Laporan Kasus Rhinosinusitis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS RHINOSINUSITIS



Pembimbing dr. Raden Ena Sarikencana, SpTHT-KL



Disusun oleh: Khaulah Syifa Kabul



1710221063



Raka Wibawa



1620221159



KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU THT-KL RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ‘VETERAN’ JAKARTA PERIODE 6AGUSTUS – 8 SEPTEMBER 2018



LEMBAR PENGESAHAN



LAPORAN KASUS



RHINOSINUSITIS



Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di bagian SMF THT-KL RSUP PERSAHABATAN



Disusun oleh :



Khaulah Syifa Kabul



1710221063



Raka Wibawa



1620221159



Pembimbing



dr. Raden Ena Sarikencana, SpTHT-KL



ii



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Rhinosinusitis”. Tugas ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di SMF THT-KL RSUP Persahabatan. Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada dr. Raden Ena Sarikencana, SpTHT-KL selaku pembimbing dalam pembuatan pembuatan tugas laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini terdapat kekurangan, sehingga penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga tugas presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran.



Jakarta, Agustus 2018



Penulis



iii



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1 BAB II STATUS PASIEN.......................................................................................2 BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................11 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32



iv



BAB I PENDAHULUAN



I.1 Latar belakang Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal, sesuai dengan rongga yang terkena sinusitis dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Umumnya sinusitis didahului atau disertai dengan rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter seharihari. Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri, dapat terjadi akibat infeksi gigi yang menyebar ke sinus yang berdekatan dengan akar gigi, yaitu sinus maksila. Jamur juga dapat menjadi agen penyebab, angka kejadiannya meningkat seiring dengan peningkatan pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obatan imunosupresan dan radioterapi Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.



1



BAB II STATUS PASIEN



II.1 IDENTITAS PASIEN Nama



: Ny. Hj. Eryanah



No. RM



: 2028749



Jenis kelamin



: Perempuan



Tanggal Lahir / Usia



: 10 November 1948 / 69 tahun



Pekerjaan



: Ibu Rumah Tangga



Tanggal Masuk Ruangan



: 27 Agustus 2018



II.2 ANAMNESIS (SUBJEKTIF) Anamnesis telah dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 29 Agustus 2018 di Ruang Griya Puspa Lantai 5 kamar nomor 503 RSUP Persahabatan pukul 13.00 WIB.



Keluhan Utama: Hidung bagian kanan sering terasa mampet sejak 1 bulan terakhir. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengeluh hidung kanan terasa mampet sejak 1 bulan terakhir. Pasien juga mengatakan keluar cairan berwarna kehijauan dan berbau dari hidung kanan nya. Pasien sering terkena batuk pilek sejak 1 bulan yang lalu.



Pasien juga



mengeluh penciumannya terganggu. Keluhan disertai dengan nyeri di bagian dahi sebelah kanan, diantara kedua mata sebelah kanan dan pipi sebelah kanan. Pasien juga sering mengalami nyeri kepala sebelah kanan. Riwayat bersin-bersin setiap pagi hari disangkal. Tidak ada keluhan nyeri menelan dan sakit tenggorokan. Tidak ada keluhan nyeri telinga, telinga terasa penuh, dan tidak ada keluhan penurunan pendengaran. Pasien memiliki riwayat sakit gigi dan pernah dilakukan tindakan bedah. Menurut pasien, gigi graham pasien berlubang pada bagian sebelah kanan atas dan bawah.



2



Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil. Serangan asma kambuh ketika menghirup debu dan mencium bau yang menyengat seperti nanas dan minyak wangi. Serangan asma kemudian menghilang namun kambuh kembali pada tahun 1999. Semenjak itu pasien rajin berobat ke poli paru dan mengkonsumsi obat Symbicort (busonide) serta Salbuven. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi terkontrol dan meminum obat Kandesartan. Pasien mengatakan bahwa pasien memiliki riwayat darah yang kental dan diberikan obat berupa miniaspi oleh dokter penyakit dalam. Pasien memiliki riwayat alergi obat yaitu Amoksisilin. Awalnya pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat antibiotik namun tidak ada perubahan. Kemudian pasien dibawa ke RS Duren Sawit dan dilakukan pemeriksaan teropong serta foto rontgen. Dari hasil pemeriksaan pasien dirujuk ke RSUP Persahabatan untuk dilakukan tindakan lebih lanjut.



Riwayat Penyakit Dahulu: 



Tidak ada



Riwayat Penyakit Keluarga: 



Tidak ada pihak keluarga yang mengalami keluhan serupa



Riwayat Pengobatan: 



Pasien diberikan antibiotik pada saat berobat di puskesmas



II.3 PEMERIKSAAN FISIK (OBJEKTIF) Keadaan umum



: Tampak sakit ringan



Kesadaran



: Compos mentis



Berat badan



: 90 kg



Tinggi badan



: 148 cm



Status Generalis Kepala



: Normocephal



Mata



: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) pupil bulat isokor



Telinga



: Lihat status lokalis 3



Hidung



: Lihat status lokalis



Mulut



: Mukosa bibir lembab, gusi berdarah (-), gigi ada karies (-)



Tenggorok



: Lihat status lokalis



Leher



: Lihat status lokalis



Ekstremitas



: Akral hangat, udem (-/-), CRT < 2 detik



Status lokalis THT 1. Telinga AD Normotia, hiperemis (-),



AS Aurikula



Normotia, hiperemis (-),



edema (-), helix sign (-),



edema (-), helix sign (-),



tragus sign (-)



tragus sign (-)



Tanda radang (-), pus (-),



Preaurikula



nyeri tekan(-), fistula (-)



edema (-), hiperemis (-),



Tanda radang (-), pus (-), nyeri tekan(-), fistula (-)



Retroaurikula



edema (-), hiperemis (-),



nyeri tekan (-), fistula (-),



nyeri tekan (-), fistula (-),



tumor (-), sikatriks (-)



tumor (-), sikatriks (-)



Hiperemis (-), edema (-),



MAE



Hiperemis (-), edema(-),



sekret (-), serumen (-),



sekret(-), serumen (-),



massa (-)



massa (-)



Refleks cahaya (+),



Membran timpani



Refleks cahaya (+),



perforasi (-), sekret (-),



perforasi (-), sekret (-),



serumen (-)



serumen (-)



4



Tidak dilakukan



Uji Rinne



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Uji Weber



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Schwabach



Tidak dilakukan



2. Hidung dan Sinus Paranasal Rhinoskopi anterior Kanan



Kiri



Sempit



Kavum Nasi



Normal



(+)



Sekret



(-)



Lurus



Septum



Lurus



Hipertrofi



Konka inferior



Hipertrofi



Hiperemis (+)



Mukosa



Hiperemis (+)



(-)



Massa



(-)



Sinus Paranasal (-)



Pembengkakan Wajah



(-)



(+)



Nyeri Tekan Dahi



(-)



Nyeri Tekan (+)



(-)



Media Orbita Nyeri Tekan Pipi



(+)



(+)



3. Tenggorok Nasofaring (Rhinoskopi posterior) Konka superior Torus tubarius Fossa Rossenmuller



Tidak Dilakukan



Plika salfingofaringeal



5



Pemeriksaan Orofaring Kanan



Kiri Mulut



Hiperemis (-) Hiperemis (-) Karies (-) Simetris Tenang



Mukosa mulut Palatum molle Gigi geligi Uvula Tonsil Mukosa



Hiperemis (-) Hiperemis (-) Karies (-) Simetris Tenang



T1



T1



Tidak melebar Tenang -



Besar tonsil Kripta Detritus Perlengketan Faring Mukosa Granula Post nasal drip



Tidak melebar Tenang -



Laringofaring (Laringoskopi indirect) Epiglotis Plika ariepiglotika Plika ventrikularis



Tidak Dilakukan



Plika vokalis Rima glotis



4. Leher Pemeriksaan Kelenjar Tiroid dan KGB Kanan



Kiri



Pembesaran (-)



Tiroid



Pembesaran (-)



Pembesaran (-)



Kelenjar submental



Pembesaran (-)



Pembesaran (-)



Kelenjar submandibula



Pembesaran (-)



Pembesaran (-)



Kelenjar jugularis superior



Pembesaran (-)



6



Pembesaran (-)



Kelenjar jugularis media



Pembesaran (-)



Pembesaran (-)



Kelenjar jugularis inferior



Pembesaran (-)



Pembesaran (-)



Kelenjar suprasternal



Pembesaran (-)



Pembesaran (-)



Kelenjar supraklavikularis



Pembesaran (-)



II.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG II.4.1 Pemeriksaan Laboratorium HEMATOLOGI



HASIL



Nilai Normal



Satuan



Hemoglobin



12,2



12 – 14



g/dl



Hematokrit



38



37 – 43



g%



Eritrosit



4,57



4,00 – 5,00



Juta/mm3



MCV/VER



83.2



82 – 92



fL



MCH/HER



26,7



27 – 31



Pg



MCHC/KHER



32,1



32 – 36



g/dL



Trombosit



340.000



150.000 – 450.000



U/L



Leukosit



7200



5000 – 10.000



U/L



Basofil



0,6



0–1



%



Eosinofil



4,7



1–3



%



Neutrofil



62,1



52 - 76



%



Limfosit



24,4



20 – 40



%



Monosit



8,2



2–8



%



4’00’’



1.00 – 6.00



Menit



10 - 15



Menit



9,8 – 11,2



Detik



Darah Lengkap



Hitung Jenis



Hemostasis Masa Perdarahan IVY



Masa Pembekuan Lee & 10’00’’ White PTR + INR PT Pasien



9,6



Kontrol



11,1



7



INR



0,84



APTT Pasien



41,4



Kontrol



33,6



31,0 – 47,0



Detik



Kimia Klinik SGOT (AST)



12



5- 34



U/L



SGPT (ALT)



7



0 - 55



U/L



Ureum



41



21 – 43



mg/dL



Kreatinin



0,7



0,6 – 1,2



mg/dL



Glukosa Sewaktu



95



70 – 200



mg/dL



II.4.2 Pemeriksaan Radiologi Foto Rontgen Sinus Paranasal (Di RSUP Persahabatan) 11 Juli 2018



Hasil : Tampak perselubungan pada sinus maksilaris kanan dan ethmoidalis kanan dengan oklusi ostium sinus maksilaris kanan meluas ke resesus frontalis kanan dan ke sinus frontalis kanan Sinus paranasalis lain baik Penebalan mukosa kavum nasi 8



Pneumatisasi air cell Mastoid kanan kiri baik Septum nasi deviasi ke kanan ringan Tulang-tulang baik Kesan: -



Sinusitis Maksilaris, ethmoidalis dan frontalis kanan dengan sumbatan ostium sinus maksilaris kanan dan resesus frontalis kanan



-



Rhinitis



II.5 DIAGNOSA KERJA -



Rhinosinusitis dd/ sinusitis dentogen



-



Hipertensi



-



Riwayat Asma



II.6 TATALAKSANA A. Tatalaksana non-farmakologi a. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai i. Pasien diminta untuk tidak meniup udara secara paksa pada hidung yang mampet agar mencegah turbulensi udara berlebihan sehingga dapat menyebabkan epistaksis dan risiko untuk secret terdorong ke sinus yang terbuka sehingga bisa menjadi infeksi berulang ii. Pasien diminta untuk tidak mengorek hidung karena dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi iii. Pasien disarankan untuk melakukan medical check-up ke poli gigi agar mencegah faktor risiko terjadinya infeksi iv. Pasien disarankan untuk rutin ke poli penyakit dalam untuk mengkontrol tekanan darah yang tinggi sehingga mencegah risiko epistaksis b. Irigasi nasal B. Tatalaksana farmakologi a. Antibiotik b. Kortikosteroid topikal



9



II.7 PROGNOSIS ad vitam



: dubia ad bonam



ad functionam



: dubia ad bonam



ad sanationam



: dubia ad bonam



10



BAB III TINJAUAN PUSTAKA



III.1 Anatomi Hidung III.1.1 Hidung Luar Hidung terdiri atas hidung bagian luar dan dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: 1. Paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan 2. Dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan 3. Paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1. Pangkal hidung (bridge) 2. Batang hidung (dorsum nasi) 3. Puncak hidung (hip) 4. Ala nasi 5. Kolumela 6. Lubang hidung (nares anterior)



Gambar 1 Anatomi Hidung Luar



11



Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1.



tulang hidung (os nasal)



2.



procesus frontalis os maksila



3.



prosesus nasalis os frontal



Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1.



Sepasang kartilago nasalis lateralis superior



2.



Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)



3.



Sepasang kartilago ala minor



4.



Kartilago septum



III.1.2 Hidung Dalam Bagian kavum nasal dibagi menjadi atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior. Rongga hidung atau kavum nasi dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.



Gambar 2 Anatomi Hidung Dalam 12



Kavum nasi terdiri dari: 1. Septum nasi Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum



(kuadrilateral) premaksila dan kolumela



membranosa, bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista sfenoid. 2. Dinding Terdapat 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dinding lateral terdapat konka superior, konka media dan konka inferior. Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Bagian superior terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa. 3. Konka Konka berbentuk berupa tonjolan seperti gulungan dan diantaranya terdapat meatus. Konka inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil dari konka media ialah konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema. 4. Meatus Meatus merupakan tempat muara sinus. Meatus inferior terletak antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Terdapat muara ductus nasolakrimalis. Meatus media terletak antara konka media dan inferior. Terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Meatus superior terletak antara konka media dan superior dan terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 5. Vestibulum Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum dilapisi oleh kulit yang



13



banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise. 6. Koana Koana atau nares posterior adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.



III.1.3 Vaskularisasi hidung Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu: 1. Arteri Etmoidalis anterior 2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika 3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna. Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang- arteri fasialis.



Gambar 3 Vaskularisasi Hidung



14



Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach, letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh trauma, sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus. Vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.



III.1.4 Persarafan hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n.nasosiliaris, berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.



Gambar 4 Persarafan Hidung



15



III.1.5 Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.



Gambar 5 Sinus Paranasal



Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lendir yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari 16



orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan selsel goblet. 1. Sinus Maksila Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, kemudian berkembang dan mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. Berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding nferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar, molar, kadang-kadang juga gigi taring, bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif dan pencabutan gigi yang terjadi di sekitar gigigigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe yang akan mengakibatkan sinusitis. b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. c. Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan menyebabkan sinusitis.



17



2. Sinus Frontalis Sinus frontal terletak di os frontal, mulai berkembang saat usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. 3. Sinus etmoid Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml. Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan peradangan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.



18



4. Sinus Sfenoid Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letak sinus sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain: 1. Pengatur kondisi udara (air conditioning ) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung. Teori ini Sebagai penahan suhu (thermal insulators). Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. 2. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. 3. Membantu resonansi suara



19



Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. 4. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. 5. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,tempat yang paling strategis.



III.1.6 Kompleks Osteomeatal (KOM) Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.



Gambar 6 Kompleks Osteomeatal (KOM)



20



III.2. Sinusitis III.2.1 Definisi Umumnya sinusitis didahului atau disertai dengan rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Rhinosinusitis pada dewasa dapat diartikan inflamasi hidung dan sinus paranasal yang digolongkan menjadi dua gejala atau lebih gejala, salah satu harus terpenuhi seperti hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau keluarnya cairan nasal baik anterior atau post nasal drip. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.



III.2.2 Etiologi dan faktor predisposisi Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo-meatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartegener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.



III.2.3 Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar di dalam kompleks osteo-meatal. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama dengan udara pernapasan. Organ-organ yang membentuk kompleks osteo-meatal letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula



21



serous. Kondisi ini bisa dianggap rhinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut dengan rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.



22



Edema pada Komplek Osteo Meatal



Mukosa saling bertemu



Sillia tidak bisa bergerak



Ostium tersumbat



Tekanan negative di dalam rongga sinus Transudasi (awalnya serosa)



Rhinosinusitis non bakterial



Sekret menetap menjadi media pertumbuhan bakteri Rhinosinusitis akut bakterial



Sekret menjadi purulen



Sekret makin bertambah dan sunys bertumpuk



Hipoksia sinus Bakteri anaerob tumbuh Mukosa semakin edema



Polip



Kista



23



III.2.4 Klasifikasi dan Manifestasi Klinik Klasifikasi secara klinis dapat dibedakan menjadi akut dan kronis. Rhinosinusitis akut (RSA), jika memenuhi kriteria sebagai berikut: Gejala berlangsung 380 d) Peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP) e) Adanya perburukan gejala setelah 5 hari



Rhinosinusitis Kronik, jika memenuhi kriteria sebagai berikut: Gejala >12 minggu dengan terdapat minimal dua gejala, salah satunya hidung tersumbat atau pilek (sekret anterior/posterior) ± Adanya nyeri tekan pada wajah ± Menurunnya fungsi penghidu Termasuk dengan gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal, mata gatal serta berair.



Selain itu, terdapat juga sinusitis jenis lain: Sinusitis dentogen Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronis. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi.



24



Bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila. Sinusitis jamur Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang tidak jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan predisposisi antara lain diabetes melitus, neutropenia, penyakit AIDS, dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergilus dan Candida. Perlu diwaspadai adanya sinusitis jamur pada kasus sebagai berikut: sinusitis unilateral, yang sukar disembuhkan dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran kerusakan tulang dinding sinus, atau bila ada membran berwarna putih keabu-abuan pada irigasi antrum. Para ahli membagi sinusitis jamur sebagai bentuk invasif dan noninvasif. Sinusitis jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif kronik indolen. Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular. Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, imunosupresi seperti leukemia dan neutropenia, pemakaian steroid lama. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat merusak dinding sinus, jaringan orbita, dan sinus kavernosus. Di kavum nasi, mukosa berwarna biru kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering berakhir dengan kematian. Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronik progresif dan bisa menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, gambaran kliniknya tidak sehebat yang akut karena perjalanan yang lebih lambat.



25



Gejalanya seperti sinusitis bakterial, tetapi sekretnya kental dengan bercak-bercak kehitaman, bila dilihat dengan mikroskop merupakan koloni jamur. Sinusitis jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam rongga sinus tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak sampai mendestruksi tulang. Sering mengenai sinus maksila. Gejala klinis sering menyerupai sinusitis kronis berupa rinore purulen, post nasal drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada massa jamur juga di kavum nasi. Pada operasi bisa ditemukan materi jamur berwarna cokelat kehitaman dengan atau tanpa pus di dalam sinus. Terapi untuk sinusitis jamur invasif ialah pembedahan, debridemen, anti jamur sistemik, dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya. Obat standar ialah amfoterisin B, bisa ditambah dengan rifampisin atau flusitosin agar lebih efektif. Pada misetoma hanya perlu terapi bedah untuk membersihkan massa jamur, menjaga ventilasi dan drainase sinus. Tidak diperlukan anti jamur sistemik.



III.2.5 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesa, selain ditanyakan keluhan, ditanyakan pula apakah keparahan penyakitnya mengganggu aktivitas sehari hari atau tidak, dengan skala teringan sampai terberat diukur dengan angka 0 – 10. Penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) dengan intepretasi ringan 0-3, sedang 3-7, berat 7-10. Nilai VAS >5 artinya mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Nasoendoskopi dapat ditemukan nasal polip. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto polos posisi Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinussinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, air-fluid level, atau penebalan mukosa. CT-Scan sinus merupakan gold standard



26



diagnosis sinusitis karena mampu menilai secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus. Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena sangat terbatas kegunaannya. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.



III.2.6 Terapi Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di kompleks osteo-meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus



pulih



secara



alami.



Penatalaksanaan



dilakukan



tergantung



penyebabnya. Adapun algoritme pendekatan yang disarankan dalam melakukan tatalaksana dari rinosinusitis dapat dijelaskan pada gambar berikut.



27



Gambar 7. Algoritme pendekatan dalam tatalaksana rinosinusitis akut



Gambar 8. Algoritme tatalaksana rinosinusitis akut dokter spesialis THT



28



Gambar 9. Algoritme tatalaksana rinosinusitis kronik pelayanan primer



Gambar 10. Algoritme tatalaksana rinosinusitis kronik non polip dokter spesialis THT 29



Gambar 11. Algoritme tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip dokter spesialis THT



Tindakan operasi Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur. Konsep FESS adalah menghilangkan jaringan yang menghalangi KOM agar drainase sinus berjalan seperti semula. Tindakan menggunakan naso endoskopi sehingga operasi dapat lebih mudah.



30



III.2.8 Komplikasi Komplikasi sinusitis yang berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksarsebasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata, yaitu sinus ethmoid, kemudian frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perikontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses periosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus. Kelainan intrakranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural/subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa: Osteomielitis dan abses periosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi. Kelainan paru seperti bronkhitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sino-bronkhitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkhial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.



31



DAFTAR PUSTAKA



1. Adams, GL. 1997. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT / George L. Adams, Lawrence R. Boies, Peter H. Higler; alih bahasa, Caroline Wijaya ; editor, Harjanto Efendi. Ed 6. Jakarta: EGC. 2. Dewey C, Sched MD, Robert M. Acute bacterial rhinosinusitis in adults: part II.treatment. American Academy Family Physician.Oklahoma.2004 3. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. 4. Junizaf MH. Benda asing di saluran nafas. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-7. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2012 5. Paulsen, F. Waschke, J. Sobotta, Atlas Anatomi Manusia. Edisi 23. Jakarta: EGC; 2010. Hal. 92-97 6. Soepardi EA. Et. Al. 2012. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 7. Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 4. Jakarta: Penerbit Media Aesculapis 8. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997



32