata yang unik dan khas Jawa Barat, saling melengkapi dan meningkatkan daya tarik wisata secara keseluruhan



ACTION PLAN Pedoman pengembangan yang lebih implementatif dan terintegrasi antarwilayah dan antarsektor. Fokus pada peningkatan peran serta masyarakat melalui penerapan Community Based Tourism Development. Untuk memperkuat tema produk wisata unggulan di masing-masing Kawasan



9 KWU Provinsi Jawa Barat Kawasan Wisata Industri & Bisnis Bekasi-Karawang



Kawasan Wisata Agro Purwakarta Subang



Kawasan Wisata Perkotaan dan Pendidikan Bandung (2006)



RIPPDA/RTRW/Renstra, dll yang terkait Potensi, permasalahan, isu strategis: Produk unggulan Potensi pasar, SDM, kelembagaan



Kawasan Wisata Budaya Pesisir Cirebon (2006)



Kawasan Wisata Minat Khusus Jabar Selatan



Kawasan Wisata Alam Pegunungan Puncak Kawasan Wisata Rekreasi Pantai Pangandaran



Kawasan Ekowisata PALABUHAN RATU (2007)



Kawasan Wisata KRIA dan BUDAYA PRIANGAN (2007)



Prinsip konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat, ekonomi, wisata.



Community Based Tourism Development, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal



RIPPDA/RTRW/Renstra, dll yang terkait Potensi, permasalahan, isu strategis: Produk unggulan Potensi pasar, SDM, kelembagaan



 



1.2 Dasar Hukum  Dalam  pekerjaan  Penyusunan  Action  Plan  Pengembangan  Kepariwisataan  Jawa  Barat  ini,  terdapat landasan hukum yang perlu dicermati, yaitu sebagai berikut:  1.



Undang‐Undang  Nomor  9  Tahun  1990  tentang  Kepariwisataan  (Lembaran  Negara  Tahun 1990, Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427). 



2.



Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati  dan ekosistemnya. 



3.



Undang‐Undang  Nomor  5  Tahun  1992  tentang  Benda  Cagar  Budaya  (Lembaran  Negara Tahun 1992, Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3470) 



4.



Undang‐Undang  Nomor  23  Tahun  1992,  tentang  Pengelolaan  Lingkungan  Hidup  (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699). 



5.



Undang‐Undang  Nomor  5  Tahun  2004,  tentang  Sistem  Perencanaan  Pembangunan  Nasional  (Lembaran  Negara  Tahun  2004,  Nomor  104,  Tambahan  Lembaran  Negara  Nomor 4421). 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   



I   ‐   3



Laporan Akhir



6.



Undang‐Undang  Nomor  32  Tahun  2004,  tentang  Pemerintah  Daerah  (Lembaran  Negara Tahun 2004, Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4434) 



7.



Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan  (Lembaran Negara Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3638) 



8.



Intruksi  Presiden  RI  Nomor  16  Tahun  2005,  tentang  Kebijakan  Pembangunan  Kebudayaan dan Pariwisata. 



9.



Peraturan  Menteri  Kebudayaan  dan  Pariwisata  Nomor  KM.64/HK.201/MKP/04,  tentang Pedoman Pengembangan Pariwisata Daerah. 



10.



Peraturan  Menteri  Kebudayaan  dan  Pariwisata  Nomor  KM.06/UM.001/MKP/06,  tentang  Penetapan  Rencana  Strategis  Departemen  Kebudayaan  dan  Pariwisata  Tahun  2005‐2009. 



11.



Peraturan  Daerah  Provinsi  Jawa  Barat  Nomor  15  Tahun  2000,  tentang  Dinas  Daerah  Provinsi Jawa Barat. 



12.



Peraturan  Daerah  Provinsi  Jawa  Barat  Nomor  5  Tahun  2002,  tentang  Perubahan  atas  Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2000. 



13.



Peraturan  Daerah  Provinsi  Jawa  Barat  Nomor  5  Tahun  2003,  tentang  Pemeliharaan  Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah. 



14.



Peraturan  Daerah  Provinsi  Jawa  Barat  Nomor  15  Tahun  2000,  tentang  Pemeliharaan  Kesenian. 



15.



Peraturan  Daerah  Provinsi  Jawa  Barat  Nomor  7  Tahun  2003,  tentang  Pengelolaan  Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai‐nilai Tradisional dan Museum. 



16.



Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2004, tentang Rencana Strategis  Provinsi Jawa Barat Tahun 2003‐2008.  



17.



Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 52 Tahun 2001, tentang Tugas, Pokok, Fungsi  dan Rincian Tugas Unit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat. 



18.



Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 64 Tahun 2003, tentang Tupoksi UPTD (Balai)  di Lingkungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat. 



19.



Peraturan  Gubernur  Jawa  Barat  Nomor  48  Tahun  2006,  tentang  Rencana  Induk  Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi Jawa Barat. 



20.



Keputusan  Kepala  Dinas  Kebudayaan  dan  Pariwisata  Provinsi  Jawa  Barat  Nomor  556/SK.1351/2006‐Binprog  tentang  Perubahan  atas  Keputusan  Kepala  Dinas  Kebudayaan  dan  Pariwisata  Provinsi  Jawa  Barat  Nomor  556/SK‐707  Binprog/2005  tanggal  1  Juli  2005  tentang  Rencana  Strategis  Dinas  Kebudayaan  dan  Pariwisata  Provinsi Jawa Barat Tahun 2005‐2009. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   



I   ‐   4



Laporan Akhir



21.



Peraturan  Daerah  Kabupaten  Garut  Nomor  23  Tahun  2001  Tentang  Rencana  Induk  Pengembangan Pariwisata Daerah Kabupaten Garut Tahun 2001 – 2010. 



22.



Peraturan  Daerah  Kabupaten  Garut  Nomor  13  Tahun  2005  Tentang  Retribusi  Pelayanan Izin Usaha Kepariwisataan. 



23.



Peraturan  Daerah  Kabupaten  Garut  Nomor  14  Tahun  2005  Tentang  Retribusi  Pelayanan Tempat dan Sarana Rekreasi. 



24.



Keputusan  Bupati  Garut  Nomor  319  Tahun  2004  Tentang  Tugas  Pokok,  Fungsi  dan  Tata Kerja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut. 



25.



Peraturan  Daerah  Kabupaten  Tasikmalaya  Nomor  17  Tahun  2006  Tentang  Rencana  Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD 2006 – 2010).  



26.



Peraturan  Daerah  Kabupaten  Tasikmalaya  Nomor  14  Tahun  2005  Tentang  Rencana  Detail Tata Ruang Ibukota Kabupaten Tasikmalaya. 



27.



Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata  Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya. 



28.



Peraturan  Daerah  Kota  Tasikmalaya  Nomor  5  Tahun  2007  Tentang  Retribusi  Tarif  Masuk dan Pemanfaatan Obyek dan Daya Tarik Wisata Situ Gede. 



29.



Keputusan Walikota Tasikmalaya Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Tugas Pokok, Fungsi  dan Rincian Tugas Unit Dinas Perindustrian dn Perdagangan Kota Tasikmalaya. 



30.



Peraturan  Daerah  Kota  Banjar  Nomor  47  Tahun  2004  Tentang  Rencana  Stratejik  Pemerintah Kota Banjar Tahun 2004 – 2009.  



31.



Peraturan  Daerah  Kota  Banjar  Nomor  22  Tahun  2004  Tentang  Ijin  Usaha  Kepariwisataan Dalam Kota Banjar. 



32.



Peraturan  Walikota  Banjar  Nomor  20  Tahun  2007  Tentang  Tugas  Pokok,  Fungsi  dan  Tata kerja Unsur Organisasi Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal  Kota Banjar. 



33.



Peraturan  Walikota  Banjar  Nomor  16  Tahun  2007  Tentang  Tugas  Pokok,  Fungsi  dan  Tata Kerja Unsur Organisasi Kantor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kota Banjar. 



34.



Keputusan  Walikota  Banjar  Nomor  230/Kpts.90‐Huk/V/2004  Tentang  Tugas  Pokok,  Fungsi dan Tata Kerja Unsur Organisasi Badan Perencanaan Daerah Kota Banjar. 



35.



Peraturan  Walikota  Banjar  Tentang  Tugas  Pokok,  Fungsi  dan  Tata  Kerja  Unsur  Organisasi Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjar. 



   



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   



I   ‐   5



Laporan Akhir



1.3 Tujuan dan Sasaran   Action  Plan  ini  bertujuan  sebagai  pedoman  yang  mengarahkan  perkembangan  kepariwisataan  Jawa  Barat  khususnya  di  KWU  Kria  dan  Budaya  Priangan,  dengan  memperkuat  tema  utama  masing‐masing  kawasan,  secara  terintegrasi  antarwilayah  dan  antarsektor, yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan .  Untuk mencapai tujuan pekerjaan seperti yang tercantum  di atas, maka sasaran yang perlu  dicapai adalah sebagai berikut:  ‐



Menguatnya tema kawasan sebagai tema produk wisata yang diunggulkan di KWU Kria  dan Budaya Priangan. 







Berkembangnya sektor‐sektor lain yang mendukung tema produk wisata unggulan. 







Meningkatnya  keterlibatan  masyarakat  setempat  dalam  pengembangan  produk  wisata  unggulan kawasan. 







Meningkatnya perhatian terhadap pelestarian lingkungan di daya tarik wisata unggulan  KWU Kria dan Budaya Priangan dan sekitarnya.  



 



1.4 Lingkup  1.4.1  Lingkup Wilayah  Ruang  lingkup  wilayah  pada  pekerjaan  Penyusunan  Action  Plan  Pengembangan  Kepariwisataan  Jawa  Barat  Tahun  2007  ini  adalah  Kawasan  Wisata  Kria  dan  Budaya  Priangan, yang merupakan  salah satu kawasan unggulan Provinsi Jawa Barat (lihat gambar  1.2 di halaman berikut).                          Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   



I   ‐   6



Laporan Akhir



Gambar 1.2  Lingkup Wilayah Studi dalam Konstelasi Provinsi Jawa Barat 



 



1.4.2  Lingkup Materi  Secara  garis  besar,  lingkup  materi  Penyusunan  Action  Plan  Pengembangan  Kepariwisataan  Jawa Barat meliputi:  1. Rencana pengembangan kepariwisataan maupun pengembangan wilayah yang terkait.  2. Pengembangan wisata kria dan budaya, serta wisata gunung api.  3. Karakteristik  Kawasan  Wisata  Unggulan  (KWU)  dan  pasar  wisatawan  potensial,  khususnya di wilayah perencanaan.          Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   



I   ‐   7



Laporan Akhir



1.5 Keluaran   Adapun keluaran yang terkait dengan substansi pekerjaan meliputi:  1. Arahan pengembangan kepariwisataan di Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan,  mencakup  visi,  misi,  tujuan,  dan  sasaran  pengembangan  kawasan,  serta  kebijakan  dan  strategi  pengembangan  yang  perlu  ditempuh  untuk  mencapai  tujuan  yang  ditetapkan,  dengan dimensi waktu jangka menengah (15 tahun).  2. Rumusan  program  pengembangan  /  kegiatan  yang  merupakan  penjabaran  strategi,  yang  memuat  tujuan  dan  sasaran  program,  jangka  waktu  pelaksanaan,  pengalokasian  sumber daya, termasuk instansi pelaksana, dan institusi terkait, dalam dimensi waktu 5  (lima) tahun.  Skema keluaran studi dapat dilihat dalam Gambar 1.3 berikut.  Gambar 1.3  Skema Keluaran Studi 



 



 



1.6   Kerangka Pemikiran dan Pendekatan Studi  Action  Plan  merupakan  suatu  rencana  yang  strategik  yang  berisi  program‐program  (termasuk  indikasi  kegiatan/proyek)  dengan  sasaran  jangka  pendek.  Action  Plan  mencakup  apa,  dimana,  kapan,  siapa,  dan  bagaimana  mengembangkan  pariwisata,  dan  menjadi  kerangka kerja bagi seluruh stakeholder kepariwisataan yang terkait.  Sebagai suatu rencana tindak, program yang dirumuskan harus terfokus, terukur, menjawab  kebutuhan,  dan  diharapkan  dapat  menyelesaikan  permasalahan  yang  terjadi  di  kedua  wilayah studi, dalam jangka pendek, melalui pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara  optimal. Program disusun berdasarkan  pada tingkat  kepentingan  dan kemampuan  sumber  daya, dan mengadaptasikan  berbagai  kemungkinan perubahan yang  terjadi dalam  5  (lima)  tahun kedepan.  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   



I   ‐   8



Laporan Akhir



Untuk itu perlu dikaji dengan lebih rinci dan mendalam mengenai:  -



Kebijakan dan rencana yang terkait dengan pengembangan kepariwisataan di wilayah  studi. 



-



Potensi  dan  permasalahan  pengembangan  kepariwisataan  di  wilayah  studi,  yang  mencakup  aspek  perwilayahan,  produk  wisata,  pasar  dan  pemasaran,  serta  SDM  dan  kelembagaan pariwisata, dengan penekanan pada tema pengembangan kawasan wisata. 



-



Isu‐isu  strategis  pengembangan  kepariwisataan  di  wilayah  studi  dan  keterkaitannya  dengan  perkembangan  sektor‐sektor  lain  di  wilayah,  maupun  dengan  KWU  lainnya  di  Provinsi Jawa Barat. 



Kajian  tersebut  akan  didasarkan  pada  data  hasil  survei  primer  dan  sekunder,  serta  diskusi  dengan stakeholders kepariwisataan di kedua wilayah studi. Hasil kajian tersebut selanjutnya  akan  menjadi  bahan  dalam  merumuskan  kebijakan  dan  strategi  pengembangan  Kawasan  Wisata Kria dan Budaya Priangan, dari aspek perwilayahan, pengembangan produk, pasar  dan pemasaran, SDM, dan kelembagaan, baik spasial maupun non spasial.   Selanjutnya  kebijakan  dan  strategi  tersebut  kemudian  dijabarkan  ke  dalam  rumusan  program‐program  melalui  diskusi  terfokus  (pelaksanaan  FGD  di  wilayah  studi)  bersama  seluruh stakeholders kepariwisataan yang terkait.  Adapun rumusan program kegiatan yang dihasilkan meliputi :  -



JUDUL program/kegiatan, tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai dari program tersebut,  serta indikator keberhasilan program. 



-



penentuan BATAS WAKTU pelaksanaan program 



-



penentuan  SUMBER  DAYA  yang  diperlukan  untuk  melaksanakan  program,  dan  pengorganisasiannya.  



-



penugasan  TANGGUNG JAWAB pelaksanaan program; siapa yang bertanggung jawab  untuk melaksanakan suatu program. 



Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran studi ini, dapat dilihat pada gambar 1.4  pada halaman berikut. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   



I   ‐   9



Laporan Akhir



Gambar 1.4  Kerangka Pemikiran Studi  RIPPDA Provinsi Jawa Barat Kebijakan dan strategi pengembangan Indikasi program pengembangan 9 Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi



KWU Lainnya Kebijakan dan rencana terkait



Perkembangan sektor lain



Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



Kawasan Ekowisata Palabuhan Ratu



Potensi, permasalahan, dan isu-isu strategis pengembangan kepariwisataan



Isu-isu strategis pengembangan kepariwisataan regional/ nasional Kepariwisataan regional, nasional



ACTION PLAN KWU Lainnya Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



Kawasan Ekowisata Palabuhan Ratu



KEBIJAKAN dan STRATEGI Pengembangan KWU RINCIAN PROGRAM/KEGIATAN: Judul, tujuan, sasaran Penanggung jawab, kerangka waktu, pengorganisasian sumber daya



    Penyusunan  action  plan  ini  dilakukan  dengan  menggunakan  pendekatan  perencanaan  participatory planning (pendekatan perencanaan partisipatif), dengan melibatkan berbagai  pihak  yang  berkepentingan  dalam  pembangunan  kepariwisataan  di  wilayah  studi.  Pihak‐ pihak yang terlibat, dengan kata lain berpartisipasi, selanjutnya melakukan kerjasama dalam  mencapai suatu tujuan yang melibatkan kepentingan‐kepentingan masing‐masing pihak.  Focus  Group  Discussion  (FGD)  dilaksanakan  di  Kota  Tasikmalaya,  selaku  pusat  Kawasan  Wisata Kria dan Budaya Priangan dihadiri oleh stakeholders kepariwisataan di wilayah studi.  FGD  menghasilkan  rumusan  potensi,  permasalahan,  serta  isu‐isu  strategis  yang  dihadapi  dalam  pengembangan  wisata  kria  dan  budaya,  yang  menjadi  pertimbangan  utama  dalam  merumuskan  arahan  pengembangan  kepariwisataan  di  Kawasan  Wisata  Kria  dan  Budaya  Priangan ini.   



1.7   Sistematika Pelaporan   Laporan Akhir Studi Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat ini  terdiri dari: 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   



I   ‐  10



Laporan Akhir



Bab 1  PENDAHULUAN  Bab  ini  berisikan  latar  belakang,  tujuan  dan  sasaran  studi,  lingkup  wilayah  dan  materi,  keluaran pekerjaan, kerangka pemikiran dan pendekatan studi, serta sistematika laporan.  Bab 2  KAJIAN KEBIJAKAN DAN PUSTAKA TERKAIT  Bab  ini  menguraikan  kajian  tentang  RIPPDA  Provinsi  Jawa  Barat  serta  konsep  pengembangan  Kawasan  Wisata  Unggulan  (KWU)  Provinsi,  dan  penjelasan  mengenai  rencana  tindak  dan  tahapan  penyusunannya.  Pada  bagian  akhir  bab  akan  ditinjau  pula  bahasan dan pengertian mengenai wisata kria dan budaya, serta wisata gunung api.  Bab  3  POTENSI  DAN  PERMASALAHAN  DALAM  KEPARIWISATAAN DI KWU KRIA DAN BUDAYA PRIANGAN 



PENGEMBANGAN 



Bab  ini  menguraikan  potensi,  permasalahan,  maupun  isu‐isu  strategis  pengembangan  kepariwisataan  yang  dihadapi  kawasan  Wisata  Kria  dan  Budaya  Priangan  dengan  fokus  pada pengembangan tema produk wisata utama di kawasan tersebut. Pada bagian akhir bab  ini akan disampaikan positioning kawasan dalam konteks KWU Provinsi Jawa Barat.  Bab 4  ARAHAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KAWASAN   Bab  ini  akan  menjelaskan  visi,  misi,  tujuan,  dan  sasaran  pengembangan  masing‐masing  kawasan,  serta  kebijakan  dan  strategi  pengembangan  kepariwisataan  yang  terkait  dengan  pengembangan tema produk unggulan di kawasan.   Bab 5  PROGRAM  PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN   Bab  ini  menguraikan  rangkaian  program  pengembangan  kepariwisataan  di  kawasan  studi  untuk aspek pengembangan produk, pengembangan pasar dan pemasaran, pengembangan  SDM,  pengembangan  kelembagaan,  serta  pengembangan  investasi.  Program  akan  dirinci  mencakup tujuan dan sasaran program, pentahapan dan pengalokasian sumber daya, serta  instansi penanggung jawab tiap program.   



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   



I   ‐  11



Laporan Akhir



BAB 2 



KAJIAN KEBIJAKAN DAN PUSTAKA  TERKAIT      Pada  bab  ini  akan  ditinjau  kembali  RIPPDA  Provinsi  Jawa  Barat  dan  penetapan  KWU  Provinsi untuk mendudukkan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan dalam konteks  KWU  Provinsi  Jawa  Barat.  Selain  itu  juga  akan  diuraikan  pemahaman  tentang  rencana  tindak  pariwisata,  serta  pengertian‐pengertian  mengenai  wisata  kria  dan  budaya,  maupun wisata gunung api. 



2.1 



RIPPDA Provinsi Jawa Barat dan Kawasan Wisata Unggulan 



2.1.1  RIPPDA Provinsi Jawa Barat  Rencana  Induk  Pengembangan  Pariwisata  Daerah  (RIPPDA)  Provinsi  Jawa  Barat  merupakan  pedoman  utama  bagi  pemangku  kepentingan  pariwisata  Jawa  Barat,  termasuk  pemerintah  provinsi  dan  kabupaten/kota  di  Provinsi  Jawa  Barat.  RIPPDA    ini  mengakomodasi  isu‐isu  strategis  dan  perkembangan  terbaru  secara  terintegrasi  dan  sinerjis  yang  dimaksudkan  untuk  mengarahkan  perkembangan  kepariwisataan  Jawa  Barat mencapai kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.  RIPPDA Provinsi Jawa Barat memfokuskan pada perencanaan satu atau beberapa daerah  tujuan  wisata  yang  memang  menjadi,  atau  akan  menjadi,  unggulan  provinsi.  Pengembangan  kawasan  wisata  unggulan  provinsi  diharapkan  akan  berdampak  ganda  terhadap  pengembangan  kawasan‐kawasan  wisata  maupun  sektor‐sektor  lain  di  Jawa  Barat.  Sebagai  pedoman  utama,  RIPPDA  Provinsi  Jawa  Barat  berisikan  (1)  konsep  pengembangan  kepariwisataan  Provinsi  Jawa  Barat  yang  dilandasi  pendekatan  perencanaan  dan  isu‐isu  strategis  pengembangan  kepariwisataan  Jawa  Barat,  (2)  identifikasi  Kawasan  Wisata  Unggulan  (KWU)  Provinsi  Jawa  Barat  dan  kawasan  wisata  unggulan  kabupaten/kota,  serta  (3)  arahan  kebijakan  dan  strategi  pengembangan  kepariwisataan  Provinsi  Jawa  Barat  dan  tahapan  indikasi  kegiatan  pengembangan  kepariwisataan di setiap kawasan wisata unggulan provinsi.  Konsep  pengembangan  pariwisata  Provinsi  Jawa  Barat  menjadi  kerangka  dalam  menyusun  visi,  misi,  tujuan,  dan  sasaran  pengembangan,  serta  arahan  dan  strategi  pengembangan  kepariwisataan  Provinsi  Jawa  Barat,  baik  secara  umum  maupun  khusus  di kawasan wisata unggulan provinsi. Konsep pengembangan kepariwisataan Jawa Barat  yang  dirumuskan  dalam  RIPPDA  terkait  dengan  potensi  dan  permasalahan 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   1 



Laporan Akhir



pengembangan  kepariwisataan  Jawa  Barat,  serta  isu‐isu  strategis  pengembangan  kepariwisataan yang dihadapi Jawa Barat. 



2.1.2  Visi dan Misi Pengembangan Pariwisata Jawa Barat  Visi pengembangan pariwisata Jawa Barat  adalah “Terwujudnya pariwisata Jawa Barat  yang mengangkat harkat dan martabat, serta meningkatkan kesejahteraan sosial, budaya,  dan ekonomi masyarakat dalam lingkungan yang berkelanjutan”.  Adapun misi pengembangannya meliputi:  1.  Menyebarluaskan implementasi pengembangan pariwisata yang berkelanjutan melalui  konservasi,  preservasi,  dan  rehabilitasi  sumber  daya  alam  dan  budaya  untuk  meningkatkan kualitas lingkungan hidup Jawa Barat.  2.  Meningkatkan daya saing pariwisata Jawa Barat di tingkat nasional dan internasional  melalui  pengelolaan  daya  tarik  wisata  dan  pelayanan  wisata,  serta  pemasaran  pariwisata yang tepat sasaran oleh sumber daya manusia Jawa Barat yang berkualitas  tinggi.  3.  Mengurangi  ketimpangan  pembangunan  melalui  penyebaran  kegiatan  pariwisata  yang mencakup daerah‐daerah yang belum maju di Jawa Barat.  4.  Mengembangkan  kelembagaan  kepariwisataan  yang  berazaskan  kerja  sama  yang  saling menguntungkan antara sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat.  5.  Meningkatkan  partisipasi  dan  keterlibatan  masyarakat  luas  dan  masyarakat  lokal  dalam  pengembangan  dan  kegiatan  pariwisata  untuk  memperbaiki  kesejahteraan  masyarakat.   



2.1.3  Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi  Dalam RIPPDA ini, definisi kawasan wisata mengacu pada konsep yang diajukan Gunn  (1996),  yaitu  kawasan  yang  secara  teknis  digunakan  untuk  kegiatan  pariwisata  yang  ramah lingkungan dengan batasan‐batasan sebagai berikut: 



1. Kawasan  wisata  adalah  area  unggulan  untuk  pengembangan  pariwisata  provinsi  atau daerah (kabupaten/kota). 



2. Kawasan  wisata  akan  atau  sudah  berfungsi  sebagai  identitas  daerah,  misalnya  kawasan bersejarah, pusat perbelanjaan, gunung, pantai, dan sebagainya. 



3. Kawasan wisata dapat tumpang tindih (overlap) dengan kawasan lain, baik kawasan  budidaya (misalnya kawasan pertanian, perdagangan) maupun kawasan lindung. 



4. Memiliki  keragaman  daya  tarik  wisata,  baik  yang  belum  maupun  yang  sudah  berkembang atau dikunjungi wisatawan. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   2 



Laporan Akhir



5. Memiliki batas kawasan secara imaginer, dengan unsur pengikat yang dapat berupa  fisik  (misalnya  jalan),  dan  atau  non  fisik  seperti  pengaruh  budaya  atau  tema  produk/kegiatan wisata.  Kawasan  Wisata  Unggulan  (KWU)  provinsi  merupakan  kawasan  wisata  yang  diunggulkan  di  tingkat  provinsi  yang  berperan  dalam  menjawab  isu‐isu  pokok  pembangunan  kepariwisataan  provinsi.  KWU  berperan  strategis  karena  keunikan  lokasi  maupun  tingginya  intensitas  kunjungan  wisatawan.  KWU  Provinsi  dapat  terdiri  dari  beberapa  daya  tarik  wisata  dalam  daerah  administratif  yang  berbeda  (lintaskabupaten/kota), yang memiliki keunggulan produk wisata yang dapat bersaing di  tingkat  regional,  nasional  (dan  bahkan  internasional),  dengan  target  segmen  pasar  wisatawan nasional/internasional. Pemerintah provinsi menjadi pemain utama dalam hal  pembinaan dan pengembangan KWU serta ikut bertanggung jawab dalam merencanakan  dan mendukung pengembangannya.  KWU  provinsi  dapat  memiliki  cakupan  wilayah  yang  berbeda  luasannya  dengan  batas  ʹimajinerʹ kabupaten/kota yang berada dalam cakupannya. Dengan demikian, suatu KWU  memiliki faktor pengikat kawasan yang dapat bersifat fisik (geomorfologis), seperti jalur  jalan dan jalur pantai, maupun nonfisik yang bersifat pengaruh suatu budaya.   Selain  itu,  setiap  KWU  memiliki  sumber  daya  wisata  utama/kegiatan  yang  telah  berkembang atau sumber daya wisata lain maupun kegiatan wisata lain yang diusulkan  untuk  dikembangkan,  serta  potensi  pasar  wisatawan  eksisting  dan  yang  akan  menjadi  sasaran  pasar,  baik  dilihat  dari  daerah  asal  wisatawan,  maupun  karakteristik  wisatawannya.  Sumber  daya  wisata  utama  suatu  KWU  nantinya  menjadi  tema  produk  wisata  utama  yang  akan  diunggulkan  dari  KWU  tersebut,  dan  akan  terkait  dengan  segmen pasar wisatawan yang menjadi sasaran.   



2.1.4  Keterkaitan  Kawasan  Wisata  Kria  dan  Budaya  Priangan  dengan  KWU  Provinsi Jawa Barat  Berdasarkan  hasil  diskusi  terfokus  (FGD)  yang  mempertimbangkan  aksesibilitas  jalur  jalan  utama  dan  daya  tarik  wisata  unggulan  yang  membentuk  tema  produk  kawasan,  maka RIPPDA Provinsi Jawa Barat telah menetapkan Kawasan Wisata Unggulan (KWU)  Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 9 (sembilan) kawasan sebagai berikut :  1.  Kawasan Wisata Industri dan Bisnis Bekasi‐Karawang  2.  Kawasan Wisata Agro Purwakarta Subang  3.  Kawasan Wisata Budaya Pesisir Cirebon  4.  Kawasan Wisata Alam Pegunungan Puncak  5.  Kawasan Wisata Perkotaan dan Pendidikan Bandung  6.  Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan  7.  Kawasan Ekowisata Palabuhan Ratu 



8. Kawasan Wisata Minat Khusus Jabar Selatan Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   3 



Laporan Akhir



9.  Kawasan Wisata Rekreasi Pantai Pangandaran  Untuk  lebih  jelasnya  dapat  dilihat  pada  gambar  2.1  Pembagian  KWU  Jawa  Barat  di  halaman berikut ini.  Gambar 2.1  Pembagian Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Jawa Barat 



            Sumber: RIPPDA Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 



  Kawasan  Wisata  Kria  dan  Budaya  Priangan  memiliki  produk  unggulan  yang  menjadi  tema  utama  adalah  barang‐barang  kria  serta  potensi  budaya;  dengan  tema  pendukung  adalah  wisata  gunung  api  dan  fenomenanya.  Kawasan  ini  merupakan  kawasan  yang  paling kental nuansa budaya Priangannya. Diharapkan wisatawan yang datang ke KWU  ini  dapat  mengenali  kebudayaan  Sunda  Priangan,  maupun  keterkaitannya  dengan  kondisi pegunungan api yang menjadi setting wilayah.  Budaya Sunda Priangan hidup dan berkembang di tanah Pasundan atau Tatar Sunda yang  dibatasi  oleh  Sungai  Cilosari  dan  Citanduy  (Harjoso,  1993).  Dalam  kehidupannya,  digunakan  Bahasa  Sunda  (Basa  Sunda)  untuk  pergaulan  sehari‐hari.  Basa  Sunda  yang  dikenal  halus  (lemes)  dan  murni  (pituin)  adalah  bahasa  yang  digunakan  masyarakat  daerah  Priangan,  diantaranya  Ciamis,  Tasikmalaya,  Garut,  Sukabumi,  dan  Cianjur  (Ekadjati, 1995). 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   4 



Laporan Akhir



Kata  sunda  sendiri  berasal  dari  bahasa  sansekerta  suddha  yang  dipakai  sebagai  nama  sebuah  gunung  tertinggi  yang  berada  di  wilayah  itu,  yaitu  Gunung  Sunda  (ketinggian  1.850 meter). Gunung ini terlihat dari jauh berwarna putih bercahaya – makna kata suddha  dalam  bahasa  sansekerta‐  karena  tertutup  oleh  abu  yang  berasal  dari  letusan  gunung  tersebut. Selanjutnya, nama gunung itu dipakai untuk  menamai wilayah di sekitarnya 1 .  Menurut  data  sejarah,  istilah  Sunda  yang  menunjukkan  pengertian  wilayah  di  bagian  barat  Pulau  Jawa  dengan  segala  aktivitas  manusia di  dalamnya  baru  dikenal pada abad  ke‐9  Masehi.  Istilah  tersebut  terdapat  dalam  prasasti  yang  ditemukan  di  Kebon  Kopi,  Bogor.  Sebelum  masuknya  pengaruh  Hindu‐Budha,  di  Tatar  Sunda  telah  hidup  kebudayaan yang diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang mendiami wilayah ini,  sebagaimana  tampak  dari  peninggalan  benda‐benda  budayanya.  Sayangnya,  pada  masa  tersebut  peninggalan  berupa  tulisan  hampir  tidak  ada  sama  sekali.  Maka  oleh  para  ahli  sejarah,  masa  sejarah  Tatar  Sunda  diperkirakan  baru  muncul  sekitar  1600  tahun  (dari  abad ke‐5 hingga awal abad‐21).   Kebudayaan  Sunda  setelah  masuknya  pengaruh  kebudayaan  Hindu‐Budha  terbentuk  dan  berkembang  pada  masa  Kerajaan  Tarumanegara,  Kerajaan  Galuh,  dan  Kerajaan  Sunda.  Masa  ini  berlangsung  pada  abad  ke‐5  hingga  ke‐16  Masehi.  Selanjutnya  terbentuklah masa Kerajaan Sunda Islami yang berkembang pada masa Kerajaan Cirebon  dan  Kasultanan  Banten.  Masa  ini  berlangsung  dari  abad  ke‐16  hingga  awal  abad  ke‐21.  Pada perkembangan selanjutnya setelah abad ke‐16, kebudayaan Sunda juga dipengaruhi  oleh kebudayaan Jawa dan budaya barat, akibat adanya kolonialisasi oleh Belanda selama  kurang lebih 3,5 abad. Perkembangan sejarah Tatar Sunda membuat sebagian wilayahnya  kini  sudah  tidak  lagi  memiliki  budaya  khas  Sunda,  karena  sudah  berakulturasi  dengan  budaya‐budaya lain, khususnya wilayah yang berada di pesisir. Budaya Sunda Priangan  yang masih asli umumnya berada di wilayah pegunungan yang berada di bagian tengah  wilayah Jawa Barat.   Sejarah  panjang  di  kawasan  Tatar  Sunda  membuat  wilayah  tersebut  banyak  memiliki  peninggalan  sejarah  maupun  budaya,  salah  satunya  berupa  situs  arkeologis,  beberapa  perkampungan  adat  Sunda  yang  masih  memegang  teguh  tradisinya,  serta  seni  dan  kria  yang  dihasilkan  masyarakatnya.  Potensi  yang  khususnya  berada  di  wilayah  KWU  Kria  dan  Budaya  Priangan  ini  kemudian  berkembang  menjadi  daya  tarik  wisata.  Salah  satu  contohnya adalah adanya desa wisata, yang memiliki artian suatu bentuk integrasi antara  atraksi,  akomodasi  dan  fasilitas  pendukung  yang  disajikan  dalam  suatu  struktur  kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku 2 . Di desa  wisata  ini,  wisatawan  yang  datang  dapat  hidup  dan  mengalami  aktivitas  sebagaimana  layaknya penghuni desa/kampung tersebut. Pengalaman berada dalam kehidupan Sunda  Priangan memiliki nilai tersendiri jika dibandingkan dengan wisata lain yang ditawarkan  oleh KWU lainnya di Jawa Barat.  Wilayah  Priangan  juga  ditandai  dengan  pertanian  perdesaan  sebagai  unit  sosial  yang  utama.  Di  beberapa  tempat  di  wilayah  ini  masih  dilakukan  pertanian  yang  bersifat  tradisional.  Dua  macam  penggarapan  tanah  pertanian  yaitu  pertanian  di  sawah  dan  di   Ekadjati, Edi S. “Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah” Jilid 1. Pustaka Jaya. Bandung 2005.    Nuryanti,  Wiendu.  1993.  Concept,  Perspective  and  Challenges,  makalah  bagian  dari  Laporan  Konferensi  Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 2‐3 



1 2



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   5 



Laporan Akhir



ladang,  memiliki  peranan  penting  bagi  masyarakat  Sunda.  Para  petani  dan  masyarakat  memiliki hubungan batin yang erat dengan lingkungan (patempatan), antara lain dengan  tanah, air, dan sawah/ladang garapannya (Priyani, 2000).  Keterkaitan  masyarakat  Sunda  dengan  lingkungan  alam‐budaya  (cultural  landscape)  ditunjukkan  pula  melalui  kerajinan  lokal  yang  kini  berkembang  ke  arah  industri  kria.  Kria  dapat  didefinisikan  sebagai  ”seni  dari  rakyat  untuk  rakyat,  berupa  karya  yang  anonim,  dikerjakan  melalui  tangan,  tidak  mahal,  berakar  dari  benda  yang  digunakan  secara massal dan fungsional dalam kehidupan sehari‐hari, dan merupakan representasi  wilayah tempat benda tersebut diproduksi” (ICCROM, 2002)  Dalam studi ini, kria tidak hanya dipahami sebagai ’barang’ atau ’benda’ hasil budidaya  manusia,  tetapi  juga  sebagai  proses  pembelajaran,  proses  ekonomi,  dan  proses  kreatif.  Wisata  kria  atau  craft  tourism,  memiliki  dua  peran  yang  saling  berkaitan.  Di  satu  sisi,  wisata  kria  adalah  salah  satu  strategi  pemasaran  dan  promosi  wilayah,  dalam  hal  ini  Kawasan  Wisata  Unggulan  Priangan,  dan  di  sisi  lain,  berperan  dalam  upaya  pelestarian/konservasi  craftsmanship  keunikan  lokal,  menghadapi  tantangan  era  industrialisasi dan globalisasi.  Jika  dilihat  lokasinya  dalam  Provinsi  Jawa  Barat,  Kawasan  Wisata  Kria  dan  Budaya  Priangan  ini  berada  diantara  KWU  Pendidikan  dan  Perkotaan  Bandung,  KWU  Rekreasi  Pantai Pangandaran, dan KWU Budaya Pesisir Cirebon. KWU Pendidikan dan Perkotaan  Bandung  merupakan  KWU  yang  banyak  dikunjungi  wisatawan,  khususnya  wisnus  Jakarta, sehingga merupakan sumber pasar wisatawan yang sangat potensial bagi KWU  Priangan.   Selain  itu,  KWU  Priangan  juga  dilalui  oleh  wisatawan  yang  akan  menuju  ke  KWU  Pangandaran,  atau  bahkan  melanjutkan  perjalanan  ke  Jawa  Tengah/Yogyakarta.  Lokasi  ini  strategis  sebagai  tempat  persinggahan  wisatawan.  Kondisi  yang  telah  terjadi,  Kampung  Naga  merupakan  salah  satu  objek  wisata  yang  disinggahi  oleh  banyak  wisatawan  yang  melakukan  land‐tour  ke  Pangandaran  atau  Yogyakarta.  Peluang  ini  tentunya perlu dimanfaatkan oleh KW Kria dan Budaya Priangan dengan sebaik‐baiknya  melalui pengemasan objek wisata yang menjadi unggulannya. 



2.2



Rencana Tindak Pariwisata 



Karakteristik  pariwisata  Provinsi  Jawa  Barat  yang  memiliki  ciri‐ciri  yang  berupa  perpaduan antara destinasi pariwisata di kabupaten dan kota didalamnya, menyebabkan  kompleksitas  pengelolaan  yang  amat  tinggi.  Oleh  karena  itu  dalam  melakukan  perencanaannya  harus  secara  cermat  mengetahui  tentang  kondisi  lingkungan  strategis  kepariwisataan secara efektif dan efisien dan juga berorientasi kepada permintaan pasar.  Hal  ini  bertujuan  agar  kegiatan  pembangunan  yang  dilakukan  dapat  dimengerti,  disepakati,  ditindaklanjuti  dan  dirasakan  manfaatnya  oleh  pelaku  pariwisata  di  tingkat  kabupaten/ kota yang menjadi sasaran pembangunan yang dilakukan.  Rencana  tindak  (action  plan)  merupakan  suatu  dokumen  perencanaan  yang  menjadi  rujukan  operasional  bagi  pelaku  atau  pengelola  berkaitan  dengan  jenis  kegiatan,  lokasi,  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   6 



Laporan Akhir



biaya,  instansi  pelaksana  dan  waktu  pelaksanaan.  Rencana  tindak  membagi  strategi‐ strategi  ke  dalam  bagian‐bagian  yang  dapat  memudahkan  koordinasi  dalam  implementasi rencana strategis menuju sasaran dan tujuan. Rencana tindak ini berkaitan  dengan spesifikasi tugas‐tugas yang mencakup penugasan orang/instansi, alokasi sumber  daya  manusia,  alokasi  sumber  daya  material  dan  finansial,  dan  jadwal  untuk  penyelesaian tugas tersebut.   Untuk lebih mengoperasionalkan kebijakan maupun strategi, program‐program strategis  yang harus dilaksanakan sehingga diperlukan suatu rencana tindak di tingkat pelaksana  di  lapangan  (sektoral  maupun  regional).  Tanpa  rencana  tindak  ini,  implementasi  perencanaan  pengelolaan  belum  terjabarkan  secara  eksplisit  karena  program  yang  diuraikan  dari  setiap  isu  hanya  melahirkan  strategi‐strategi.  Rencana  tindak  memuat  kegiatan‐kegiatan  untuk  mewujudkan  pencapaian  setiap  sasaran  sehingga  rencana  ini  harus  disusun  berdasarkan  prioritas,  tujuan,  indikator,  kerangka  waktu  dan  sistem  pemantauan.  Rencana  tindak  pariwisata  mencakup  siapa,  apa,  dimana,  kapan,  dan  bagaimana  membuat  kegiatan  pariwisata  dapat  berjalan.  Kondisi  tentu  harus  dapat  dilihat  dari  berbagai  sudut  pandang  pelaku  kepentingan,  tidak  saja  pemerintah  daerah  setempat,  namun  juga  pelaku  industri  pariwisata,  organisasi/  lembaga  swadaya  masyarakat,  maupun  stakeholder  lainnya.  Analisis  mengenai  sumber  daya  pariwisata  dan  berbagai  kepentingan  yang  ada  sangat  mendukung  pengembangan  dan  pemasaran  bagi  wilayah  yang  akan  dikembangkan.  Tujuan  akhir  dari  rencana  tindak  selain  untuk  mengembangkan  sektor  pariwisata  di  suatu  wilayah,  juga  untuk  meningkatkan  kontribusi  sektor  pariwisata  khususnya  bagi  perekonomian  lokal,  sehingga  pada  akhirnya dapat memiliki nilai kompetitif terhadap wilayah lainnya.  Rencana  tindak  pengembangan  pariwisata  berupa  rencana  detil  program  dan  kegiatan  yang bersifat aplikatif dan taktis sebagai bagian atau sub sistem dari kerangka kebijakan  makro  dan  strategi  rencana  pengembangan  pariwisata.  Strategi  taktis  yang  dirumuskan  dalam  rencana  tindak  ini  merupakan  suatu  rencana  implementasi  yang  bersifat  fokus,  terukur,  menjawab  kebutuhan,  dan  dapat  memecahkan  persoalan  pembangunan  kepariwisataan  yang  terjadi,  khususnya  dalam  jangka  pendek  dan  menengah.  Lebih  lanjut,  rencana  yang  disusun  haruslah  juga  dapat  mengendalikan  proses  berjalan  dan  pengendalian  sumber  daya  pariwisata  secara  proporsional.  Penjabaran  strategi  menjadi  rencana tindak terhadap pengembangan kawasan pariwisata unggulan secara fungsional,  terpadu  antarwilayah,  dan  saling  menguntungkan.  Rencana  tindak  pengembangan  pariwisata  ini  diharapkan  akan  mampu  mendorong  terwujudnya  kedekatan  visi  dan  persepsi,  menumbuhkembangkan  prilaku  koordinasi,  kerjasama,  dan  self  correction  dari  para pelaku terkait.        



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   7 



Laporan Akhir



 



2.2.1  Komponen‐komponen Rencana Tindak Pariwisata  Pengembangan rencana tindak pariwisata mencakup 5 (lima) komponen, yaitu:  1.    Atraksi Wisata  Berupa  daya  tarik  wisata,  baik  alam  maupun  buatan  yang  berada  di  dalam  suatu  wilayah  dan  memiliki  daya  tarik  yang  dapat  mendatangkan  wisatawan,  misalnya  pantai,  danau,  pegunungan,  situs  budaya,  taman,  industri,  pameran,  dan  lain  sebagainya.  2.    Promosi  Merupakan  sarana  pemasaran,  berupa  periklanan,  pameran  pariwisata,  artikel  di  media  cetak,  brosur,  peta,  video  atau  film,  pemandu  wisata  elektronik,  serta  poster  dan pusat informasi wisatawan.  3.    Infrastruktur  Berupa  sarana  dan  prasarana  dasar  yang  menunjang  kegiatan  pariwisata,  misalnya  jalan,  bandara,  jaringan  komunikasi,  terminal,  lokasi  parkir,  tempat  pembuangan  sampah, pelayanan listrik dan air bersih, rambu‐rambu lalu lintas, serta lapangan atau  area  terbuka  milik  masyarakat  yang  dapat  digunakan  sebagai  lokasi  kegiatan  pariwisata.   4.    Pelayanan  Berupa  fasilitas  yang  dibutuhkan  oleh  wisatawan  selama  melakukan  perjalanan  wisata,  mencakup  diantaranya,  akomodasi,  camping  ground,  restoran  dan  rumah  makan, pertokoan, serta toko cenderamata.  5.    Hospitality  Keramahtamahan  merupakan  kunci  penting  yang  dapat  menggabungkan  keempat  komponen  di  atas  menjadi  satu  kesatuan  kepariwisataan  yang  utuh.  Hal  ini  juga  menjadi  faktor  penting  yang  dapat  membuat  wisatawan  menjadi  nyaman  dalam  berwisata dan bukan tidak mungkin akan kembali datang, serta secara tidak langsung  turut mempromosikan suatu wilayah kepada kerabatnya.  Untuk  dapat  menghasilkan  rencana  tindak  pengembangan  pariwisata  yang  bersifat  terintegrasi,  maka  proses  perencanaan  yang  bersifat  koordinatif,  komunikatif,  dan  sinergis amat penting dilakukan oleh setiap pihak yang terlibat sesuai dengan kapasitas,  fungsi,  tugas  dan  tanggung  jawab  masing‐masing.  Oleh  karena  itu,  untuk  dapat  merumuskan  rencana  tindak  pengembangan  pariwisata  yang  terpadu  (integrated)  maka  dalam  proses  perencanaannya  harus  melibatkan  berbagai  pihak  terkait  (stakeholder).  Dengan  kata  lain  diperlukan  koordinasi  yang  baik  antar  stakeholder  kepariwisataan  maupun dengan pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan  pengembangan kepariwisataan di kawasan tersebut. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   8 



Laporan Akhir



 



2.2.2  Tahapan Penyusunan Rencana Tindak Pariwisata  Secara  garis  besar  penyusunan  rencana  tindak  (action  plan)  pariwisata  terdiri  dari  beberapa tahapan sebagai berikut:  ƒ



Kesepakatan  dan  penentuan  organisasi  pelaksana  pekerjaan,  serta  pembentukan  steering  committee  yang  terdiri  dari  stakeholder  atau  pihak‐pihak  yang  memiliki  kepentingan, baik pemerintah, swasta/ industri pariwisata, organisasi pariwisata dan  praktisi  maupun  masyarakat  di  kawasan  studi.  Steering  committee  akan  memberikan  masukan  maupun  saran  terhadap  analisis  dan  langkah‐langkah  yang  terkait  dengan  rencana tindak.  



ƒ



Mengidentifikasi pasar wisatawan yang ada sekarang, untuk mendapatkan informasi  yang  relevan  mengenai  kondisi  pemasaran  di  wilayah  studi.  Informasi  ini  nantinya  akan digunakan sebagai data utama dalam penyusunan rencana tindak. Beberapa hal  yang perlu dicermati dalam mengidentifikasi pasar wisatawan eksisting, antara lain:  -



Alasan  kedatangan  wisatawan,  apakah  untuk  bisnis,  pleasure,  pelayanan  lokal,  mengunjungi kerabat atau teman, atau hanya sekedar melewati kawasan studi. 



-



Pelayanan yang biasanya diminati atau dicari oleh wisatawan yang datang. 



-



Waktu  kunjungan  wisatawan;  peak  season  dalam  satu  tahun,  di  bulan‐bulan  apa  saja. 



-



Moda transportasi yang biasa digunakan baik ke dan dari kawasan studi maupun  di dalam kawasan studi itu sendiri. 



-



Lama tinggal wisatawan. 



-



Biaya yang mereka keluarkan selama berwisata/ berkunjung ke kawasan studi. 



-



Sosio‐demografis  wisatawan;  umur,  jenis  kelamin,  pendidikan,  pekerjaan,  kelas  pendapatan, serta daerah asal wisatawan. 



-



Kecenderungan baru wisatawan yang dapat merubah gaya berwisata (jika ada). 



ƒ



Pengembangan  profil  pasar  pariwisata,  untuk  mengetahui  lebih  detail  mengenai  profil  wisatawan  yang  datang  ke  kawasan  studi,  khususnya  dari  kegiatan‐kegiatan  yang  dilakukan  di  kawasan  studi.  Misalnya  untuk  jenis  wisatawan  bisnis,  mereka  berkunjung  untuk  urusan  pekerjaan,  rapat  atau  temu  bisnis;  namun  disamping  itu  mereka  juga  berwisata  ke  pantai  atau  berbelanja  cenderamata.  Dengan  mengetahui  profil  wisatawan  dengan  lebih  detail,  maka  akan  lebih  mudah  dalam  menentukan  pasar dan promosi yang tepat serta efektif di kawasan studi.  



ƒ



Menyusun daftar aset pariwisata yang ada di kawasan studi. Aset pariwisata sendiri  dapat  dikategorikan  ke  dalam:  (1)  Atraksi/Daya  Tarik  Wisata;  (2)  Promosi;  (3)  Infrastruktur;  (4)  Hospitality;  dan  (5)  Pelayanan.  Daftar  aset  ini  penting  untuk 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   9 



Laporan Akhir



mengetahui  potensi  kepariwisataan  yang  telah  ada  ataupun  yang  dapat  dikembangkan di kawasan studi.  ƒ



Mengenali  kepentingan  pariwisata,  khususnya  aspek  negatif  atau  dianggap  kurang  yang terkait di kawasan studi, mencakup:  -



Aset negatif 



-



Kekurangan yang ada 



-



Ide/rencana/proposal yang belum dikembangkan 



Dari  ketiga  aspek  tersebut  dapat  dijabarkan  kembali  aspek  mana  yang  dapat  dimanfaatkan untuk kepentingan kegiatan pariwisata di kawasan studi. Penentuan ini  dapat  dilakukan  dengan  diskusi  khususnya  bersama  masyarakat  sekitar  kawasan  yang  lebih  memahami  wilayah  studi.  Bukan  tidak  mungkin  aspek  yang  awalnya  dinilai  negatif  atau  mengalami  kekurangan  dapat  menjadi  aspek  unggulan  bagi  pariwisata di wilayah tersebut.  ƒ



Menentukan  pasar  wisatawan  yang  potensial,  setelah  sebelumnya  mengidentifikasi  dan  menganalisis  mengenai  profil  wisatawan  yang  datang  ke  kawasan  studi.  Penentuan  pasar  potensial  menjadi  salah  satu  dasar  penentuan  dalam  fokus  pengembangan pariwisata di kawasan studi. 



ƒ



Penentuan  tujuan  dan  sasaran  pariwisata  yang  sinergis  dengan  kebijakan  pariwisata  di  wilayah  yang  lebih  luas  (kabupaten  atau  provinsi)  maupun  kebijakan/  nilai  lokal  kemasyarakatan di kawasan studi. Sebaiknya tujuan dan sasaran dibuat sesederhana  mungkin  agar  realistis  dan  lebih  mudah  diukur.  Sebaiknya  tujuan  dan  sasaran  juga  dibuat berdasarkan anggaran biaya yang direncanakan serta target waktu pencapaian  yang jelas. 



ƒ



Pengembangan  langkah  atau  tahapan  program  dan  kegiatan  yang  sesuai  dengan  tujuan  dan  sasaran  yang  telah  ditetapkan.  Tahapan  ini  harus  dibuat  lebih  spesifik,  sedetail  mungkin,  dan  harus  realistis  agar  lebih  mudah  dipahami  maupun  diimplementasilkan.  



ƒ



Mengadakan focus group discussion (FGD), lokakarya atau diskusi dengan melibatkan  stakeholder,  khususnya  masyarakat  dan  pelaku  pariwisata  di  kawasan  studi  guna  mendapatkan  umpan  balik  terhadap  rencana  yang  telah  disusun.  Hasil  diskusi  dan  masukan  yang  diperoleh  dari  stakeholder  nantinya  akan  digunakan  untuk  menyempurnakan rencana tindak yang telah disusun. 



ƒ



Penyempurnaan  rencana  tindak  (action  plan)  setelah  mengevaluasi  rencana  berdasarkan masukan dari FGD/diskusi dengan stakeholder. 



Setelah Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan menghasilkan dokumen  rencana tindak,  beberapa langkah lagi yang perlu dilakukan, yaitu: 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   10 



Laporan Akhir



ƒ



Implementasi  dari  rencana  tindak  yang  telah  disepakati  bersama  oleh  seluruh  stakeholder.  Pada  implementasi  ini  juga  ditentukan  badan  pengelola  atau  pelaksana  rencana tindak sesuai dengan kesepakatan dari berbagai pihak yang berkepentingan. 



ƒ



Pendapat  dari  pihak  yang  berpengalaman  di  luar  stakeholder  terhadap  implementasi  dari rencana tindak yang telah dilakukan. Pihak luar ini dapat berupa (1) konsultan,  (2)  publikasi  di  media,  (3)  organisasi  swasta  terkait  pariwisata.  Masukan,  kritik  dan  saran dari pihak luar ini sebetulnya dapat bermanfaat bagi umpan balik implementasi  dari rencana tindak, karena secara tidak langsung pihak‐pihak ini telah mengevaluasi  rencana tindak yang sedang dilakukan.  



ƒ



Monitoring atau evaluasi dari hasil rencana tindak yang telah dilakukan. Tahapan ini  sebaiknya dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat di dalam penyusunan rencana  tindak,  agar  hasilnya  lebih  objektif.  Beberapa  garis  besar  evaluasi,  antara  lain  (1)  rencana  atau  langkah  yang  telah  dilakukan,  (2)  hasil  yang  signifikan  dari  rencana  tindak yang telah dilaksanakan, (3) perubahan dari tujuan maupun sasaran yang telah  ditentukan di awal penyusunan rencana tindak, (4) usulan revisi rencana tindak (jika  diperlukan),  (5)  komentar  personal  dengan  se‐obyektif  mungkin,  sesuai  dengan  kondisi yang ada.  



Berikut adalah diagram tahapan penyusunan Rencana Tindak.                                                          Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   11 



Laporan Akhir



Gambar  2.2  Tahapan Penyusunan Rencana Tindak (Action Plan)  Rencana Strategis Penyusunan Action Plan



Pembentukan Organisasi Pelaksana & Steering Committe



Identifikasi dan analisis profil Pasar Wisatawan



Identifikasi Aset Pariwisata Kawasan Studi



Pasar Wisatawan Potensial



Potensi Kepariwisataan Wilayah Studi



Review Kebijakan & Peraturan Terkait



Penentuan Tujuan & Sasaran Pariwisata



Penyusunan/ Pengembangan Tahapan Program Focus Group Discussion (FGD)



Dokumen Rencana Tindak



 



  Dengan selesainya tahapan dari rencana tindak bukan berarti pekerjaan di kawasan studi  sudah  selesai,  yang  terpenting  dalam  penyusunan  rencana  tindak  ini  adalah  bagaimana  seluruh  stakeholder  terkait  dapat  bekerjasama  dengan  efektif  dalam  mempertahankan  kondisi setelah rencana dijalankan. Jika tidak, sangat dimungkinkan kondisi di kawasan  tersebut akan jauh lebih buruk dari sebelum penyusunan rencana tindak.  



2.3



Wisata Kria dan Budaya Priangan 



Pariwisata memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan budaya dan kebudayaan suatu  daerah.  Sesuai  dengan  sifatnya  yang  mobile  dengan  perjalanan  menapaki  ruang  dan 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   12 



Laporan Akhir



waktu,  kegiatan  wisata  dapat  mengakibatkan  terjadinya  persentuhan  antara  wisatawan  dengan aspek‐aspek budaya dari daerah yang dikunjunginya.   Budaya  atau  kebudayaan  sendiri  dapat  dipahami  sebagai  hal  yang  merupakan  keseluruhan  hasil  cipta,  karsa,  dan  karya  manusia,  termasuk  di  dalamnya  benda‐benda  hasil  kreativitas/ciptaan  manusia.  Hal  ini  bertujuan  untuk  mempertahankan  dan  meningkatkan taraf hidup, melakukan komunikasi dan upaya untuk  beradaptasi dengan  lingkungan.  Kebudayaan  memiliki  wujud  yang  konkrit/tangible  (peralatan,  arsitektur,  pakaian, makanan, hasil teknologi, kegiatan ritual, upacara keagamaan, seni pertunjukan,  kerajinan, dan lainnya), dan abstrak/ intangible (sistem keyakinan, pengetahuan, nilai dan  norma).  Dapat  dikatakan  bahwa  pariwisata  budaya  merupakan  jenis  pariwisata  yang  berdasarkan  pada  mosaik  tempat,  tradisi,  kesenian,  upacara‐upacara,  dan  pengalaman  yang  memotret  suatu  bangsa/suku  bangsa  dengan  masyarakatnya,  yang  merefleksikan  keanekaragaman dan identitas suatu masyarakat atau bangsa.   Budaya, kria, dan pariwisata merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Kerajinan  lokal  sebagai  hasil  kria  merupakan  salah  satu  elemen  penting  dari  budaya,  dimana  wisatawan  pergi  untuk  melihat  dan  menyelami  budaya,  tradisi  dan  cara  hidup  yang  asing  dari  apa  yang  biasa  dirasakannya.  Produk  kria  membentuk  elemen  penting  yang  menjadi  motor  penjualan  sehingga  memberikan  tambahan  nilai  ekonomi  dalam  skala  lokal.  Kepariwisataan  juga  mendukung  keberadaan  kria  dengan  mempertahankan  keberlanjutan produksi kria dan memperkuat budaya lokal. Contoh produk kria misalnya  kerajinan yang terbuat dari kayu, batu, kertas, tekstil dan lainnya.   Jalinan  yang  erat  antara  budaya,  kria,  dan  pariwisata  ini  telah  diakui  sebagai    sumber  peningkatan  ekonomi  dan  sumber  lapangan  kerja.  Budaya  mempunyai  peran  penting  dalam membuat produk wisata menjadi lebih kompetitif dimana aspek‐aspek tangible dan  intangible‐nya  dapat  membuat  suatu  produk  wisata  mempunyai  keunikan  dan  diferensiasi  tersendiri.  Budaya  juga  menyediakan  elemen  ‘hidup’  dari  suatu  produk  sehingga  menghasilkan  pengalaman  tersendiri  yang  kian  diminati  oleh  wisatawan.  Hal  ini didukung oleh kecenderungan masa kini yang mengalami pergeseran dari wisatawan  massal  ke  wisatawan  individual  dimana  motivasi  wisatawan  lebih  didasari  oleh  keinginan  unuk  mengunjungi  dan  melihat  kebudayaan  serta  kerajinan  lokal.  Pada  akhirnya  hal  ini  akan  meningkatkan  kualitas  kehidupan  sosial  masyarakat  karena  meningkatkan rasa bangga terhadap kebudayaan masyarakat lokal.  Mengembangkan  budaya,  kria,  dan  pariwisata  ke  dalam  suatu  kesatuan  produk  dan  pengalaman wisata tidaklah mudah. Hal ini didasari oleh keterbatasan akses wisatawan  dalam  menikmati  dan  meresapi  kebudayaan  lokal  yang  antara  lain  disebabkan  oleh  keterbatasan  waktu  yang  mereka  miliki.  Diperlukan  semacam  ‘jembatan  budaya’  yang  berfungsi  dalam  mendistribusikan  pergerakan  dan  pertukaran  simbol‐simbol  budaya,  antara kebudayaan lokal dan kebudayaan wisatawan.        



  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   13 



Laporan Akhir



KARAKTERISTIK KRIA DAN ASPEK‐ASPEK TERKAIT   Kria,  umumnya  dikenal  sebagai  kerajinan  tangan,  memiliki  beragam  definisi  sebagai  berikut:  -



Kria  dapat  didefinisikan  sebagai    proses  pembuatan,  yang  objeknya  dihasilkan  dengan tangan, dengan menggunakan alat‐alat tertentu dan memerlukan keahlian  tertentu (Pye, 1968, the Nature and Art of Workmanship dalam ICCROM, 2001). 



-



Karakter  kria  dapat  dikenali  melalui  tipe  produk  kerajinan  tertentu,  yang  umumnya merupakan objek‐objek penting dan fungsional. 



-



Kria  tidak  dapat  dipisahkan  dari  media,  sehingga  karakternya  selalu  dikaitkan  dengan bahan dan teknologi pembuatan/manufaktur. 



  Dalam  konteks  produk  kria  Jepang,  atau  yang  lebih  dikenal  sebagai  “mingei”,  kria  diartikan  sebagai  seni  yang  berbasis  komunitas,  dari  rakyat  dan  untuk  rakyat  dengan  karakteristik berikut ini (ICCROM, 2001):  -



umumnya dikerjakan oleh pengrajin yang anonim, 



-



merupakan pekerjaan tangan,  



-



diproduksi dengan jumlah besar,  



-



relatif tidak mahal, 



-



digunakan secara massal, 



-



fungsional, untuk kehidupan sehari‐hari, 



-



representasi daerah, tempat kria tersebut diproduksi. 



  Merujuk  pada  definisi‐definisi  tersebut,  kria  bukan  hanya  berupa  kerajinan  tangan  maupun  proses  pembuatannya  tetapi  lebih  dari  itu,  kria  berakar  pada  latar  belakang  suatu  komunitas,  misalnya  struktur  masyarakat,  nilai‐nilai  sosial  budaya,  dan  sejarah.  Lebih  lanjut,  kria  dapat  dirinci  sebagai  suatu  proses  (keahlian  dan  pengetahuan,  proses  pembelajaran,  proses  ekonomi,  dan  proses  kreatif),  memiliki  dimensi  yang  signifikan  (dimensi  sosial,  religius,  dan  budaya)  serta  memiliki  keterkaitan  dengan  ruang  dan  lingkungan secara dinamis, seperti dijelaskan pada Gambar 2.3 berikut. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   14 



Laporan Akhir



  Gambar 2.3 Karakteristik Kria: Proses, Dimensi, dan Konteks    a. Kria sebagai Keahlian dan Pengetahuan  Kria  membutuhkan  kemampuan  tingkat  tinggi  dalam  mengkoordinasikan  gerakan  tangan (karena sebagian besar pembuatannya dilakukan secara manual), yang terkait  dengan  pengendalian  motorik  seseorang.  Seorang  pengrajin  umumnya  memiliki  intelejensi kinetik tinggi yang dimanifestasikan dalam keahlian (skill) mengolah kria.   Kria  juga  merupakan  suatu  pengetahuan  (tacit  knowledge)  yang  tidak  saja  bersifat  personal, tetapi juga yang  diturunkan  atau  diwarisi  melalui  institusi  dan komunitas.  Karakter ini menunjukkan kompleksitas kria, terkait pada lingkungan yang lebih luas,  yaitu  komunitas.  Melestarikan  dan  mengembangkan  kria,  dalam  kasus  Kria  Budaya  Priangan  di  KWU  ini,  tidak  dapat  didekati  secara  personal  atau  perorangan  saja,  tetapi lebih condong pada komunitas pengrajin dalam suatu institusi lokal.    b. Kria sebagai Proses Pembelajaran   Menguasai  proses  pembuatan  kria  membutuhkan  waktu  yang  panjang,  mungkin  bertahun‐tahun. Keahlian umumnya diwarisi secara tradisional dan pembelajarannya  dimulai sejak masa kanak‐kanak atau remaja. Hal ini menunjukkan bahwa menguasai  pembuatan kria lebih bermakna pada keberlangsungan suatu tradisi, yang kemudian  dapat mendorong kreativitas individu.  Menarik  untuk  dicermati,  pembelajaran  ‘keahlian  kria’  disampaikan  dengan  ‘melakukan’ atau mendemonstrasikan suatu proses, bukan dengan penjelasan verbal  atau  kata‐kata.  Pewarisan  keahlian  kria  terkait  dengan  hubungan  dekat  secara  personal,  misalnya  dari  orang  tua  ke  anak,  atau  dari  seseorang  yang  sudah  ahli  kepada seseorang yang belum ahli. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   15 



Laporan Akhir



Aspek  lain  dari  proses  pembelajaran,  di  beberapa  tempat,  pembuatan  kria  terkait  dengan jender. Pada kasus tertentu, ibu‐ibu yang memproduksi kria untuk konsumsi  rumah tangga,  melakukan  pembuatan  kria  secara  informal  di  rumah mereka.  Proses  pembuatan  tersebut  diamati  dan  kemudian  diikuti  atau  diimitasi  oleh  anggota  keluarga  (perempuan)  lainnya.  Kasus  lain,  proses  pembelajaran  kria  juga  dapat  dilakukan  secara  formal,  di  luar  rumah,  misalnya  bapak‐bapak  yang  memproduksi  kria sebagai benda komersial.     c. Kria sebagai Proses Ekonomi  Kria  yang  dapat  memberikan  manfaat  ekonomi  secara  signifikan  sangat  bervariasi,  tergantung  pada  budaya  dan  tipe  kria  yang  dihasilkan.  Walau  demikian,  menurut  Persatuan  Bangsa  Bangsa,  lebih  dari  90%  perempuan  di  negara  berkembang  menggantungkan  hidupnya  pada  kegiatan  [profesi]  kerajinan  sepanjang  tahun  (www.craftscenter.org).    Di  tahun  1980an,  negara‐negara  Dunia  Ketiga  mengekspor  kria ke pusat‐pusat industri dengan nilai lebih dari 1 milyar USD (ICCROM, 2001).  Terkait  dengan  proses  ekonomi,  kegiatan  kria  di  beberapa  tempat,  khususnya  komunitas  perdesaan,  dilakukan  secara  musiman  sebagai  bagian  dari  ritual  budaya.  Objek yang dihasilkan seringkali dikonsumsi secara perorangan, keluarga atau dalam  lingkup  komunitas  dan  etnik  tertentu.  Bahan  diperoleh  dengan  membeli  atau  membuat sendiri. Dalam kasus lainnya, pembuatan kria adalah kegiatan atau profesi  purnawaktu  (full‐time)  dengan  tujuan  komersial.  Benda  yang  dihasilkan  dapat  berkontribusi  untuk  kebutuhan  komunitas  lokal  atau  diperjualbelikan  di  area  yang  lebih luas.   Kria sebagai proses ekonomi di KWU ini dijelaskan melalui salah satu jenis kerajinan  khas Kota Tasik yaitu bordir.  Rohayati  Bordir  merupakan  perusahaan  keluarga  di  Kecamatan  Kawalu,  Tasikmalaya.  Produk  kria  bordir  yang    yang  dihasilkan  antara  lain  berupa  taplak  meja, bantal kursi, tas, mukena, dan sajadah. Produk ini dipasarkan di wilayah Jawa  Barat dan wilayah lain di Indonesia, serta telah diekspor ke Malaysia dan Singapura  (Hasil wawancara, 2007).    d. Kria sebagai Proses Kreatif  Kria adalah kegiatan kreasi, membuat  sesuatu, suatu  aspek  yang  berkontribusi  pada  signifikansi religius dalam beragam budaya. Produk kria merupakan tangible heritage,  yang  terkait  dengan  nilai  intangible.  Konsep  kreativitas  seringkali  diasosiasikan  dengan  orisinalitas  dan  kontribusi  individu  yang  beragam  bergantung  pada  tempat  dan  waktu.  Kria  sebagai  proses  kreatif  menghadapi  dua  hal  yang  dianggap  bertentantangan,  yaitu  orisinalitas  individu  yang  dimulai  dari  pembuatan  konsep,  desain,  dan  pelaksanaan  serta  karya  kria  yang  anonim  dan  dikerjakan  secara  berkelompok.    e. Dimensi Sosial Kria  Pembuatan  kria  dapat memiliki  peran  signifikan  secara sosial.  Bila  kegiatan  tersebut  bersifat musiman, seluruh komunitas [desa] umumnya terlibat. Mereka bekerja sama  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   16 



Laporan Akhir



dengan  pembagian  tugas  menurut  umur,  jender,  dan  keahlian.  Etnik,  klan,  atau  keluarga  tertentu,  dapat  diasosiasikan  dengan  keahlian  kria  yang  spesifik.  Meski  keahlian  ini  diturunkan  dari  generasi  ke  generasi,  namun  perubahan  dapat  terjadi  seiring  dengan  kemampuan  pekerja/pengrajin  dan  perubahan  cara  pikir.  Di  lingkungan perkotaan, organisasi  atau  ‘gilda’  umumnya bekerja  secara  berkelompok  untuk  menjamin  standar  produk,  mengendalikan  proses  dan  melindungi  hak‐hak  pengrajin.  Dinas  Perindustrian  dan  Perdagangan  Kota  Tasik    sejak  tahun  1990an  memberikan  bantuan  dana  Jaringan  Pengaman  Sosial  untuk  mengembangkan  mutu  kualitas  produk  kerajinan  Kota  Tasik,  khususnya  bagi  kelompok  pengrajin  yang  tergabung  dalam ”Rumah Tasik” (Hasil wawancara, 2007).    f. Dimensi Religius Kria  Pembuatan  kria,  dari  sisi  pembuat  maupun  masyarakat  luas,  dapat  berdimensi  religius. Sebagai kegiatan kreasi atau menghasilkan sesuatu, kria dapat dipersepsikan  sebagai  pekerjaan  sakral.  Membuat  pedang  (keris,  kujang,  dsb.)  bagi  komunitas  tertentu  adalah  kegiatan  suci.  Kesakralan  umumnya  ditunjukkan  melalui  ritual  pensucian  alat‐alat  dan  aktor  pembuat  kria.  Pekerjaan  atau  kegiatan  ini  umumnya  terintegrasi  dengan  tugas  sosial/religius  yang  mengikutsertakan  seluruh  komunitas  dalam upacara atau ritual keagamaan.    g. Dimensi Budaya Kria  Merujuk pada penjelasan‐penjelasan sebelumnya, kria memiliki peran penting dalam  membentuk  identitas  dan  budaya  beragam  kelompok,  baik  secara  etnik/suku,  nasional, dan regional (antar negara). Dimensi budaya dalam pembuatan kria antara  lain:  - Kria  terkait  dengan  cara  manusia  hidup,  yang  berasosiasi  pada  produk  yang  dibutuhkan  dengan  bahan  yang  tersedia.  Misalnya,  komunitas  pegunungan,  petani, dan nelayan memiliki kria yang secara spesifik berbeda.  -



Produk  kria  umumnya  sangat  spesifik,  bersifat  lokal,  terkait  dengan  tempat  diproduksi.  Sebagian  hal  ini  mungkin  terjadi  karena  ketersediaan  bahan  dan  kebutuhan  khusus,  tetapi  juga  karena  produk  tersebut  ditujukan  untuk  mengekspresikan  identitas  tertentu.  Hal  ini  umumnya  ditunjukkan  melalui  produk fashion, seperti ragam hias bordir Tasikmalaya.    Kawalu dikenal sebagai daerah pengrajin bordir yang memiliki corak ragam hias khas  Tasikmalaya.  Penelitian  yang  dilakukan  oleh  Hendar  Suhendar,  Fakultas  Seni  Rupa  dan  Desain  (FSRD)  ITB  menjelaskan  bahwa  kehidupan  budaya  agraris  berpengaruh  pada  ide  dasar  rancangan  ragam  hias  bordir  Kawalu.  Hal  ini,  secara  langsung  ditunjukkan  melalui  corak  tumbuhan  daun  pecah  beling,  kembang  wera,  bunga  melati,  kembang  cengkih,  bunga  mawar,  bunga  matahari,  daun  vanili,  kupu‐kupu,  dan keong (Kajian Estetik Ragam Hias Bordir Kawalu Tasikmalaya Jawa Barat Tahun  1990‐2005, Thesis Magister FSRD ITB, 2006).    Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   17 



Laporan Akhir



h. Keterkaitan Kria dengan Ruang dan Lingkungan   Kria melibatkan para pengrajin dan proses pembuatannya dalam hubungan yang erat  dengan ruang yang berupa lingkungan alam maupun binaan.  Kria  yang  berbasis  perdesaan,  umumnya  menggunakan  bahan  lokal,  seperti  tumbuhan,  tanah  liat,  kayu,  dan  bahan  alam  lainnya,  serta  produk  hewani  seperti  wool, tulang, dan kulit. Hal ini menunjukkan bahwa pengrajin sangat familiar dengan  bahan  sehingga  produk  kria  yang  dihasilkan  dapat  diperbaiki  dengan  mudah  oleh  dan dengan sumber daya lokal. Produksi kria dalam hal ini, bergantung pada musim  panen (bahan yang digunakan) dan mungkin terkait dengan manajemen lahan secara  tradisional,  yang  menciptakan  ‘cultural  landscape’.  Produk  kria  umumnya  digunakan  dalam lingkungan khusus dengan keunikan lokal.  Pembuatan  kria  di  di  beberapa  tempat,  umumnya  di  perkotaan  dicerminkan  dalam  struktur  lingkungan  binaan  dan  organisasi  ruang,  baik  dalam  bangunan  (misalnya  galeri) dan permukiman sebagai keseluruhan. Organisasi ruang ini berasosiasi dengan  hubungan  sosial  penduduk.  Struktur  kota  yang  membagi  ruang  tempat  bekerja  dan  hunian terkait dengan kelompok kerja (gilda) kria. Umumnya, pusat kota  mewadahi  tempat pertukaran uang dan penyimpanan barang, sedangkan para pengrajin tinggal  berkelompok  di  daerah  sekitarnya.  Struktur  seperti  ini  memungkinkan  terjadinya  aktivitas yang overlapping dan integrasi berbagai fungsi.   Kasus  di  KWU  ini  menunjukkan  adanya  keterkaitan  kria  dengan  ruang  dan  lingkungan.  Rumah  Tasik  merupakan  sebuah  showroom  milik  Dinas  Perindustrian  dan  Perdagangan  Kota  Tasik  yang  menampung  aneka  kerajinan  khas  Kota  Tasik,  seperti  bordir, anyaman, batik, dll. Tempat usaha berupa toko/butik yang berlokasi di pusat  kota  umumnya  merupakan  tempat  display  atau  showroom  sedangkan  proses  pembuatan  bordir  dilakukan  di  tempat  tinggal  pengrajin  di  pelosok  kampung  wilayah Tasikmalaya, diantaranya Kecamatan Cibalong (Hasil wawancara, 2007).     A. WISATA KRIA  Produk  kria  perlu  memperhatikan  kebutuhan  dan  keinginan  wisatawan.  Pemahaman  terhadap  pasar  wisatawan  yang  mencakup  asal,  karakteristik  dan  preferensi  berwisata  menjadi  hal  yang  penting,  sehingga  suatu  produk  kria  dapat  selain  mendatangkan  keuntungan  ekonomi  bagi  masyarakat  juga  memberikan  esensi  dari  wisata  itu  sendiri,  yaitu  kenangan  atau  pengalaman  yang  tak  terlupakan  bagi  wisatawan  (memorable  experience).  Pengembangan  wisata  kria  tak  akan  berhasil  tanpa  pemasaran  yang  merupakan  sistem  integratif  untuk  memenuhi  kebutuhan  konsumen  dalam  menyediakan  suatu  produk  tertentu (baik barang maupun jasa) pada saat yang tepat, tempat/ lokasi yang cocok, dan  harga  yang  sesuai.  Marketing  mix  (Product,  Price,  Promotion,  Place,  dan  People)  yang  tersusun  dengan  baik  merupakan  prasyarat  bagi  kesuksesan  penjualan  suatu  produk  wisata, dalam hal ini adalah produk kria.  



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   18 



Laporan Akhir



Pengembangan  wisata  kria  tak  lepas  dari  dukungan  masyarakat  sebagai  pelaku/  produsen  produk  kria.  Pendekatan  community  tourism  development  merupakan  hal  yang  esensial  karena  masyarakat  merupakan  pihak  yang  paling  terkena  dampak  maupun  perubahan  dari  suatu  kegiatan  wisata,  sehingga  mereka  berhak  menentukan,  merencanakan dan terlibat langsung dalam pengembangan dan pengelolaan wisata.   Kekhawatiran  dari  adanya  pengembangan  produk  kria  yang  ditujukan  bagi  pariwisata  adalah  adanya  produksi  barang  kria  secara  massal  yang  mengurangi  kualitas  keaslian  atau  keotentikan  dari  sebuah  produk  budaya  tradisional.  Istilah  keotentikan  atau  authenticity  bisa  diartikan  sebagai  suatu  kualitas  yang  dapat  menggambarkan  suatu  benda, budaya, atau  lingkungan yang  sebenar‐benarnya. Untuk menunjang  produk  kria  secara  otentik  sebagai  basis  bagi  pengembangan  pariwisata  berkelanjutan,  perlu  diperhatikan beberapa aspek berikut ini:  ƒ



Adanya  identifikasi  dan  penilaian  terhadap  pengembangan  kemampuan  dalam  pembuatan  produk  kria  tradisional,  Hal  ini  didasari  oleh  kurangnya  sumber  daya  manusia/generasi  penerus,  persaingan  bebas  dengan  produk  kria  berteknik  modern,  serta  persaingan  horizontal  dengan  aktivitas  ekonomi  lain  yang  memberikan  lahan  penghidupan  yang  lebih  baik.  Penerapan  skema  transfer  kemampuan  selain  dapat  memberikan  bekal  ketrampilan  berupa  sistem  produksi  bagi  masyarakat  lokal,  juga  dapat  menarik  wisatawan  untuk  berpartisipasi  dalam  pembuatan  kria‐dinamakan  dengan  ‘atelier  tourism’  atau  ‘workshop  tourism’.  Skema  ini  mempunyai  banyak  keuntungan,  antara  lain  merupakan  sumber  pemasukan  langsung  bagi  masyarakat;  menjembatani  keinginan  masyarakat  untuk  dapat  merasakan  kebudayaan  lokal  dari  tangan  pertama;  menekankan  pentingnya  nilai  produk  kria  bagi  masyarakat  lokal  sehingga  menghasilkan  multiplier  effect  dengan  munculnya  kegiatan  usaha  lain  yang  menunjang  wisata  kria,  yaitu  tumbuhnya  restoran,  akomodasi  dan  lainnya  sehingga  dapat memperpanjang lama tinggal wisatawan.  



ƒ



Pengembangan  program  yang  meningkatkan  kemampuan  pemasaran  masyarakat  lokal (marketing skill).  



Pengembangan  sistem  distribusi  yang  berkelanjutan  (sustainable  distribution  system)  dengan  memperhatikan  harga  barang,  kontrak  dan  negosiasi  dengan  pihak  lain,  serta  mengamankan jalur distribusi dan pemasaran.    B. WISATA BUDAYA  Abad  industrialisasi    dan    modernisasi    telah    menggiring    simbol‐simbol    budaya    ke  dalam bentuk kegiatan ekonomi yang terbahasakan dalam produk wisata yang kian hari  makin  banyak  diminati  oleh  wisatawan,  dimana  dalam  prosesnya  merupakan  aktivitas  pertukaran informasi dan simbol‐simbol budaya antara wisatawan sebagai tamu dengan  masyarakat  sebagai  tuan  rumah.  Hal  ini  selaras  dengan  pemahaman  pariwisata  yang  cenderung  untuk  dikaitkan  dengan  kebutuhan  manusia  atas  suatu  kemajuan  yang  menuntut adanya unsur perubahan secara terus menerus.    Pada abad globalisasi ini, pariwisata budaya sebagai sebuah sistem tak dapat dipisahkan  dari  sebuah  industri.  Namun  patut  digarisbawahi  bahwa  aspek  budaya  janganlah  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   19 



Laporan Akhir



terjerumus  pada  pengertian  komoditi  (culture  as  a  commodity),  dimana  fabrikasi  dan  masalisasi  kerap  kali  merupakan  jawaban  atas  penalaran  pendek  supply  dan  demand.  Merupakan  tantangan  dalam  mengembangkan  suatu  pariwisata  budaya  yang  berkelanjutan  dengan  tetap  melestarikan  warisan  budaya  masa  lalu  akan  tetapi  juga  mampu mengakomodir kebutuhan masa kini.   Menempatkan  pariwisata  budaya  dalam  kerangka  pembangunan  berkelanjutan  menghasilkan  dampak  pada  peningkatan  lapangan  kerja  dan  tingkat  perekonomian  masyarakat,  selain  juga  mampu  meningkatkan  kualitas  hidup  masyarakat  dengan  peningkatan  nilai  harga  diri,  serta  menghasilkan  dana  bagi  konservasi  lingkungan  alam  dan binaan.  Pariwisata  budaya  sebagai  suatu  kegiatan  industri  hendaknya  mencakup  pemahaman  yang  menggabungkan  unsur  perencanaan  dan  pengelolaan  secara  terpadu.  Hal  ini  mencakup  aspek‐aspek  supply  dan  demand  seperti  daya  tarik  budaya  sebagai  supply  dan  pasar  pariwisata  budaya  sebagai  demand.  Kedua  aspek  ini  dicermati  dengan  melihat  potensi,  karakteristik  dan  daya  dukungnya.  Misalnya  pasar  pariwisata  budaya  yang  memperhitungkan  keragaman  pangsa  pasar  dengan  karakteristik  yang  variatif,  dilihat  dari  status  sosial,  tingkat  perekonomian,  ataupun  gaya  hidup  seseorang.  Daya  dukung  lingkungan  alam,  sosial  dan  budaya  masyarakat  khususnya  masyarakat    lokal  terhadap  dampak  negatif  pariwisata  pun  sangat  diperlukan.  Pendekatan  pengelolaan  pariwisata  antara lain pada pembangunan fasilitas pendukung wisata, tingkat kunjungan wisatawan  dan  kegiatan  wisatawan  di  sebuah  destinasi  wisata  misalnya,  harus  memperhatikan  carrying  capacity  yang  mampu  diterima  oleh  lingkungan  alam,  sosial  dan  budaya  masyarakatnya.   Dalam  UU  No.9  Tahun  1990  tentang  Kepariwisataan,  Pasal  19  disebutkan  bahwa  pengusahaan  objek  dan  daya  tarik  wisata  budaya  merupakan  usaha  pemanfaatan  seni  bangsa  untuk  dijadikan  sasaran  wisata.  Produk  wisata  ini  merupakan  daya  tarik  unik  yang  menyebabkan  wisatawan  bersedia  untuk  mengeluarkan  biaya  sehingga  dapat  meningkatkan  pendapatan  daerah.  Dengan  kemasan  yang  unik,  wisatawan  dapat  memperoleh pengalaman kebudayaan dengan cara melihat sesuatu secara berbeda yang  memperkaya kebutuhan spiritualnya.  Wisata budaya dapat dibedakan menjadi:  -



wisata budaya peninggalan sejarah ; mencakup berbagai bentuk peninggalan sejarah  dan  budaya,  yang  dapat  berupa  museum,  artefak,  struktur  kota  kuno/  unik,  situs  arkeologis  dan  lain‐lain.  Bentuk  kegiatan  wisata  yang  dapat  dikembangkan  antara  lain wisata arsitektural, wisata jalur arkeologis, wisata ziarah. 



-



wisata  budaya  kehidupan  masyarakat  (living  culture);  mencakup  gaya  hidup  (life  style), pedesaan dan esoterik. Wisata etnik yang berupa kegiatan gaya hidup memberi  pengetahuan kepada wisatawan untuk melakukan kegiatan‐kegiatan keseharian yang  biasa dilakukan masyarakat setempat.  



-



wisata  etnik  esoterik  merupakan  jenis  wisata  yang  melakukan  kegiatan  spiritual  mediatif yang bersumber pada kebudayaan/agama setempat. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   20 



Laporan Akhir



Menurut  Suranti  (1995:29)  hal  inilah  yang  membedakannya  dengan  pariwisata  budaya,  dimana  wisata  budaya  hanya  mencakup  perjalanan  dan  aktivitas  belaka,  sedang  pariwisata  budaya  mencakup  juga  aktivitas  atau  upaya  yang  dilakukan  pihak  terkait  dalam  menjaga  keberlangsungan  daya  tarik  budaya  sebagai  sumber  daya  yang  bersifat  unik, terbatas dan tidak terbarukan.   Pertimbangan pengembangan fasilitas untuk mendukung pengembangan objek dan daya  tarik wisata peninggalan sejarah antara lain adalah:  -



mengembangkan  fungsi‐fungsi  tertentu  untuk  mendukung  penyelenggaraan  kegiatan, seperti museum, area penelitian dan pendidikan, area rekreasi pendukung,  pusat informasi pariwisata, rumah makan, dan lain‐lain serta area pengelola. 



-



denah  kunjungan  wisatawan;  yang  menginformasikan  mengenai  akses,  pintu  keluar  dan jalur wisatawan di dalam area, signage, brosur maupun informasi‐informasi lain. 



Pengelolaan  pariwisata  budaya  selayaknya  menonjolkan  kehadiran  interpretasi  sebagai  suatu  proses  komunikasi  yang  didesain  untuk  mengungkapkan  arti,  makna  dan  hubungan  antara  budaya  dan  tradisi  yang  hidup  di  suatu  masyarakat  secara  interaktif  terhadap  wisatawan.  Dengan  demikian,  wisatawan  dapat  memaknai  dan  menyelami  kehidupan  yang  dirasakan  “asing”  baginya  sehingga  perannya  beranjak  dari  sekedar  pengamat  yang  bersifat  “pasif”  menjadi  “aktif  “  yang    berpartisipasi  secara  fisik  dalam  kegiatan tersebut.  Tak  dapat  dipungkiri  pula  keterlibatan  unsur  pemasaran  sebagai  ujung  tombak  pengelolaan  pariwisata  budaya.  Upaya  untuk  membangun  dan  mengembangkan  suatu  daya  tarik  wisata  budaya  dengan  image  atau  citra  tersendiri  membutuhkan  strategi  pemasaran yang membedakan keunggulan suatu produk satu dengan lainnya.  Pengelolaan  pariwisata  budaya  dapat  berhasil  jika  proses  pemantauan  dan  evaluasi  dilaksanakan  oleh  stakeholder  dengan  cara  partisipatif  yang  melibatkan  seluruh  pihak.  Pemantauan  dilakukan  secara  berkala  pada  setiap  tingkatan  implementasi,  serta  menggunakan  alat  ukur  atau  indikator  pengelolaan  pariwisata  budaya  yang  bertujuan  menjaga  kelestarian  lingkungan,  sosial  dan  budaya  maupun  peningkatan  ekonomi  masyarakat.  Intinya,  prinsip‐prinsip  yang  menjadi  dasar  pengelolaan  pariwisata  budaya  harus  berbasis  pada  masyarakat  dengan  melibatkan  mereka  pada  seluruh  kegiatan  perencanaan,  pelaksanaan,  dan  pengawasan  pariwisata  budaya.  Hal  ini  berarti  membutuhkan  kesadaran  dan  apresiasi  mereka  terhadap  perlindungan  aspek‐aspek  budaya.  Pada akhirnya pariwisata budaya merupakan sesuatu yang unik karena kegiatan wisata  tidak  hanya  berupa  kumpulan  kegiatan  komersial,  akan  tetapi  berperan  dalam  membentuk  ideologi  sejarah  dan  tradisi,  yang  pada  akhirnya  memiliki  kekuatan  untuk  membentuk kembali budaya masyarakatnya sendiri.     



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   21 



Laporan Akhir



2.4



Wisata Gunung Api  



Secara umum, gunung api (atau volcano dalam bahasa Inggris) didefinisikan sebagai suatu  tempat  di  permukaan  bumi  dimana  magma  keluar.  Dengan  demikian  sebenarnya,  terminologi  gunung  api  tidak  terbatas  pada  bentuk  seperti  pengertian  umum  yang  menganggap  gunung  api  harus  selalu  berupa  gunung  berbentuk  kerucut.  Dengan  pengertian  ini,  segala  bentuk  morfologi  dimana  magma  keluar  disebut  sebagai  gunung  api, seperti misalnya satu celah di suatu dataran, atau bahkan di dasar laut.  Di  Indonesia  yang  berada  pada  lingkungan  tektonik  penunjaman  kerak  samudra  di  bawah  kerak  benua,  umumnya  menghasilkan  jajaran  gunung  api  yang  bersifat  strato,  atau  gunung  api  dengan  produk  endapannya  yang  berlapis‐lapis.  Umumnya  adalah  lapisan  endapan  piroklastik,  yaitu  produk  letusan  berbagai  ukuran  fragmen  (dari  abu  halus hingga bongkah‐bongkah besar) dan lava, yaitu aliran magma yang meleleh keluar  kepundan. Tipe gunung api strato umumnya memberikan bentuk kerucut.  Dengan  cara  terbentuknya  yang  sangat  luar  biasa  karena  melibatkan  gaya‐gaya  dari  bawah  permukaan  Bumi  dan  mengeluarkan  cairan  batuan  pijar  magma  yang  mengalir  sebagai  lava,  aktivitas  semburan  gas  atau  uap  air,  serta  aktivitas  volkanisme  lainnya,  kawasan gunung api menjadi daya tarik yang luar biasa.   Untuk tujuan wisata gunung api, ditinjau dari sisi wisatawan sebagai subjek, sedikitnya  akan dibedakan atas dua kegiatan, yaitu yang bersifat pasif dan yang bersifat aktif.  1. Wisata gunung api pasif  Kegiatan wisata gunung api pasif adalah wisata yang sebenarnya telah dikategorikan  sebagai  wisata  alam  biasa.  Dalam  kategori  ini,  wisatawan  hanya  menyaksikan  panorama, bentang  alam  atau  sekedar  mengamati  aktivitas  volkanisme.  Wiasatawan  jenis  ini  biasanya  wisatawan  umum  yang  datang  ke  suatu  kawah  gunung  api  kemudian  melihat  pemandangan  dan  berfoto‐foto.  Kegiatan  seperti  ini  bahkan  bisa  berjalan  tanpa  ada  faktor  pendukung  lainnya,  seperti  ketersediaan  pemandu.  Pada  tahap  yang  paling  minimal,  dengan  pamflet  pun  wisata  pasif  ini  dapat  berjalan  dengan  sendirinya.  Untuk  jenis  ini,  aksesibilitas,  prasarana  dan  sarana  penunjang  merupakan  kebutuhan  yang  umumnya  akan  menjadi  kewajiban  pengelola  wisata  gunung  api.  Misalnya  jalan  ke  kawah  dengan  moda  transportasinya,  tempat  parkir  yang tidak jauh dari kawah, serta sarana penunjang pariwisata pada umumnya.  2. Wisata gunung api aktif  Berbeda  dengan  wisata  gunung  api  pasif,  wisata  gunung  api  aktif  memerlukan  berbagai program yang terrencana dengan baik, karena dalam kategori ini, wisatawan  bersifat  aktif  menjelajah  dan  berusaha  untuk  sebanyak  mungkin  mendapatkan  informasi  tentang  objek  gunung  api  yang  dikunjunginya.  Dengan  demikian,  jenis  wisata  gunung  api  aktif  ini  tidak  hanya  memerlukan  sekedar  pamflet,  tetapi  juga  buku  panduan  yang  menjelaskan  selain  objek  yang  akan  dilihat,  juga  pengetahuan  Geologi  dan  Vulkanologi  dari  objek  tersebut,  termasuk  misalnya  jenis‐jenis  batuan,  jenis‐jenis aktivitas kawah, sejarah letusan, dan lain sebagainya.  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   22 



Laporan Akhir



Jenis wisata gunung api aktif secara ekstrim bahkan tidak memerlukan fasilitas yang  lengkap  seperti  pada  jenis  wisata  gunung  api  pasif.  Wisatawan  memang  bertujuan  untuk  menjelajah  sudut‐sudut  dan  seluk  beluk  gunung  api  yang  dikunjunginya.  Untuk  itulah  diperlukan  pemandu  yang  berbakat  yang  selain  mengenal  medan  dan  jalur  trekking‐nya,  juga  dilengkapi  dengan  latar  belakang  pengetahuan  tentang  ilmu  Geologi dan Vulkanologi secara umum.  Dengan  demikian,  wisata  gunung  api  aktif  perlu  terprogram  dengan  baik,  baik  dari  segi  waktu  (kapan  jam  terbaik  mendaki  gunung),  segi  jalur  (terbagi  atas  jalur‐jalur  dengan tingkat kesulitan tertentu), pemandu yang handal, buku‐buku saku yang akan  menjadi  dasar  pengetahuan  kegunungapian,  peralatan  standar  tertentu  tergantung  jalur pilihan, pemahaman akan aktivitas gunung api, serta juga informasi pendukung  lainnya,  seperti  misalnya  adat  budaya  masyarakat  yang  mendiami  gunung  api  (kemungkinan pantangan, upacara tertentu, dan sebagainya).   



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



           II  ‐   23 



Laporan Akhir



  BAB 3 



POTENSI DAN PERMASALAHAN  DALAM PENGEMBANGAN  KEPARIWISATAAN DI KWU KRIA DAN  BUDAYA PRIANGAN          Bab  ini  menguraikan  secara  ringkas  potensi,  permasalahan,  dan  isu‐isu  strategis  pengembangan  kepariwisataan  di  salah  satu  Kawasan  Wisata  Unggulan  (KWU)  yang  menjadi  lingkup  studi,  yaitu  Kawasan  Wisata  Kria  dan  Budaya  Priangan.  Uraian  tersebut  mencakup  potensi  dan  permasalahan  objek  dan  daya  tarik  wisata  terkait,  fasilitas  pendukung  khususnya  yang  mendukung  tema  kawasan,  pasar  wisatawan,  SDM,  serta  kelembagaan pendukung termasuk analisis tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) kelembagaan  terkait. Dalam bab ini juga akan memuat review ringkas mengenai keterkaitan kawasan studi  dengan KWU lainnya dalam RIPPDA Jawa Barat, positioning kawasan dalam konteks KWU  Jawa  Barat  terhadap  sektor  maupun  rencana  dan  kebijakan  lainnya,  serta  pokok  permasalahan dan isu strategis di kawasan studi yang akan digunakan sebagai acuan dalam  menentukan arahan pengembangan kepariwisataan pada bab selanjutnya.   



3.1    Objek dan Daya Tarik Wisata  Objek  dan  daya  tarik  wisata  yang  terdapat  di  Kawasan  Wisata  Kria  dan  Budaya  Priangan  meliputi  daya  tarik  wisata  yang  terdapat  di  Kabupaten  Garut  bagian  utara,  Kota  Tasikmalaya,  sebagian  Kabupaten  Tasikmalaya,  dan  Kabupaten  Ciamis  bagian  utara  serta  Kota  Banjar.  Daya  tarik  wisata  unggulan  di  kawasan  ini  mencakup  potensi  sumber  daya  alam dan seni budaya tradisional Priangan. Untuk lebih jelasnya, lokasi kawasan wisata kria  dan budaya Priangan dan sebaran daya tarik wisata di kawasan tersebut dapat dilihat pada  2 (dua) gambar di halaman berikut ini.                      Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐  1



Laporan Akhir



    Gambar 3.1  Peta Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan 



 



   



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐  2



Laporan Akhir



Gambar 3.2  Peta Sebaran Daya Tarik Wisata di Kawasan Kria dan Budaya Priangan 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 



3



Laporan Akhir



Budaya  Priangan  yang  masih  banyak  terlihat  di  masyarakat,  khususnya  keterampilan  kria  dan  cenderamata,  serta  perilaku  dalam  kehidupan  keseharian  merupakan  butir  penting  yang  kemudian  diangkat  sebagai  tema  kawasan  ini.  Kerajinan  anyaman  Rajapolah,  tikar  mendong, payung dan kelom geulis maupun bordir Tasik telah terkenal tidak hanya di Jawa  Barat,  tapi  juga  di  tingkat  nasional  dan  bahkan  internasional.  Demikian  juga  dengan  berbagai  cenderamata  makanan  khas  seperti  dodol  Garut.  Budaya  Priangan  juga  terlihat  jelas pada beberapa kampung tradisional yang ada di kawasan ini, seperti Kampung Naga  di Kabupaten Tasikmalaya dan Kampung Pulo  di Leles, Garut. Mata pencaharian sebagian  besar penduduk kawasan ini bergantung pada kegiatan pertanian. Kondisi ini tidak terlepas  dari  kesuburan  tanah  akibat  keberadaan  beberapa  gunung  api  yang  ada  di  kawasan  ini,  seperti Gunung Galunggung dan Gunung Papandayan.   Sebagian dari potensi yang dimiliki oleh kawasan wisata  kria dan budaya Priangan ini telah  dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata. Kondisi infrastruktur maupun fasilitas pendukung  kepariwisataan di kawasan Priangan ini juga cukup baik, walaupun belum merata disemua  lokasi.  Pasar  wisatawan  di  kawasan  ini  pada  umumnya  adalah  wisatawan  nusantara  lokal  maupun  regional  dengan  kecenderungan  berupa  wisatawan  minat  khusus.  Wisatawan  minat  khusus  kebanyakan  tertarik  dengan  budaya  tradisional  maupun  alam  atau  gunung  api  yang  ada  di  kawasan  ini.  Potensi  dan  permasalahan  yang  terdapat  pada  daya  tarik  wisata  di  kawasan  wisata  kria  dan  budaya  Priangan  secara  terinci  akan  dirangkum  dalam  penjelasan berikut. 



3.1.1   Wilayah Garut  Awalnya,  pada  tahun  1811  Garut  termasuk  ke  dalam  bagian  dari  wilayah  Karesidenan  Balubur  Limbangan  yang  saat  itu  terdiri  dari  6  sub‐distrik,  yaitu  Balubur,  Malangbong,  Wanaraja, Wanakerta, Cibeureum, dan Papandak. Pada tahun 1813, oleh Thomas S. Raffles  Keresidenan  ini  kemudian  dipindahkan  ke  wilayah  Garut  dan  menjadi Keresidenan  Garut.  RAA.  Adiwijaya  atau  yang  lebih  dikenal  dengan  julukan  Dalem  Cipeujeuh  kemudian  menjadi  bupati  pertama  dari  wilayah  ini,  dari  tahun  1813  hingga  tahun  1821.  Setelah  kemerdekaan nama Keresidenan Garut berubah menjadi Kabupaten Garut yang termasuk ke  dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Barat.   Seiring dengan pelaksanaan otonomi  daerah,  Kabupaten Garut kemudian  menjadi  wilayah  administratif  dengan  pemerintahan  tersendiri.  Secara  administratif  Wilayah  Kabupaten  Garut terdiri dari 42 Kecamatan, 403 Desa dan 21 Kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten  ini berada di Kecamatan Garut. Luas kecamatan terbesar adalah Kecamatan Cikelet dengan  luas wilayah 301,27 km² dan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Tarogong Kidul dengan  luas wilayah 12,59 km².  Kabupaten  Garut terletak di bagian  selatan Provinsi  Jawa Barat  atau sekitar 63  km  ke arah  tenggara Kota Bandung. Secara geografis lokasinya terletak pada 6°57′34″ – 7°44′57″ LS dan  107°24′34″  –  108°7′34″  BT.  Kabupaten  Garut  memiliki  luas  wilayah  sekitar  306.688  Ha  atau  kurang lebih 6,94 % dari keseluruhan wilayah Provinsi Jawa Barat. Adapun batasan wilayah  Kabupaten Garut yaitu:  ‐



Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐  4



Laporan Akhir







Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. 







Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. 







Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya. 



Wilayah  Kabupaten  Garut  merupakan  daerah  dataran  tinggi  yang  dikelilingi  sejumlah  pegunungan  yang  sebagian  adalah  gunung  vulkanis.  Iklim  tropis  berhawa  sejuk  yang  berkisar  pada  suhu  24°C  (76°F)  dengan  curah hujan  dan  hari  hujan  yang  tinggi  di  wilayah  ini, serta banyaknya sungai membuat kondisi tanah Kabupaten Garut menjadi subur. Hal ini  membuat  daerah  Garut  menjadi  kawasan  pertanian  yang  subur  dan  dikenal  sebagai  pusat  penghasil sayur‐mayur, jeruk, teh, serta tembakau.   Gambaran Pariwisata Kabupaten Garut bagian Utara  Objek  dan  daya  tarik  wisata  Garut  bagian  utara  relatif  lebih  berkembang  dibandingkan  dengan Garut selatan, hal ini dikarenakan akses yang lebih baik. Pada umumnya di wilayah  ini  daya  tariknya  berbasis  kekayaan  alam  seperti  air  panas  Cipanas,  Situ  Bagendit,  Situ  Cangkuang,  Curug  Citiis,  Gunung  Guntur,  Gunung  Haruman,  Gunung  Papandayan  dan  Kawah  Telaga  Bodas.  Selain  itu  terdapat  pula  potensi  objek  dan  daya  tarik  wisata  ziarah  yang cukup dikenal oleh wisatawan tertentu.   Konsep  pengembangan  pariwisata  di  wilayah  Garut  utara  ini  dititikberatkan  kepada  pengembangan  wisata  alam  dan  budaya.  Wisata  budaya  pada  umumnya  telah  memiliki  mekanisme  pasar  tersendiri  yang  lebih  kepada  wisata  ziarah.  Adapun  objek  wisata  di  Kabupaten  Garut  yang  termasuk  dalam  wilayah  studi  Kawasan  Wisata  Kria  dan  Budaya  Priangan adalah sebagai berikut.  Tabel 3.1  Sebaran Objek Wisata dan Jumlah Wisatawan Kabupaten Garut yang Termasuk Dalam  Kawasan  Wisata Kria dan Budaya Priangan  Objek Wisata 



Kecamatan 



Jenis Wisata 



Daya Tarik 



Jumlah  Wisman  1.159 



Wisnus  24.423 



Candi  Cangkuang  Kampung Pulo 



Leles 



Alam, Budaya 



Candi, situ, danau 



Leles 



Alam, Budaya 



Kampung adat 



 t.a.d 



 t.a.d 



Situ Bagendit 



Banyuresmi 



Alam 



Situ, taman rekreasi 



43 



75.053 



Curug Citiis 



Tarogong Kaler  Alam 



Curug, air terjun 



23 



15.875 



Gunung Guntur  Taman Rekreasi  Cipanas  Talaga Bodas 



Tarogong Kaler  Tarogong  Kidul  Wanaraja 



Alam  Buatan    Alam 



Panorama Alam  Taman rekreasi, kolam  air panas, jogging  Telaga, danau 



 t.a.d  115 



 t.a.d  370.332 







24.543 



Kampung  Dukuh  Paraglaiding  Gn.Haruman 



Cikelet 



Alam,Budaya 



Kampung Adat 







25.792 



Kadungora   



Alam,  Olahraga 



Paraglaiding   



t.a .d 



t.a. d 



1.385 



37.191 



Kawah  Cisurupan  Alam  Kawah  Papandayan  Keterangan: t.a.d = tidak ada data  Sumber : www.garut.go.id  (data: sampai dengan Juni 2007)  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐  5



Laporan Akhir



Daya Tarik Wisata Kabupaten Garut  ƒ



WISATA KRIA  a. Industri Kulit  Kerajinan  kulit  termasuk  salah  satu  kerajinan  tertua  di  wilayah  Garut.  Industri  ini  berpusat  di  kawasan  Sukaregang.  Produk  yang  dihasilkan  dari  industri  ini  antara  lain  jaket, dompet, ikat pinggang, topi, aneka tas dan sandal khas yang dikenal dengan nama  Tarumpah. Di dalam industri kulit Garut, popularitas produk jaket kulit lebih menonjol  dibandingkan dengan komoditas kerajinan kulit lainnya. Salah satu penyebabnya adalah  pengrajin untuk jaket kulit yang dapat memenuhi permintaan lebih sedikit dibandingkan  dengan  pengrajin sepatu, ikat pinggang, sarung tangan, dompet dan kerajinan dari kulit  lainnya, sehingga kesan eksklusif pada jaket kulit masih dapat dirasakan oleh konsumen.  Meskipun  demikian,  semangat  untuk  terus  meningkatkan  kualitas  dan  kapasitas  produksi  masih  terus  ditingkatkan,  sejalan  dengan  peningkatan  daya  beli  dan  selera  masyarakat. Jumlah kapasitas produksi kerajinan kulit rata‐rata pertahun di Kabupaten  Garut  adalah  sarung  tangan  sebanyak  168.000  pasang,  dompet  sebanyak  31.500  buah,  serta sepatu dan sandal sebanyak 135.000 pasang.   Tabel  berikut  ini  menunjukkan  potensi  usaha  kerajinan  kulit  di  Kabupaten  Garut  pada  tahun 2006:   Tabel 3.2  Potensi Usaha Kerajinan Kulit Kabupaten Garut  Jumlah  Nilai  Nilai  Jumlah  Unit Usaha  Investasi  Produksi/Tahun  Tenaga Kerja  45,96 milyar  1.662 orang  1,928  429 unit,  Rupiah  milyar  yang  tersebar di 8  Rupiah  kecamatan 



Produk yang  Dihasilkan  Tas, sepatu/sandal,  dompet, topi, ikat  pinggang, sarung  tangan, dan barang  kerajinan kulit  lainnya. 



Daerah  Pemasaran  Jawa Barat,  Jawa  Tengah,  Bali, Batam,  Kalimantan. 



       Sumber: www.garut.go.id, 2007 



  b. Batik Tulis Garutan  Kegiatan  dan  usaha  pembatikan  di  Garut  merupakan  warisan  nenek  moyang  yang  berlangsung turun temurun dan telah berkembang sejak masa kolonialisme. Pada tahun  1945, Batik Garut semakin populer dengan sebutan Batik Tulis Garutan dan mengalami  masa  jaya  antara  tahun  1967  sampai  dengan  tahun  1985  dengan  jumlah  industri  sebanyak 126 unit usaha pada masa itu. Dalam perkembangan berikutnya produksi Batik  Garutan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan oleh semakin  pesatnya  batik  printing  atau  batik  cap,  kurangnya  minat  generasi  penerus  pada  usaha  batik  tulis,  ketidaktersediaan  bahan  dan  modal,  serta  lemahnya  strategi  kebutuhan  sandang dan lainnya.   Batik  Garutan  umumnya  digunakan  untuk  kain  sinjang,  namun  dapat  berfungsi  pula  untuk  memenuhi  kebutuhan  sandang  dan  lainnya.  Bentuk  motif  Batik  Garutan  merupakan  cerminan  dari  kehidupan  sosial  budaya,  falsafah  hidup,  dan  adat‐istiadat  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐  6



Laporan Akhir



masyarakat  Sunda.  Beberapa  perwujudan  Batik  Garutan  secara  visual  dapat  digambarkan  melalui  motif  dan  warnanya.  Berdasarkan  pemikiran  yang  melatarbelakangi  penciptaan  Batik  Garutan,  maka  motif‐motif  yang  dihadirkan  kebanyakan  berbentuk  geometrik  yang  sekaligus  menjadi  ciri  khas  ragam  hiasnya.  Bentuk‐bentuk  lain  dari  motif  Batik  Garutan  adalah  flora  dan  fauna.  Bentuk  geometrik  umumnya  mengarah  ke  garis  diagonal  dan  bentuk  kawung  atau  belah  ketupat.  Warna  batik  ini  banyak  didominasi  oleh  warna  krem  yang  dipadukan  dengan  warna‐warna  cerah lainnya, seperti hijau, merah, kuning, biru, ungu dan warna lainnya yang sekaligus  merupakan  karakteristik  khas  batik  Garutan.  Saat  ini  pengolahan  batik  Garutan  terkonsentrasi  di  Kota  Garut.  Rata‐rata  kapasitas  produksi  batik  per‐tahun‐nya  adalah  sebanyak  1.296  potong.  Adapun  potensi  industri  batik  tulis  garutan  pada  tahun  2006  dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut ini.  Tabel 3.3  Potensi Industri Batik Tulis Garutan Pada Tahun 2006  Uraian  Formal  Non Formal  Jumlah  Jumlah Unit Usaha (Unit)  1  2  3  Tenaga Kerja (Orang)  11  25  36  Investasi (000 Rp)  10.000  20.000  30.000  Nilai Produksi (000 Rp)  150.000  238.000  388.000  Wujud Produksi  Produk Sandang, Sinjang, Kain Bahan, dll  Daerah Pemasaran  Jakarta , Bandung , Bali , dll   Sumber: Dinas Perindag dan Penanaman Modal Kabupaten Garut 



  c. Kerajinan Bulu Unggas  Kerajinan  bulu  unggas  masih  tergolong  industri  baru  di  wilayah  Kabupaten  Garut.  Kerajinan  bulu  unggas  ini  terpusat  di  Kampung  Cipancar,  Kecamatan  Leles  yang  kebanyakan dikerjakan oleh ibu rumah tangga. Produk yang dihasilkan berupa berbagai  jenis  aksesoris  seperti  bros,  penjepit  rambut,  dan  lainnya.  Selain  asesoris  produk  kerajinan bulu unggas ini dapat digunakan sebagai penambah keindahan interior rumah  dengan menaruhnya di gordyn, sarung bantal, atau pada vas bunga.     d. Kerajinan Akar Wangi  Kerajinan akar wangi juga merupakan kerajinan yang relatif baru di wilayah Kabupaten  Garut. Kerajinan ini memiliki prospek yang cukup baik, karena bahan baku yang cukup  banyak.  Selain  itu,  akar  wangi  hanya  dapat  tumbuh  di  3  (tiga)  negara  yaitu  Haiti  di  Amerika  Tengah,  Bourbon  di  Prancis,  dan  di  Indonesia  sendiri.  Dari  beberapa  varietas  akar  wangi  yang  terdapat  di  Indonesia,  hanya  akar  wangi  di  wilayah  Garut  saja  yang  dapat  menghasilkan  wewangian  dengan  baik.  Pada  umumnya  akar  wangi  disuling  untuk  diambil  minyaknya  sebagai  bahan  pengikat  utama  untuk  parfum,  kosmetik  maupun wewangian lainnya. Namun, di Kabupaten Garut, akar wangi diubah menjadi  kerajinan  tangan  yang  indah,  seperti  tutup  lampu,  taplak  meja,  tas  wanita,  hiasan  dinding maupun pelengkap interior lainnya.  



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐  7



Laporan Akhir



ƒ



WISATA KULINER  a. Industri Makanan Dodol Garut  Dodol Garut merupakan salah satu komoditas penganan yang telah mampu mengangkat  citra Kabupaten Garut sebagai produsen dodol yang berkualitas tinggi dengan jenis yang  beraneka ragam. Dodol Garut dikenal luas karena rasanya yang khas, legit dan memiliki  kekenyalan yang berbeda dari produk sejenis dari daerah lain. Bahan dasar dari industri  dodol ini adalah tepung ketan, gula aren, dan santan kelapa.   Industri  dodol  berkembang  sejak  tahun  1926,  diawali  oleh  seorang  pengusaha  yang  bernama  Ibu  Karsinah  dengan  proses  pembuatan  yang  sangat  sederhana  dan  terus  berkembang  hingga  saat  ini.  Beberapa  hal  yang  menyebabkan  dodol  Garut  memiliki  kekhasan tersendiri adalah:  1. Memiliki  cita  rasa  yang  berbeda  dan  mampu  bersaing  dengan  jenis  dodol  yang  berasal dari daerah lain;  2. Harganya  terjangkau  dan  merupakan  makanan  yang  sangat  digemari  oleh  masyarakat;  3. Proses pembuatannya sangat sederhana dan bahan bakunya mudah diperoleh;  4. Tidak  menggunakan  bahan  pengawet  dan  tambahan  bahan  makanan  yang  bersifat  sintetis;  5. Memiliki daya tahan cukup lama (3 bulan).  Keunggulan  lain  dari  komoditi  ini  adalah  produknya  yang  mudah  dikembangkan  dengan  memodifikasi  bahan  baku  utamanya  yaitu  dengan  memanfaatkan  bahan  lain  seperti  misalnya  buah  waluh,  kentang,  kacang,  pepaya,  nenas,  sirsak  dan  lain  sebagainya.  Dekranasda  juga  membantu  pemasaran  melalui  pameran‐pameran,  perbaikan  kualitas  produk  maupun  perbaikan  desain  kemasan  melalui  pelatihan  ataupun  training  bagi  pengusaha  yang  bergerak  di  industri  ini.  Rata‐rata  kapasitas  produksi dodol Garut pertahun adalah sebanyak 4.378 ton. Potensi industri dodol Garut  pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel berikut ini.  Tabel 3.4  Potensi Industri Dodol Garut Pada Tahun 2006  Uraian  Jumlah Unit Usaha (Unit)   Tenaga Kerja (Orang)   Investasi (000 Rp)   Nilai Produksi (000 Rp)  



Formal 



Non Formal 



Jumlah 



40



45



85



1.178 



1.261 



2.439 



570.000 



337.500 



907.500 



23.860.770 



16.784.000 



40.644.770 



Wujud Produksi  



Dodol ketan, kacang, susu, coklat, wijen, dan dodol  buah‐buahan  



Daerah pemasaran  



Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Bali , Brunai,  Malayasia, Jepang, Arab Saudi, Singapura, Inggris.  



       Sumber : Dinas Perindag Penanaman Modal Kabupaten Garut 



    Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐  8



Laporan Akhir



  b. Jeruk Garut  Citra  Kabupaten  Garut  sebagai  sentra  produksi  jeruk  di  Jawa  Barat  khususnya  dan  nasional pada umumnya, diperkuat melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor:  760/KPTS.240/6/99  tanggal  22  Juni  1999  tentang  Jeruk  Garut  yang  telah  ditetapkan  sebagai Jeruk Varietas Unggul Nasional dengan nama Jeruk Keprok Garut I. Penetapan  tersebut  pada  dasarnya  menunjukkan  bahwa  Jeruk  Garut  merupakan  salah  satu  komoditas  pertanian  unggulan  nasional  yang  perlu  terus  dipertahankan  dan  ditingkatkan kualitas maupun kuantitas produksinya.  Sudah  sejak  lama,  jeruk  Garut  telah  populer  dan  menjadi  trademark  dari  Kabupaten  Garut.  Oleh  karena  itu,  sesuai  dengan  Perda  No.  9  Tahun  1981,  jeruk  Garut  kemudian  dijadikan sebagai komponen penyusun lambang daerah Kabupaten Garut. Selain sebagai  buah  yang  menjadi  ciri  khas  Kabupaten  Garut,  jeruk  juga  merupakan  komoditas  sub‐ sektor  pertanian  tanaman  pangan  yang  mempunyai  prospek  cukup  cerah  dengan  nilai  ekonomis  yang  cukup  tinggi.  Sebagai  komoditas  unggulan  khas  daerah,  jeruk  Garut  mempunyai  peluang  tinggi  untuk  terus  dikembangkan  karena  adanya  keunggulan  komparatif  dan  kompetitifnya,  serta  adanya  peluang  yang  masih  terbuka  luas.  Dengan  berbagai  usaha  yang  dilakukan  untuk  meningkatkan  kualitas  dan  kuantitas  produksinya,  jeruk  Garut  akan  mampu  bersaing  dengan  produk  sejenis  baik  pada  tingkat  nasional  seperti  halnya  jeruk  Medan,  jeruk  Pontianak  serta  jeruk  impor  seperti  jeruk Mandarin dan jeruk New Zealand. Investasi pada komoditas ini cukup prospektif  dan dapat memberikan nilai tambah ekonomis yang cukup tinggi baik bagi para petani  maupun investor yang terlibat didalamnya.   Sebagai daerah sentra produksi jeruk, Pemerintah Kabupaten Garut yang telah didukung  oleh  berbagai  pihak  terkait  terus  berusaha  untuk  meningkatkan  kuantitas  dan  kualitas  produksinya. Saat ini belum ada sumber yang melaporkan kapasitas jeruk Garut secara  spesifik, karena pada umumnya dalam pelaporannya, komoditas jeruk Garut terselip di  antara tanaman jeruk siam/keprok yang tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Garut.  c. Makanan Khas Garut Lainnya  Selain dodol dan jeruk, Kabupaten Garut juga memiliki beberapa makanan khas daerah  yang  sudah  cukup  dikenal  luas  oleh  masyarakat  dan  telah  berkembang  menjadi  usaha  industri kecil maupun rumah tangga, diantaranya yaitu:  Burayot  Burayot  terbuat  dari  gula  merah  dan  tepung  beras  pilihan,  bahan  dan  rasanya  sama  dengan  makanan  khas  daerah  lainnya  yang  dikenal  dengan  nama  ali  agrem  atau  kue  cuhcur.  Bedanya  yaitu  dari  segi  bentuk,  kue  ini  di  Garut  dibuat  bundar  keriput  atau  dikenal  dengan  istilah  ʺngaburayotʺ  (kata  orang  Sunda)  maka  kemudian  kue  terssbut  banyak dikenal dengan nama burayot. Makanan ini banyak diproduksi oleh masyarakat  Garut  terutama  di  wilayah  Leles,  karena  bahannya  mudah  didapat  dan  cara  membuatnya yang mudah.  



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐  9



Laporan Akhir



Ladu  Ladu  adalah  makanan  yang  terbuat  dari  beras  ketan  dan  diolah  sedemikian  rupa  sehingga  menjadi  hidangan  yang  khas  serta  rasanya  yang  berbeda  dengan  makanan  lainnya.  Pertama  kali  ladu  diperkenalkan  oleh  masyarakat  di  wilayah  Malangbong  Garut.  Angleng dan Aneka Wajit  Angleng  dan  wajit,  sebenarnya  mirip  dengan  dodol  Garut  yang  diproduksi  dari  beras  ketan  dan  gula  merah.  Bedanya  kalau  dodol  diolah  menjadi  semacam  karamel,  sedangkan  wajit  tidak.  Makanan  ini  banyak  diproduksi  oleh  masyarakat  di  Kabupaten  Garut khususnya di wilayah Kecamatan Cihurip.  Kurupuk Kulit Khas Garut  Makanan yang berupa kerupuk ini berkembang seiring dengan banyaknya penyamakan  kulit di wilayah Kabupaten Garut. Pada proses penyamakan ada bagian dari bahan baku  kulit yang tidak diolah dan kemudian dibuang begitu saja. Untuk memanfaatkan bagian  yang terbuang ini, maka diperoleh  ide untuk  mengolahnya menjadi kerupuk kulit agar  bernilai  ekonomis.  Kerupuk  kulit  atau  dikenal  dengan  nama  dorokdok  Garut  ini  mempunyai  citarasa  yang  sangat  khas.  Produksi  kerupuk  kulit  tersebar  di  Kota  Garut,  wilayah Tarogong dan daerah lainnya di sekitarnya.  Pindang Ikan  Penampilan  ikan  pindang  Garut  sama  dengan  ikan  pindang  dari  daerah  lainnya,  yang  menjadikan  pindang  ikan  Garut  berbeda  adalah  cara  pengolahan  yang  menjadikannya  memiliki citarasa tersendiri yang khas. Pindang ikan dapat diperoleh di berbagai tempat  khususnya  di  daerah  yang  banyak  memproduksinya,  seperti  di  wilayah  Cikajang,  Cisurupan, dan Cihideung.  Sambel Cibiuk  Menurut  sumber  yang  tersebar  di  masyarakat  Kecamatan  Cibiuk,  resep  sambel  Cibiuk  merupakan resep yang dibawa langsung dari Arab. Terlepas benar atau tidaknya, sambel  yang  dibuat  di  Kecamatan  Cibiuk  ini  mempunyai  perbedaan  dengan  sambal‐sambal  lainnya  pada  umumnya,  karena  dibuat  dari  bahan:  tomat  hijau,  serawung  atau  daun  kemangi,  cabe  rawit  dan  bumbu‐bumbu  lainnya.  Walaupun  pedas  tetapi  tidak  akan  menimbulkan  panas  pada  perut  orang  yang  menkonsumsinya.  Karena  terkenalnya,  maka  sekarang  restoran  dengan menu  sambel Cibiuk sudah  ada di berbagai  kota  besar  khususnya  di  wilayah  Bandung  dan  Jakarta.  Sambal  Cibiuk  mulanya  hanya  disajikan  bila  ada  tamu  istimewa.  Zaman  dahulu  sambal  ini  hanya  dapat  dinikmati  oleh  masyarakat Cibiuk dan para pejabat saja, tetapi seiring perkembangan peradaban maka  sekarang dapat dinikmati oleh seluruh kalangan. Rumah makan sambal Cibiuk yang ada  saat  ini  di  Kecamatan  Cibiuk  merupakan  keturunan  langsung  dari  pemegang  resep  Sambal  Cibiuk  yang  asli.  Akan  tetapi  untuk  sekadar  mengenal  saja  seperti  apa  bentuk  dan citarasa sambal Cibiuk, peminat dapat memesannya di berbagai rumah makan yang  berada di wilayah di Kota Garut, Tarogong dan sekitarnya.  



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 10



Laporan Akhir



Ceprus  Makanan  ini  bisa  diperoleh  di  Garut  bagian  Selatan.  Ceprus  adalah  makanan  yang  terbuat  dari  singkong  bakar  panas  yang  kemudian  dicelupkan  pada  gula  merah  yang  telah  dipanaskan  (kinca).  Makanan  ini  tergolong  langka  karena  hanya  tersaji  di  sentra  gula merah asli dari pohon kawung (aren).    ƒ



WISATA BUDAYA  a. Situ Cangkuang  Situ  Cangkuang  terletak  di  Desa  Cangkuang,  Kecamatan  Leles  atau  sekitar  16  km  dari  Kota  Garut dan  54  km jika ditempuh dari  Kota Bandung.  Situ  Cangkuang  berada  pada  ketinggian  600‐650  m  dpl.  Luas  situ  (danau)  ini  adalah  25,55  Ha  dengan  volume  air  288.340  m3,  tetapi  kini  keadaannya  makin  dangkal  karena  dibeberapa  bagian  sudah  tertutup oleh tanaman enceng gondok, ganggang dan teratai. Situ Cangkuang berbentuk  memanjang dari barat ke timur, mengikuti lembah yang bagian baratnya menyempit dan  merupakan daerah persawahan, sedangkan di sebelah selatan bertepi bukit terjal. Ada 3  objek  wisata  yang  cukup  menarik  untuk  dikunjungi  di  Situ  Cangkuang  ini,  yaitu  Kampung Pulo dengan makam Arif Muhamad dan Candi Cangkuang.   Gambar 3.3  Makam Arif Muhamad  



    Untuk mencapai lokasi ini bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum/ bus  dari Bandung‐Garut, kemudian dari Garut menuju Kecamatan Leles dilanjutkan dengan  angkutan umum (angkot). Jalan menuju Situ Cangkuang dari jalan raya berjarak sekitar 3  km  dengan  jalan  beraspal,  dapat  dilalui  dengan  menggunakan  kendaraan  bermotor,  berjalan  kaki  selama  30  menit,  atau  naik  kendaraan  tradisional  berupa  andong.  Untuk  melintasi Situ Cangkuang dan mengunjungi Kampung Pulo, makam Arif Muhamad dan  Candi  Cangkuang,  pengunjung  harus  menaiki  rakit  dari  bambu  yang  dicat  dengan  beraneka  warna.  Rakit  yang  berkapasitas  30  orang  ini  baru  beroperasi  kalau  penumpangnya  sudah  penuh  dengan  tarif  Rp.  2.000/orang,  atau  dapat  disewa  sebuah  rakit.  Biasanya  pengemudi  dan  rakitnya  akan  menunggu  pengunjung  untuk  kemudian  diantar kembali ke tempat keberangkatan.    Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 11



Laporan Akhir



Gambar 3.4  Penyewaan Rakit Menuju Kawasan Candi Cangkuang dan Kampung Pulo 



    Candi  Cangkuang  adalah  candi  yang  berasal  dari  abad  ke‐7  dan  merupakan  salah  satu  dari  sedikit  candi  peninggalan  Hindu  yang  terdapat  di  Jawa  Barat.  Candi  ini  memiliki  ketinggian  sekitar  8,5  m.  Persis  di  samping  Candi  Cangkuang  terdapat  makam  Embah  Dalem  Arif  Muhammad,  yaitu  seorang  penyebar  agama  Islam  di  daerah  ini.  Arif  Muhammad dan kawan‐kawannya yang mensyiarkan Islam sendiri berasal dari kerajaan  Mataram  di  Jawa  Timur.  Kegiatan  wisata  yang  bisa  dilakukan  oleh  wisatawan  di  kawasan  cagar  budaya  Candi  Cangkuang,  antara  lain  adalah  melihat  pemandangan,  memancing, berjalan‐jalan, berziarah dan melakukan penelitian tentang kebudayaan.   Gambar 3.5  Candi Cangkuang 



    Fasilitas  yang  terdapat di kawasan ini  antara  lain adalah  toilet  umum  sebanyak 6  buah  dengan  kondisi  yang  cukup  baik.  Terdapat  pula  3  buah  shelter,  namun  dengan  kondisi  yang kurang baik. Pusat informasi dan loket tiket yang letaknya di pinggir situ. Sebuah  museum kecil dan pendopo yang terdapat di depan candi. Di kawasan ini juga terdapat  sebuah masjid yang berada di kawasan adat Kampung Pulo.   Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 12



Laporan Akhir



ƒ



WISATA BUDAYA KAMPUNG TRADISIONAL  a. Kampung Pulo  Kampung  Pulo  merupakan  suatu  perkampungan  tradisional  yang  terdapat  di  dalam  pulau  di  tengah  kawasan  Situ  Cangkuang.  Kondisi  di  kawasan  ini  memiliki  kualitas  lingkungan  yang  baik  dengan  kebersihan  yang  cukup  terjaga  dan  juga  bentang  alam  yang  baik.  Tingkat  visabilitas  di  kawasan  ini  digolongkan  cukup  bebas  dengan  tingkat  kebisingan  yang  rendah.  Dulu  Kampung  Pulo  terletak  di  tengah  pulau  dan  dikelilingi  Situ  Cangkuang,  tetapi  sekarang  sebagian  telah  menjadi  lahan  persawahan.  Luas  areal  perkampungan  ini  sekitar  ±  2,5  Ha  dengan  jumlah  penduduk  sebanyak  61  jiwa  yang  terhimpun kedalam 6 kepala keluarga.  Kampung Pulo terdiri dari enam buah rumah yang berderet dan saling berhadapan satu  dengan lainnya, masing‐masing tiga di sebelah kiri dan tiga disebelah kanan, ditambah  dengan  satu  mushala.  Suatu  keunikan  yang  menjadi  ciri  khas  Kampung  Pulo  adalah  adanya aturan adat yang mengatur pola permukiman dan jumlah kepala keluarga yang  diperbolehkan  tinggal  di  kampung  tersebut,  yaitu  hanya  boleh  ditempati  oleh  6  kepala  keluarga (atau 6 keluarga inti) saja. Keseluruhan bangunan yang ada di Kampung Pulo,  yaitu  6  buah  rumah  dan  sebuah  langgar/surau  dibangun  di  atas  tanah  seluah  0,5  Ha.  Tipologi, bentukan, bahan bangunan maupun orientasi  rumah di Kampung Pulo semua  seragam  tanpa  terkecuali.  Batas  antar  rumah  hampir  tidak  ada,  sehingga  letaknya  hampir berdempetan, pekarangan ada di bagian tengah dari ke‐enam bangunan rumah  tersebut.  Rumah  di  Kampung  Pulo  memiliki  orientasi  dari  arah  barat  ke  timur  dengan  arsitektur rumah panggung yang memiliki kolong di bagian bawahnya.  Gambar 3.6  Kampung Pulo 



  Hingga saat ini masyarakat penghuni Kampung Pulo masih tetap teguh memegang adat  dan  tradisi  yang  telah  ada  secara  turun  temurun.  Diantara  tradisinya  adalah  penyelenggaraan  upacara  adat  yang  sering  dilakukan,  antara  lain  Upacara  Marhaban,  Upacara  Kematian,  Upacara  Jaroh  Mitembeyan,  Upacara  Ngadegkeun Susuhunan,  Upacara  Ngibakan Benda Pusaka. Kesenian dan olahraga di kalangan masyarakat Kampung Pulo  kurang  berkembang.  Hal  ini  dikarenakan  tidak  adanya  lapangan  olahraga  dan  tidak  pernah  diselenggarakannya  pertunjukan  kesenian.  Selain  tidak  ada  grup  kesenian,  kondisi  tersebut  juga  berkaitan  dengan  adanya  peraturan  adat  yang  mentabukan  pemukulan gong besar.  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 13



Laporan Akhir



ƒ



WISATA ALAM  a. Situ Bagendit  Objek  wisata  Situ  Bagendit  terletak  di  Desa  Bagendit,  Kecamatan  Banyuresmi  atau  berjarak sekitar 13 km dari Kota Garut. Situ Bagendit merupakan sebuah tempat rekreasi  air  berupa  danau  dengan  luas  sekitar  124  Ha  yang  banyak  dikunjungi  oleh  wisatawan  lokal.  Objek  wisata  ini  dikelola  oleh  Bapak  Ajan  Sobari  dengan  status  kepemilikan  berada  di  tangan  Pemerintah  Daerah  Kabupaten  Garut  yang  kewenangannya  dilimpahkan  kepada  Dinas  Pariwisata  dan  Kebudayaan  Kabupaten  Garut  yang  bekerjasama dengan pihak swasta yaitu Bapak Adang Kurnia.  Kawasan wisata Situ Bagendit berjarak 4 km dari pusat Kota Garut. Terdapat angkutan  umum berupa angkot jurusan Terminal Guntur – Kp. Mengger dan Garut – Limbangan   dengan  tarif  Rp.  1.500/orang  dan  ojeg  dengan  tarif  sekitar  Rp.  2.000.  Kualitas  pemandangan  dan  tingkat  keamanan  sepanjang  jalan  menuju  kawasan  objek  dan  daya  tarik wisata ini cukup baik.  Aktivitas  wisata  yang  dapat  dilakukan  di  kawasan  Situ  Bagendit  ini  antara  lain  adalah  menikmati  pemandangan  dan  mengelilingi  danau  dengan  menggunakan  perahu  atau  rakit. Para pengunjung juga dapat melakukan kegiatan rekreasi keluarga, bersepeda air,  naik  rakit  atau  perahu  dari  bambu,  serta  memancing.  Di  belakang  telaga  kecil  itu,  terbentang  pemandangan  Gunung  Guntur.  Pada  waktu  pagi  atau  menjelang  senja  hari  bayangan  gunung  tersebut  sering  terpantul  pada  permukaan  air,  dan  nampak  sangat   indah.   Seperti  juga  beberapa  daya  tarik  wisata  lain di  Jawa Barat, Situ Bagendit juga  memiliki  cerita legenda terbentuknya situ ini. Legenda tersebut dikenal dengan sebutan Nyi Endit.  Setiap  tahunnya  diadakan  Festival  Bagendit  di  lokasi  ini  dengan  tujuan  untuk  mempromosikan budaya setempat.   Fasilitas  yang  tersedia  di  kawasan  ini  yaitu  penyewaan  60  buah  rakit  dengan  tarif  Rp.  25.000/15  menit  tiap  rakitnya,  11  buah  sepeda  air  dengan  tarif  Rp.  10.000/15  menit.  Terdapat juga kereta api mini dengan tarif Rp. 2.000 dan kolam renang di kawasan Situ  Bagendit  ini.  Berdasarkan  Perda  No.  11  tahun  2001  harga  masuk  tiket  ke  kawasan  ini  adalah Rp. 1.000/orang untuk dewasa dan Rp. 500/orang untuk anak‐anak.   Di  bagian  depan  kawasan  Situ  Bagendit  terdapat  tempat  parkir  dengan  luas  1.400  m2  yang  berdaya  tampung  30  bus,  60  kendaraan  pribadi  dan  180  kendaraan  bermotor.  Lokasi  parkir  ini  dalam  kondisi  yang  cukup  baik  walaupun  lapisan  permukaan  masih  berupa tanah. Terdapat sebuah pos tiket yang juga berfungsi sebagai pintu masuk dalam  kondisi  yang  cukup  baik,  serta  beberapa  toilet  umum  dalam  kondisi  bangunan  dan  kebersihan  yang  cukup.  Di  kawasan  ini  juga  terdapat  taman  bermain  dengan  vegetasi  peneduh,  tempat  ibadah  berupa  Mushola,  serta  beberapa  kedai  penjual  makanan  dan  cenderamata.   Jumlah  karyawan  di  objek  dan  daya  tarik  wisata  Situ  Bagendit  ini  hanya  berjumlah  6  orang. Jumlah  pengunjung yang berkunjung  ke  objek  wisata  ini  perbulannya  mencapai 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 14



Laporan Akhir



sekitar  400  –  600  orang.  Para  pengunjung  tersebut  umumnya  adalah  wisatawan  lokal  yang  berasal dari Garut, Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, Bandung, dan Jakarta.    b. Gunung Papandayan  Objek dan daya tarik wisata Gunung Papandayan terletak di Desa Sirna Jaya dan Desa  Keramat  Wangi,  Kecamatan  Cisurupan,  atau  sekitar  28  Km  barat  daya  wilayah  Garut.  Gunung  ini  merupakan  salah  satu  gunung  yang  masih  aktif  di  Jawa  Barat,  gunung  berapi dengan ketinggian 2.638 m dpl. Luas kawasan objek wisata ini secara keseluruhan  adalah  7.132  Ha,  yang  terdiri  dari  cagar  alam  dengan  luas  6.807  Ha  dan  taman  wisata  alam seluas 225 Ha. Pengelola kedua objek wisata tersebut adalah BKSDA Jabar II.  Aksesibilitas  menuju  kawasan  ini  berupa  jalan  raya  dari  Garut  –  Pameungpeuk    yang  merupakan jalan Provinsi dengan lebar 6 m dan dalam kondisi yang cukup baik. Akses  masuk  dari  Cisurupan  –  Taman  Wisata  Alam  berupa  jalan  sepanjang  9  km  dan  lebar  5  km dengan kualitas jalannya yang cukup baik dan dilanjutkan dengan jalan setapak dari  tempat  parkir  ke  kawah  sepanjang  kurang  lebih  1  km.  Dari  tempat  parkir  wisatawan  harus berjalan kaki mendaki  selama  kurang lebih  setengah  jam menuju ke  kawah  yang  terdiri  dari  kolam  lumpur  yang  terus  menerus  mengeluarkan  gelembung  atau  lubang‐ lubang yang mengeluarkan uap panas dan belerang.  Untuk menuju Taman Wisata Alam Papandayan dapat menggunakan kendaraan pribadi  atau  alat  transportasi  umum  berupa  bis  pariwisata,  angkot  yang  disewa  khusus,  atau  angkutan  lokal  berupa  mobil  pick  up  dari  Cisurupan  ke  kawah  atau  ojeg  dengan  rute  yang sama. Selain itu, untuk mencapai Gunung Papandayan dengan kendaraan umum,  wisatawan dapat juga menumpang minibus dari Garut ke jurusan Cikajang.  Gambar 3.7  Gunung Papandayan 



  Daya tarik Gunung Papandayan yang utama adalah kawah, panorama pegunungan dan  perkemahan.  Kawah  di  Gunung  Papandayan  ada  4  (empat)  buah,  yaitu  Kawah  Baru,  Kawah  Mas,  Kawah  Nagklak,  dan  Kawah  Manuk.  Gunung  Papandayan  merupakan  gunung berapi dengan kaldera terluas di Asia. Daya tarik potensial lainnya berupa hutan  yang  terdapat  di  cagar  alam  yang  memiliki  sifat  khusus  untuk  penelitian,  pendidikan  maupun  perkebunan.  Terdapat  juga  kebun  teh  yang  berada  di  luar  kawasan  yang  kini  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 15



Laporan Akhir



dikelola  oleh  PTPN  VIII  Sedep,  Bandung.  Aktivitas  yang  dapat  dilakukan  oleh  wisatawan yaitu trekking, hiking,  fotografi,  bird watching,  rekreasi dan piknik hutan,  serta  berkemah  yang  dapat  dilakukan  di  kawasan  taman  wisata  alam.  Sedangkan  aktivitas  penunjangnya lainnya adalah penelitian fauna dan flora di cagar alam.   Taman wisata alam di kawasan ini memiliki flora yang dominan yaitu suwagi dan kiteke,  sedangkan fauna yang dominan yaitu babi hutan dan burung. Di dalam cagar alam jenis  flora  yang  dominan  yaitu  hiur,  puspa,  pasang  hura,  saninten,  jamuju  dan  sega,  sedangkan  jenis fauna yang dominan di dalam cagar alam yaitu babi hutan, beberapa jenis burung,  macan  kumbang  dan  macan  tutul.  Beberapa  flora  dan  fauna  langka  yang  terdapat  di  cagar alam ini diantaranya adalah saninten dan rusa, elang Jawa, lutung dan surili.   Di  Papandayan  terdapat  10  buah  kios  serta  1  buah  toko  cenderamata  yang  terletak  di  deket  pintu  masuk  (loket  karcis)  yang  berada  di  sekitar  lahan  parkir.  Tempat  parkir  di  kawasan ini memiliki luas 1 ha terletak di dekat pintu masuk dan berkapasitas 100 bus,  200 mobil dan motor dengan jumlah yang  cukup banyak. Kondisi tempat parkir cukup  baik  dengan  lapisan  permukaan  bervariasi,  sebagian  beraspal,  dan  sebagian  lainnya  masih  tanah  berbatu  kerikil  yang  ditumbuhi  rumput.  Terdapat  1  buah  toilet  umum  dengan  kebersihan/sanitasi  cukup  dan  kondisi  bangunan  sederhana.  Terdapat  juga  sebuah  shelter  dan  3  buah  tempat  sampah  berupa  keranjang  sampah  yang  terletak  di  dekat  lokasi  parkir.  Di  kawasan  Gunung  Papandayan ini terdapat  2 bumi  perkemahan,  yaitu Pondok Salada yang berjarak 3 km dari pintu masuk ke arah puncak dengan luas  lahan 2 Ha dan Camp  David yang terletak di belakang tempat parkir dengan luas lahan  kurang  lebih  1  Ha.  Di  bumi  perkemahan  ini  tersedia  fasilitas  tempat  api  unggun  dan  lapangan  upacara.  Sayangnya,  air  bersih  di  Camp  David  dan  taman  wisata  alam  belum  ada,  akibat  aktivitas  gunung  api,  sedangkan  di  Pondok  Salada  terdapat  mata  air  yang  berasal  dari  Sungai  Cisalada.  Tingkat  kebersihan  dan  kondisi  perkemahan  di  Gunung  Papandayan  cukup  baik.  Sudah  ada  sebuah  interpretative  center  dengan  tingkat  kebersihan dan kondisinya baik yang terletak di pos jaga atau loket. Kondisi keamanan  di wilayah ini juga relatif aman dan terjaga dengan baik.    c. Gunung Guntur  Gunung  Guntur  merupakan  salah  satu  gunung  yang  berada  di  wilayah  Kabupaten  Garut, yang terletak di Kampung Dukuh, Desa Pananjung, Kecamatan Tarogong Kaler.  Gunung  ini  memiliki  luas  kawasan  sekitar  250  ha  yang  sebagian  besar  masih  berupa  areal  terbuka,  dan  seluruhnya  dikelola  oleh  BKSDA  Jawa  Barat  II  yang  mengacu  pada  aspek  legalitas  dari  SK  Menteri  Kehutanan  No:  274/kpts  II/99.  Gunung  Guntur  yang  merupakan gunung api aktif dengan aktivitas vulkanik ini, memiliki ketinggian 2.000 m  dpl  dan  memiliki  satu  kawah  pada  salah  satu  puncaknya.  Gunung  Guntur  memiliki  karakter  bentang  alam  yang  unik  yaitu  memiliki  tiga  bukit  pada  puncaknya,  yang  masing‐masing  bukitnya  memiliki  ketinggian  1.000  m  (dari  kaki  gunung),  1200  m,  dan  1.300 m pada puncak paling tinggi.   Aksesibilitas  untuk  menuju  wilayah  Gunung  Guntur  berupa  jalan  raya  dengan  kelas  jalan kecamatan yang memiliki lebar 3 m dan panjang 3 km dengan kondisi baik. Jalan  akses selanjutnya memiliki kondisi yang cukup dengan kelas jalan desa dengan lebar 2.5  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 16



Laporan Akhir



–  3  m  dan  panjang  2  km.  Terdapat  pula  akses  jalan  setapak  dengan  lebar  0.5  –  1  m  dengan kondisi  yang  cukup baik.  Untuk  mencapai ke  kaki  gunung  yang berjarak  5 km  dari  terminal  Kota  Garut,  yaitu  terminal  Guntur,  dapat  menggunakan  angkutan  kota  jurusan Garut – Cipanas yang beroperasi dari pukul 05.00 hingga pukul 19.00 WIB, atau  dapat menggunakan angkutan tradisional berupa delman.  Gunung  ini  memiliki  daya  tarik  berupa  medan  gunung  yang  menantang,  lembah,  air  terjun, sungai, panorama alam dan kawah. Gunung Guntur memiliki konfigurasi umum  berupa lahan bergunung dengan kemiringan yang sangat curam dan  memiliki material  tanah berupa tanah pasir berbatu. Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Guntur belum  dikembangkan secara intensif untuk kegiatan pariwisata, saat ini hanya para penjelajah  dan  petualang  (wisatawan  minat  khusus)  saja  yang  mengunjungi  kawasan  Gunung  Guntur, khususnya untuk berkemah, hiking maupun trekking.   Kawasan  wisata  ini  memiliki  sumber  mata  air  panas  yang  disalurkan  ke  kolam‐kolam  dan  pemandian  yang  terdapat  di  berbagai  penginapan  di  wilayah  Cipanas.  Tempat  ini  dapat  dijadikan  pangkalan  (base)  sebelum  menjelajahi  beberapa  objek  wisata  lain  di  sekitarnya.  Tempat‐tempat  peristirahatan  dan  pemandian  air  panas  tersebut  dikemas  bervariasi  dalam  bentuk  mewah  hingga  yang  sederhana.  Tak  jarang  di  beberapa  penginapan  disediakan  kolam  renang  air  hangat  dan  tempat  berendam  yang  berada  di  dalam kamar‐kamar. Berjarak sekitar 3 Km dari Cipanas, melalui jalan yang mendaki ke  arah  puncak  Gunung  Guntur,  terdapat  air  terjun  yang  dikenal  dengan  nama  Curug  Citiis. Dari lokasi air terjun ini, wisatawan dapat melanjutkan pendakian selama kurang  lebih  4  jam  ke  puncak  Gunung  Guntur.  Para  pendaki  umumnya  memulai  pendakian  sekitar jam 5 pagi untuk mendapatkan pemandangan yang jelas pada saat tiba di puncak  gunung.    d. Curug Citiis  Curug  Citiis  adalah  air  terjun  yang  terletak  di  Desa  Pasawahan,  Kecamatan  Tarogong  dengan luas 30 m2 dan berada pada ketinggian 1.000 m dpl. Konfigurasi umum lahan  di  kawasan  ini  pada  umumnya  berbukit‐bukit  dengan  tingkat  kemiringan  yang  agak  curam,  dan  stabilitas  tanah  yang  sedang.  Pada  musim  kemarau,  debit  air  Curug  Citiis  akan berkurang. Kualitas lingkungan di sekitar kawasan ini cukup baik dengan tingkat  sanitasi yang baik dan bentang alam yang cukup indah. Pencemaran udara hampir tidak  ada,  namun  terdapat  pencemaran  air  akibat  sampah‐sampah  sisa  makanan  yang  ditinggalkan para pengunjung dan penambang pasir yang bekerja di kawasan tersebut.   Objek ini berjarak sekitar 10 km dari ibukota Kec. Tarogong, dan sekitar 15 km dari Kota  Garut. Jarak terminal terdekat menuju kawasan ini adalah dari perkampungan terdekat  yaitu Kampung Dukuh yang berada di kaki Gunung Guntur dan berjarak sekitar 5 km.  Jalan akses menuju ke Curug Citiis memiliki lebar sekitar 4 m dengan  panjang sekitar 2  km, dan dilanjutkan jalan setapak dengan lebar 1 m dan panjang 4 km. Untuk menuju ke  objek  ini,  pengunjung  bisa  menggunakan  kendaraan  pribadi  hingga  kaki  Gunung  Guntur, serta angkutan tradisional dari Cipanas ataupun dari Kota Garut berupa delman  ataupun menggunakan ojeg. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 17



Laporan Akhir



Konon  air  terjun  ini  merupakan  tempat  bertemunya  para  raja  dari  seluruh  Pulau  Jawa.  Nama  Curug  Citiis  sendiri  berasal  dari  kata  cai  tiis  yang  berarti  air  dingin  karena  menurut  penduduk  sekitar  suhu  air  dari  air  terjun  ini  paling  dingin  sewilayah  Garut.  Sumber  air  curug  berasal  dari  Gunung  Guntur  yang  mempunyai  dua  buah  mata  air,  yaitu  mata  air  panas  yang  mengalir  ke  daerah  Cipanas,  dan  mata  air  dingin  yang  mengalir  ke  aliran  Curug  Citiis.  Aktivitas  yang  dapat  dilakukan  antara  lain  hiking,  trekking, menikmati pemandangan, berkemah dan berekreasi.   Di  kawasan  ini  terdapat  tiga  buah  shelter  dalam  kondisi  cukup  baik  namun  banyak  terdapat  coretan,  sebuah  kios  dalam  kondisi  yang  cukup  yang  hanya  buka  pada  hari  Minggu.  Objek  wisata  ini  belum  memiliki  fasilitas  akomodasi,  kamar  kecil  atau  tempat  ibadah.  Fasilitas‐fasilitas  tersebut  dapat  dijumpai  di  kawasan  Cipanas  yang  hanya  berjarak sekitar 7 km dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Untuk fasilitas rumah makan  hanya terdapat di Kecamatan Tarogong.     e. Taman Rekreasi Cipanas  Objek wisata buatan berupa taman rekreasi dan kolam renang air panas Cipanas terletak  di  wilayah  Cipanas,  Kecamatan  Tarogong.  Luas  keseluruhan  tanah  yang  dimiliki  oleh  Pemda  Garut  berikut  Hotel  Cipanas  Indah  adalah  9.335  m2.  Lahan  taman  rekreasi  ini  berbukit‐bukit,  dengan  kemiringan  lahan  agak  curam,  stabilitas  tanah  sedang,  daya  serap tanah baik, serta kualitas lingkungan cukup baik. Selain milik Pemda, di lokasi ini  banyak  terdapat  penginapan  atau  hotel  maupun  kolam  renang  dan  fasilitas  berendam  yang diusahakan oleh masyarakat sekitar ataupun swasta.   Untuk  menuju  ke  kawasan  ini  dapat  menggunakan  kendaraan  pribadi  yang  akan  menempuh  jarak  kurang  lebih  2  km  dari  Kecamatan  Tarogong.  Selain  itu  juga  dapat  menggunakan  angkutan  kota  dengan  rute  Cipanas  –  Tarogong.  Kondisi  jalan  menuju  kawasan ini cukup baik, dengan lebar jalan 3 – 4 meter.  Fasilitas yang ada di kawasan ini berupa penginapan, kolam renang, serta pemandian air  panas yang dikelola oleh Pemda, swasta dan masyarakat. Pengunjung yang datang bebas  memilih  tempat  mana  yang  hendak  dikunjungi  di  kawasan  Cipanas  ini.  Umumnya  kolam renang air panas yang tersedia berukuran sekitar 20 x 10 m2 dan masing‐masing  tempat memiliki toilet umum atau kamar mandi. Di kawasan ini terdapat sebuah pusat  informasi  yang  terletak  di  dekat  pintu  keluar  masuk,  dan  sebuah  menara  pengawas.  Sarana  umum  lain  yang  terdapat  di  kawasan  ini  adalah  tempat  parkir  yang  dapat  menampung  30  kendaraan  pribadi  serta  80  sepeda  motor.  Aktivitas  yang  dapat  dilakukan wisatawan di taman rekreasi ini adalah berenang, berendam, berekreasi atau  bersantai.  Di  kawasan  ini  juga  terdapat  fasilitas  resort  hotel,  hotel  kelas  melati  sampai  dengan  bintang  tiga,  beberapa  restoran,  lapangan  tenis  dan  bulutangkis,  kios  cenderamata & jajanan, masjid serta pemandu wisata dari masyarakat lokal yang tinggal  di sekitar kawasan.        Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 18



Laporan Akhir



  f.



Taman Wisata Alam Talaga Bodas 



Di sebelah timur wilayah Garut terdapat Gunung Telaga Bodas dengan ketinggian 2.201  m  dpl  yang  memiliki  kawah  berwarna  hijau  terang  dan  mengeluarkan  gelembung.  Tepatnya terletak di Desa Wana Raja, atau sekitar 27 kilometer dari Kota Garut. Wisata  Kawah Telaga  Bodas  ini  termasuk ke dalam Taman  Wisata  Alam  (TWA)  Talaga  Bodas.  Kawasan TWA Kawah Talaga Bodas memiliki luas kurang lebih 23,85 Ha dan berada di  ketinggian  1.512  m  dpl.  Air  kawah  Talaga  Bodas  ini  sering  berubah‐ubah  warna  tergantung dari suhu dan kelembaban. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh  E.W. de Kroon pada tahun 1938, suhu di kawah Talaga Bodas ini mencapai 94o C.  Stabilitas  tanah  dan  daya  serap  air  kawasan  ini  tergolong  sedang.  Jenis  material  tanah  adalah  tanah  cadas  berbatu.  Kondisi  lingkungan  di  kawah  Talaga  Bodas  cukup  baik  dengan  kebersihan  dan  bentang  alam  yang  tergolong  baik,  terbukti  dari  tidak  terdapatnya  pencemaran  air,  tanah,  udara  dan  sampah,  hanya  saja  masih  terdapat  coretan  ditempat  tertentu  yang  dilakukan  oleh  pengunjung.  Kawasan  ini  dikelola  oleh  BKSDA  Jawa  Barat  ll  berdasarkan  SK  Menteri  No:  98/KPTS/UM/1978,  dengan  status  kepemilikan lahan oleh Departemen Kehutanan.  Aksebilitas menuju objek dan daya tarik wisata ini berupa jalan kelas kecamatan dengan  kondisi  yang  baik.  Untuk  mencapai  lokasi  TWA  ini  dapat  menggunakan  kendaraan  pribadi  maupun  alat  transportasi  umum  berupa  angkutan  kota  dengan  trayek:  Garut  –  Cibatu,  Garut  –  Cikelet,  terminal  Guntur  –  Sukawening,  dan  jalur  terminal  Guntur  Perumnas Cempaka Indah, atau dapat juga mempergunakan alat transportasi tradisional  berupa delman dan ojek. Para pengunjung umumnya mencapai lokasi dengan membawa  kendaraan  roda  dua  (motor).  Untuk  mencapai  tempat  ini  dengan  kendaraan  umum  wisatawan dapat menumpang angkot ke Wanaraja dilanjutkan dengan angkot ke tempat  parkir  dan  kemudian  berjalan  kaki  menuju  kawah.  Keadaan  jalan  menuju  lokasi  ini  kondisinya rusak parah hingga praktis tidak dapat dilalui oleh mobil sekelas sedan atau  city car.  Pengunjung yang datang ke TWA Talaga Bodas ini biasanya melakukan aktivitas berupa  trekking,  hiking,  piknik,  atau  sekedar  jalan‐jalan  dan  bersantai.  Di  kawasan  ini  terdapat  pula  hutan  wisata,  cagar  alam  yang  sering  digunakan  untuk  tempat  berkemah.  TWA  Talaga  Bodas  yang  menurut  Surat  Keputusan  Menteri  Pertanian  Nomor:  98/Kpts/UM/2/1978  memiliki  luas  kurang  lebih  23,85  Ha  itu,  sampai  sekarang  belum  dilengkapi  dengan  fasilitas  pendukung  yang  memadai.  Fasilitas  yang  kini  tersedia  di  kawasan ini adalah 1 pos masuk dan 2 buah shelter. Fasilitas ibadah terdekat hanya ada  di Desa Sukamanak. Di kawasan ini juga tidak terdapat fasilitas akomodasi dan rumah  makan yang memadai.    g. Paragliding Gunung Haruman  Objek  wisata  dan  daya  tarik  olah  raga  paraglading  Gunung  Haruman  ini  berlokasi  di  Desa Haruman Sari, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut. Status kepemilikan tanah  yang  digunakan  untuk  paraglaiding  adalah  tanah  masyarakat  yang  masih  belum  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 19



Laporan Akhir



dikelola secara khusus. Gunung Haruman sendiri memiliki ketingian lebih kurang 1.300  m dpl dan bukan merupakan jenis gunung api. Konfigurasi umum lahan  di kawasan ini  adalah  berbukit  dengan  kemiringan  lahan  agak  curam,  berdaya  serap  tanah  baik,  stabilitas tanah cukup baik, serta jenis material tanahnya pasir berbatu.  Untuk  mencapai  kawasan  terbang  layang  Gunung  Haruman  dapat  melalui  jalan  raya  Garut  –  Bandung  yang  melewati  Kecamatan  Kadungora.  Dari  Kecamatan  Kadungora  dapat  menggunakan kendaraan pribadi  atau  ojeg  menuju  Desa Haruman Sari.  Adapun  jarak  yang  ditempuh  dari  Kecamatan  Kadungora  menuju  Desa  Haruman  Sari  berjarak  lebih kurang 15 km dengan lebar jalan 2 – 4 m yang berkondisi agak kurang baik. Untuk  menuju  landasan  terbang  layang  dari  Desa  Haruman  Sari  masih  berjarak  sekitar  7  –  8  km,  biasanya  para  pengunjung  yang  datang  menggunakan  mobil  jeep  atau  sejenisnya  untuk  menuju  ke  lokasi.  Hal  ini  disebabkan  oleh  kondisi  jalan  yang  sangat  rusak  sehingga tidak memungkinkan untuk dilalui oleh mobil selain jeep.  Kegiatan wisata yang dapat dilakukan wisatawan di kawasan ini adalah terbang layang,  trekking,  menikmati  pemandangan  dan  fotografi.  Pengunjung  yang  datang  ke  Gunung  Haruman  umumnya  berasal  dari  Jakarta,  Jawa  Tengah  dan  Jawa  Timur,  sedangkan  pengunjung  mancanegara  berasal  dari  negara  Singapura,  Belanda,  Korea  dan  Amerika  Serikat yang datang khusus  untuk melakukan olah raga paraglaiding.   Landasan yang digunakan untuk terbang layang memiliki luas 40 x 15 m2 dengan lapisan  permukaan  tanah  rerumputan  berkemiringan  lahan  yang  cukup  landai.  Untuk  melakukan  olah  raga  terbang  layang,  setiap  pengunjung  biasanya  membawa  peralatan  sendiri,  hal  ini  dikarenakan  belum  adanya  pengelolaan  secara  khusus  sehingga  tidak  tersedia tempat penyewaan peralatan yang dibutuhkan.     ƒ



WISATA KESENIAN TRADISIONAL  a. Surak Ibra  Kesenian  Surak  Ibra  atau  juga  dikenal  dengan  nama  Boboyongan  merupakan  kesenian  tradisional  yang  sudah  ada  sejak  tahun  1910.  Kesenian  ini  awalnya  berkembang  di  Kampung  Sindang  Sari,  Desa  Cinunuk,  Kecamatan  Wanaraja  yang  diciptakan  oleh  Raden  Djajadiwangsa  yaitu  putra  Raden  Wangsa  Muhamad  atau  Pangeran  Papak.  Kesenian  ini  diciptakan  untuk  menyindir  penjajahan  yang  kala  itu  sangat  bertindak  sewenang‐wenang  dengan  pribumi.  Surak  Ibra  ditampilkan  oleh  puluhan  orang  yang  terdiri  dari  pemain  angklung,  dog‐dog,  serta  instrumen  lainnya,  dan  juga  dilengkapi  dengan  beberapa  orang  penari.  Pada  puncak  acara  salah  seorang  dari  pemain  dilemparkan ke atas sambil dikelilingi oleh pembawa obor.     b. Lais  Lais merupakan kesenian akrobatik yang sudah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda.  Nama  lais  sendiri  diambil  dari  seorang  penduduk  Kampung  Nangka  Pait,  Kecamatan  Sukawening, Kabupaten Garut yang sangat terampil memanjat pohon kelapa. Permainan  yang  ditampilkan  berupa  kesenian  akrobatik  tradisional  dimana  pemain  utamanya  bergelantungan  sembari  menari  berputar‐putar  pada  seutas  tambang  yang  dikaitkan 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 20



Laporan Akhir



pada dua batang bambu. Pada saat berakrobat, pemain diiringi oleh musik pencak silat  tradisional Sunda dengan sesekali diiringi oleh cerita jenaka dari para pemain musik.   b. Hadro  Hadro merupakan kesenian yang berasal dari daerah Bojong di Kecamatan Bungbulang  yang  sudah  ada  sejak  tahun  1971.  Kesenian  ini  pertama  kali  diperkenalkan  oleh  K.H.  Ahmad  Sayuti  dari  Kampung  Singuru,  Kecamatan  Samarang.  Hadra  berupa  gabungan  dari  lagu‐lagu  serta  syair‐syair  keagamaan  Islami  yang  diikuti  dengan  gerakan  pencak  silat ringan dan alunan musik dari rebana dan dog‐dog.     c. Pencak Ular   Pencak  ular  adalah  kesenian  yang  berasal  dari  Kecamatan  Samarang.  Sebenarnya  kesenian  ini  tidak  jauh  berbeda  dengan  kesenian  pencak  silat  dari  daerah  lainnya.  Bedanya adalah pada kesenian ini para pemainnya membawa serta ular untuk dijadikan  sebagai  bagian  dari  atraksi  pencak  silatnya.  Uniknya  ular  yang  dibawa  biasanya  masih  berbisa.  Pada  atraksinya  para  pemain  dapat  menjinakkan  ular  berbisa  tersebut  dan  bahkan kebal akan racunnya, bila tergigit.     d. Gesrek  Kesenian  Gesrek  berasal  dari  Kampung  Kamongan,  Desa  Pakenjeng,  Kecamatan  Pamulihan.  Kesenian  ini  disebut  juga  Seni  Bubuang  Diri  yang  artinya  adalah  seni  mempertaruhkan  nyawa.  Atraksinya  mirip  dengan  kesenian  debus,  para  pemain  memainkan  golok  yang  tajam  sembari  disertai  gerakan  pencak  silat,  para  pemain  juga  saling  memukul  dengan  bambu  kemudian  berguling‐guling  atau  berjalan  di  atas  bara  api.  Kesenian  ini  terdiri  dari  10  (sepuluh)  pemain  utama  dan  4  sampai  7  orang  pemain  yang bertugas menjaga pemain utama.     Permasalahan  dan  Isu‐Isu  Strategis  Pengembangan  Daya  Tarik  Wisata  di  Wilayah  Kabupaten Garut (terkiat dengan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan)  Permasalahan dan isu strategis yang terkait pengembangan daya tarik wisata dan budaya di  Kabupaten Garut yang terangkum dalam dokumen Rencana Kerja Tahunan (Renjata) Dinas  Pariwisata  dan  Kebudayaan  Kabupaten  Garut  tahun  2007,  hasil  penelitian  melalui  angket  dan indepth interview yang terangkum dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata dan  Kebudayaan Daerah Kabupaten Garut Tahun 2006, serta hasil Focus Group Discussion (FGD)  yang  diadakan  dalam  rangka  pengerjaan  studi,  khususnya  pada  objek  wisata  alam  dan  budaya adalah sebagai berikut:   ‐ Permasalahan  ƒ



Belum  maksimalnya  upaya  dalam  menciptakan  rasa  aman  bagi  pengunjung,  karena  pada beberapa tempat objek wisata masih terjadi tindakan kejahatan dan pemerasan. 



ƒ



Lemahnya  kemampuan  manajerial  di  dalam  pengelolaan  dan  pemanfaatan  produk‐ produk wisata, padahal pilihan objek wisata semakin beragam dan berkualitas. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 21



Laporan Akhir



ƒ



Belum  adanya  apresiasi  pengembangan  yang  memadai  terhadap  keunikan  dan  citra  kawasan. 



ƒ



Belum terintegrasinya komplementaritas antarobjek dan daya tarik wisata. 



ƒ



Pariwisata  masih  berada  pada  aspek  nonrasional  dan  tidak  pada  apresiasi  budaya,  kesejarahan, dan pengemasan dalam hubungan dengan nilai‐nilai kesejamanan. 



ƒ



Kurangnya  perhatian  akan  AMDAL  atau  bahkan  tidak  ada  AMDAL  sama  sekali,  padahal  ini  merupakan  salah  satu  syarat  sebelum  suatu  sumber  daya  alam  akan  dikembangkan menjadi objek wisata alam. 



ƒ



Kurangnya penelitian akan kebutuhan suatu objek wisata, khususnya melalui riset pasar  baik secara regional, nasional maupun global. 



ƒ



Kurangnya keterkaitan antarobjek wisata yang satu dengan yang lainnya, baik di dalam  lingkup kabupaten sendiri maupun dengan kabupaten sekitarnya.  



ƒ



Kurangnya  pemahaman  dan  perhatian  akan  tata  guna  lahan  maupun  tata  ruang  di  sekitar kawasan objek dan daya tarik wisata. 



ƒ



Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap seni budaya di daerahnya sendiri. 



ƒ



Kurangnya  perhatian  akan  sarana  dan  prasarana  pada  objek  wisata  baik  dalam  perencanaan, implementasi maupun operasional dan perawatan di lapangan. Khususnya  sarana MCK atau air bersih yang sering tidak memperhatikan sanitasi yang baik. 



ƒ



Kurangnya diversifikasi produk dan daya tarik wisata yang sudah ada dan berkembang,  sehingga dikhawatirkan akan membuat wisatawan jenuh. 



ƒ



Kurang menariknya pengemasan dan pemasaran hasil/produk kria.  



ƒ



Kurangnya pemeliharaan dan penataan sektor pembinaan seni tradisional.  



ƒ



Kurangnya  koordinasi  dengan  pelaku  wisata  dan  stakeholder  lainnya,  (4)  perlu  adanya  penataan dan pemeliharaan situs budaya.  



ƒ



Kurangnya  kerjasama  antara  Kompepar  dengan  BMG  untuk  pengembangan  wisata  gunung api.  



ƒ



Daerah rawan bencana dan ketidaksiapan dalam menangani gempa/bencana alam  



ƒ



Aksesibilitas yang masih terbatas dalam mengembangkan wisata gunung api. 



  ‐ Isu‐isu Strategis  ƒ



Kemajemukan  suku,  budaya,  bahasa  daerah  dan  adat  istiadat  merupakan  daya  tarik  wisata yang dapat dikembangkan. 



ƒ



Kekayaan  cagar  alam,  seni  dan  lingkungan  yang  kondusif  merupakan  daya  dorong  pengembangan wisata. 



ƒ



Melemahnya  tatanan  ekonomi  nasional  berpengaruh  terhadap  perkembangan  wisata  lokal. 



ƒ



Lemahnya sistem pelayanan terhadap wisatawan yang dapat memperlemah daya saing. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 22



Laporan Akhir



ƒ



Lambannya  pembangunan  daerah‐daerah  wisata  yang  menyebabkan  tidak  tergalinya  secara optimal potensi budaya dan wisata di Kabupaten Garut. 



ƒ



Bergesernya  budaya  santun,  kekeluargaan,  dan  gotong  royong  ke  budaya  liberal,  terbuka, individualisme, materialisme, dan kapitalisme. 



ƒ



Perhatian terhadap kearifan lokal urang Priangan.  



ƒ



Kegiatan pariwisata harus dapat menciptakan lapangan kerja.  



ƒ



Penanggulangan kecelakaan, termasuk mitigasi bencana gunung api.  



ƒ



Informasi dan komunikasi.  



ƒ



Pengadaan sarana dan prasarana penunjang wisata budaya. 



 



3.1.2   Wilayah Tasikmalaya  Terbagi ke dalam 2 (dua) wilayah administratif, yaitu:  A. Kota Tasikmalaya  Kota  Tasikmalaya  sebelumnya  merupakan  bagian  dari  Kabupaten  Tasikmalaya.  Kemudian  Kota  Tasikmalaya  diresmikan  menjadi  Kota  Administratif  Tasikmalaya  melalui  Peraturan  Pemerintah  No.  22  Tahun  1976.  Pada  awal  pembentukannya,  wilayah  administratifnya  meliputi  3  kecamatan,  yaitu  Cipedes,  Cihideung,  dan  Tawang  yang  membawahi  13  desa.  Seiring  dengan  perkembangan  otonomi  daerah,  pada  tanggal  17  Oktober  2001  melalui  Undang‐Undang  No.  10  Tahun  2001,  Kota  Tasikmalaya  diresmikan  menjadi  wilayah  otonom.  Sekarang,  wilayah  Kota  Tasikmalaya  meliputi  8  kecamatan  dengan  15  kelurahan  dan 54 desa.   Secara  geografis,  Kota  Tasikmalaya  berada  pada  108°08’38”  ‐  108°24’02”  BT  dan  7°10’  ‐  7°26’32” LS, tepatnya di bagian tenggara Provinsi Jawa Barat atau sekitar 105 km dari Kota  Bandung  dan  kurang  lebih  255  km  dari  Kota  Jakarta.  Adapun  batasan  wilayah  Kota  Tasikmalaya, mencakup:  ‐



Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis. 







Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya. 







Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya. 







Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis. 



Kota Tasikmalaya memiliki luas keseluruhan administratif sebesar 17.156,20 Ha atau sekitar  171,56 Km² dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 mencapai 551.072 jiwa. Untuk lebih  jelasnya dapat melihat pada tabel berikut.          Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 23



Laporan Akhir



    Tabel 3.5  Luas Administratif Kecamatan, Jumlah Kelurahan/Desa, serta   Jumlah Penduduk Kota Tasikmalaya Tahun 2005  Luas Wilayah  Jumlah  Kelurahan/Desa  (Km²)  1.  Cipedes  8,10  4  2.  Cihideung  5,30  6  3.  Tawang  5,33  5  4.  Cibeureum  29,41  15  5.  Tamansari  28,52  8  6.  Kawalu  41,12  10  7.  Mangkubumi  23,68  8  8.  Indihiang  30,10  13  Jumlah Total  171,56  69  Sumber : Kota Tasikmalaya dalam Angka, 2006   



No. 



Kecamatan 



Jumlah Penduduk  (jiwa)  66.997  64.367  52.522  89.370  52.161  72.759  70.683  82.213  551.072 



  Kota Tasikmalaya dikenal dengan hasil barang‐barang kerajinan tangan dari rotan. Dengan  bahan  dasar  dari  daun  palem  dan  bambu,  kerajinan  tangan  yang  dihasilkan  banyak  menghasilkan  tikar,  keranjang,  asbak,  topi  anyaman,  dan  payung  kertas.  Selain  itu,  Kota  Tasikmalaya juga dikenal dengan kerajinan renda bordel, sendal kayu (kelom geulis), serta  industri batik skala kecil. Banyak wisatawan menganggap Kota Tasikmalaya hanyalah kota  transit,  namun  di  beberapa  tempat di  sekitar  Kota  Tasikmalaya  juga  memiliki  objek  wisata  yang  menarik  untuk  dikunjungi.  Bahkan  untuk  mendukung  kegiatan  pariwisata  dan  perdagangan,  Pemerintah  Kota  Tasikmalaya  membuat  sebuah  lokasi  khusus  yang  menjadi  tempat pameran bordir untuk para pengrajin Tasik, yang berlokasi di Kawalu. Sekarang kota  ini berkembang menjadi salah satu pusat perdagangan di Jawa Barat.   Berdasarkan  data  tahun  2006  yang  diperoleh  dari  Dinas  Perindustrian  dan  Perdagangan  Kota  Tasikmalaya,  jumlah  unit  usaha  yang  ada  di  wilayah  ini  berjumlah  3.426  unit  yang  menyerap  tenaga  kerja  sebanyak  33.744  orang  dengan  total  nilai  produksi  sebesar  1,115  trilyun rupiah. Industri kerajinan yang ada di Kota Tasikmalaya ini tergabung ke dalam 133  sentra industri yaitu dapat dilihat pada tabel 3.6 berikut. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 24



Laporan Akhir



Tabel 3.6  Sentra Industri Kerajinan di Kota Tasikmalaya   Sentra Industri   Sentra Bordir 



Jumlah  Lokasi  32  Kec. Kawalu, Tawang, Cihideung, Cibeureum,  Indihiang, Mangkubumi  Sentra Kelom Geulis  18  Kec. Mangkubumi, Cihideung, Tamansari,  Cibeureum  Sentra Kerajinan Mendong  12  Kec. Cibeurum, Tamansari  Sentra Kerajinan Bambu  5  Kec. Tawang, Indihiang, Tamansari  Sentra Konveksi  13  Kec. Cibeureum, Tawang, Cipedes, Tamansari  Sentra Kerajinan Payung  1  Kec. Indihiang  Sentra Batik  2  Kec. Indihiang, Cipedes  Sentra Kerajinan Pandan  1  Kec. Kawalu  Sentra Meubel  7  Kec. Tamansari, Tawang, Cipedes, Cibeureum  Sentra Makanan  22  Tersebar di setiap kecamatan  Sentra Bata Merah   9  Kec. Kawalu, Indihiang, Tamansari  Sentra Boneka  1  Kec. Mangkubumi  Sentra Kerajinan Logam  3  Kec. Cihideung, Cibeureum, Cipedes  Sentra Kerajinan Kulit  6  Kec. Cipedes, Indihiang  Jumlah  133     Sumber : Potensi Industri dan Perdagangan Kota Tasikmalaya tahun 2006 



Dari  keseluruhan  industri  yang  ada  di  Kota  Tasikmalaya,  yang  termasuk  kedalam  industri  kerajinan unggulan adalah industri kerajinan bordir, kerajinan anyaman mendong, kerajinan  anyaman  bambu,  kerajinan  alas  kaki/kelom  geulis,  kerajinan  meubel,  kerajinan  batik,  dan  kerajinan payung geulis.  Selain industri kerajinan, di Kota Tasikmalaya juga terdapat objek dan daya tarik wisata lain  yang  berupa  wisata  budaya,  alam  maupun  ziarah.  Adapun  beberapa  objek  wisata  yang  terdapat di Kota Tasikmalaya dapat dilihat pada tabel 3.7 di halaman berikut. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 25



Laporan Akhir



Tabel 3.7  Sebaran Objek Wisata di Kota Tasikmalaya yang Termasuk Dalam                                                 Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan   Nama  Lokasi  Situ Gede  Kec. Mangkubumi  Taman Rekreasi Mangkubumi Indah  Kec. Mangkubumi  Taman Rekreasi Mutiara Sukamulya /Aboh  Kec. Inhidiang  Taman Rekreasi Karang Resik  Perbatasan dengan Kab. Tasikmalaya  Kolam Renang Asia  Kec. Cihideung  Kolam Renang Gelora Sukapura  Kec. Cihideung  Makam Syech Abdul Ghorib  Kec. Kawalu  Makam Syech Abdul Muchyi  Gunung Gede Kec. Kawalu  Makam Eyang Prabudilaya  Kec. Mangkubumi  Makam Dalem Sakarembong  Kec. Indihiang  Makam Embah Jalari  Kec. Tamansari  Petilasan Purbasari  Kec. Cibeureum  Hutan Wisata  Kec. Kawalu  Situs Lingga dan Yoni  Sukamaju Kidul, Kec. Indihiang  Situ Cibeureum  Kec. Tamansari  Situ Rusdi  Kec. Tamansari  Situ Malingping  Kec. Tamansari  Situ Bojong  Kec. Tamansari  Situ Cipajaran  Kec. Tamansari  Situ Cicangri  Kec. Tamansari  Sumber : Kota Tasikmalaya dalam Angka, 2004 dan 2005    Buku Saku “Ada Apa di Kota Tasik”, 2007   



  Daya Tarik Wisata Kota Tasikmalaya  ƒ



WISATA KRIA  a. Sentra Industri Bordir  Bordir  memang  sudah  menjadi  industri  perdagangan  di  wilayah  Tasikmalaya,  bahkan  sudah  menjadi  daya  tarik  wisata.  Banyak  wisatawan  yang  sengaja  datang  ke  Tasikmalaya untuk melihat sekaligus berbelanja bordir khas Tasik. Produk kerajinan ini  juga  sudah  menembus  pasar  ekspor.  Negara‐negara  yang  telah  menjadi  pasar  bordir  Tasik  di  antaranya  adalah  Malaysia,  Singapura,  Brunei  Darussalam,  Arab  Saudi,  Mesir,  dan negara‐negara Timur Tengah, Australia, Kanada, AS, Prancis, New Zealand, Inggris,  dan  Jerman.  Meluasnya  pasar  bordir  Tasik  tidak  terlepas  dari  harganya  yang  relatif  murah, namun kualitasnya cukup bagus dan bisa diandalkan.  Sentra industri bordir Tasikmalaya tersebar di 6 kecamatan dan telah mampu menyerap  tenaga  kerja  sebanyak  10.713  orang  yang  tersebar  di  1.123  unit  usaha.  Ke‐6  (enam)  kecamatan  itu  adalah  Kecamatan  Kawalu,  Tawang,  Cihideung,  Cibeureum,  Indihiang  dan  Mangkubumi.  Di  antara  ke‐6  kecamatan  itu,  daerah  yang  paling  dikenal  sebagai  sentra  industri  bordir  adalah  Kecamatan  Kawalu.  Industri  bordir  di  Kota  Tasikmalaya  memiliki nilai produksi total sekitar 442,5 milyar rupiah. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 26



Laporan Akhir



Jenis  produk  bordir  bermacam‐macam,  salah  satunya  adalah  pakaian.  Permintaan  produk  bordir  berupa  pakaian  senantiasa  mengalami  peningkatan  terutama  menjelang  perayaan  hari  besar  umat  Islam  yaitu  pada  Idul  Fitri  dan  Idul  Adha.  Sebaliknya,  permintaan  produk  bordir  jenis  lainnya  relatif  stabil  tidak  terlalu  terpengaruh  dengan  hari‐hari besar Islam, misalnya produk berupa bedcover, penunjang alat makan dan lain‐ lain.  Hingga  saat  ini  sebagian  besar  produk  bordir  yang  dihasilkan  ditujukan  untuk  memenuhi  permintaan  konsumen  luar  negeri,  hanya  sekitar  40%  produksi  bordir  saja  yang ditujukan untuk konsumen dalam negeri.   Sumber  daya  lokal  yang  digunakan  dalam  bidang  usaha  bordir  adalah  tenaga  kerja.  Sedangkan  bahan  baku  utama  usaha  bordir  yang  berupa  kain  dan  benang  masih  diperoleh  dari  luar  daerah  atau  di‐import  dari  luar  negeri.  Dengan  demikian  bidang  usaha bordir pada dasarnya kurang mengakar pada sumber daya lokal. Kekuatan bidang  usaha  bordir  terletak  pada  ketersediaan  tenaga  kerja  yang  cukup  murah,  namun  memiliki  keterampilan  yang  bisa  diarahkan  pada  selera  pasar.  Bidang  usaha  yang  kurang mengakar pada sumberdaya lokal sangat riskan, dan rentan terhadap goncangan  ekonomi  global.  Namun demikian,  karena  upah  tenaga  kerja yang masih relatif  rendah  dibanding dengan upah yang berlaku dalam tatanan ekonomi global, maka usaha bordir  masih dapat mengimbangi nilai bahan baku impor tersebut.    b. Industri Kerajinan Bambu  Industri  kerajinan  bambu  merupakan  kegiatan  padat  karya,  seperti  halnya  industri  kerajinan  lain  yang  telah  diuraikan  sebelumnya.  Industri  ini  mampu  menyerap  lebih  banyak tenaga kerja untuk setiap satu satuan investasi. Menurut Dinas Perindustrian dan  Perdagangan  Kabupaten  Tasikmalaya,  industri  kerajinan  bambu  mampu  menyerap  tenaga kerja sebanyak 632 orang yang tergabung dalam 75 unit usaha dan memiliki nilai  produksi sekitar 4,98 milyar rupiah.  Kurang  lebih  20%  produk  kerajinan  bambu  adalah  produk  untuk  pemenuhan  permintaan ekspor. Sasaran pasar konsumen luar negeri adalah para peminat kerajinan  bambu  dari  negara  Jepang,  Italia,  Jerman  dan  Hongaria.  Jenis  produk  kerajinan  bambu  yang  diminati  oleh  konsumen‐konsumen  tersebut  antara  lain  adalah  aneka  kerajinan  bambu  yang  memiliki  fungsi  seperti,  tempat  buah,  kue,  baki  lamaran  maupun  tempat  sampah.   Sistem penjualannya adalah pembeli dari daerah Tasikmalaya sendiri maupun dari luar  daerah  sendiri  yang  datang  langsung  kepada  pengrajin.  Pembeli  tersebut  umumnya  membeli  produk  kerajinan  bambu  untuk  dijual  kembali  kepada  konsumen  lainnya.  Sebagian besar pembeli datang dari kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Di samping  itu  ada  pembeli  yang  datang  dari  daerah  wisata,  misalnya  pembeli  dari  Bali.  Untuk  memenuhi  permintaan  konsumen  luar  negeri  dilakukan  kerjasama  pemasaran  dengan  para  eksportir  kerajinan,  khususnya  yang  tergabung  dalam  Asosiasi  Handycraft  Indonesia cabang Tasikmalaya dan beberapa eksportir lain yang berlokasi di Cirebon.     



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 27



Laporan Akhir



c. Industri Kerajinan Kelom Geulis  Kelom  geulis  yaitu  sandal  kayu  wanita  merupakan  produk  andalan  Kota  Tasikmalaya.  Kelom geulis ini tidak hanya diminati oleh konsumen dalam negeri saja, tetapi juga oleh  konsumen luar negeri, khususnya wisatawan mancanegara. Kelom geulis telah menjadi  salah satu komoditi ekspor dari Kota dan Kabupaten Tasikmalaya yang telah menembus  pasar  Asia  Tenggara,  Panama,  Korea,  Jepang,  Afrika,  Timur  Tengah,  dan  sebagian  wilayah Eropa.  Gambar 3.8  Kerajinan Kelom Geulis 



  Kini,  jumlah  unit  usaha  kerajinan kelom  geulis  ada  419  unit  dengan  4.657  tenaga  kerja.  Kelom geulis, sandal khas Tasik yang berasal dari kayu damar atau albazzia ini termasuk  primadona kria yang cukup diandalkan. Komoditas ini telah ditekuni masyarakat sejak  tahun  enam  puluhan  dan  sempat  mengalami  puncaknya  dua  puluh  tahun  kemudian,  atau  sekitar  tahun  1980‐an.  Wilayah  perajin  sandal  kayu  di  Tasikmalaya  meliputi  Kecamatan  Mangkubumi,  Cibeureum,  Tamansari,  dan  Cihideung.  Hasil  penjualan  sandal kayu produk Tasikmalaya dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2006  nilai total produksinya tercatat sekitar 156,7 milyar rupiah.     d. Industri Payung Geulis  Umumnya  orang  membayangkan  bahwa  payung  diciptakan  untuk  menaungi  kita  dari  terpaan gerimis dan hujan. Tapi tidak dengan payung geulis, payung yang jadi produk  kebanggaan dan salah satu simbol Kota Tasikmalaya ini pantang terkena gerimis apalagi  hujan.  Mengapa  demikian,  karena  payung  ini  menggunakan  lapisan  penutup  yang  terbuat  dari  kertas.  Tetapi,  payung  geulis  punya  peran  yang  lebih  membuatnya  sangat  dihargai.  Payung  geulis  pada  masa  lalu  adalah  salah  satu  kelengkapan  mode  mojang  Tasik. Mojang Tasik yang cantik berkebaya tak akan sempurna kecantikannya bila tidak  menggenggam payung jenis ini untuk melindungi wajah ayunya dari sengatan matahari  yang terik. Jadilah payung ini dikenal dengan istilah payung geulis yang berarti payung  yang membuat penampilan tambah geulis atau cantik.   Keunikan  lain  dari  payung  geulis  adalah  adanya  lukisan  bunga  maupun  ornamen  berwarna‐warni  pada  lapisan  penutupnya.  Lukisan  ini  kerjakan  secara  manual  oleh  tangan‐tangan terampil mojang Tasik ataupun ibu rumah tangga yang mengekspresikan  kekreativitasannya  dalam  membentuk  aneka  bunga.  Payung  geulis  dibuat  dari  bahan‐ bahan  seperti  kertas  atau  kain  kanvas,  kayu,  benang,  serta  keperluan  untuk  melukis  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 28



Laporan Akhir



seperti cat warna‐warni dan kuas beraneka ukuran. Pada tahun 2006 tercatat ada 4 unit  usaha  payung  geulis  dengan  pekerja  yang  berjumlah  37  orang  dengan  nilai  total  produksi sekitar 332,8 juta rupiah. Industri kerajinan payung ini terpusat di satu sentra  yang ada di Kecamatan Indihiang.    e. Industri Batik Tasik  Batik bukan saja diproduksi di Pekalongan, Surakarta ataupun di Yogyakarta saja. Batik  juga  diciptakan  di  sejumlah  kawasan  Jawa  Barat,  salah  satunya  adalah  Kota  Tasikmalaya. Pada masa kejayaannya, batik Tasik telah membuat kota ini dijuluki pusat  industri batik di selatan Jawa Barat.   Sama  dengan  produksi  di  wilayah  lainnya,  batik  Tasik  dikerjakan  dengan  dua  teknik  yakni dengan teknik cetak dan teknik tulis (handmade). Untuk batik tulis, nilainya cukup  tinggi  sehingga  mampu  menjadi  cenderamata  yang  bergengsi.  Untuk  produksi  massal  menggunakan teknik cetak agar lebih hemat baik dari segi biaya dan waktu.  Industri  Batik  Tasik  yang  memiliki  motif  yang  khas  kini  tengah  menggeliat.  Ada  dua  sentra  batik  di  Kota  Tasikmalaya,  yakni  industri  batik  di  Kecamatan  Cipedes  dan  Indihiang.  Berdasarkan  data  tahun  2006,  tidak  kurang  dari  30  unit  industri  kecil  dan  menengah  yang  menekuni  industri  batik  dan  mampu  menyerap  tenaga  kerja  sebanyak  446 orang, serta dapat menciptakan hasil produksi senilai sekitar 10,22 milyar rupiah.      f.



Industri Mebel Kayu 



Satu  lagi  industri  Kota  Tasikmalaya   yang   berpotensi  untuk  menjadi  produk  unggulan  adalah  industri  pengolahan  kayu.  Ini  terlihat  dari  mudahnya  menjumpai  toko‐toko  mebel  yang  menjajakan  aneka  perangkat  furniture,  mulai  dari  meja  dan  kursi  tamu  hingga  tempat  tidur.  Industri  mebel  kayu  memang  sedang  tumbuh  pesat  di  Kota  Tasikmalaya,  selain  karena  adanya  pasar  dari  keluarga  muda  juga  karena  ketersediaan  bahan baku yang cukup memadai di sekitar wilayah Kota Tasikmalaya.  Kawasan  yang  menjadi  sentra  industri  pengolahan  kayu  di  Kota  Tasikmalaya  adalah  Kecamatan  Tamansari,  Tawang,  Cipedes  dan  Cibeureum.  Berdasarkan  data  tahun  2006  ada  224  unit  unit  usaha  industri  kecil  dan  menengah  yang  bergerak  di  bidang  industri  pengolahan kayu ini. Industri ini menyerap tenaga kerja sebanyak 1.463 orang dan telah  menciptakan hasil produksi senilai 44,37 milyar rupiah.  Namun  demikian,  industri  mebel  kini  tengah  menghadapi  tantangan  serius,  terutama  dengan  semakin  dibatasinya  bahan  baku  kayu.  Kebijakan  pelestarian  alam,  terutama  perlindungan  hutan  menyebabkan  pasokan  bahan  baku  kayu  menjadi  tidak  semudah  tahun‐tahun sebelumnya. Karenanya industri kayu olahan di Kota Tasikmalaya pun kini  tengah didorong untuk memproduksi kayu olahan yang hemat bahan baku namun tetap  bernilai tambah tinggi.        Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 29



Laporan Akhir



g. Industri Kerajinan Mendong   Di  Kota  Tasikmalaya  juga  terdapat  industri  kerajinan  anyaman  mendong.  Berdasarkan  data tahun 2006, jumlah unit usaha yang bergerak di industri kerajinan mendong ini ada  165  unit  dengan  2.055  orang  tenaga  kerja.  Kerajinan  mendong  sendiri  di  Kota  Tasikmalaya telah memiliki nilai total produksi sekitar 34,18 milyar rupiah.     ƒ



WISATA KULINER  a. Industri Makanan Ringan Olahan  Selain  wisata  kria,  Kota  Tasikmalaya  memiliki  potensi  industri  yang  lain  yaitu  industri  makanan. Selama ini Kota Tasikmalaya sudah dikenal dengan beraneka ragam makanan  olahan, misalnya saja, opak, rangginang, wajit, dodol, ladu, kue tambang, kuping gajah,  kue  kering,  kue  sus,  kue  tar,  kue  lapis,  kue  bibika,  kue  pia,  kue  bawang,  kue  aci,  kue  terigu, kue uceng, sukro, cangro, uniko, cistik,  kerupuk, tahu, tempe, telur gabus, bolu,  agar‐agar,  cincau,  tepung  hankue,  kacang  telur,  manisan  belimbing,  lapis  legit,  kalua  jeruk, kembang gula, kolontong, pastel, kacang kanali, asinan, lontong, keripik singkong,  mie bumbu, roti tawar, roti manis, mie basah, chiki, mie jujut, mie gulung, dan telor asin.  Daftar makanan ini bisa semakin panjang mengingat masyarakat Tasik yang kreatif dan  dikenal suka jajanan.  Sebagai  sebuah  industri  tentu  saja  industri  makanan  sangat  mendominasi,  tak  kurang  dari  338  unit  usaha  yang  bergerak  dalam  industri  makanan  ini,  belum  termasuk  yang  ditangani  secara  perorangan  dan  sebagai  industri  rumahan.  Jumlah  tenaga  kerja  yang  diserapnya pun cukup besar, yaitu mencapai 2.147 orang dan telah mampu menciptakan  hasil produksi senilai  Rp. 49,23 milyar (data tahun 2002).   



ƒ



WISATA ZIARAH  a. Makam Syech Abdul Muchyi  Setiap bulan Mulud, Rajab dan Sapar, ribuan orang seringkali melakukan wisata ziarah  ke  makam  keramat  Waliyulloh  Syech  Abdul  Muchyi  yang  berada  di  Desa  Pamijahan,  Kecamatan  Bantarkalong  atau  sekitar  60  km  dari  pusat  Kota  Tasikmalaya.  Ribuan  peziarah  itu  berasal  dari  berbagai  kota  di  Pulau  Jawa,  Madura,  dan  Sumatera.  Syech  Abdul Muhyi adalah seorang waliyulloh (wali) yang menyebarkan agama Islam di Jawa  Barat  bagian selatan,  walaupun syiarnya juga  menyebar  luas  ke  berbagai  kota  di  Pulau  Jawa dan Madura bahkan hingga ke mancanegara.  Makam  keramat  Syech  Abdul  Muchyi  cukup  menarik  untuk  dikunjungi  para  peziarah.  Termasuk  di  dalamnya  adalah  Goa  Saparwadi  karena  merupakan  bagian  yang  tak  terpisahkan  dari  peninggalan  sejarah  Syech  Abdul  Muchyi  di  dalam  melaksanakan  pendidikan  dan  penyebaran  agama  Islam.  Sebagai  bukti  keberadaan  waliyulloh  di  Pamijahan,  di  dalam  goa  tersebut  ada  ruangan‐ruangan  seperti  masjid  lengkap  dengan  mihrob  (pemimbaran),  tempat  penyimpanan  kitab  suci  Alquran,  Jabal  Kopiah,  padaringan  (tempat  penyimpanan  beras)  dan  lainnya.  Selain  itu,  ada  pula  Cikahuripan,  berupa  representasi  air  zam‐zam  yang  dilengkapi  dengan  bebatuan  stalagtit  dan  stalagmit  yang 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 30



Laporan Akhir



cukup  indah.  Konon  salah  satu  ruangan  goa  memiliki  jalan  tembus  menuju  Cirebon,  Surabaya, dan kota suci Mekkah.  Untuk  dapat  mengunjungi  lokasi  ini,  para  peziarah  dapat  memasuki  kompleks  pemakaman  keramat  Syech  Abdul  Muchyi  dengan  terlebih  dahulu  melapor  kepada  kuncen  (juru  kunci)  untuk  kemudian  dicatat  pada  buku  tamu  peziarah.  Setelah  selesai  berziarah,  para  pengunjung  dapat  membeli  beraneka  ragam  cenderamata  berupa  kerajinan tangan maupun makanan dan minuman tradisional khas Pamijahan dan Kota  Tasikmalaya.    b. Makam Syech Abdul Ghorib  Makam  Syech  Abdul  Ghorib  terletak  di  Kampung  Cibeas,  Kelurahan  Gunung  Tandala,  Kecamatan  Kawalu.  Untuk  mencapai  lokasi  ini  pengunjung  dari  pusat  kota  dapat  membawa kendaraan pribadi atau naik angkutan umum No. 03 lalu diteruskan dengan  berjalan  kaki  atau  naik  ojeg  sejauh  kurang  lebih  300  meter.  Syech  Abdul  Ghorib  merupakan  tokoh  penyebar  agama  Islam  di  wilayah  ini.  Lokasi  makamnya  merupakan  kompleks  pemakaman  dengan  9  makam  lainnya.  Lokasi  ini  dijaga  oleh  juru  kunci  (kuncen)  turun  temurun,  kini  kuncen  yang  menjaga  lokasi  makam  merupakan  kuncen  ketujuh.   Di bagian utara kompleks pemakaman ini ada sebuah sumur dengan diameter 1,5 meter  yang  dikelilingi  oleh  tiga  pohon  besar.  Penduduk  sekitar  memberi  nama  sumur  ini  dengan  Sumur  Sempur,  karena  salah  satu  pohon  yang  menaunginya  adalah  pohon  sempur.  Di  dekat  sumur  ini  terdapat  sebuah  batu  datar  yang  konon  dijadikan  tempat  sembahyang.  Pada  bagian  selatan  kompleks  pemakaman  terdapat  sebuah  sungai  kecil  dengan nama Sungai Cibeas, diberi nama demikian karena dulu sungai ini memiliki air  berwarna putih seperti cucian beras. Sarana dan prasana yang terdapat di lokasi ini yaitu  lokasi parkir, terdapat jalan setapak dan penghijauan yang rapi dan tertata dengan baik.    ƒ



WISATA ALAM  a. Situ Gede  Situ  Gede  merupakan  sebuah  danau  yang  berlokasi  di  Kelurahan  Mangkubumi  dan  Linggajaya,  Kecamatan  Mangkubumi  atau  sekitar  5  Km  dari  pusat  kota  Tasikmalaya.  Situ ini memiliki luas sekitar 47 Ha dengan kondisi alam yang dikelilingi oleh bukit dan  kawasan hijau. Di tengah Situ Gede terdapat daratan dengan luas kurang lebih 1 Ha atau  yang dikenal dengan  nama Nusa Gede. Di  Nusa  Gede  tersebut terdapat makam  Eyang  Prabudilaya yang sering dijadikan sebagai tujuan berziarah. Selain berziarah, wisatawan  yang  datang  dapat  berlakukan  beragam  aktivitas,  mulai  dari  berekreasi,  mengelilingi  danau  dengan  rakit  atau  perahu  bermotor,  memancing  atau  hanya  sekedar  duduk  bersantai sambil menikmati panorama Situ Gede yang indah.   Akses jalan menuju Situ Gede sudah cukup baik hingga ke tepi danaunya. Selain dengan  kendaraan  pribadi,  objek  wisata  ini  dapat  dicapai  dengan  kendaraan  umum  menggunakan  angkutan  kota  no.  04  dan  turun  di  Nagrog  yang  kemudian  dilanjutkan 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 31



Laporan Akhir



dengan berjalan kaki sekitar 600 meter atau naik ojeg. Sarana dan prasarana yang ada di  Situ  Gede  antara  lain  adalah  tempat  parkir,  kedai  penjual  makanan  dan  cenderamata,  shelter  yang  berupa  saung,  penyewaan  rakit  dan  perahu  motor,  serta  lokasi  pemancingan. Untuk masuk dan berekreasi ke Situ Gede, pengunjung harus membayar  retribusi  sebesar  Rp.  4.000/orang  untuk  orang  dewasa  dan  Rp.  2.000/orang  untuk  anak  usia  5  sampai  17  tahun.  Pemanfaatan  fasilitas  lain  berupa  kegiatan  memancing,  menyewa rakit, dan lain sebagainya juga ditarik biaya retribusi yang telah diatur dalam  Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya nomor 5 tahun 2007.    Permasalahan dan Isu‐Isu Strategis Pengembangan Kepariwisataan di Kota Tasikmalaya  Terkait  dengan  Rencana  Strategis  (Renstra)  Kota  Tasikmalaya  tahun  2002  –  2007,    Rencana  Tata  Ruang  Wilayah  (RTRW)  Kota  Tasikmalaya  tahun  2003  –  2013,  serta  hasil  Focus  Group  Discussion (FGD) dalam rangka pengerjaan studi, terdapat beberapa permasalahan  dan isu  strategis yang terkait dengan objek wisata alam dan budaya di Kota Tasikmalaya, yaitu:  ‐ Permasalahan  ƒ



Pengelolaan objek wisata yang belum baik dan belum adanya sistem jaringan informasi  yang memadai. 



ƒ



Sistem penyajian paket wisata yang masih memerlukan pembinaan dari pihak terkait 



ƒ



Permasalahan  persaingan  teknologi  industri  kerajinan,  khususnya  dengan  negara  lain  (misalnya: kerajinan bordir Korea). 



ƒ



Pengemasan produk. 



ƒ



Penatan tempat/showroom pengrajin yang layak. 



  ‐ Isu‐isu Strategis  ƒ



Pembinaan dan pemberdayaan industri kerajinan tangan. 



ƒ



Pemeliharaan dan pengembangan kesenian lokal sebagai kekayaan nasional. 



ƒ



Pengembangan  budaya  sebagai  pengikat  semangat  kedaerahan  dalam  kerangka  kebangsaan. 



ƒ



Ketergantungan  terhadap  bahan  baku  dan  sistem  pemasaran  terkait  dengan  kerajinan  cenderamata. 



ƒ



Lemahnya  daya  saing  produksi  industri  kecil  dan  menengah,  terbatasnya  modal,  teknologi dan keterampilan. 



ƒ



Masih rendahnya kualitas dan desain produk. 



ƒ



Kurangnya  investor  yang  bersedia  menanamkan  modalnya  di  daerah‐daerah  wisata  di  Kota Tasikmalaya. 



ƒ



Penataan dan pengembangan kawasan pariwisata. 



ƒ



Belum  adanya  kesadaran  bahwa  pariwisata  dapat  menjadi  aset  ekonomi  yang  menguntungkan. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 32



Laporan Akhir



B. Kabupaten Tasikmalaya  Sejak  dikeluarkannya  Undang‐Undang  Nomor  10  Tahun  2001  tentang  pembentukan  Kota  Tasikmalaya,  maka  pada  tanggal  23  Juni  2001  Kabupaten  Tasikmalaya  berdiri  sendiri  menjadi daerah otonom. Wilayah Kabupaten Tasikmalaya terdiri dari 39 kecamatan dan 348  desa/kelurahan. Pusat pemerintahannya kini berada di Kecamatan Singaparna.  Secara  geografis,  Kabupaten  Tasikmalaya  berada  pada  107°56ʹ  ‐  108°8ʹ  BT  dan  7°10ʹ  ‐  7°49ʹ  LS,  tepatnya di bagian tenggara Provinsi Jawa Barat atau kurang lebih 308 km dari Kota Jakarta.   Sebagian  besar  wilayah  Kabupaten  Tasikmalaya  beriklim  pegunungan  dan  dataran  rendah  dengan  curah  hujan  rata‐rata  2.000  –  3.000  mm  per  tahunnya.  Adapun  batasan  wilayah  Kabupaten Tasikmalaya, mencakup:  ‐



Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Majalengka. 







Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Garut. 







Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. 







Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ciamis. 



Kabupaten  Tasikmalaya  memiliki  luas  keseluruhan  administratif  sebesar  256.756.969  Ha  dengan  jumlah  penduduk  pada  tahun  2005  mencapai  1.645.971  jiwa  dengan  kepadatan  penduduk sekitar 642 jiwa/km².   Perekonomian  Tasikmalaya  umumnya  bertumpu  pada  sektor  pertanian,  peternakan,  dan  perikanan, selain juga bertumpu pada sektor pertambangan seperti pasir Galunggung yang  memiliki  kualitas  cukup  baik  bagi  bahan  bangunan,  industri,  dan  perdagangan.  Sama  dengan  Kota  Tasikmalaya,  Kabupaten  Tasikmalaya  juga  dikenal  dengan  industri  kerajinan  tangannya yang khas. Produk yang dihasilkan juga sama, seperti anyaman mendong, bordir,  alas  kaki/kelom  geulis,  kerajinan  payung,  kerajinan  bambu,  payung  kertas  dan  lain  sebagainya.  Berdasarkan  data  dari  Dinas  Koperasi,  Perindustrian  dan  Perdagangan  Kabupaten  Tasikmalaya,  produk  kerajinan  telah  diekspor  ke  negara  Jepang,  Australia,  Brunei,  Saudi  Arabia,  Malaysia,  Korea,  Spanyol  dan  Amerika  Serikat  dengan  total  nilai  ekspor pada tahun 2006 mencapai US$ 1,48 juta.    Selain  industri  kerajinan,  di  Kabupaten  Tasikmalaya  juga  terdapat  objek  dan  daya  tarik  wisata  lain  yang  berupa  wisata  budaya,  alam  maupun  ziarah.  Adapun  beberapa  objek  tersebut yang termasuk ke dalam kawasan studi ini dapat dilihat pada tabel 3.8 di halaman  berikut. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 33



Laporan Akhir



Tabel 3.8  Sebaran Objek Wisata Kabupaten Tasikmalaya yang Termasuk dalam  Kawasan Wisata Kria dan  Budaya Priangan    



Nama  Lokasi  Kawasan Wisata Gunung Galunggung  Kec. Sukaratu  Masjid Kuno Manonjaya  Kec. Manonjaya  Situs Gimbal  Kec. Manonjaya  Situs Cilangkap  Kec. Manonjaya  Situs Kabuyutan  Kec. Cineam  Kadaleman Nagaratengah  Kec. Cineam  Prasasti Geger Hanjuang  Kec. Leuwisari  Curug Ciparay  Kec. Cigalontong  Kampung Naga  Kec. Neglasari  Sumber : Informasi Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya, 2007 



 



 



Daya Tarik Wisata Kabupaten Tasikmalaya  ƒ



WISATA KRIA  a. Kerajinan Anyaman Rajapolah  Pusat  Kerajinan  Rajapolah  berada  di  jalur  utama  lintas  selatan  tepatnya  di  Jalan  Raya  Bandung‐Tasikmalaya yang melalui Malangbong. Lokasi ini berjarak sekitar 15 kilometer  dari  pusat  Kota  Tasikmalaya,  atau  sekitar  85  kilometer  dari  Kota  Bandung.  Bagi  pengendara kendaraan dari timur ke barat (atau sebaliknya) yang melintasi jalur selatan  melalui wilayah Tasikmalaya pasti akan melewati Rajapolah. Walaupun kini sekitar tiga  kilometer sebelum pusat kerajinan Rajapolah dari arah barat telah dibangun jalan layang,  namun  tetap  saja  para  pengendara  meluangkan  waktu  untuk  dapat  singgah  di  pusat  kerajinan ini.  Daerah  Rajapolah  amat  terkenal  dengan  kerajinan  anyaman,  seperti  misalnya  tikar,  anyaman  dari  bambu,  perabotan  rumah  tangga,  dan  sebagainya.  Industri  kecil  lainnya  yang  juga  menarik  yaitu  Payung  Tasik,  Kelom  Geulis,  dan  Batik  Tulis.  Komoditas  ini  mampu  menyerap  tenaga  kerja  cukup  banyak  dan  mempunyai  ciri  khas  khusus  yang  tidak dimiliki oleh daerah lain, sehingga mempunyai peluang positif untuk dapat terus  dikembangkan. Untuk memasarkan hasil produksi tersebut, Kecamatan Rajapolah sejak  tahun  1989  telah  dicanangkan  sebagai  Pusat  Pemasaran  Kerajinan  Rakyat  Tasikmalaya  dan juga dibangun Pusat Kerajinan Rajapolah. Akibat dari perkembangannya,  Rajapolah  kemudian  menjadi  salah  satu  penopang  utama  Anggaran  Pendapatan  Belanja  Daerah  (APBD) Tasikmalaya.                  



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 34



Laporan Akhir



Gambar 3.9  Beragam Kerajinan Kria yang Diperdagangkan di Rajapolah 



    Di  Pusat  Kerajinan  Rajapolah  itu  terdapat  sekitar  102  buah  toko  yang  berderet  di  sepanjang  jalan  raya  Bandung‐Tasikmalaya.  Beberapa  toko  lainnya  berada  di  Pusat  Promosi  dan  Pemasaran  Kerajinan  Tasikmalaya.  Toko‐toko  itu  berada  di  dua  desa  berbeda.  Toko  yang  berada  di  Kampung  Kaum  Kulon  berada  di  Desa  Manggungjaya  sedangkan toko di Kampung Kaum Wetan dan Pasar Kaler termasuk ke dalam wilayah  Desa  Rajapolah.  Hampir  setiap  toko  di  Pusat  Kerajinan  Rajapolah  dilengkapi  dengan  studio atau bengkel kerajinan, hingga setiap pembeli yang datang dapat melihat proses  pembuatan  kerajinan  secara  langsung.  Selain  berjualan,  para  pemilik  toko  itu  pun  tak  jarang  merangkap  menjadi  pemasok  atau  supplier  kerajinan  khas  Tasikmalaya  ini  ke  berbagai wilayah, bahkan hingga ke luar negeri.    b. Industri Kerajinan Mendong   Produk  kerajinan  anyaman  mendong  telah  ditetapkan  sebagai  komoditas  khas  Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan SK Bupati Tasikmalaya No. 522.4/189‐LH/94 Tahun  1994  tentang  Penetapan  Flora  dan  Fauna  Kompetitif  dan  Komparatif  yang  mampu  menyumbangkan  impact  point  terhadap  pertumbuhan  ekonomi.  Produk  kerajinan  anyaman  mendong  antara  lain  berupa  topi,  tikar,  tas,  boks,  dan  lain‐lain  sesuai  dengan  pesanan konsumen. Seperti halnya produk kerajinan lainnya, produk kerajinan anyaman  mendong ditekuni oleh masyarakat luas, sehingga setiap upaya pengembangannya akan  membawa dampak multiplier luas  terhadap  perekonomian masyarakat. Sentra produksi  mendong  tersebar  di  12  desa  yang  meliputi  4  wilayah  kecamatan  yaitu  Kecamatan  Cineam, Karangnunggal, Manonjaya, dan Salopa.  Produk kerajinan anyaman mendong merupakan jenis kerajinan yang sedang mengalami  peningkatan permintaan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan dari dalam  negeri terutama dari kota‐kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Bali, sedangkan dari  luar  negeri  permintaan  datang  dari  negara  Jepang,  Belanda,  Australia,  Timur  Tengah  dan  Malaysia.  Berdasarkan  data  tahun  1999  total  produksi  anyaman  mendong  adalah  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 35



Laporan Akhir



sebesar 6.636.600 satuan produk dengan total nilai mencapai Rp. 49.245.300.000. padahal,  dari total produksi tersebut baru sekitar 10%‐nya saja yang diekspor.   Gambar 3.10  Salah Satu Produk Kerajinan Mendong  



  Kendala yang paling dirasakan dalam bidang usaha kerajinan mendong ini adalah bahan  baku  yang  tidak  mencukupi  untuk  memenuhi  keseluruhan  pesanan.  Untuk  mengatasi  kebutuhan bahan baku tersebut, para pengrajin medong mencari bahan baku hingga ke  daerah  Jawa  Tengah  dan  Jawa  Timur.  Akibat  kesulitan  bahan  baku  ini,  produksi  mendong baru bisa mencukupi kebutuhan kurang lebih 15% dari total pesanan. Apabila  kesulitan  bahan  baku  ini  berlangsung  terus‐menerus  maka  akan  mengakibatkan  tidak  terpenuhinya  skala  ekonomis  apabila  harus  memasarkan  produk  tersebut  ke  manca  negara.  Padahal  wilayah  Kabupaten  Tasikmalaya  memiliki  sumber  air  yang  cukup,  bahkan  di  beberapa  tempat  dapat  dikatakan  melimpah.  Fakta  ini  merupakan  kondisi  yang  cocok  dalam  pengembangan  tanaman  mendong  untuk  kemudian  menjadi  bahan  baku  kerajinan. Habitat tanaman mendong adalah lahan basah seperti sawah atau rawa‐rawa.  Karakteristik  tanaman  mendong  sesuai  dengan  agroklimat  sebagian  zona  dataran  di  wilayah  Kabupaten  Tasikmalaya.  Pengembangan  tanaman  mendong  masih  memungkinkan  di  Tasikmalaya,  namun  harus  dilakukan  secara  selektif  yaitu  pada  lahan‐lahan berawa yang kurang produktif untuk tanaman padi.    c. Industri Kerajinan Pandan  Usaha  kerajinan  pandan  hampir  sama  dengan  usaha  kerajinan  mendong,  sama‐sama  sudah ditekuni sejak lama oleh sebagian penduduk secara turun temurun, khususnya di  sekitar lokasi sentra produksinya. Kegiatan proses produksi kerajinan pandan dikerjakan  dengan menggunakan alat sederhana sehingga sangat mudah dikerjakan oleh siapapun  termasuk  ibu‐ibu  rumah  tangga.  Pengadaan  sarana  produksi  dan  bahan  baku  usaha  kerajinan  pandan  diupayakan  sendiri  oleh  para  pengrajin.  Bahan  baku  dan  penunjang  industri  kerajinan  pandan  yang  biasa  digunakan  oleh  para  pengrajin  yaitu  anyaman  pandan, kain, benang jahit, kancing dari batok kelapa, lem, zat warna/pengkilap, pernis,  resluiting,  tambang  dan  karton.  Lokasi  sentra  produksi  kerajinan  pandan  terletak  di  11  (sebelas)  desa  yang  berada  di  5  (lima)  wilayah  kecamatan  yaitu  Kecamatan  Rajapolah, 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 36



Laporan Akhir



Cibalong,  Cikalong,  Cipatujah  dan  Pagerageung.  Sentra  produksi  terbesar  dari  usaha  kerajinan pandan ini ada di Kecamatan Rajapolah.  Pemasaran hasil kerajinan pandan terbilang tidak sulit, karena pada umumnya pembeli  datang  sendiri  ketempat  pengrajin.  Pembeli  yang  datang  ke  tempat  pengrajin  adalah  pedagang, baik pedagang besar maupun kecil, atau konsumen secara langsung. Pembeli   umumnya  berasal  dari  Tasikmalaya  dan  daerah  lain  terutama  dari  kota  besar  seperti  Jakarta, Bandung  maupun Bali.  Barang  kerajinan  yang  dibeli  di  Tasikmalaya terkadang  dijadikan barang cenderamata dengan dijual lagi di daerah pariwisata lain. Tidak sedikit  barang  kerajinan  pandan  Tasikmalaya  yang  dijual  di  pasar  seni  di  wilayah  Bali  yang  kemudian  dianggap  cenderamata  khas  Bali.  Biasanya  pembeli  dari  daerah  pariwisata  untuk  dipasarkan  kembali  agak  sedikit  mengubah  tampilan  kerajinan  pandan  ini,  misalnya dengan tambahan finishing. Sementara itu pembeli dari luar negeri kebanyakan  datang dari negara Jepang, Amerika, Singapura dan Eropa.   Kebanyakan  produk  tas  anyaman  pandan  dan  produk  setengah  jadi  diminati  oleh  konsumen  dari  Jepang  dan  Eropa,  sementara  konsumen  dalam  negeri  tidak  begitu  banyak  berminat  terhadap  jenis  produk  tersebut.  Konsumen  Eropa,  terutama  Italia  menggunakan  produk  anyaman  pandan  setengah  jadi  untuk  bahan  pendukung  sol  sepatu, sedangkan pembeli dari Jerman mengggunakan produk setengah jadi ini untuk  bahan  pendukung  interior  mobil.  Produk‐produk  yang  terbuat  dari  bahan  dasar  anyaman pandan ini banyak diminati oleh konsumen mancanegara karena memiliki sifat  produk yang mudah didaur ulang dan ramah lingkungan, sehingga sampah produk ini  nantinya tidak mengganggu lingkungan hidup.  Adanya  peningkatan  permintaan  terhadap  produk  kerajinan  pandan  ini  membuat  ketersediaan bahan baku yang ada di Tasikmalaya tidak mencukupi lagi, sehingga harus  mendatangkan bahan baku dari luar daerah seperti Pangandaran, Ciamis, Gombong dan  Kebumen.  Melihat  kondisi  ini,  sebenarnya  masih  terbuka  peluang  yang  sangat  besar  untuk memanfaatkan lahan yang kurang produktif untuk menjadi lahan budidaya bagi  tanaman  pandan.  Kendala  lain  yaitu  walaupun  usaha  kerajinan  pandan  ini  telah  memiliki  dukungan  sumber  daya  yang  terampil  dan  berpengalaman,  namun  para  pengrajin umumnya adalah keluarga petani yang memanfaatkan waktu senggangnya di  saat tidak menggarap sawah. Alhasil pada saat masa tanam atau panen banyak pengrajin  yang tidak dapat bekerja karena mengutamakan menggarap sawahnya terlebih dahulu.  Jika  hal  ini  terus  menerus  terjadi,  maka  akan  mengganggu  keberlanjutan  produksi  kerajinan pandan secara keseluruhan.    d. Wisata Kria Nagaratengah  Berada  di  bawah  Kompepar  Kabuyutan  Nagaratengah,  wilayah  Nagaratengah  merupakan  salah  satu  desa  pengrajin  yang  ada  di  Kabupaten  Tasikmalaya.  Salah  satu  hasil  produksinya  adalah  kerajinan  dari  batang  salak  yang  dikembangkan  oleh  sarjana  desain interior ITB asal Cineam. Kerajinan ini memanfaatkan batang salak yang banyak  terdapat  di  wilayah  Cineam.  Wilayah  Cineam  sendiri  dikenal  dengan  banyaknya  perkebunan  salak  yang  dimiliki  oleh  warganya.  Adanya  inovasi  kerajinan  dari  batang  salak  ini  membuat  masyarakat  Cineam  memiliki  alternatif  pekerjaan  lain  selain  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 37



Laporan Akhir



berkebun.  Produk  yang  dihasilkan  antara  lain  berupa  taplak  meja,  tatakan  piring  dan  gelas,  tas  wanita  dan  lain  sebagainya.  Prospek  kerajinan  ini  di  masa  mendatang sangat  baik  dan  bisa  menjadi  pelopor  daerah  lain  untuk  mengembangkan  produk  ini.  Hanya  saja  produksi  kerajinan  dari  batang  salak  ini  masih  tergolong  sedikit  dan  masih  disesuaikan dengan permintaan saja.   Selain kerajinan dari batang salak di Kecamatan Cineam juga terdapat kerajinan lainnya,  antara  lain,  kerajinan  anyaman  bambu  yang  dikombinasikan  dengan  rotan  dari  Desa  Ciampanan,  pembuatan  peralatan  gamelan  dari  Desa  Cineam,  pembuatan  calung  dari  Desa Rajadatu, serta kerajinan pahatan kayu dan batu dari  Desa Nagaratengah. Jumlah  produk  yang    dihasilkan  juga  masih  relatif  terbatas  dan  terkadang  hanya  disesuaikan  dengan pesanan saja.     ƒ



WISATA KULINER  a. Makanan Tradisional   Selain  industri  kerajinan,  di  Kabupaten  Tasikmalaya  juga  terdapat  beberapa  industri  makanan  tradisional,  khususnya  makanan  ringan.  Beberapa  industri  makanan  tradisional  itu  antara  lain,  dodol  sirsak  yang  berpusat  di  Kecamatan  Singaparna,  dodol  susu yang berpusat di Kecamatan Pagerageung, gula aren yang berpusat di Kecamatan  Salopa,  gula  kelapa  dan  gulampo  yang  berpusat  di  Kecamatan  Cikalong,  serta  keripik  pisang  dan  sale  pisang  yang  berpusat  di  Kecamatan  Cipatujah.  Umumnya  makanan  ringan  tersebut  diproduksi  pada  industri  kecil  dan  rumah  tangga.  Pemasaran  utama  makanan  ini  dilakukan  di  Rajapolah  bersama  dengan  hasil  dari  industri  kerajinan  lainnya.  Selain  itu  makanan  buatan  Kabupaten  Tasikmalaya  ini  juga  dipasarkan  di  wilayah/kabupaten sekitarnya, bahkan hingga ke Bandung dan Jakarta.    



ƒ



WISATA BUDAYA   a. Masjid Agung Manonjaya  Masjid  Agung  Manonjaya  terletak  di  Desa  Manonjaya,  Kecamatan  Manonjaya,  atau  sekitar  12  Km  dari  pusat  Kota  Tasikmalaya.  Masjid  dengan  gabungan  arsitektur  tradisional dan arsitektur klasik Eropa ini merupakan salah satu bangunan cagar budaya  yang dilindungi oleh undang‐undang kepurbakalaan Badan Arkeologi Nasional. Masjid  ini  dibangun  pada  tahun  1832  dan  memiliki  keterkaitan  erat  dengan  sejarah  Kerajaan  Sukapura serta sejarah berdirinya wilayah Tasikmalaya. Arsitek yang merencanakan dan  membangun masjid ini adalah Patih Raden Tumenggung Danuningrat, tepat  pada masa  pemerintahan Bupati Sukapura  yang ke‐8  (delapan).  Hingga saat  ini Masjid  Manonjaya  masih  terawat  dengan  baik  dan  masih  berfungsi  sebagaimana  layaknya  sebuah  bangunan masjid.            



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 38



Laporan Akhir



ƒ



WISATA BUDAYA KAMPUNG TRADISIONAL  a. Kampung Naga  Objek  wisata  ini  cukup  banyak  dikunjungi  wisatawan  baik  wisatawan  mancanegara  maupun wisatawan nusantara karena letaknya yang strategis yaitu di jalur Tasikmalaya‐ Bandung melalui Garut. Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan  luas areal ± 1,5 ha dengan lebih kurang 325 penduduk dari 100 keluarga yang hingga saat  ini masih memegang teguh adat istiadatnya. Kampung ini berada di lembah yang subur,  dengan batas wilayah, di bagian Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat yang  di  dalamnya  terdapat  makam  para  leluhur  masyarakat  Kampung  Naga.  Di  sebelah  selatan  dibatasi  oleh  sawah‐sawah penduduk,  dan  di sebelah  utara serta  timur  dibatasi  oleh Sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.  Secara administratif, Kampung Naga temasuk ke dalam wilayah Kampung Legok Dage,  Desa  Neglasari,  Kecamatan  Salawu.  Umumnya  penduduk  Kampung  Naga  memiliki  mata  pencaharian  dari  pertanian  sawah  dan  ladang  atau  membuat  kerajinan  anyaman  dari bambu.  Gambar 3.11  Kampung Naga 



  Ketaatan  terhadap  adat  dicerminkan  dalam  tatanan  masyarakat  dan  karakter  fisik  permukiman  tradisional  Priangan  yang  khas.  Daya  tarik  objek  wisata  Kampung  Naga  terletak  pada  kehidupan  yang  unik  dari  komunitas  yang  terletak  di  Kampung  Naga  tersebut.  Kehidupan  mereka  dapat  berbaur  dengan  masyarakat  modern,  beragama  Islam, tetapi masih kuat memelihara adat istiadat leluhurnya, seperti misalnya berbagai  upacara  adat,  upacara  hari‐hari  besar  Islam,  contohnya  upacara  bulan  Mulud  atau  Alif  dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang). Proses ini dimulai  dengan mandi di Sungai Ciwulan dan wisatawan boleh mengikuti acara tersebut dengan  syarat harus patuh pada aturan disana. Upacara‐upacara yang senantiasa dilakukan oleh  masyarakat  Kampung  Naga  lainnya  ialah  Upacara  Menyepi,  Upacara  Hajat  Sasih,  dan  Upacara Perkawinan.  Di  bidang  kesenian  masyarakat  Kampung  Naga  memiliki  pantangan  mengadakan  pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, pertunjukan  musik  dangdut,  pencak  silat,  dan  kesenian  yang  lain  yang  mempergunakan  alat  musik  sejenis  gong.  Hanya  kesenian  yang  merupakan  warisan  leluhur  masyarakat  Kampung  Naga,  yaitu  terbangan,  angklung,  beluk,  dan  rengkong  yang  boleh  dipertunjukkan  di  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 39



Laporan Akhir



dalam wilayah Kampung Naga. Namun demikian, warga Kampung Naga diperbolehkan  untuk  menyaksikan  pertunjukan  wayang  atau  kesenian  lainnya  asal  pertunjukan  tersebut berada di luar wilayah Kampung Naga.  Rumah  yang  terdapat  di  Kampung  Naga  tidak  boleh  lebih  dan  kurang  dari  108  bangunan  baru,  selain  bangunan  mesjid  dan  tempat  pertemuan  penduduk.  Semua  bangunan di Kampung Naga memiliki tipologi arsitektur yang sama baik rumah, mesjid,  patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun  kelapa, atau injuk sebagai penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya,  terbuat  dari  anyaman  bambu  (bilik)  dengan  pintu  dan  jendela  bangunan  yang  terbuat  dari serat rotan. Orientasi bangunan di Kampung Naga seluruhnya menghadap ke Utara  atau  Selatan.  Adanya  tumpukan  batu  yang  tersusun  rapi  dibeberapa  tempat  dengan  ketinggian  berbeda  dan  penggunaan  bahan  alami  dalam  tatanan  bangunan  maupun  lingkungan merupakan ciri khas Perkampungan Naga.  Di  sepanjang  jalan  menuju  Kampung  Naga  banyak  toko‐toko  yang  menyediakan  berbagai macam cenderamata  hasil  kerajinan tangan  warga  Kampung  Naga dan warga  Tasikmalaya pada umumnya dengan harga yang sangat murah dan dengan pilihan yang  beraneka  ragam.  Cenderamata  khas  buatan  warga  Kampung  Naga  juga  dapat  dibeli  langsung  di  rumah  penduduk  yang  memproduksinya.  Beberapa  penduduk  bahkan  membuat display khusus cenderamata di bagian depan rumahnya.     ƒ



WISATA ALAM  a. Kawasan Wisata Gunung Galunggung  Gunung  Galunggung  merupakan  gunung  api  yang  menjadi  icon  pariwisata  Kabupaten  Tasikmalaya.  Gunung  dengan  ketinggian  2.167  m  dpl  ini  dapat  dicapai  melalui  jalan  beraspal dengan menggunakan kendaraan roda empat dan atau roda dua. Jarak tempuh  ke lokasi ini adalah sekitar 17 km dari pusat Kota Tasikmalaya. Objek wisata ini berupa  kawasan wana wisata Kawah Gunung Galunggung  dengan luas 5 ha, termasuk kedalam  RPH  Cisayong,  BKPH  Tasikmalaya, KPH  Tasikmalaya.  Secara administratif wilayah ini  termasuk  kedalam  Desa  Linggajati,  Kecamatan  Indihiang,  Kabupaten  Tasikmalaya.  Kawasan wana wisata ini terletak pada ketinggian 1.250 m dpl ini memiliki suhu udara  rata‐rata sekitar 250  C.   Aktivitas wisata yang ditawarkan antara lain daya tarik wana wisata di areal seluas 120  ha  yang  mencakup  kawah  Gunung  Galunggung.  Objek  lainnya  adalah  keindahan  panorama  hutan  lindung,  pemandian  air  dari  sumber  air  panas  pegunungan  dengan  kandungan  belerang  yang  bermanfaat  untuk  pengobatan  dan  kesehatan  (cure  tourism).  Perum  Perhutani  membangun  Wana  Wisata  Cipanas  Galunggung  sejak  tahun  1988.  Wisatawan yang datang ke objek  wisata  ini  dapat  melakukan berbagai  aktivitas  seperti  mandi, berendam dan berenang air panas, hiking, camping, maupun sekedar berekreasi  sambil menikmati pemandangan alam pegunungan.  Kawah  yang  begitu  luas  dan  indah  tentu  saja  menjadi  daya  tarik  tersendiri  bagi  wisatawan.  Salah  satu  keunikan  Gunung  Galunggung  adalah  danau  yang  terdapat  dalam  kawah,  airnya  dingin  serta  tidak  tercium  bau  belerang  dan  ini  merupakan  hal 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 40



Laporan Akhir



yang  berbeda  dari  gunung‐gunung  berapi  lainnya.  Pada  saat  cuaca  yang  cerah  disertai  awan putih, wisatawan dapat menyaksikan keajaiban alam lainnya yaitu sungai‐sungai  yang turun dari bukit Gunung Galunggung yang terlihat seolah‐olah dari langit. Lubang  kepundan ini memang menjadi daya tarik kuat sehingga wisatawan umumnya tak puas  hanya  sekadar  mandi  air  panas.  Potensi  wisata  Gunung  Galunggung  dapat  dan  telah  dikembangkan sebagai kawasan wisata.  Fasilitas  yang  ada  di  kawasan  ini  berupa  pemandian  air  panas,  sepeda  air,  toko  cenderamata & kios pedagang, mushola, tempat parkir dan gardu keamanan. Pemandian  air  panas  (Cipanas)  memiliki  luas  kurang  lebih  sekitar  3  hektar  dan  telah  dilengkapi  dengan fasilitas kolam renang, kamar mandi dan bak rendam air panas, serta bangunan  untuk pemandian sebanyak 12 (dua belas) pancuran.   Umumnya  pengunjung  objek  wisata  Galunggung  adalah  wisatawan  lokal/domestik,  khususnya  yang  datang  dari  wilayah  Priangan  Timur.  Kedatangan  mereka  biasanya  memanfaatkan  hari  libur  nasional  atau  pada  akhir  pekan,  biasanya  hari  Minggu.  Peak  season kedatangan pengunjung terjadi setahun sekali, yakni sebelum puasa (munggahan)  dan setelah Lebaran. Kunjungan wisatawan dari mancanegara masih dibawah hitungan  100  orang  rata‐rata  per  tahun.  Rata‐rata  wisatawan  dalam  maupun  luar  negeri  yang  berkunjung ke Gunung Galunggung berjumlah 213.382 orang per‐tahun.     Permasalahan  dan  Isu‐Isu  Strategis  Pengembangan  Kepariwisataan  di  Kabupaten  Tasikmalaya  Berdasarkan  Rencana  Tata  Ruang  Wilayah  (RTRW)  Kabupaten  Tasikmalaya  tahun  2004  –  2014  dan  berdasarkan  hasil  Focus  Group  Disscussion  (FGD)  yang  diadakan  dalam  rangka  pengerjaan,  terdapat  beberapa  permasalahan  maupun  isu  strategis  yang  terkait  dengan  objek wisata alam dan budaya di Kabupaten Tasikmalaya, diantaranya:  ‐ Permasalahan  ƒ



Adanya  beberapa  kawasan  rawan  bencana,  diantaranya  kemungkinan  meletusnya  Gunung  Galunggung,  bencana  banjir  khususnya  di  wilayah  sekitar  sungai,  kemungkinan  tsunami  di  pesisir  pantai  selatan  dan  longsor  pada  wilayah  dengan  kondisi fisik kurang baik, khususnya di bagian selatan Kabupaten Tasikmalaya. 



ƒ



Masih  perlunya  sarana  dan  prasarana  transportasi,  sistem  komunikasi,  promosi  yang  baik,  pengelolaan  dan  pemeliharaan  objek  wisata  sesuai  dengan  karakteristik  masing‐ masing potensi daya tarik wisata. 



ƒ



Masih kurangnya modal/dana dan tempat/bengkel industri kerajinan. 



ƒ



Akses jalan yang buruk di beberapa lokasi daya tarik. 



ƒ



Rendahnya riset sebagai dasar program 



ƒ



Bahan baku kerajinan yang terkadang kurang. 



‐ Isu‐isu Strategis  ƒ



Mitigasi bencana di kawasan‐kawasan tertentu. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 41



Laporan Akhir



ƒ



Kualitas pengemasan cenderamata sebagai daya tarik wisata. 



ƒ



Hubungan antar pengrajin. 



ƒ



Produk pariwisata yang saling terkait dan menunjang satu sama lain. 



 



3.1.3  Wilayah Ciamis  Sebelum  otonomi  daerah,  Kabupaten  Ciamis  bersatu  dengan  Kota  Banjar,  namun  sejak  11  Desember 2002 wilayah Kabupaten Ciamis merupakan daerah otonom yang berdiri sendiri.  Wilayah Kabupaten Ciamis terdiri dari 36 kecamatan dan 339 desa/kelurahan dengan pusat  pemerintahan yang berada di Kota Ciamis.   Secara geografis, Kabupaten Ciamis terletak pada  108°20ʹ ‐ 108°40ʹ BT dan 7°40ʹ20” LS, tepatnya  di  bagian  tenggara  Provinsi  Jawa  Barat  atau  sekitar  112  Km  dari  Kota  Bandung.  Adapun  batasan wilayah Kabupaten Ciamis, mencakup:  ‐



Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan. 







Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya. 







Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. 







Sebelah timur berbatasan dengan Kota Banjar dan Provinsi Jawa Tengah. 



Kabupaten  Ciamis  memiliki  luas  keseluruhan  administratif  sebesar  248.763  Ha  dengan  jumlah  penduduk  pada  tahun  2005  mencapai  1.457.146  jiwa  dengan  kepadatan  penduduk  sekitar 586 jiwa/km².   Sebagian  besar wilayah Kabupaten  Ciamis  berupa  pegunungan  dan  dataran  tinggi, kecuali  di  perbatasan  dengan  Jawa  Tengah  bagian  selatan,  serta  sebagian  wilayah  pesisir  pantai  selatan. Kabupaten  Ciamis memiliki garis pantai yang mencapai 91 Km dan terbentang di 6  kecamatan.  Pantai  selatan  Ciamis  bagian  timur  berupa  teluk,  diantaranya  Teluk  Pangandaran, Teluk Parigi, dan Teluk Pananjung. Kondisi alam Kabupaten Ciamis membuat  wilayah  ini  kaya  akan  potensi  pertanian,  perikanan,  dan  pariwisata  alam.  Khusus  untuk  sektor  pariwisata,  unggulan  dari  Kabupaten  Ciamis  adalah  keindahan  pantai  dan  peninggalan  sejarah  Kerajaan  Galuh.  Adapun  beberapa  objek  dan  daya  tarik  wisata  yang  berada dalam kawasan studi ini, meliputi:  Tabel 3.9  Sebaran Objek Wisata Kabupaten Ciamis yang Termasuk dalam  Kawasan Wisata Kria dan Budaya  Priangan    Nama  Lokasi  Karangkamulyan  Kec. Cijeungjing  Situs Gunung Susuru  Kec. Cijeungjing  Kampung Kuta  Kec. Tambaksari  Urug Kasang  Kec. Tambaksari  Astana Gede  Kec. Kawali  Situ Lengkong Panjalu  Kec. Panjalu  Curug Tujuh  Kec. Panjalu        Sumber : Petunjuk Pariwisata Kabupaten Ciamis, 2007   



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 42



Laporan Akhir



Daya Tarik Wisata Kabupaten Ciamis  ƒ



WISATA KRIA  a. Industri Kerajinan Kaligrafi  Warga  Desa  Padamulya,  Kecamatan  Cihaurbeuti,  Kabupaten  Ciamis,  sudah  lama  menggeluti  berbagai  kerajinan  tangan,  mulai  dari  kipas  hias  ukuran  besar,  anyaman  bambu  untuk  kebutuhan  rumah  tangga,  hingga  kaligrafi.  Sebagian  dari  hasil  kerajinan  itu sejak tahun 1993 telah mampu tembus ke pasar luar negeri. Keterampilan membuat  kerajinan ini sudah sejak lama diperoleh secara turun temurun.  Sudah sejak lama Desa  Padamulya  menjadi  sentra  kerajinan,  namun  karena  tidak  memiliki  pasar  atau  tempat  khusus untuk menjualnya, maka sebagian besar kerajinan dari Padamulya dipasarkan di  wilayah Rajapolah.   Perkembangan kerajinan kaligrafi di wilayah ini didukung oleh bahan baku, yaitu pohon  bambu yang relatif mudah ditemui. Kemudahan bahan baku ini semakin mempermudah  usaha masyarakat dalam menjalankan usahanya.    



ƒ



WISATA KULINER  a. Galendo  Jawa  Barat  dikenal  sebagai  daerah  yang  kaya  akan  makanan  tradisional,  terutama  makanan ringannya. Salah satunya adalah galendo (gelendo) Ciamis. Penganan berwarna  merah yang terbuat dari ampas pembuatan minyak kelapa itu memang identik dengan  wilayah Ciamis. Meski penganan sejenis sudah banyak bermunculan di sejumlah daerah  lain,  galendo  Ciamis  tetap  punya  keistimewaan  tersendiri  di  lidah  konsumen.  Uniknya  galendo  khas  Ciamis,  kini  memiliki  banyak  varian  rasa,  seperti  cokelat,  stroberi,  nanas  dan lain sebagainya. Makanan ringan ini umumnya dipasarkan ke kota atau kabupaten  lain  di  sekitar  Kabupaten  Ciamis,  bahkan  hingga  ke  Jakarta.  Kini  galendo  selain  dipasarkan  di  toko  oleh‐oleh  juga  sudah  banyak  tersedia  di  sejumlah  supermarket  ataupun toko serba ada dan dalam kemasaran yang menawan.   b. Selai Pisang  Banyak daerah menghasilkan panganan ringan berupa selai pisang ini, salah satunya ada  di Kabupaten Ciamis. Bedanya selai pisang khas Ciamis berupa selai pisang yang telah  digulung  ataupun  variasi  bentuk  lainnya.  Namanya  pun  tak  kalah  unik,  misalnya  saja  selai  pisang  lidah,  selai  pisang  kipas  dan  lain  sebagainya.  Selai  pisang  khas  Ciamis  ini  banyak  diproduksi  di  Kecamatan  Cijeungjing  dan  sudah  cukup  dapat  diandalkan  menjadi  komoditas  ekspor.  Selain  dipasarkan  di  dalam  negeri,  khususnya  di  wilayah  Jawa  Barat,  selai  pisang  ini  juga  telah  diekspor  ke  negara‐negara  ASEAN  dan  Amerika  Serikat.   



ƒ



WISATA BUDAYA  a. Cagar Budaya Astana Gede  Cagar  budaya  Astana Gede  terletak  di  Desa  Kawali,  Kecamatan  Kawali  yang  berjarak  kurang  lebih  21  km  dari  arah  utara  Kota  Ciamis.  Di  sini  terdapat  beberapa  buah  batu 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 43



Laporan Akhir



bertulis (prasasti) yang merupakan cikal bakal bukti keberadaan Kerajaan Sunda yang  dibuat  pada  masa  pemerintahan  Prabu  Niskala  Wastu  Kencana.  Salah  satu  dari  batu  bertulis  tersebut  bertuliskan  ʺMahayunan  Ayunan  Kadatuanʺ  yang  kemudian  dijadikan  sebagai motto juang Kabupaten Ciamis. Selain batu‐batu prasasti tersebut terdapat pula  peninggalan lainnya yaitu:  -



Seperangkat batu disolit, yakni batu tempat pelantikan raja yang disebut Palangka.  Batu telapak kaki dan tangan dengan garis retak‐retak menggambarkan kekuasaan  dan penanggalan (kalender).  Tiga  buah  batu  menhir:  Batu  Panyandaan,  Batu  Panyandangan,  Batu  Pamuruyan  (alat untuk bercermin). 



  b. Cagar Budaya Karangkamulyan – Cijeungjing   Cagar  Budaya  Karangkamulyan  merupakan  peninggalan  dari  pusat  Kerajaan  Galuh  Pusaka yang dikukuhkan oleh Sang Hyang Parmanadikusumah. Lokasi cagar budaya ini  terletak  di  Desa  Karangkamulyan,  Kecamatan  Cijeungjing,  atau  lebih  kurang  sekitar  16  km  dari  Kota  Ciamis  menuju  ke  arah  timur.  Fasilitas  yang  ada  di  lokasi  ini  antara  lain  adalah lapangan parkir, kios‐kios makanan serta cenderamata, rest area, masjid dan toilet.   Gambar 3.12  Salah Satu Batu di Situs Karang Kamulyan 



    Di situs ini kita juga dapat melihat tempat‐tempat bekas peninggalan dari legenda Ciung  Wanara  yang  merupakan  salah  seorang  putera  Sang  Hyang  Permanadikusumah.  Peninggalan‐peninggalan tersebut antara lain:  -



Batu  Pangcalikan  yaitu  merupakan  bekas  singgasana  yang  juga  berfungsi  sebagai  tempat bermusyawarah Raja.  Penyambungan  ayam,  tempat  Ciung  Wanara  menyabung  ayam  dengan  Bondan  Sarati.  Sanghyang Bedil.  Lambang Peribadatan.  Sumber Air Citeguh dan Cirahayu.  Makam Adipati Panaekan.  Pamangkonan.  Batu Anyandaan. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 44



Laporan Akhir



-



Patimuan.  Leuwi Sipatahunan yang merupakan tempat bayi Ciung Wanara dibuang di Sungai  Citanduy. 



c. Situ Lengkong – Panjalu  Objek  wisata  ini  terletak  di  Desa  Panjalu,  Kecamatan  Panjalu  yang  berjarak  kurang  lebih  41  km  dari  Kota  Ciamis  ke  arah  utara.  Situ  Lengkong  Panjalu  merupakan  perpaduan antara objek wisata alam dan objek wisata budaya. Di objek wisata ini kita  bisa  menyaksikan  indahnya  danau  (situ)  yang  berhawa  sejuk  dengan  sebuah  pulau  terdapat  di  tengahnya  (nusa)  yang  dikenal  dengan  nama  Nusa  Larang.  Luas  danau  tersebut  sekitar  70  Ha  dan  pulau  Nusa  Larang  yang  ada  tengah‐tengahnya  memiliki  luas sekitar 9,25 Ha.   Gambar 3.13  Situ Lengkong 



    Di  Nusa  Larang  terdapat  Makam  Hariang  Kencana  yang  merupakan  putra  dari  Hariang  Borosngora,  yaitu  Raja  Panjalu  yang  membuat  Situ  Lengkong  pada  masa  beliau memerintah di Kerajaan Panjalu. Untuk menghormati jasa para leluhur Panjalu,  maka  hingga  saat  ini  warga  keturunan  Panjalu  biasa  melaksanakan  semacam  upacara  adat  yang  disebut  Nyangku.  Acara  ini  dilaksanakan  pada  tiap‐tiap  bulan  Maulud  dengan  cara  membersihkan  benda‐benda  pusaka  yang  disimpan  di  sebuah  tempat  khusus  yang disebut Bumi Alit. Bumi alit ini termasuk dalam salah satu museum kecil  yang  ada  di  Kabupaten  Ciamis  dan  memiliki  koleksi  berjumlah9  buah  yang  berupa  sebuah pedang cis, 2 (dua) buah pedang biasa, 3 (tiga) buah keris, sebuah naskah, serta  sebuah baju kebesaran peninggalan Raja Panjalu.   Kegiatan  wisata  yang  bisa  wisatawan  di  lokasi  ini  antara  lain,  berperahu  mengelilingi  Nusa  Larang,  memancing,  berkemah,  berekreasi,  atau  hanya  sekedar  duduk‐duduk  santai sembari melihat keindahan danau.     d. Urug Kasang  Urug  kasang  berupa  lokasi  dimana  telah  ditemukannya  fosil‐fosil  purba.  Lokasi  ini  berada di Desa Tambaksari, Kecamatan Tambaksari yang berada ke arah timur laut Kota 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 45



Laporan Akhir



Ciamis. Fosil‐fosil yang ditemukan di lokasi ini diperkirakan berasal dari sekitar 700.000  sampai dengan 2 juta tahun yang lalu.   Di lokasi ini terdapat sebuah museum kecil yang diberi nama Museum Fosil Tambaksari.  Museum  ini  memiliki  21  benda  koleksi  yang  terdiri  dari  4  (empat)  bagian  fosil  gajah  purba, 2 (dua) bagian fosil rusa purba, 3 (tiga) bagian fosil kerbau purba, 6 (enam) jenis  fosil kerang laut, dan 3 (tiga) jenis keramik.     e. Situs Gunung Susuru  Lokasi  situs  ini  terletak  di  Desa  Kertabumi,  Kecamatan  Cijeungjing.  Situs  Gunung  Susuru  ini  merupakan  peninggalan  cagar  budaya  berupa  punden  berundak  dari  masa  Kerajaan  Hindu  (klasik).  Luas  situs  ini  kurang  lebih  7  Ha  yang  berada  diantara  dua  sungai, yaitu Sungai Cimuntur dan Sungai Cileueur. Pada lokasi ini juga terdapat 3 (tiga)  buah gua, sebuah sumur batu, 3 (tiga) buah dolmen, 3 (tiga) buah altar dan peninggalan  lainnya  seperti  manik‐manik,  keramik,  senjata,  batu  pipisan,  batu  peluru,  dan  lain  sebagainya.     ƒ



WISATA BUDAYA KAMPUNG TRADISIONAL  a. Kampung Kuta  Kampung  Kuta  secara  administratif  berada  di  wilayah  Kecamatan  Tambaksari,  Kabupaten  Ciamis,  tepatnya  di  Desa  Karangpaningal  dan  ditetapkan  sebagai  sebuah  Dusun  yaitu  Dusun  Kuta.  Untuk  menuju  ke  lokasi  ini  jarak  yang  harus  ditempuh  dari  kota  Kabupaten  Ciamis  berjarak  sekitar  34  km  menuju  ke  arah  utara.  Secara  geografis,  Kampung  Kuta  letaknya  terpisah  dengan  kampung  lain  yang  ada  di  Desa  Karangpaninggal,  karena  berada  di  suatu  lembah  yang  dikelilingi  tebing‐tebing  tegak  lurus yang sekaligus menjadi batasan wilayah dengan kampung lainnya. Sebagai daerah  yang berada di lembah, Kampung Kuta merupakan daerah yang subur.   Amanat leluhurnya yang masih tetap dipertahankan di Kampung Kuta ini, antara lain:   1. Rumah panggung harus beratap rumbia atau ijuk (tidak boleh permanen).  2. Bentuk rumah persegi dan tidak boleh berbentuk sikon.  3. Penduduk yang meninggal harus dimakamkan di luar Kampung Kuta.  4. Dilarang ke tempat keramat selama hari Senin dan Jumat.  5. Tidak boleh menggunakan pakaian yang serba hitam.  Karena  ketaatannya  memegang  teguh  adat  dan  aturan  termasuk  dalam  menjaga  kelestarian lingkungannya, pada tahun 2002, Kampung Kuta memperoleh penghargaan  untuk kategori penyelamat lingkungan.   



ƒ



WISATA ALAM  a. Curug Tujuh Cibolang  Objek wisata ini diberi nama Curug Tujuh Cibolang karena mempunyai 7 (tujuh) buah air  terjun (curug) yang terdapat pada sebuah bukit di kaki Gunung Sawal. Luas keseluruhan 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 46



Laporan Akhir



Wana  Wisata  Curug  Cibolang  ini  adalah  sekitar  20  Ha  yang  terletak  di  RPH  Panjalu  BKPH  Ciamis.  Lokasi tepatnya  terletak di  Desa Sandingtaman, Kecamatan  Panjalu,  atau  lebih  kurang  35  km  arah  utara  Kota  Ciamis.  Wana  wisata  ini  terletak  pada  ketinggian  antara  800  –  900  m  dpl,  dengan  konfigurasi  lahan  umumnya  bergunung.  Kawasan  ini  mempunyai suhu udara rata‐rata antara 18 – 170 C.  Lokasi  Curug  Tujuh  Cibolang  ini  berjarak  sekitar  5  km  dari  Kecamatan  Panjalu,  31  km   dari  Kabupaten  Ciamis  dan  112  km  dari  Kota  Bandung.  Kondisi  jalan  pada  umumnya  beraspal  dan  dapat  dilalui  oleh  kendaraan  roda  empat.  Sarana  transportasi  umum  yang  ada hanya ojek. Untuk menuju objek wisata ini dapat menggunakan kendaraan roda dua  dan  roda  empat  atau  mountain  bike  bagi  yang  mempunyai  hobi  olahraga  bersepeda.  Jika  menggunakan  kendaraan  umum,  dapat  berangkat  dari  Terminal  Ciamis  menggunakan  angkutan  dengan  jurusan  Kawali  Panjalu,  atau  langsung  dari  Bandung  menggunakan  angkutan jurusan Ciamis via Panjalu.   Sebagian besar lokasi di wana wisata Curug Tujuh Cibolang terdiri dari hutan tanaman  pinus.  Sumber  air  yang  ada  di  wilayah  ini  berupa  mata  air  dan  sungai  yang  saat  ini  dimanfaatkan  dengan  cara  membuat  instalasi  penampungan  untuk  kepentingan  air  bersih  dan  MCK.  Kita  dapat  menikmati  keindahan  dan  keasrian  ketujuh  air  terjun  tersebut  dengan  cara  mengitari  bukit,  menapaki  jalan  setapak  mulai  dari  kaki  bukit  sampai ke puncak bukit dan berjalan memutar kembali. Potensi visual lansekap menuju  lokasi air terjun ini cukup menarik dengan pemandangan alam berupa panorama hutan  dan pegunungan.  Wana  wisata  ini  umumnya  digunakan  untuk  wisata  harian  dan  wisata  berkemah.  Kegiatan  wisata  harian  yang  dapat  dilakukan  adalah  mandi  di  air  terjun,  piknik,  jalan  santai,  hiking,  trekking  dan  melihat  adu  binatang,  sedangkan  untuk  kegiatan  berkemah  tersedia sebuah kompleks perkemahan seluas kurang lebih 2 Ha.    Permasalahan dan Isu‐Isu Strategis Pengembangan Kepariwisataan di Kabupaten Ciamis  Berdasarkan  Rencana  Tata  Ruang  Wilayah  (RTRW)  Kabupaten  Ciamis  tahun  2004  –  2013  serta  berdasarkan  hasil  Focus  Group  Disscussion  (FGD)  terangkum  permasalahan  dan  isu  strategis  yang  terkait  dengan  objek  wisata  alam  dan  budaya  Kabupaten  Ciamis,  yang  mencakup:  ‐ Permasalahan  ƒ



Perkembangan  pembangunan  fisik  di  bagian  utara  kabupaten  pada  areal  yang  seharusnya untuk kawasan lindung dan kawasan penyangga. 



ƒ



Pengembangan  bandar  udara  Nusawiru  di  Cijulang  yang  berfungsi  untuk  menunjang  kepariwisataan  dan  pengembangan  wilayah  Kabupaten  Ciamis  bagian  selatan  yang  kurang termanfaatkan dengan optimal. 



ƒ



Kawasan  yang  memiliki  peranan  khusus  berupa  fungsi  lindung,  sejarah  dan  kepariwisataan yaitu kawasan cagar budaya Situ Panjalu, kawasan Karangkamulyan di  Kecamatan  Cijeungjing,  serta  kawasan  Kampung  Kuta.  Namun  dalam  pengembangannya belum optimal. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 47



Laporan Akhir



ƒ



Sarana aksesibilitas yang sebagian masih dalam kondisi buruk. 



ƒ



Sarana dan prasarana pendukung kepariwisataan yang belum memadai. 



  ‐ Isu‐isu Strategis  ƒ



Perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian kurang terserap oleh sektor industri dan  pariwisata.  Dengan  demikian  sektor  industri  dan  pariwisata  di  Kabupaten  Ciamis  memiliki  laju  peryumbuhan  nilai  tambah  yang  tidak  seimbang  dibandingkan  dengan  laju kesempatan kerjanya.  



ƒ



Pengembangan  kawasan  pariwisata  berada  di  bagian  selatan  kabupaten,  yaitu  di  wilayah Pangandaran, Cijulang Parigi dan Cimerak, sekaligus merupakan ketimpangan  dengan wilayah Ciamis bagian utara. 



 



3.1.4   Wilayah Banjar  Pembentukan Kota Banjar tidak terlepas dari perkembangan Kabupaten Ciamis. Pada tahun  1992, Banjar menjadi Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun  1991 tentang Pembentukan Banjar Kota Administratif yang diresmikan oleh Menteri Dalam  Negeri  pada  tanggal  2  Maret  1992.  Seiring  dengan  otonomi  daerah,  sejak  tanggal  11  Desember  2002  wilayah  Banjar  ditetapkan  menjadi  kota  yang  otonom  dan  terpisah  dari  Kabupaten  Ciamis.  Secara  administratif  Kota  Banjar  terdiri  dari  4  kecamatan,  yaitu  Kecamatan  Pataruman,  Banjar,  Purwaharja,  dan  Langensari,  serta  terdiri  dari  24  desa/kelurahan.   Secara geografis, Kota Banjar terletak pada 108°26ʹ ‐ 108°40ʹ BT dan 07°19ʹ ‐ 07°26ʹ LS, tepatnya di  bagian  tenggara  Provinsi  Jawa  Barat  atau  sekitar  3  jam  perjalanan  berkendara  dari  Kota  Bandung. Adapun batasan wilayah Kota Banjar, mencakup:  ‐



Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cisaga Kabupaten Ciamis. 







Sebelah  barat  berbatasan  dengan  Kecamatan  Cimaragas  dan  Kecamatan  Cijeungjing  Kabupaten Ciamis. 







Sebelah  selatan  berbatasan  dengan  Kecamatan  Lakbok  dan  Kecamatan  Pamarican  Kabupaten Ciamis. 







Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis dan Kecamatan  Wanareja Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah 



Kabupaten  Ciamis  memiliki  luas  keseluruhan  administratif  sebesar  13.197,23  Ha  dengan  jumlah  penduduk  pada  tahun  2006  mencapai  168.912  jiwa  dengan  kepadatan  penduduk  sekitar 1.477,67 jiwa/km².  Kota  Banjar  merupakan  wilayah  dengan  ketinggian  antara  20  sampai  dengan  500  m  dpl  yang  beriklim  tropis.  Tingkat  kesuburan  tanah  di  Kota  Banjar  umumnya  tergolong  sedang  (baik).  Sektor  pertanian  merupakan  sektor  yang  memegang  peranan  cukup  besar  dalam  perekonomian  Kota  Banjar,  karena  sebagian  besar  penduduk  Kota  Banjar  masih  menggantungkan  mata  pencaharian  pada  sektor  ini.  Selain  itu  sektor  industri  dan  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 48



Laporan Akhir



perdagangan  juga  menjadi  sektor  penting  di  kota  ini.  Berdasarkan  data  dari  Dinas  Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kota Banjar, sektor industri di  kota  ini  berjumlah  1.517  unit  usaha  dengan  6.897  tenaga  kerja  dan  telah  menghasilkan  investasi  sebesar  20,97  milyar  rupiah.  Sedangkan  sektor  perdagangan  sendiri  jumlah  unit  usaha  ada  947  yang  menyerap  3.272  tenaga  kerja  dan  telah  menghasilkan  investasi  sebesar  52,52 milyar rupiah. Sektor industri yang cukup berkembang adalah industri kerajinan dan  makanan olahan. Dari data tersebut sebelumnya industri kerajinan memiliki 117 unit usaha  yang  menyerap  1.305  tenaga  kerja  dan  memiliki  nilai  investasi  sebesar  358,5  juta  rupiah.  Adapun komoditi unggulan  dari  sektor industri dan perdagangan di Kota  banjar ini  dapat  dilihat pada tabel di halaman berikut.  Tabel 3.10  Komoditi Unggulan Kota Banjar    No.  1. 



Komoditi 



2. 



Bordir/konveksi  ‐ Kaos, baju koko, celana  pendek  ‐ Busana muslim, kebaya  Tikar mendong 



3. 



Meubel 



4. 



Anyaman bambu 



5.  6. 



11. 



Industri kerajinan bambu/kayu  Kerajinan  ‐ Miniatur alat musik  ‐ Sanggar burung  ‐ Ukiran tunggul kayu    Industri makanan olahan  ‐ Sale pisang  ‐ Keripik pisang, singkong  ‐ Rangginang  ‐ Makanan ringan    Air minum dalam kemasan  Gula kelapa  Industri logam alat rumah  tangga  Bata merah 



12.  13.  14. 



Kambing PE  Beras organik  Kentang hitam 



7. 



8.  9.  10. 



Jumlah Unit Usaha  Kapasitas/Tahun  5 kelompok 



44,3 potong 



2 unit usaha,   30 plasma  43 unit usaha 



960 kodi 



Langensari 



780 pasang 



Banjar, Pataruman,   Purwaharja dan  Langensari  Langensari, Neglasari 



1.080.000 buah    1.200 set  96 buah 



Banjar, Neglasari    Pataruman, Neglasari,  dan Purwaharja 



  20 unit usaha  15 unit usaha  25 unit usaha  6 unit usaha 



  440 ton  53,2 ton  80 ton  72 bungkus 



  Pataruman, Langensari  Pataruman  Purwaharja  Banjar 



1 unit usaha  602 unit usaha  1 unit usaha 



35.800 galon  1.200 ton  6.300 kodi 



Banjar  Langensari   Langensari 



400 unit usaha 



17.863 buah 



1.350 ekor  998,7 Ha  356,7 Ha 



200 liter/hari  20 ton  68 ton 



Pananjung,  Karangpucung, dan  Langensari  Langensari  Koptan Banjar  Langensari 



2 sentra,            65 unit usaha  1 unit usaha    4 unit usaha  1 unit usaha  2 unit usaha 



372.074 buah 



Lokasi  Banjar, Pataruman 



 Sumber : http://www.banjar‐jabar.go.id/ 



  Sementara  itu  sektor  pariwisata  saat  ini  belum  menjadi  sektor  andalan  bagi  Kota  Banjar.  Namun demikian di wilayah ini terdapat beberapa objek dan daya tarik yang cukup sering 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 49



Laporan Akhir



dikunjungi, khususnya oleh wisatawan lokal dan regional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat  pada tabel 3.11 berikut. 



 Tabel 3.11  Sebaran Objek Wisata di Kota Banjar yang Termasuk Dalam                                                           Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan    Nama     Situ Mustika    Pulo Majeti/Rawa Onom        Kokoplak      Terowongan 



Lokasi  Desa Purwaharja,  Kecamatan Purwaharja  Desa Purwaharja,  Kecamatan Purwaharja  Desa Mulyasari,  Kecamatan Pataruman  Desa Binangun,  Kecamatan Pataruman 



Luas  2,5 Ha  2 Ha  1 Ha   



  Sumber : Petunjuk Pariwisata Kabupaten Ciamis, 2007 



  Daya Tarik Wisata Kota Banjar  ƒ



WISATA KRIA  a. Miniatur Alat Musik  Kota  Banjar  memiliki  komoditi  unggulan  berupa  kerajinan  tangan  dari  kayu  yaitu  miniatur  alat  musik.  Kerajinan  ini  berpusat  di  Kecamatan  Pataruman,  Neglasari  dan  Purwaharja.  Kerajinan  miniatur  alat  musik  saat  ini  terdiri  dari  4  unit  usaha  dengan  kapasitas  total  rata‐rata  per‐tahun  sebesar  1.200  set  produk  miniatur  alat  musik.  Pasar  dari  usaha  kerajinan  miniatur  alat  musik  ini  masih  terbatas  pada  pasar  lokal,  terutama  kota  atau  kabupaten  di  sekitar  Kota  Banjar,  seperti  Tasikmalaya,  Garut,  Ciamis  dan  Bandung.   



b. Sangkar Burung  Produk kria lainnya yang diproduksi oleh Kota Banjar adalah kerajinan sangkar burung.  Kerajinan sangkar burung ini terbuat dari kayu. Sama halnya dengan kerajinan miniatur  alat  musik,  kerajinan  sangkar  burung  ini  berpusat  di  Kecamatan  Pataruman,  Neglasari  dan  Purwaharja.  Kerajinan  sangkar  burung  pada  saat  ini  terdiri  dari  1  unit  usaha,  dengan total kapasitas rata‐rata per‐tahun sebanyak 96 buah sangkar burung. Pasar dari  usaha  kerajinan  sarang  burung  adalah  pasar  lokal  wilayah  Jawa  Barat,  khususnya  wilayah kabupaten dan kota di sekitar Kota Banjar.   



ƒ



WISATA KULINER  a. Sale Pisang  Sale  pisang,  merupakan  jenis  makanan  ringan  umum  yang  terbuat  dari  bahan  dasar  pisang. Hampir setiap daerah memiliki makanan khas berupa sale pisang ini, tetapi sale  pisang  produksi  Kota  Banjar  memiliki  citarasa  yang  khas  dan  berbeda  dengan  sale  pisang yang ada di tempat lain. Produksi sale pisang ini banyak terdapat di Kecamatan  Pataruman dan Langen. Saat ini, produksi industri makanan ringan sale pisang yang ada 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 50



Laporan Akhir



di Kota Banjar berjumlah sekitar 20 unit usaha yang setiap tahunnya menghasilkan total  produksi kurang lebih sekitar 440 ton sale pisang. Hasil dari industri ini didistribusikan  ke  wilayah  Tasikmalaya,  Garut,  Banjar  dan  Ciamis  untuk  kemudian  dijual  di  sentra  makanan tradisional atau toko oleh‐oleh.    b. Keripik Pisang dan Singkong  Banyaknya  sumber  daya  berupa  bahan  baku  buah  pisang  dan  singkong  menjadi  suatu  peluang bernilai ekonomi bagi masyakarat Kota Banjar. Dengan kreativitas dan keuletan  warga  Kecamatan  Pataruman,  buah  pisang  dan  singkong  diubah  menjadi  makanan  olahan  khas  Banjar  yaitu  keripik  pisang  dan  singkong.  Pada  saat  ini  industri  makanan  ringan  olahan  berupa  keripik  pisang  dan  singkong  berjumlah  sekitar  15  unit  usaha,  dengan  total  produksi  yang  dihasilkan  per‐tahunnya  sebanyak  kurang  lebih  53,2  ton.  Keripik  pisang  dan  singkong  ini  umumnya  dipasarkan    ke  wilayah  Tasikmalaya,  Bandung, Ciamis, Banjar dan Garut untuk dijual di sentra makanan tradisional ataupun  toko oleh‐oleh.    ƒ



WISATA ALAM  a. Situ Mustika  Situ Mustika adalah daya tarik wisata alam yang berupa danau dan berlokasi di Dusun  Katapang, Desa Purwaharja, Kecamatan Purwaharja. Kawasan Situ Mustika ini memiliki  luas area 2,5 Ha yang merupakan milik PT. Perhutani. Lokasi ini memiliki jarak sekitar 1  Km  dari  pusat  Kota  Banjar.  Situ  Mustika  merupakan  situ  atau  danau  buatan  yang  awalnya berfungsi sebagai penampungan air pada kawasan hutan jati.   Aktivitas  pariwisata  yang  dapat  dilakukan  oleh  wisatawan  antara  lain  adalah  memancing,  berperahu,  berekreasi,  bersepeda  air,  serta  berkemah.  Biasanya  lokasi  ini  dipadati  pengunjung  pada  akhir  pekan  atau  hari  libur.  Untuk  masuk  ke  objek  ini  wisatawan  yang  datang  ditarik  retribusi  sebesar  Rp.  2.500/orang.  Hingga  saat  ini  wisatawan  yang  datang  seluruhnya  merupakan  wisatawan  nusantara  (wisnus).  Berdasarkan  data  tahun  2005,  jumlah  wisnus  yang  datang  ke  Situ  Mustika  sebanyak  1.575  orang,  sedangkan  pada  tahun  2006,  wisnus  yang  datang  sebanyak  1.560  orang.   Sarana dan prasarana yang ada di kawasan ini mencakup pintu gerbang yang berfungsi  sebagai loket karcis, tempat parkir dan fasilitas toilet yang kurang terawat.   



ƒ



WISATA BUDAYA  a. Situs Pulo Majeti  Situs  Pulo  Majeti  berlokasi  di  Dusun  Siluman  Baru,  Desa  Purwaharja,  Kecamatan  Purwaharja. Lokasi ini berjarak sekitar 4 Km dari pusat Kota Banjar. Kawasan Situs Pulo  Majeti  memiliki  luas  lahan  sekitar  2  Ha  dengan  status  kepemilikan  oleh  masyarakat.  Wisatawan  yang  banyak  datang  ke  situs  ini  seluruhnya  adalah  wisatawan  nusantara  (wisnus).  Berdasarkan  data  tahun  2005,  jumlah  wisnus  yang  berkunjung  ke  Situs  Pulo  Majeti berjumlah 117 orang. 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 51



Laporan Akhir



  b. Situs Kokoplak  Situs  Kokoplak  terletak  di  Dusun  Pananjung,  Desa  Mulyasari,  Kecamatan  Pataruman  atau sekitar 2 Km dari pusat Kota Banjar. Kawasan ini memiliki luas kurang lebih 1 Ha  yang  statusnya  masih  merupakan  tanah  milik  masyarakat.  Wisatawan  yang  banyak  datang  ke situs ini seluruhnya  adalah  wisatawan  nusantara (wisnus). Berdasarkan data  tahun  2005  dari  Dinas  Perhubungan  dan  Pariwisata  Kota  Banjar,  jumlah  wisnus  yang  berkunjung ke Situs Kokoplak ini berjumlah 265 orang.    c. Wisata Seni Budaya Calang/Reog Tumaritis Batulawang  Wisata  seni  budaya  Calang  atau  lebih  dikenal  dengan  sebutan  Reog  Tumaritis  Batulawang ini merupakan pertunjukan kesenian khas Kota Banjar. Kesenian ini banyak  diminati  oleh masyarakat Banjar dan biasanya ditampilkan pada event‐event  atau acara  tertentu.     Permasalahan dan Isu‐Isu Strategis Pengembangan Kepariwisataan di Kota Banjar  Terkait  dengan  pengembangan  objek  wisat  alam  dan  budaya  di  Kota  Banjar  terdapat  beberapa permasalahan dan isu strategis, yang mencakup:  ‐ Permasalahan  ƒ



Objek  dan  daya  tarik  wisata  yang  ada  belum  dimanfaatkan  secara  optimal  untuk  menunjang pengembangan wisata kria dan budaya Priangan, padahal banyak daya tarik  yang potensial. 



ƒ



Sarana  dan  prasarana  di  objek  dan  daya  tarik  wisata  masih  kurang.  Fasilitas  yang  sekarang tersedia pun banyak yang kurang terawat dengan baik. 



  ‐ Isu Strategis  ƒ



Pariwisata belum menjadi sektor andalan bagi Kota Banjar. 



ƒ



Potensi  sektor  pendukung  (misalnya:  sektor  pertanian)  belum  dimanfaatkan  secara  optimal untuk menunjang pariwisata Kota Banjar. 



  3.1.5   Potensi Wisata Gunung Api  Wilayah  Priangan  yang  meliputi  gunung‐gunung  utama  di  Jawa  Barat  memang  terkenal  dengan puncak kerucut gunung apinya. Wilayah Priangan yang meliputi Kabupaten Garut,  Kabupaten  Tasikmalaya,  Kabupaten  Ciamis,  Kota  Tasikmalaya  dan  Kota  Banjar,  dikelilingi  oleh gunung‐gunung api, baik yang aktif, istirahat, maupun yang sudah tidak aktif.   Tabel  3.12  berikut  ini  menunjukkan  beberapa  gunung  api  dan  kemungkinan  daya  tarik  wisata yang dapat dikembangkan.  Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 52



Laporan Akhir



Tabel 3.12  Gunung Api di Wilayah Priangan dan Kemungkinan Daya Tarik Wisata yang Dapat  Dikembangkan  No.  Nama Gunung Api  Daerah  1  Guntur  Kab. Garut 







Papandayan 



Kab. Garut 







Cikuray 



Kab. Garut 







Kamojang  Darajat 







Situ Cangkuang 



Kab. Garut 







Galunggung 



Kab. Tasikmalaya 







Situ Gede 



Kota Tasikmalaya 







Sawal 



Kabupaten Ciamis 



dan  Kab. Garut 



Daya Tarik Wisata  Mata  air  panas  di  kaki  Gunung  Guntur  (Cipanas),  hiking  ke  puncak/kawah  7  jam  perjalanan  melewati  beberapa  fenomena  seperti  air  terjun,  aliran  lava,  dan  aktivitas  kawah.  Perlu  dirancang  pencapaian  di  puncak  ketika  matahari  terbit  Hiking  ke  berbagai  kawah  yang  muncul  setelah  letusan  tahun  2002;  pengamatan  aktivitas  kawah  utama  maupun  kawah‐ kawah  penghasil  belerang.  Camping  di  beberapa  puncak  yang  agak  jauh  dari  kawah  aktif  seperti  di  Tegal  Alun‐alun.  Penjelajahan  hingga  menembus  ke  arah  perkebunan  teh  Sedep  dan  Malabar  di  Kabupaten Bandung.  Catatan:  gunung  api  aktif.  Sewaktu‐ waktu  ditutup.  Perlu  pengetahuan  tentang perilaku gunung api  Hiking  ke  puncak  untuk  mendapatkan  suasana  matahari  terbit.  Memandang  laut selatan dari puncak  Aktivitas panas bumi (pembangkit listrik  tenaga  geotermal  /  PLTG).  Beberapa  tempat  bisa  dikembangkan  spa  (berendam dalam mata air panas/hangat)  Danau  sisa‐sisa  dari  hasil  letusan  G.  Guntur purba.  Pengamatan  kawah  baru  setelah  letusan  tahun  1982  dengan  mendaki  620  anak  tangga. Penjelajahan beberapa puncak di  sekitar  kawah,  dan  fenomena  di  kaki  gunung  api  seperti  Perbukitan  Sepuluh  Ribu atau mata air panas  Seperti  juga  Situ  Cangkuang  di  Garut,  Situ  Gede  adalah  danau  yang  terbentuk  setelah  letusan  purbakala  dari  Gunung  Galunggung,  bersamaan  dengan  terbentuknya Perbukitan Sepuluh Ribu.   Perlu disurvei kemungkinan jalur hiking  ke  puncak  Gunung  Sawal,  gunung  api  yang sudah tidak aktif lagi. 



  Sesuai  dengan  tema  KWU  Priangan  yaitu  kria  dan  budaya,  pengembangan  wisata  gunung  api  dapat  dikaitkan  dengan  tema  utama,  karena  produk  budaya  masyarakat  gunung  api  tentunya  akan  menghasilkan  sutau  budaya  yang  khas.  Sebagai  contoh,  selain  volcano‐ Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 53



Laporan Akhir



trekking  ke  puncak‐puncak  gunung  api,  juga  dapat  dirancang  penjelajahan  situs‐situs  purbakala yang berada di kaki atau lereng tengah gunung api. Mengapa situs ada di tempat  itu,  dari  bahan  batu  apa  situs  dibangun,  adakah  kaitannya  dengan  letusan  gunung  api  di  masa  lalu,  hingga  aktivitas  upacara  adat  yang  mungkin  terkait  dengan  gunung  api,  bisa  dikembangkan.  Rekomendasi  terbaik  untuk  wisata  gunung  api  ketika  aksesibitas  dan  fasilitas  pendukung  belum  layak  mendekati  objek  kawah,  adalah  dengan  mengembangkan  wisata  gunung  api  aktif.  Contohnya  adalah  volcano‐trekking  dengan  pemandu  handal  dalam  beberapa  grup  kecil, jika dikemas dengan baik, akan menghasilkan suatu daya tarik wisata yang potensial.   



3.2    Fasilitas Pendukung Kepariwisataan   3.2.1  Akomodasi  Sebagai  pendukung  kegiatan  berwisata,  sarana  akomodasi  memegang  peranan  penting,  khususnya  untuk  wisatawan  yang  datang  dari  luar  daerah.  Selain  menunjang  kegiatan  pariwisata itu, keberadaan sarana akomodasi juga akan berpengaruh bagi pendapatan sektor  pariwisata khususnya, dan pendapatan daerah pada umumnya. Jumlah hotel berbintang di  masing‐masing  kabupaten/kota  yang  termasuk  dalam  KWU  Kria  dan  Budaya  Priangan  sebanyak 8 hotel, 331 jumlah kamar dan 542 tempat tidur. Jumlah hotel di Kabupaten Garut  sebanyak  5  buah,  dengan  176  jumlah  kamar  dan  360  jumlah  tempat  tidur,  Kabupaten  Tasikmalaya  tidak  memiliki  hotel  berbintang,  Kabupaten  Ciamis  memiliki  1  buah  hotel  berbintang  dengan  jumlah  kamar  sebanyak  69 dan  jumlah  tempat  tidur  sebanyak  59  buah,  Kota  Tasikmalaya  memiliki  2  hotel  berbintang  dengan  jumlah  kamar  86  buah  dan  jumlah  tempat tidur 123 buah, sedangkan Kota Banjar tidak memiliki hotel berbintang. Untuk data  selengkapnnya tercantum dalam tabel 3.13, 3.14 dan 3.15 berikut ini.     Tabel 3.13  Jumlah Hotel Berbintang   di Kabupaten/Kota yang Wilayahnya Termasuk dalam KWU Kria & Budaya Priangan Tahun 2006  Jumlah Hotel  Bintang  Kab. Garut  5  Kab. Tasikmalaya  0  Kab. Ciamis  1  Kota Tasikmalaya  2  Kota Banjar  0  Jumlah  8        Sumber :Hasil Kompilasi Data,  2007  Nama Kota/Kab 



Jumlah  Kamar  176  0  69  86  0  331 



Jumlah   Tempat Tidur  360  0  59  123  0  542 



 



Penyusunan Action Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan



III   ‐ 54



Laporan Akhir



Tabel 3.14  Jumlah Akomodasi Lainnya   di Kabupaten/Kota yang Wilyahnya termasuk dalam KWU Kria  & Budaya Priangan Tahun 2005  Nama Kota/Kab 



Akomodasi (Menurut Jumlah Kamar)