Laporan Praktikum Farmakokinetika (P1) - Analisis Obat Dalam Cairan Hayati [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

WORKSHEET PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA



Nama



: Chantika Ilyandari



NIM



: 1908010132



Golongan



: C1



LABORATORIUM FARMAKOLOGI & FARMASI KLINIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2021



PERCOBAAN I ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI



A. TUJUAN PRAKTIKUM Pada praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu melakukan proses analisis sediaan obat di dalam darah, meliputi proses pengambilan sampel darah dari hewan uji, preparasi sampel, analisis kadar obat menggunakan spektrofotometri UV/VIS, dan analisis data. B. DASAR TEORI Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki system fisiologis atau keadaan patologi dalam penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi. Obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan. Pada umumnya setiap obat yang masuk kedalam tubuh akan mengalami empat proses yaitu (1) Absorbsi yaitu proses obat memasuki sirkulasi cairan tubuh, (2) Distribusi yaitu proses obat diangkut ke area tubuh dimana obat diharapkan bereaksi atau disimpan dalam tubuh, (3) Biotransformasi yaitu proses dimana obat diubah menjadi bentuk kurang aktif, (4) Ekskresi yaitu proses dimana obat dikeluarkan dari tubuh (Priharjo, 1994). Efek terapi suatu obat biasanya baru terlihat sesudah zat aktifnya melalui sistem pembuluh aorta lalu masuk ke hati dan kembali masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh jaringan badan. Ketersediaan hayati suatu obat dapat diukur pada keadaan pasien yang bersangkutan (secara in vivo) dengan menentukan kadar dalam plasma darah setelah mencapai keseimbangan antara serum cairan tubuh (kedaan tunak). Ada korelasi yang baik antara kadar obat dalam plasma dengan efek terapi. Ketersediaan hayati digunakan untuk member gambaran mengenai keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari bentuk sediaan dan digambarkan dengan kurva kadar-waktu setelah obat diminum dan berada pada jaringan biologic atau larutan sperti darah dan urine. Ketersediaan hayati zat aktif suatu obat timbul sejak adanya ketidaksetaraan terapetik diantara sediaan bermerk dagang yang mengandung zat aktif yang sama dan dibuat dalam bentuk sediaan farmasetik yang serupa, serta diberikan dengan dosis yang sama. Berbagai kejadian (zat aktif menjadi tidak aktif atau menjadi toksik) dapat merupakan sebab ketidaksetaraan (Utami, dkk., 2009).



Konsentrasi obat adalah elemen penting untuk menentukan farmakokinetika suatu individu maupun populasi. Konsentrasi obat diukur dalam sampel biologis seperti air susu, saliva, plasma dan urin. Sensitivitas, akurasi, dan presisi dari metode analisis harus ada untuk pengukuran secara langsung obat dalam matriks biologis. Untuk itu, metode penetapan kadar secara umum perlu divalidasi sehingga informasi yang akurat didapatkan untuk monitoring farmakokinetik dan klinik. Pengukuran konsentrasi obat di darah, serum, atau plasma adalah pendekatan secara langsung yang paling baik untuk menilai farmakokinetik obat di tubuh. Darah mengandung elemen seluler mencakup sel darah merah, sel darah putih, keping darah, dan protein seperti albumin dan globulin. Pada umumnya serum atau plasma digunakan untuk pengukuran obat. Untuk mendapatkan serum, darah dibekukan dan serum diambil dari supernatan setelah disentrifugasi. Plasma diperoleh dari supernatan darah yang disentrifugasi dengan ditambahkan antikoagulan seperti heparin. Oleh karena itu, serum dan plasma tidak sama. Plasma mengalir keseluruh jaringan tubuh termasuk semua elemen seluler dari darah. Dengan berasumsi bahwa obat di plasma dalam kesetimbangan equilibrium dengan jaringan, perubahan konsentrasi obat akan merefleksikan perubahan konsentrasi perubahan konsentrasi obat di jaringan (Shargel, 1988). Penilaian ketersediaan hayati dapat dilakukan dengan metode menggunakan data darah, data urin, dan data farmakologis atau klinis, namun lazimnya dipergunakan data darah atau data urin untuk menilai ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiatnya telah diketahui cara dan validitasinya. Jika cara dan validitas belum diketahui, dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul dapat diukur secara kuantitatif. Parameter-parameter yang berguna dalam penentuan ketersediaan hayati suatu obat meliputi data plasma, data urin, efek farmakologi akut, respon klinik. Ketersediaan hayati dilakukan baik terhadap bahan aktif yang telah disetujui maupun obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh FDA untuk dipasarkan. Setelah ketersediaan hayati dan parameter-parameter farmakokinetika dari bahan aktif diketahui aturan dosis dapat diajukan untuk mendukung pemberian label obat (Syukri, 2002). Spektrofotometri merupakan suatu metode analisa yang didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu jalur larutan berwarna pada panjang gelombang spesifik dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan tabung foton hampa. Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu



metode analisis yang beragam terhadap suatu obat dalam sediaan dan juga cairan biologis yang memiliki banyak kelebihan, diantaranya lebih praktis dan murah bila dibandingkan dengan kromatografi cair kinerja tinggi, serta lebih akurat bila dibandingkan dengan titrasi (Utami, dkk. 2009) C. METODE PRAKTIKUM ALAT 1. Syring injeksi 2. Tabung sentrifuge 3. Tabung reaksi 1 mL, 5 mL 4. Kuvet 5. Spektrofotometri UV/VIS



BAHAN 1. Natrium salisilat 2. Pereaksi TRINDER 3. Kalium oksalat 4. Hewan uji : kelinci



CARA KERJA 1. Penentuan panjang gelombang maksimum a. Ambil 1 ml larutan natrium salisilat konsentrasi 200 ppm. b. Ditambahkan dengan 5 ml pereaksi TRINDER, vortex. c. Diukur absorbansinya pada panjang gelombang 460-580 nm. d. Tentukan Panjang gelombang max Na salisilat. 2. Operating time a. Ambil 1 ml larutan Na salisilat 200 ppm. b. Ditambahkan dengan 5 ml pereaksi TRINDER, vortex. c. Baca absorbansi pada panjang gelombang max setiap 5 menit selama 30 menit. d. Tetapkan Operating Time (OT). 3. Pembuatan Blanko a. Ambil 0,45 ml darah dari vena marginalis kelinci, tambahkan 0,05ml Ka Oksalat 2% vortex selama 10 detik.



b. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER dan 0,5 ml aquadest, sentrifuge selama 15 menit c. Ambil supernatan. d. Lakukan operating time dan ukur absorbansi pada Panjang gelombang max. e. Nilai absorbansi untuk kurva baku didapat dari pengurangan absorbansi larutan standar-absorbansi blanko. 4. Pembuatan kurva baku asam salisilat a. Membuat larutan standar Na Salisilat dengan konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, 250 ppm, dan 300 ppm. b. Ambil 0,45 ml darah vena marginalis kelinci, tambahkan 0,05 ml Ka Oksalat 2%, vortex selama 10 menit c. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5ml pereaksi TRINDER, ditambah 0,5 ml standar Na Salisilat, sentrifuge selama 15 menit d. Ambil supernatan. e. Lakukan operating time dan ukur absorbansi pada ƛ max sebagai absorbansi larutan standar. 5. Recovery a. Ambil 0,45 ml darah vena marginalis kelinci secara duplo dan tambahkan 0,05ml Ka Oksalat 2% pada masing-masing tabung, vortex selama 10 detik . b. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER dan 0,5 ml standar Na Salisilat (konsentrasi 100 ppm & 250 ppm) ke dalam salah satu tabung dan 0,5 ml aquades ke dalam tabung yang lain (sebagai blanko). c. Sentrifuge selama 15 menit, kemudian ambil supernatan. d. Lakukan operating time dan ukur absoxbansi pada ƛ max. e. Masing-masing replikasi 3 kali dan perlakuan blanko. Hitung recovery dan CV.



D. HASIL PENGAMATAN 1. Panjang Gelombang Maksimum Panjang gelombang maksimum yang didapatkan adalah 524 nm. 2. Operating Time Operating time yang ditetapkan adalah 15 menit. 3. Absorbansi Blanko



Nilai absorbansi blanko didapatkan 0,094. 4. Kurva Baku Asam Salisilat Data Kurva Baku Larutan Asam Salisilat Standar pada λmaksimum = 524 nm pada operating time 15 menit C (ppm)



Absorbansi Larutan



Absorbansi Blanko



Absorbansi



Standar



kurva baku



50



0,280



0,186



100



0,325



0,231



150



0,413



0,319 0,094



200



0,423



250



0,515



0,421



300



0,732



0,638



0,329



Buatlah Kurva Larutan Standar dari data di atas dan persamaan regresi linear nya!



Absorbansi Kurva Baku Absorbansi Kurva Baku



0,7 0,6



y = 0,0016x + 0,07 R² = 0,884



0,5 0,4



Absorbansi Kurva Baku



0,3 Linear (Absorbansi Kurva Baku )



0,2 0,1 0 0



100



200



300



400



Konsentrasi (ppm)



5. Recovery Hasil Absorbansi pada λ maksimum = 524 nm pada operating time 15 menit Replikasi



1



Absorbansi (A)



Absorbansi (A)



Na Salisilat 100 ppm



Na Salisilat 250 ppm



0,210



0,319



2



0,227



0,375



3



0,230



0,383



y = 0,001x + 0,07



Kadar Terukur Na Salisilat 100 ppm X1 =



= 87,5 ppm = 98,125 ppm = 100 ppm



= 155,625 ppm = 190,625 ppm = 195,625 ppm



1. Hitung Recovery ! Recovery (%) =



Recovery (%) Na Salisilat 100 ppm ( ) ( ) ( ) Recovery (%) Na Salisilat 250 pppm ( ) ( ) ( )



*Kesalahan Sistematis (%)= 100% - R%



Kesalahan Sistematis (%) Na Salisilat 100 ppm ( ) Kesalahan Sistematis (%)2 = 100% - 98,125% = 1,875% Kesalahan Sistematis (%)3 = 100% - 100% = 0% Kesalahan Sistematis (%) Na Salisilat 250 ppm Kesalahan Sistematis (%)1 = 100% - 62,25% = 37,75% Kesalahan Sistematis (%)2 = 100% - 76,25% = 23,75% Kesalahan Sistematis (%))3 = 100% - 78,25% = 21,75%



Tabel Hasil Recovery Konsentrasi



Absorbansi



Kadar



Recovery



Kesalahan



(ppm)



(A)



terukur



(%)



sistemastis



(ppm) 100



(%)



0,210



87,5



87,5



12,5



0,227



98,125



98,125



1,875



0,230



100



100



0



95,2083



4,79167



Rata-rata (̅) 250



0,319



155,625



62,25



37,75



0,375



190,625



76,25



23,75



0,383



195,625



78,25



21,75



72,25



27,75



Rata-rata (̅)



2. Hitung Coefficient of Variation (CV) Konsentrasi



Recovery %



(ppm)



(x)



100



(x-̅)2



(x-̅)



87,5



-7,7083



59,41788889



98,125



2,9167



8,50713889



100



4,7917



22,96038889



Rata-rata



Σ=



SD (%)



CV (%)



6,741



7,08



(̅)



90,88541667



=



95,2083



250



62,25



- 10



100



76,25



4



16



78,25



6



36



8,718



12,06



Σ= 152



Rata-rata (̅)= 72,25



Na Salisilat 100 ppm SD = √



CV (%)=



√ ( ) ( ̅)



x 100 =



=√



=√



= 6,741



= 7,08%



Na Salisilat 250 ppm SD = √



CV (%)=



√ ( ) x 100 = ( ̅)



=√ =√



= 8,718



= 12,06%



E. MENJAWAB PERTANYAAN 1. Jelaskan prinsip metode trinder yang digunakan untuk menganalisis kadar natrium salisilat dalam darah! 2. Jelaskan fungsi dari penentuan panjang gelombang maksimum, operating time, dan recovery! JAWAB: 1. Prinsip metode trinder melibatkan proses pengendapan protein oleh garam merkuri, selanjutnya senyawa salisilat bebas yang terdapat dalam sampel hayati akan berikatan dengan ion feri (Fe3+) dalam keadaan asam (asam lemah) dan membentuk senyawa kompleks berwama ungu yang terlihat pada sinar tampak



2. Fungsi penentuan panjang gelombang maksimum agar mengetahui daerah serapan yang dapat dihasilkan berupa nilai absorbansi dari larutan baku Na Salisilat sehingga dapat menentukan kadar terukurnya. Fungsi penentuan operating time agar mengetahui apakah sampel atau larutan standar sudah bereaksi sempurna atau belum dengan senyawa lain hingga terbentuk senyawa produk yang stabil. Fungsi penentuan recovery untuk mengetahui metode yang digunakan sudah tepat (akurat) atau tidak.



F. PEMBAHASAN Praktikum Farmakokinetika ini berjudul “Analisis Obat Dalam Cairan Hayati” yang bertujuan agar mahasiswa mampu melakukan proses analisis sediaan obat di dalam darah, meliputi proses pengambilan sampel darah dari hewan uji, preparasi sampel, analisis kadar obat menggunakan spektrofotometri UV/VIS, dan analisis data. Parameter farmakokinetik merupakan tolak ukur yang digunakan untuk mengevaluasi pola absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi suatu obat. Parameter farmakokinetik merupakan besaran yang diturunkan secara sistematis dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya dalam darah atau urin. Cairan hayati yang dapat digunakan sebagai media tolak ukur kualitatif maupun kuantitatif suatu obat ialah darah. Hal ini disebabkan karena darah merupakan media utama transportasi zat-zat di dalam tubuh, sehingga merupakan tempat dominan yang dilalui oleh obat. Bahkan faktanya, penghitungan kadar obat di dalam tubuh mengacu pada Volume Distribusi (Vd) yang didasarkan oleh persebaran obat oleh darah. Pada analisis percobaan ini dilakukan dengan membuat seri kadar obat Na Salisilat dalam darah yang kemudian diproses lebih lanjut sehingga dapat dibaca absorbansi dan dibuat kurva bakunya. Natrium Salisilat (C7H5NaO3) berupa serpihan putih atau bubuk, tidak berbau, lama terkena dalam berbagai merah muda, larut dalam air, gliserin, eter dan pelarut organic benzene (Depkes, 1995). Natrium Salisilat terutama digunakan sebagai obat penghilang rasa sakit dan obat-obatan rematik, juga digunakan dalam sintesis organic. Natrium salisilat juga bertindak sebagai non-steroid anti-inflamasi (NSAID), dan menginduksi apoptosis pada sel kanker dan juga



nekrosis. Hal ini juga sebagai pengganti potensial untuk aspirin dan juga dapat digunakan sebagai fosfor untuk mendeteksi radiasi ultraviolet vakum dan electron. Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini diantaranya Syringe injeksi untuk mengambil darah dari hewan uji, Tabung sentrifuge untuk mensentrifugasi sampel agar mendapatkan supernatan, Tabung reaksi 1 mL dan 5 mL sebagai wadah untuk menampung/mereaksikan zat, Kuvet sebagai wadah sampel yang akan diukur serapannya, Spektrofotometri UV/VIS, Natrium salisilat sebagai sampel obat, Pereaksi TRINDER, Kalium oksalat, dan Hewan uji yaitu kelinci. Pada tahap pertama dilakukan pengambilan darah dari hewan uji, yakni kelinci. Kegunaan darah ini adalah sebagai media pengukuran kadar obat dalam tubuh kelinci. Pada percobaan ini obat tidak dimasukkan dalam tubuh kelinci, melainkan diluar tubuh kelinci dan juga alasan lain yakni berupa sebagian besar konsentrasi obat berada dalam darah, dimana darah merupakan tempat yang cepat dicapai obat sehingga dapat dilakukan penetapan kadar obat didalam tubuh. Darah diambil dari telinga kelinci yaitu bagian vena marginalis. Alasan digunakannya vena marginalis adalah pada bagian itu merupakan tempat yang paling dekat dengan kulit sehingga pengambilannya dapat mencegah kematian. Sebelum melakukan pengambilan darah dengan syringe pada bagian telinga kelinci, terlebih dahulu dilakukan pembersihan dari bulu-bulu disekitar lokasi pengambilan darah dengan tujuan agar darah kelinci tidak tersangkut pada bulu dan serta untuk memudahkan pengambilan darah di lokasi yang tepat. Kelinci digunakan karena memiliki volume darah yang cukup untuk pengujian. Selain itu memiliki nilai konversi dosis dari kelinci ke manusia sehingga dapat dianalogkan sebagai model kompartemen fisiologik.. Pada metode optimasi ini diperlukan preparasi sampel dan dianalisa menggunakan spektrofotometri. Langkah pertama yaitu penentuan panjang gelombang maksimum. Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang dimana terjadi absorbsi maksimum. Tujuan penentuan panjang gelombang maksimum adalah untuk mengetahui daerah serapan yang dapat dihasilkan berupa nilai absorbansi dari larutan baku sehingga dapat menentukan kadar terukurnya. Pada panjang gelombang maksimum, absorbansi yang dihasilkan maksimal dan kesalahan pembacaan paling kecil. Hal ini disebabkan karena pada panjang gelombang maksimal terdapat keseimbangan antara energi yang dibutuhkan untuk eksitasi dengan energi yang diberikan untuk eksitasi. Absortivitas molar akan berkurang bila dalam larutan



terdapat garam dengan konsentrasi tinggi dan hukum Lamber-Beer tidak terpenuhi bila larutan terlalu pekat. Sehingga sebelum dilakukan pengkuran absorbansi, harus terlebih dahulu dipersiapkan kurva baku sampel sebagai kalibrasi. Preparasi sampel dilakukan dengan mengambil 1 ml larutan natrium salisilat konsentrasi 200 ppm. Kemudian tambahkan dengan 5 ml pereaksi TRINDER, lalu vortex. Fungsi peraksi Trinder sendiri adalah mengendapkan protein dan pewarna sehingga protein dalam darah dapat terendapkan dari darah dan membantu dalam perolehan supernatant. Setelah itu mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 460-580 nm menggunakan seperangkat spektrofotometer UV-Vis karena gugus kromofor dan pembentuk kompleks warna yang dapat menyerap sinar tampak. Hasil panjang gelombang maksimum yang diperoleh adalah 524 nm. Setelah mendapatkan panjang gelombang maksimum, selanjutnya menentukan Operating time. Operating time berfungsi untuk mendapatkan nilai absorbansi yang tetap (stabil) karena adanya reaksi kompleks antara sampel dengan reagen. Penentuan operating time digunakan untuk mengetahui kapan waktu pembacaan yang dapat menghasilkan absorbansi maksimum yang menunjukkan reaksi sempurna. Caranya dengan mengambil 1 ml larutan Na salisilat 200 ppm. Kemudian tambahkan dengan 5 ml pereaksi TRINDER, lalu vortex agar campuran dapat homogen. Setelah itu, baca absorbansi pada panjang gelombang maksimum setiap 5 menit selama 30 menit. Hasil operating time yang ditetapkan adalah 15 menit. Selanjutnya, pembuatan Blanko. Untuk blangko digunakan aquadest dengan tujuan untuk mengkoreksi absorbansi senyawa yang terbentuk. Caranya dengan mengambil 0,45 ml darah dari vena marginalis kelinci, lalu tambahkan 0,05 ml Ka Oksalat 2% vortex selama 10 detik. Kemudian tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER dan 0,5 ml aquadest, sentrifuge selama 15 menit. Lalu, ambil supernatan. Prinsip sentrifugasi ialah pemisahan suatu campuran dengan basis perbedaan bobot jenis. Pada percobaan ini, sentrifugasi dimaksudkan agar terjadi pemisahan antara padatan dengan cairan, dimana padatan akan terprespitasi di bawah tabung sementara cairan akan membentuk supernatan. Tujuan pengambilan supernatant ini dilakukan untuk mengambil obat yang bebas dari protein plasma karena obat yang terikat pada protein plasma tidak akan aktif secara farmakologik sehingga tidak memiliki efek terapeutik atau denga kata lain akan dapat menyebabkan data hasil pengamatan tidak valid. Fungsi peraksi Trinder sendiri adalah mengendapkan protein dan pewarna sehingga protein dalam darah dapat terendapkan



dari darah dan membantu dalam perolehan supernatant. Selanjutnya melakukan operating time dan mengukur absorbansi pada panjang gelombang maksimum. Nilai absorbansi blanko didapatkan 0,094. Setelah mendapatkan nilai absorbansi blanko, kita dapat mengetahui nilai absorbansi kurva baku yang didapat dari pengurangan absorbansi larutan standar - absorbansi blanko. Selanjutnya, Pembuatan kurva baku Na Salisilat dengan konsentrasi 50, 100, 150, 200, 250 dan 300 ppm. Kurva baku ini digunakan untuk mendapatkan persamaan kurva baku yang nantinya digunakan untuk menghitung data recovery. Caranya dengan membuat larutan standar Na Salisilat dengan konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, 250 ppm, dan 300 ppm. Kemudian, ambil 0,45 ml darah vena marginalis kelinci, tambahkan 0,05 ml Ka Oksalat 2%, vortex selama 10 menit. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5ml pereaksi TRINDER, ditambah 0,5 ml standar Na Salisilat, sentrifuge selama 15 menit. Lalu, ambil supernatan. Selanjutnya melakukan operating time dan mengukur absorbansi pada ƛ max sebagai absorbansi larutan standar. Persamaan kurva baku yang didapat yaitu y = 0,001x + 0,007 yang digunakan untuk menghitung recovery dan kesalahan sistematik pada tahap berikutnya. Untuk menguji ketepatan dan ketelitian metode yang digunakan, ditetapkan beberapa analisis dari parameter farmakokinetika yang berhubungan dengan metode penetapan kadar suatu obat dalam cairan hayati, seperti recovery (P%) dan kesalahan sistematik (100% - P%) sebagai parameter ketelitian, serta perhitungan SD dan kesalahan acak (CV) sebagai parameter ketepatan. Metode yang baik ialah metode yang dapat memberikan nilai recovery yang tinggi 80 – 120% serta memiliki kesalahan acak dan sistematik kurang dari 10%. Recovery (perolehan kembali) merupakan tolak ukur efisiensi analisis. Perolehan kembali diperoleh dengan membandingkan kadar terukur dengan kadar yang sesungguhnya dalam satuan persen. Apabila nilai pengukuran yang diperoleh hampir mendekati nilai yang sesungguhnya, maka metode tersebut dapat dikatakan akurat. Preparasi sampel dilakukan dengan mengambil 0,45 ml darah vena marginalis kelinci secara duplo dan tambahkan 0,05ml Ka Oksalat 2% pada masing-masing tabung, vortex selama 10 detik. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER dan 0,5 ml standar Na Salisilat (konsentrasi 100 ppm & 250 ppm) ke dalam salah satu tabung dan 0,5 ml aquades ke dalam tabung yang lain (sebagai blanko). Sentrifuge selama 15 menit, kemudian ambil supernatan.



Selanjutnya melakukan operating time dan mengukur absorbansi pada ƛ max. Masing-masing replikasi 3 kali dan perlakuan blanko. Berdasarkan hasil perhitungan data diperoleh nilai persen recovery untuk standar Na Salisilat 100 ppm ketiga replikasi berturut-turut adalah 87,5%; 98,125% dan 100% dengan menghasilkan rata-rata 95,208%. Sementara nilai persen recovery untuk standar Na Salisilat 250 ppm ketiga replikasi berturut-turut adalah 62,25%; 76,25 dan 78,25% dengan menghasilkan rata-rata 72,25%. Dengan melihat hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan pada baku Na Salisilat 250 ppm belum efisien karena analisis tidak memenuhi syarat recovery yaitu berkisar antara 80 – 120%. Hal ini mungkin terjadi karena kekurangtelitian praktikan dalam pembuatan larutan stok maupun larutan baku atau kesalahan pembacaan abrosbansi. Kesalahan sistematik merupakan parameter akurasi dari suatu penetapan kadar. Harga ini menunjukkan kemampuan metode analisis untuk memberikan hasil pengukuran yang sesuai dengan nilai aslinya. Berdasarkan hasil perhitungan data, Untuk baku Na Salisilat 100 ppm pada nilai recovery replikasi 1 2 3 berturut-turut didapatkan nilai kesalahan sistematik 12,5%; 1,875% dan 0% dengan menghasilkan rata-rata 4,79167%%. Untuk baku Na Salisilat 250 ppm pada nilai recovery 1 2 3 berturut-turut didapatkan nilai kesalahan sistematik sebesar 22,1875%; 19,0625% dan 2,1875% dengan menghasilkan rata-rata 27,75%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode analisis pada baku Na Salsilat 250 ppm memberikan hasil pengukuran yang tidak sesuai dengan nilai aslinya. Dimana parameter menunjukkan bahwa nilai kesalahan sistemik yang dipersyaratkan adalah kurang dari 10%. Hal ini mungkin terjadi karena kekurangtelitian praktikan dalam pembuatan larutan stok maupun larutan baku atau kesalahan pembacaan abrosbansi. Kesalahan acak ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien variansi (CV) merupakan suatu parameter presisi atau ketepatan pengukuran yang menunjukkan kedekatan hasil-hasil pengukuran secara berulang pada cuplikan hayati yang sama. Berdasarkan perhitungan data diperoleh nilai SD untuk baku Na Salisilat 100 ppm sebesar 6,741% dan CV sebesar 7,08%. Sementara nilai SD untuk baku Na Salisilat 250 ppm diperoleh sebesar 8,718 dan CV sebesar 12,06%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan kurang tepat. Dimana parameter menunjukkan bahwa nilai RSD/CV umumnya akan memenuhi criteria jika nilainya 1 – 2 %.



Tidak tepatnya hasil dalam percobaan ini kemungkinan disebabkan oleh kekurangtelitian praktikan dalam pembuatan larutan stok maupun larutan baku, kesalahan pembacaan absorbansi akibat ketidaktepatan penjelasan asisten praktikum kepada praktikan, kurangnya pengalaman praktikan, dan alat yang digunakan (spektrofotometer) yang kurang akurat serta perlu perbaikan sehingga nilai yang diperoleh kurang tepat.



G. KESIMPULAN 1. Mahasiswa diharapkan mampu melakukan proses analisis sediaan obat di dalam darah, meliputi proses pengambilan sampel darah dari hewan uji, preparasi sampel, analisis kadar obat menggunakan spektrofotometri UV/VIS, dan analisis data. 2. Cairan hayati yang dapat digunakan sebagai media tolak ukur kualitatif maupun kuantitatif suatu obat ialah darah. Hal ini disebabkan karena darah merupakan media utama transportasi zat-zat di dalam tubuh, sehingga merupakan tempat dominan yang dilalui oleh obat, 3. Persamaan kurva baku yang diperoleh dari hubungan konsentrasi dengan absorbansi kurva baku adalah y = 0,0016x + 0,007 4. Berdasarkan hasil perhitungan data diperoleh nilai persen recovery untuk standar Na Salisilat 100 ppm ketiga replikasi berturut-turut adalah 87,5%; 98,125% dan 100% dengan menghasilkan rata-rata 95,208%. Sementara nilai persen recovery untuk standar Na Salisilat 250 ppm ketiga replikasi berturutturut adalah 62,25%; 76,25 dan 78,25% dengan menghasilkan rata-rata 72,25%. Dengan melihat hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan pada baku Na Salisilat 250 ppm belum efisien karena analisis tidak memenuhi syarat recovery yaitu berkisar antara 80 – 120%. 5. Berdasarkan hasil perhitungan data, Untuk baku Na Salisilat 100 ppm pada nilai recovery replikasi 1 2 3 berturut-turut didapatkan nilai kesalahan sistematik



12,5%;



1,875%



dan



0%



dengan



menghasilkan



rata-rata



4,79167%%. Untuk baku Na Salisilat 250 ppm pada nilai recovery 1 2 3 berturut-turut didapatkan nilai kesalahan sistematik sebesar 22,1875%; 19,0625% dan 2,1875% dengan menghasilkan rata-rata 27,75%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode analisis pada baku Na Salsilat 250 ppm memberikan hasil pengukuran yang tidak sesuai dengan nilai aslinya. Dimana



parameter menunjukkan bahwa nilai kesalahan sistemik yang dipersyaratkan adalah kurang dari 10%. 6. Berdasarkan perhitungan data diperoleh nilai SD untuk baku Na Salisilat 100 ppm sebesar 6,741% dan CV sebesar 7,08%. Sementara nilai SD untuk baku Na Salisilat 250 ppm diperoleh sebesar 8,718 dan CV sebesar 12,06%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan kurang tepat. Dimana parameter menunjukkan bahwa nilai RSD/CV umumnya akan memenuhi criteria jika nilainya 1 – 2 %.



H. DAFTAR ACUAN Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Priharjo, R. 1994. Teknik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Shargel. 1985. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya: Airlangga University Press. Syukri, Y. 2002. Biofarmasetika. Yogyakarta: UII Press. Utami, P. I., Wahyu U, dan Nur A, M. 2009. Optimasi Metode Penetapan Ranitidin Dalam Plasma Manusia Secara In Vitro Dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet-Visible, Pharmacy, Vol. 06(03).