Laporan Analisis Parasetamol Dalam Cairan Hayati Kelompok 1A [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA “Analisis Parasetamol dalam Cairan Hayati” Dosen Pengampu : Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt Yardi, Ph., Apt. Marvel. M.Farm., Apt Suci Ahda Novitri, M.Farm., Apt



Disusun Oleh : Kelompok 1 A Daris Ardiansyah



(11151020000003)



Rani Stamrotul Fuadah



(11151020000007)



Syifa Mufidah



(11151020000012)



Dhimas Aditya P



(11151020000023)



Ronanda Rumaisha



(11151020000027)



PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA SEPTEMBER 2018



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI............................................................................................................2 BAB I.......................................................................................................................3 PENDAHULUAN...................................................................................................3 A. Latar belakang...............................................................................................3 B. Rumusan masalah.........................................................................................4 C. Tujuan praktikum..........................................................................................4 D. Manfaat praktikum........................................................................................4 BAB II......................................................................................................................5 LANDASAN TEORI...............................................................................................5 BAB III..................................................................................................................14 METODOLOGI PRAKTIKUM............................................................................14 A. Alat dan bahan............................................................................................14 B. Prosedur Kerja................................................................................................14 BAB IV..................................................................................................................19 HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................................19 A. HASIL.........................................................................................................19 B. PEMBAHASAN.........................................................................................22 BAB V....................................................................................................................28 PENUTUP..............................................................................................................28 A. Kesimpulan.................................................................................................28 B. Saran...........................................................................................................28 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................29



2



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar belakang Konsentrasi obat adalah salah satu parameter yang penting dalam penentuan farmakokinetika individual atau populasi, konsentrasi obat diukur dari sampel biologis, seperti air susu ibu, saliva, saliva serta urine. Untuk mengukur konsentrasi obat dari sampel biologis diperlukan suatu metode analisis yang sensitif, akurat dan availibilitas yang tepat untuk pengukuran konsentrasi obat dalam matriks biologis (Shargel & Yu, 2016). Salah



satu



pendekatan



secara



langsung



untuk



menetapkan



farmakokinatika obat dalam tubuh adalah dengan mengukur konsentrasi (kadar) obat dalam darah, serum, atau plasma. Secara kesuluruhan, darah mengandung unsur-unsur seluler meliputi sel darah merah, sel darah putih, platelet, dan berbagai protein, seperti albumin, dan globulin. Umumnya, serum serta plasma adalah yang sering digunakan untuk mengukur kadar obat dalam tubuh (Shargel & Yu, 2016). Agar nilai-nilai parameter kinetika dapat dipertanggungjawabkan validitasnya, maka perlu dilakukan penetapan parameter validasi dari metode analisis yang digunakan untuk mengukur kadar obat dalam matriks biologis. Beberapa parameter validasi yang perlu ditetapkan antara lain terkait akurasi (persentase recovery dan kesalahan sistemik/persen differensiasi) dan terkait presisi (kesalahan acak/RSD). Oleh karena itu, pada praktikum ini dilakukan analisis paracetamol dalam plasma darah dengan menggunakan metode spektrofotometer UV-Vis. Dari uji tersebut akan ditetapkan beberapa parameter validasi metode analisis. Sehingga dapat diketahui validitas dari metode analisis tersebut.



3



B. Rumusan masalah 1. Berapakah nilai persentasi recovery, kesalahan sistemik, serta kesalahan acak



dari



analisis



paracetamol



dalam



plasma



darah



dengan



Spektrofotometer UV-Vis? 2. Apakah spektrofotometer UV-Vis memiliki akurasi serta presisi yang baik untuk mengukur kadar obat dalam plasma darah? C. Tujuan praktikum 1. Untuk memahami langkah analisis obat dalam cairan hayati 2. Untuk menetapkan paremeter validasi dari metode yang digunakan untuk menganalisis kadar obat dalam plasma darah. D. Manfaat praktikum 1. Dapat memahami langkah analisis obat dalam cairan hayati 2. Dapat menetapkan paremeter validasi dari metode yang digunakan untuk menganalisis kadar obat dalam plasma darah.



4



BAB II LANDASAN TEORI Untuk memberikan efek biologis, obat dalam bentuk aktifnya harus berinteraksi dengan reseptor atau tempat aksi atau sel target dengan kadar yang cukup tinggi. Sebelum mencapai reseptor, obat terlebih dahulu harus melalui proses farmakokinetik. Fasa farmakokinetik meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses absorpsi molekul obat yang menghasilkan ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa aktif dalam cairan darah yang akan didistribusikan ke jaringan atau organ tubuh. Fasa III adalah fasa yang melibatkan



proses distribusi,



metabolisme dan ekskresi obat, yang menentukan kadar senyawa aktif pada kompartemen tempat reseptor berada. Faktor-faktor penentu dalam proses farmakokinetik antara lain:



1. Sistem kompartemen dalam cairan tubuh, seperti cairan intrasel, ekstrasel (plasma darah, cairan interstitial, cairan cerebrospinal) dan berbagai fasa lipofil dalam tubuh.



2. Protein plasma, protein jaringan, dan berbagai senyawa biologis yang mungkin dapat mengikat obat.



3. Distribusi obat dalam berbagai sistem kompartemen biologis, terutama hubungan waktu dan kadar obat dalam berbagai sistem tersebut, yang sangat menentukan kinetika obat.



4. Dosis sediaan obat, transport antar kompartemen seperti proses absorpsi,bioaktivasi, biodegradasi, dan ekskresi yang menentukan lama obat dalam tubuh (Siswandono, 1998). Konsentrasi obat adalah elemen penting untuk menentukan farmakokinetika suatu individu maupun populasi. Konsentrasi obat diukur dalam sampel biologis seperti air susu, saliva, plasma dan urin. Sensitivitas, akurasi, dan presisi dari metode analisis harus ada untuk pengukuran secara langsung obat dalam matriks biologis. Untuk itu,



5



metode penetapan kadar secara umum perlu divalidasi sehingga informasi yang akurat didapatkan untuk monitoring farmakokinetik dan klinik. Pengukuran konsentrasi obat di darah, serum, atau plasma adalah pendekatan



secara



langsung



yang



paling



baik



untuk



menilai



farmakokinetik obat di tubuh. Darah mengandung elemen seluler mencakup sel darah merah, sel darah putih, keping darah, dan protein seperti



albumin dan globulin. Pada umumnya serum atau plasma



digunakan untuk pengukuran obat. Untuk mendapatkan serum, darah dibekukan dan serum diambil dari supernatan setelah disentrifugasi. Plasma diperoleh dari supernatan darah yang disentrifugasi dengan ditambahkan antikoagulan seperti heparin. Oleh karena itu, serum dan plasma tidak sama. Plasma mengalir keseluruh jaringan tubuh termasuk semua elemen seluler dari darah. Dengan berasumsi bahwa obat di plasma dalam kesetimbangan equilibrium dengan jaringan, perubahan konsentrasi obat akan merefleksikan perubahan konsentrasi perubahan konsentrasi obat di jaringan (Shargel, 1988). Adapun kandungan protein dalam sampel biologis yang akan dianalisa menyebabkan dibutuhkannya suatu tahap perlakuan awal dan/atau penyiapan sampel sebelum penentuan kadar obat dapat dilakukan. Hal ini untuk mengisolasi atau memisahkan obat yang akan diteliti dari matriks sampel yang diperoleh. Protein, lemak, garam dan senyawa endogen dalam sampel akan mengganggu penentuan kadar obat yang bersangkutan dan selain itu dalam hal analisa menggunakan metode seperti HPLC, adanya zat-zat tersebut dapat merusak kolom HPLC sehingga usia kolom menjadi lebih singkat. Berbagai prosedur untuk mendenaturasi protein dapat digunakan sebagai



perlakuan awal sampel biologis yang



diperoleh dari



suatu



penelitian farmakokinetik, meliputi penggunaan senyawa yang disebut sebagai zat pengendap protein (protein precipitating agent) seperti asam tungstat, amonium sulfat, asam trikoroasetat (tricloro acetic acid, TCA) asam perklorat, methanol dan asetonitril. Pengendapan protein dilakukan dengan denaturasi protein. 6



Denaturasi



dapat



dilakukan



akibat



adanya perubahan



kimia.



Cara



denaturasi



pH, temperatur, dan penambahan senyawa protein



yang



umum



digunakan



adalah



dengan penambahan precipitating agent. Protein dapat diendapkan karena memiliki berbagai sifat diantaranya bersifat sebagai amfoter, yakni memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1 molekul, atau yang dikenal juga sebagai zwitter ion. Sifat ini membuat potein memiliki muatan yang berbeda pada pH yang berbeda pula. Akibatnya protein dapat larut pada rentang pH tertentu dimana protein bermuatan. Suatu saat di pH tertentu, protein akan mencapai titik isoelektrik yakni pH dimana jumlah total muatan protein sama dengan nol (muatan positif sebanding dengan muatan negatif). Hal ini akan mempengaruhi kelarutan protein. Pada titik isoelektrik, kelarutan protein



sangat



rendah,



sehingga



potein



dapat mengendap (Poedjiadi, 1994). Hasil analisis dalam farmakokinetika dinyatakan dalam parameter farmakokinetika. Parameter farmakokinetika didefinisikan sebagai besaran yang diturunkan secara matematis dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di



dalam cairan hayati. Parameter farmakokinetika



obat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan metabolitnya. Terdapat tiga jenis parameter farmakokinetik, yaitu:



1. Parameter pokok 



Tetapan kecepatan absorbsi (Ka) Menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu masuknya obat ke dalam sirkulasi sistemik dari tempat absorbsinya (saluran cerna pada



pemberian



oral,



jaringan



otot



pada



pemberian



intramuskular). •



Cl (Klirens) Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas (volume distribusi) dimana obat terlarut di dalamnya (Shargel, 1988). Klirens merupakan fartor yang



7



memprediksi laju eliminasi yang berhubungan dengan konsentrasi obat. •



Volume distribusi (Vd) Volume distribusi adalah volume yang didapatkan pada saat obat didistribusikan. Menghubungkan jumah obat dalam tubuh dengan konsentrasi obat (C) dalam darah atau plasma.



2.



Parameter Sekunder •



Waktu paruh eliminasi (t1/2) Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat di dalam tubuh menjadi setengah atau separuh selama eliminasi (atau selama infus yang konstan) (Katzung, 1997).







Tetapan kecepatan eliminasi (K el) Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yang akan tereliminasi dalam satu satuan waktu. Tetapan kecepatan eliminasi menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapai keseimbangan (Neal, 2006).



3.



Parameter Turunan •



Waktu mencapai kadar puncak (tmaks) Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah emberian obat. Pada fase ini, absorpsi ibat adalah terbesar dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah fase ini tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat. Harga t maks menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorbs obat menjadi lebih cepat.







Kadar puncak (Cpmaks) 8



Parameter ini menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma (Shargel, 1998). •



Luas daerah di bawah kurva (AUC) AUC adalah permukaan di bawah kurva yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waku. AUC dapat dihitung



secara



bioavaibilitas



matematis



suatu



membandingkan



obat.



kadar



dan AUC



merupakan dapat



masing-masing



ukuran



untuk



digunakan



untuk



plasma



obat



bila



penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu, antara kadar plasma puncak dan bioavaibilitas terdapat hubungan langsung (Waldon, 2008). Cuplikan darah sangat relevan, karena semua proses obat dalam tubuh melibatkan darah sebagai media, suatu alat ukur dari organ satu ke organ lain seperti absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Oleh karena itu, agar nilai-nilai parameter obat dapat dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi kriteria, yaitu:



1. Selektif atau spesifik Selektifitas metode adalah kemampuan suatu metode untuk membedakan suatu obat dari metabolitnya, obat lain, dan kandungan endogen cuplikan hayati. Selektifitas metode menempati prioritas utama karena bentuk obat yang akan ditetapkan dalam cuplikan hayati adalah dalam bentuk



tak berubah atau metabolitnya. Pemilihan metode yang



memiliki selektifitas tinggi perlu mendapatkan perhatian khusus karena hal ini berkaitan erat dengan rumus matematik yang diterapkan dalam menghitung



parameter



farmakokinetik.



Rumus



matematik



yang



diturunkan berdasarkan data pengukuran kadar obat tak berubah dalam cuplikan hayati tertentu, berbeda dengan yang diturunkan dari data kadar metabolitnya (Smith, 1981).



9



2. Sensitif atau peka Sensitivitas metode analisis yang digunakan berkaitan dengan kadar terendah yang dapat diukur oleh metode analisis yang digunakan. Dalam penelitian farmakokinetika, pemilihan metode analisis juga tergantung pada tingkat sensitivitas yang dimiliki oleh metode tersebut. Hal ini dapat dipahami mengingat dalam menghitung parameter farmakokinetika suatu obat, diperlukan sederetan data kadar obat dari waktu ke waktu, atau data dari kadar tertinggi sampai kadar terendah dalam cuplikan hayati yang digunakan. Misalnya kita akan kita memerlukan data kadar



obat



menghitung harga AUC, maka dari



waktu



nol



sampai tak



terhingga. Karena itu, metode analisis yang dipilih harus dapat meliput kadar obat tertinggi sampai terendah yang ada di dalam badan.



3. Ketelitian (accuracy) dan ketepatan ( precision) Ketelitian (accuracy) ditunjukan oleh kemampuan suatu metode untuk memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan true value (nilai sesungguhnya). Ketelitian suatu metode dapat dilihat dari perbedaan



antara



harga penetapan kadar rata-rata dengan



harga



sebenarnya atau konsentrasi yang diketahui. Jika tidak ada data nilai sebenarnya atau nilai yang dianggap benar tersebut maka mungkin untuk menentukan



tidak



berapa akurasi pengukuran tersebut.



Metode yang baik memberikan hasil recovery (perolehan kembali) yang tinggi yaitu 75-90% atau lebih dan kesalahan sistematik kurang dari 10%. Perolehan kembali merupakan tolok ukur efisiensi analisis, sedangkan



kesalahan



sistematik



merupakan



tolak



ukur



inakurasi



penetapan kadar. Kesalahan ini dapat berupa kesalahan konstan atau proporsional. Ketelitian berkaian dengan purata. Bila suatu hasil itu teliti



10



(accurate) berarti purata sama dengan harga sebenarnya, walaupun penyebarannya lebar (luas). Dalam hubungan ini, adalah lebih baik hasil yang kurang teliti tapi tepat daripada teliti namun kurang tepat. Ketepatan menggambarkan hasil yang berulang-ulang tidak mengalami perbedaan hasil (reprodusibilitas data). Dengan kata lain, ketepatan menunjukkan kedekatan hasil- hasil pengukuran berulang. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh melalui pengukuran ulang (replikasi) dari berbagai konsentrasi obat dan melalui pengukuran ulang kurva konsentrasi standar yang disiapkan secara terpisah pada hari yang sama. Ketepatan berhubungan dengan penyebaran harga terhadapa purata kecil meskipun karena kesalahan sistematik, purata berbeda agak besar dengan harga sebenarmya. Kemudian dilakukan perhitungan statistic yang sesuai dengan penyebaran data, seperti standar deviasi atau koefisien variasi.



Kesalahan acak merupakan tolok ukur inprecision suatu analisis, dan dapat bersifat positif atau negatif. Kesalahan acak identik dengan variabilitas pengukuran dan dicerminkan oleh tetapan variasi. Metode yang baik memiliki nilai kesalahan kurang dari dari 10%.



4. Cepat Kecepatan berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang harus dianalisis dalam suatu macam penelitian farmakokinetika



5. Efisien Metode



tidak



terlalu



panjang



karena



dikhawatirkan



akan



menimbulkan suatu kesalahan sistematik. Dalam penetapan kadar obat dalam darah (cairan tubuh), metode yang digunakan harus tepat, dan dalam pengerjaannya diperlukan suatu 11



ketelitian yang cukup tinggi agar diperoleh hasil yang akurat, sehingga nantinya dapat menghindari kesalahan yang fatal. Dalam analisis ini, kesalahan hasil tidak boleh lebih dari 10% (tergantung pula alat apa yang digunakan dalam analisis) (Ritschel, 1976). Cepat, simpel, dan sensitif telah membuat spektrofotometer UVVIS menjadi suatu metode analisis farmasetika yang sangat popular untuk pengukuran secara kuantitatif obat dan metabolit dalam sampel biologi.



Salah



satu



alasan



penting



atas



kepopulerannya



karena



sensitivitas dari metode ini, yaitu 1-10 µg/ml. Identifikasi kualitatif dari obat atau metabolit menggunakan spektrofotometri UV-VIS berdasarkan pada panjang gelombang maksimum yang diabsorpsi. Pada absorpsi yang maksimum, sensitivitas optimum akan didapat. Karena perubahan absorbansi



minimal



untuk



sedikit



perubahan panjang



gelombang,



error diminimalkan. Hasilnya, akurasi dan presisi yang baik didapatkan (Smith,1981). Salah satu metode pengukuran kadar obat dalam analisis cairan hayati adalah metode Bratton-Marshall. Metode ini didasarkan pada prinsip kolorimetri, yaitu terbentuknya senyawa-senyawa berwarna yang intensitasnya dapat ditentukan secara spektrofotometri visibel dengan 3 tahap, yaitu pembentukan senyawa diazo, penghilangan sisa asam nitrit dengan penambahan asam sulfamat, dan pengkoplingan garam diazoniumNED. Parasetamol atau asetaminofen adalah senyawa turunan para-aminofenol yang memiliki rumus bangun seperti di bawah ini:



Parasetamol berupa serbuk hablur atau serbuk putih yang tidak berbau dengan rasa agak pahit. Kelarutan parasetamol yakni larut dalam air mendidih dan dalam



12



NaOH 1 N, serta mudah larut dalam etanol. Parasetamol merupakan obat asam lemah dengan pKa 9,5 (Katzung, 1997). Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretiknya ditimbulkan oleh gugus aminobenzene. Efek analgesik parasetamol serupa dengan asam salisilat, yaitu menghilangkan nyeri ringan sampai sedang dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentralnya. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat pada protein plasma. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik (Wilmana, 1995).



13



BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM



A. Alat dan bahan No. Alat 1. Tube sentrifugasi 2. Mikropipet 3. Tabung reaksi 4. Vortex 5. Centrifuge 6. Spektrofotometer UV-Vis



Bahan Darah Aquadest TCA (trikloro asetat) Paracetamol



B. Prosedur Kerja 1. Pembuatan plasma bebas protein. No. 1.



Darah



Prosedur diambil masing-



Gambar



masing 1,5 ml ke dalam beberapa tube sentrifuge



2.



Darah



dalam



disentrifugasi menit



dengan



tube



selama



7



kecepatan



5000 rpm



14



3.



Supernatan yang terbentuk lalu



diambil



dan



dimasukkan ke dalam tube sentrifuge yang baru



4.



Ditambahkan sejumlah TCA sesuai volume



dengan plasma



jumlah yang



diambil.



5.



Lalu dihomogenkan dengan vortex selama 15 detik dan disentrigusi kembali selama 2 menit dengan kecepatan 5000 rpm dalam suhu 25℃.



15



6.



Terbentuklah plasma bebas protein



2. Prosedur penetapan kadar (Bratton-Marshall). Sediakan 2 larutan paracetamol dalam aquadest dengan konsentrasi 1000 ppm (A) dan 2000 ppm (B) masing-masing dibuat sebanyak 5 ml. No. 1.



Dibuat



Prosedur satu seri



Gambar larutan



paracetamol dalam plasma bebas protein (1 ml) dengan kadar 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, dan 400 ppm menggunakan



larutan



A;



kadar 600 ppm dan 800 ppm 2.



menggunakan larutan B Tiap kadar diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 3,9 ml air.



16



3.



Tambahkan larutan TCA 1 ml (20%), diamkan selama 10 menit,



dan



disentrifugasi



dengan kecepatan 3000 rpm.



3. Penetapan panjang gelombang serapan maksimum (λ max) dari larutan paracetamol



Panjang gelombang serapan maksimum (λ max) dari Paracetamol adalah 242,5 nm 4. Membuat kurva kalibrasi paracetamol No. 1.



Prosedur Diukur serapan semua larutan paracetamol pada λ max dan dibuat kurva



2.



anatara serapan lawan kadar masing-masing Dibuat persamaan garis menggunakan persamaan kuadrat terkecil y= ax + b dan dihitung nilai R dari plot tersebut.



17



5. Menentukan perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistemik. No. 1.



Prosedur. Disediakan larutan paracetamol dalam darah 100 ppm dan 200 ppm;



2.



tiap kadar dibuat 2 replikasi Masing-masing diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi



3.



berisi 3,9 ml aquadest. Berdasarkan persamaan garis, ditentukan kadar masing-masing dan dihitung kadar rata-rata simpangan baku.



18



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN



A. HASIL 1. Pembuatan kurva kalibrasi parasetamol Konsentrasi (ppm)



Absorbansi



4 6 8 10 12



0.26 0.376 0.501 0.622 0.775



2. Data absorbansi dari seri pengenceran larutan induk 1000 ppm dan 2000 ppm Konsentrasi Larutan Induk (ppm) 1000 2000



Konsentrasi (ppm)



Konsentrasi yang Terbaca (ppm)



Absorbansi



100 200 300 400 600 800



10 20 30 40 50 60



0.369 1.422 1.741 1.751 0.544 0.567



19



3. Perhitungan kadar diketahui a. Larutan induk = 1000 ppm → 10x pengenceran → 1000 ppm/10 = 100 ppm → diencerkan kembali dengan cara diambil 0,1 ml add 4 ml → 40x pengenceran → 100 ppm/40 = 2,5 ppm. Jadi perkiraan konsentrasi patasetamol adalah 2,5 ppm. b. Larutan induk = 1000 ppm → 5x pengenceran → 1000 ppm/5 = 200 ppm → diencerkan kembali dengan cara diambil 0,1 ml add 4 ml → 40x pengenceran → 200 ppm/40 = 5 ppm. Jadi perkiraan konsentrasi patasetamol adalah 5 ppm. c. Larutan induk = 1000 ppm → 3,3x pengenceran → 1000 ppm/3,3 = 300 ppm → diencerkan kembali dengan cara diambil 0,1 ml add 4 ml → 40x pengenceran → 300 ppm/40 = 7,5 ppm. Jadi perkiraan konsentrasi patasetamol adalah 7,5 ppm. d. Larutan induk = 1000 ppm → 2,5x pengenceran → 1000 ppm/2,5 = 400 ppm → diencerkan kembali dengan cara diambil 0,1 ml add 4 ml → 40x pengenceran → 400 ppm/40 = 10 ppm. Jadi perkiraan konsentrasi patasetamol adalah 10 ppm. e. Larutan induk = 2000 ppm → 3,3x pengenceran → 2000 ppm/3,3 = 600 ppm → diencerkan kembali dengan cara diambil 0,1 ml add 4 ml → 40x pengenceran → 600 ppm/40 = 15 ppm. Jadi perkiraan konsentrasi patasetamol adalah 15 ppm. f. Larutan induk = 2000 ppm → 2,5x pengenceran → 2000 ppm/2,5 = 800 ppm → diencerkan kembali dengan cara diambil 0,1 ml add 4 ml → 40x pengenceran → 800 ppm/40 = 20 ppm. Jadi perkiraan konsentrasi patasetamol adalah 20 ppm. 4. Perhitungan perolehan kembali (%recovery) Diperoleh persamaan linier dari kurva kalibrasi y = 0,0638x - 0,0036.



20



Persamaan Linier



y = 0,0638x - 0,0036



Konsentrasi



Absorbansi Seri



Kadar Terukur



Plasma (ppm)



Konentrasi (y)



(x')



100 200 300 400 600 800



0.369 1.422 1.741 1.751 0.544 0.567



5.840125 22.34483 27.34483 27.50157 8.583072 8.943574



Sehingga, jika dimasukkan ke dalam persamaan % recovery, diperoleh nilai % recovery sebagai berikut :



Konsentrasi Plasma



Kadar



(ppm) 100 200 300 400 600 800



Diketahui 2.5 5 7.5 10 15 20



Kadar Terukur 5.8 22.3 27.3 27.5 8.5 8.9



% Recovery (P) 232 446 364 275 56.66666667 44.5



5. Perhitungan Kesalahan Sistematik



Sehingga jika dimasukkan ke dalam rumus kesalahan sistematik, diperoleh kesalahan sistematim sebagai berikut :



Konsentrasi (ppm)



% Recovery (P)



Kesalaahan Sistematik (%)



100 200 300 400 600 800



232 446 364 275 56.67 44.5



-132 -346 -264 -175 43.33 55.5



B. PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini, kami melakukan uji analisis parasetamol dalam cairan hayati. Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk



21



memberikan gambaran mengenai keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi, seperti yang telah diketahui, parameter obat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan atau metabolitnya didalam cairan hayati diantaranya ialah darah (Mansur et al, 2018). Senyawa obat



yang



digunakan dalam pengujian



disini adalah



parasetamol. Panjang gelombang larutan obat yang memberikan resapan maksimum dalam literature diketahui absorbansi



sampel



dapat



segera



243,5 diukur



nm,



sehingga



nilai



pada panjang gelombang



tersebut dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Dalam percobaan ini dilakukan langkah-langkah yang perlu dikerjakan untuk optimalisasi analisis meliputi dibuat suatu seri larutan paracetamol dalam darah yang di vortex, setelah itu dilakukan pengenceran sekaligus ditambahkan TCA. Kemudian di sentrifuge. Diukur serapannya pada spektrofotometer.



Penetapan



panjang



gelombang



larutan



obat



yang



memberikan resapan maksimum (paracetamol). Pembuatan kurva baku (paracetamol). Kemudian konsentrasi terukur sesuai dengan absorbansi dan dihitung pula nilai perolehan kembali, kesalahan sistematika, dan kesalahan acaknya. Dalam percobaan ini pertama-tama kami melakukan pembuatan plasma yang masih berprotein,dengan cara mengambil sampel dara dan mensentrifuge-kannya selama 7 menit dengan kecepatan 5000 rpm sehingga cairan terbagi menjadi supernatant dan bagian yang mengendap. Darah merupakan cairan bilogik yang sangat kompleks mengandung cairan jernih yang berisi protein tersolubilisasi dan gaam yang terlaut serta sel yang tersuspensi. Konstituen utama adalah eritrosit yang dpat dipisahkan melalui sentrifuge. Plasma/ serum merupakan cairan yang mengandung protein dalam jumlah besar, protein mengganggu dalam analisis obat dalam plasma/serum. Perbedaan plasma dengan serum sendiri ialah pada plasma terdapat faktor pembekuan, sedangkan pada serum tidak memiliki faktor pembekuan (Sudjarwo, 1990). Pengambilan plasma pada darah dapat dilakukan dengan sentrifugasi dan diambil cairan supernatannya seperti pada praktikum kali ini.



22



Setelah didapat plasma yang masih berprotein kemudian kami membuat seri konsentrasi Paracetamol dalam plasma berprotein. Kami membuat 6 seri konsentrasi pct (masing masing 1 ml) dari dua induk konsentrasi yaitu, dari larutan 1000 ppm dibuat menjadai konsentrasi 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm. Dan 400 ppm. Sedangankan dari larutan 2000 ppm dibuat 600 dan 800 ppm. Selanjutnya diambil 0,1 ml dari masing masing seri konsentrasi kemudian diencerkan dengan aquadest sebanyak 3,9 ml sehingga dapat dihitung kadar pct saat itu yaitu:



Konsentrasi Plasma (ppm)



Kadar Diketahui



100 200 300 400 600 800



2.5 5 7.5 10 15 20



Setelahnya di tambah TCA 1 ml kedalam masing-masing seri konsentrasi, hal ini dilakukan untuk deproteinisasi. Hal ini penting karena parasetamol yang akan diukur kadarnya harus dalam bentuk bebas maka ikatan protein dengan parasetamol harus diputuskan. Keberadaan protein juga dapat



mengganggu



penentuan



kadar



parasetamol



menggunakan



spektrofotometri. Karena itu protein tidak hanya perlu diputuskan ikatannya dengan parasetamol, tetapi juga harus di hilangkan dari larutan sampel yang akan diukur kadarnya. Tujuan penggunaan TCA adalah untuk menginakifkan protease dengan nilai pH yang rendah (Mechin et al, 2007). Ion H+ dari asam akan memutus ikatan non kovalen (ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan ikatan elektrostatik) yang berfungsi menstabilkan bentuk struktur akan struktur sekunder, tersier dan kuartener protein plasma (Murray, 1995). Akibatnya protein kehilangan aktivitas biologisnya juga ikatannya dengan parasetamol kerusakan ini menyebabkan terlepasnya ikatan protein-parasetamol. Protein kemudian dapat dipisahkan setelah dilakukan proses sentrifugasi (laju 3000 rpm) selama 5 menit.parasetamol bebas akan



23



terdapat pada fase cair yang jernih (supernatan) dan digunakan pada proses selanjutnya sedangkan protein mengendap dibagian bawah. Supernatan tadi di ukur serapannya menggukan spektrofotometri pada panjang gelombang yang telah ditentukan saat membuat kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi dibuat dengan menggunakan rentang konsentrasi 4, 6,8,10,dan 12 ppm. Didapat panjang gelombang maksimum = 242,5 nm Secara teoritis parasetamol dalam larutan asam memiliki panjang gelombang serapan optimum sebesar 245 nm (Wade et al, 1989). Hasil kurva serapan dari deretan konsentrasi tersebut menghasilkan persamaan regresi linier y = 0,00638x - 0,0036 dengan nilai koefisien (r) yaitu



0,9973. Koefisien korelasi ini menunjukkan hasil yang linier ketika satu titik dihilangkan, karena memenuhi kriteria penerimaan yaitu 0,99 ≤ r < 1, sehingga metode ini dapat digunakan untuk analisis parasetamol dalam plasma secara in vitro dengan hasil yang baik. Parameter farmakokinetika obat dapat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan/atau metabolitnya di dalam cairan hayati (darah, urin, saliva atau cairan tubuh lainnya). Oleh karena itu agar nilai-nilai parameter kinetic obat dapat dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi berbagai kriteria yaitu meliputi perolehan kembali. Perolehan kembali (recovery) adalah suatu tolak ukur efisiensi dan dapat bernilai positive dan negative. Metode



penetapan kadar harus



memenuhi berbagai kriteria seperti yang dilakukan pada praktikum kali ini yakni memenuhi persen recovery (perolehan kembali). Persyaratan yang



24



dituntut bagi suatu metode analisa adalah jika metode tersebut dapat memberikan nilai perolehan kembalinya tinggi (75-95% atau lebih). Kesalahan acak dan sistematik kurang dari 10%. Kepekaan dan selektivitas merupakan kriteria lain yang penting dan nilainya tergantung pula pada dari alat pengukur yang dipakai. Pada praktikum kali ini, kami menghitung nilai % perolehan kembali (% recovery) dan kesalahan sistematik. Nilai % perolehan kembali didapat dengan cara memasukkan nilai kadar yang terukur dibagi dengan nilai kadar yang diketahui lalu dikalikan 100%. Nilai kadar yang diketahui diperoleh dari hasil perhitungan dengan pengenceran yang dibuat dari larutan induk 1000 ppm dan 2000 ppm menjadi 100, 200, 300, 400, 600 dan 800 ppm. Sedangkan nilai kadar yang terukur diperoleh dengan memasukkan nilai absorbansi dari seri konsentrasi yang ada ke dalam persamaan yang diperoleh dari kurva kalibrasi. Persamaan yang diperoleh dari kurva kalibrasi yaitu y = 0,0638x – 0,0036. Dengan memasukkan nilai absorbansi dari masing-masing seri konsentrasi diperoleh nilai x yang dinyatakan sebagai nilai kadar terukur pada persamaan % perolehan kembali. Nilai % perolehan kembali yang kami peroleh jika diurutkan dari seri konsnetrasi 100 hingga 800 ppm yaitu 232%, 446%, 364%, 275%, 56,67%, dan 44,5%. Menurut literatur, suatu metode validasi memenuhi syarat apabila nilai % perolehan kembalinya berkisar pada rentang 98-102%(Harmita, 2004). Namun, hasil % perolehan kembali yang kami dapatkan tidak memasuki rentang yang dipersyaratkan, yaitu 98-102%. Terdapat empat data yang nilai perolehan kembalinya diatas rentang dan dua data yang nilai perolehan kembalinya dibawah rentang. Selain menghitung nilai % perolehan kembali, kami juga menghitung nilai kesalahan sistematik. Nilai kesalahan sistematik. Nilai kesalahan sistematik diperoleh dari nilai % perolehan kembali (P), yaitu dengan cara mengurangkan 100% dengan nilai % perolehan kembali (P) yang didapat (kesalahan sistematik = 100% - P%). Mulai dari konsentrasi 100 hingga 800 ppm, nilai kesalahan sistematik yang kami peroleh berturut-turut yaitu -132%, -364%, -264%, -175%, 43,33%, dan 55,5%. Menurut literatur yang kami dapatkan, kesalahan sistematik dalam suatu analisis tidak boleh melebihi 10%



25



(tergantung pula alat apa yang digunakan dalam analisis)(Ritschel, 1976). Namun, jika dibandingkan dengan kesalahan sistematik yang telah kami hitung, kesalahan sistematik dari konsentrasi 600 dan 800 ppm berada diatas 10%, yang mana nilai tersebut tidak memenuhi syarat. Nilai absorbansi yang kami bandingkan tidak hanya dari nilai absorbansi masing-masing konsentrasi plasma, yaitu 100, 200, 300, 400, 600 dan 800 ppm yang nilai absorbansinya berturut turut adalah 0,369 ; 1,422 ; 1,741 ; 1,751 ; 0,544 ; dan 0,567, namun kami juga membandingkannya dengan nilai absorbansi kontrol (blanko). Nilai absorbansi kontrol (blanko) yang kami peroleh sebesar 1,3 , dimana nilai tersebut lebih tinggi dari pada absorbansi pada konsentrasi plasma 100 ppm, 600 ppm dan 800 ppm. Seharusnya, nilai absorbansi kontrol (blanko) lebih kecil dari absorbansi seri konsentrasi, untuk itu perlu dilakukan pengenceran pada larutan kontrol (blanko). Selain itu, nilai absorbansi dari seri konsnetrasi yang kami peroleh juga masih belum dapat dikatakan baik, dikarenakan absorbansi pada konsentrasi plasma 200 ppm, 300 ppm, dan 400 ppm masih berada jauh diatas rentang nilai absorbansi yang seharusnya, yaitu 0,2 hingga 0,8. Sehingga seharusnya perlu dilakkan pengenceran pada larutan seri konsentrasi sampel agar absorbansinya berada pada rentang absorbansi yang sesuai, yaitu 0,2 hingga 0,8. Dapat dikatakan pada praktkum kali ini, hasil yang kami peroleh tidak menghasilkan hasil yang baik, dikarenakan hasil yang kami peroleh tidak sesuai dengan rentang persyaratan sesuai dengan literatur. Hal ini dapat dikarenakan kesalahan praktikan yang kurang teliti pada saat melakukan praktikum, sehingga data yang didapat menyebabkan tidak sesuai dengan persyaratan. Kesalahan tidak hanya dikarenakan kesalahan praktikan saja, namun kesalahan bias juga disebabkan karena faktor kesalahan alat atau instrumen analisis yang digunakan. Pada umumnya, analisis obat dalam cairan hayati lebih banyak menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography), dikarenakan HPLC memiliki metode pemisahan yang lebih baik



dari



pada



Spektrofotometer



26



UV-Vis.



Spektrofotometer



UV-Vis



merupakan alat atau instrumen analisis yang lemah untuk menentukan kadar obat di dalam darah.



27



BAB V PENUTUP



A. Kesimpulan Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan langkah-langkah analisa obat dalam cairan meliputi, pembuatan seri larutan parasetamol dalam plasma, penetapan panjang gelombang larutan parasetamol dengan serapan maksimum, pembuatan kurva kalibrasi, serta perhitungan nilai perolehan kembali, kesalahan acak, dan kesalahan sistematik. Dan metode analisa yang dilakukan tidak memenuhi syarat, karena tidak dapat memberikan nilai perolehan kembali dengan rentang 98%-102% dan kesalahan sistematik kurang dari 10%. B. Saran Setelah tersusunnya laporan ini, guna memperbaiki dalam penyusunan laporan tersebut penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun khususnya dari dosen yang bersangkutan mapun dari pembaca laporan sekalian



28



DAFTAR PUSTAKA Harmita



(2004)



‘Petunjuk



Pelaksanaan



Validasi



Metode



Dan



Cara



Perhitungannya’, Majalah Ilmu Kefarmasian, 1(3), pp. 117–135. doi: 10.7454/psr.v1i3.3375. Katzung, Betram. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: ECG. Mansur, Umar., et al. 2018. Modul Praktikum BFFK. Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta: Jurusan Farmasi Mukhriani, Nonci, F. and Munawarah, S. (2015) ‘Analisis Kadar Flavonoid Total Pada Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.) Dengan Metode Spektrometri UV-Vis’, Jf Fkik Uinam, 3(2), pp. 37–42. Murray, Robert K, Granner, Daryl K, Mayes, Peter A, and Rodwell, Victor W. 1995. Biokimia Harper, alih bahasa oleh Devy H. Ronardi, ed 22. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Neal, M.J. 2006. At a Glance Medical Pharmacology Edisi V. Jakarta: Erlangga. Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Ritschel, W. A. 1976. Pharmacokinetics,



1st



Edition.



USA:



Handbook of Basic Drug



Inteligence



Publication Inc. Rakhmawatie, M. D. and Rahmani, A. (2014) ‘Optimasi dan Validasi Metode Penetapan Kadar Siprofloksasin dalam Media Mueller Hinton Broth Menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography)’, pp. 123–129. Ritschel, W. A. (1976) Hand Book of Basic Pharmacokinetics, Drugs Inteligence. Edited by Illionis. Inc. Hamilton. Rivai, H., Setyaningrum, F. A. and Asra, R. (2018) ‘Pengembangan dan Validasi Metode Analisis Alopurinol Tablet dengan Metode Absorbansi dan Metode Luas Daerah di Bawah Kurva secara Spektrofotometri Ultraviolet Pengembangan dan Validasi Metode Analisis Alopurinol Tablet dengan



29



Metode Absorbansi dan Metode’. doi: 10.13140/RG.2.2.27116.67204. Shargel, Leon. 1988.



Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.



Surabaya: Airlangga University Press. Siswandono. 2000. Kimia Medisinal . Surabaya: Airlangga University Press. Smith, R & Steavary. 1981. Text Book of Biopharmaceutics Analysis A Description



of Methods for The Determination of Drug in



Biological Fluid . Philadelphia: Les & Febiger. Sondakh, S. (2013) ‘Validasi Metode Analisis Logam Berat Pb, Cu, Dan Zn Dalam Saus Tomat X Dari Pasar Tradisional L Di Kota Blitar dengan ICPS’, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 2(2), pp. 1–16. Sudjadi. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugihartini, N. et al. (2014) ‘Validasi Metode Analisa Penetapan Kadar Epigalokatekin Galat Dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi’, Pharmaciana, 4(2), pp. 111–115. Wade,A. et al. 1989. Clarke’s Isolation and Identification of Drugs in Pharmaceutical, Body Fluids and Post-Mortem Material, 2 nd ed. London : Pharmaceutical Press. Wagner, J.G. 1975. Fundamental of Clinical Pharmacokinetics, 1st ed. Hamilton : Drug Intelligence Publications, Inc. Waldon, D.J. 2008. Pharmacokinetics and Drug Metabolism. Cambridge: Amgen, Inc., One Kendall Square. Windholtz, Marta. 1976. The Merck Index An Encyclopedia of Chemicals and Drugs. USA: Merck & Co, Inc.



30