RhinoSinusitis Kronik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CASE REPORT Stase Ilmu Telinga Hidung Tenggorok RINOSINUSITIS KRONIK SINISTRA Pembimbing : KRH. DR. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT - KL (K), MBA., MARS., M.Si, Audiologist Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT – KL dr. Dimas Adi Nugroho, Sp.THT-KL



Diajukan Oleh : Alfiana Kusuma Rahmawati, S. Ked J510 1650 19



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017



CASE REPORT RINOSINUSITIS KRONIK SINISTRA



Yang diajukan oleh : Alfiana Kusuma Rahmawati, S. Ked J510 1650 19 Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada tanggal, 1 Februari 2017 Pembimbing I KRH. DR. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT - KL (K), MBA., MARS., M.Si, Audiologist



(.............................................) Pembimbing II Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT – KL



(.............................................) Pembimbing III dr. Dimas Adi Nugroho, Sp.THT-KL



(.............................................) Ka. Program profesi dr. D. Dewi Nirlawati



(.............................................) BAB I STATUS PASIEN I. Identitas 1. Pasien a. Nama b. Umur c. Alamat d. Pekerjaan e. Status Perkawinan f. Tgl masuk g. No RM



: Ny. E : 57 Tahun : Karanganyar : Ibu Rumah Tangga : Menikah : Senin, 9 Januari 2017 : 3777XXX



II. Riwayat Penyakit 1. Keluhan Utama Pasien datang ke Poli RSUD Karanganyar dengan keluhan nyeri kepala. 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke RSUD Karanganyar dengan keluhan nyeri kepala yang menjalar dari hidung, pipi hingga dahi. Keluhan tersebut telah dirasakan 5 bulan yang lalu. Keluhan tersebut awalnya muncul perlahan dan semakin lama dirasakan bertambah berat. Keluhan tersebut bersifat hilang timbul sehingga menganggu aktivitas ketika kambuh. Pasien merasa keluhan tersebut membaik ketika minum obat yang diberikan dokter tetapi kemudian muncul keluhan yang sama lagi. Pasien juga mengeluh hidung kiri tersumbat. Beberapa bulan terakhir ini kadang keluar cairan kental berbau dari hidung kiri. Keluhan hidung tersumbat muncul setelah pasien mengalami sakit gigi geraham atas sebelah kiri. Untuk keluhan gatal, bersin-bersin, mimisan, gangguan penghidu disangkal. Selanjutnya untuk keluhan di rongga mulut dan tenggorokan, baik sulit menelan, suara sengau, suara serak, suara hilang, sering tersedak disangkal. Keluham telinga seperti keluar cairan, penurunan pendengaran, nyeri, telinga terasa penuh, suara berdenging disangkal. Keluhan lainnya yaitu demam (-), batuk (-), mual (-), muntah (-). 3. Riwayat Penyakit Dahulu a. Riwayat keluhan serupa sebelumnya



: diakui



b. c. d. e. f. g.



Hipertensi Riwayat dislipidemia Diabetes Melitus Asma Alergi Penyakit jantung



: disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal



4. Riwayat Penyakit Keluarga a. Riwayat keluhan serupa b. Hipertensi c. Diabetes Melitus d. Asma e. Alergi f. Penyakit jantung



: disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal



III.Pemeriksaan Fisik A. Status Generalis 1. Keadaan umun 2. Kesadaran 3. Tekanan darah 4. Nadi 5. Respirasi 6. Suhu badan



: Cukup : Compos Mentis (E4V5M6) : 130/80 mmHg : 72x/ menit : 18x/ menit : 36,5 oC



B. Kondisi Medik 1. Kepala : Normocephal, Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Pupil isokhor (3mm/3mm), Sianosis (-) 2. Leher : Leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trachea (-), massa (-), JVP (-), Pembesaran Kelenjar Limfe (-) 3. Thorax : Paru-paru Inspeksi : Kelainan bentuk dada (-), gerak dada kanan dan kiri simetris, pelebaran vena superficial (-), benjolan/massa (-), sikatriks (-). Palpasi : Tidak terdapat ketinggalan gerak antara pulmo dekstra dan sinistra. Perkusi Auskultasi Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi



: Suara paru sonor/sonor, paru dalam batas normal : Suara dasar vesicular (+), tidak ada suara tambahan. : Ictus cordis tidak tampak : Ictus cordis tidak kuat angkat : Suara jantung redup, batas jantung dalam batas normal.



Auskultasi : Bunyi jantung 1, 2 murni regular terdengar pada SIC 1 dan 2 linea parasternal sinistra et dekstra. Abdomen Inspeksi : Perut buncit (-), Ascites (-), Distended (-), sikatriks (-) Auskultasi : Suara peristaltik (normal), suara tambahan (-) Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba, defans muskular (-) Perkusi : Suara timpani (+) 4. Extremitas : clubbing finger (-), deformitas (-), edema ekstremitas (-)



C. Status Lokalis 1. Hidung a.Pemeriksaan Hidung Hidung luar



Hidung Kanan



Hidung Kiri



Bentuk normal, hiperemis Bentuk normal, hiperemis (-), deformitas (-), nyeri (-), deformitas (-), nyeri



tekan (-), krepitasi (-) b. Rinoskopi Anterior Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Cavum nasi Bentuk (normal),



Normal, ulkus (-) Bentuk (normal),



hiperemia (-) Mukosa hiperemis (-),



hiperemia (-) Mukosa hiperemis (+),



sekret (-), massa berwarna



sekret (-), massa berwarna



Konka nasi



putih mengkilat (-). Edema (-), mukosa



putih mengkilat (-). Edema (+), mukosa



inferior Septum nasi



hiperemi (-) hiperemi (+) Deviasi (-), perdarahan (-), Deviasi (-), perdarahan (-),



Meatus nasi media



ulkus (-) c.



tekan (-), krepitasi (-)



ulkus (-)



Rinoskopi posterior 1) Tidak tampak pembesaran kelenjar adenoid 2) Concha superior dalam batas normal 3) Muara tuba eustachii nampak tidak ada oklusi



d. Pemeriksaan septum nasi 1) Pemeriksaan spatel (-)



2) Cottle sign (-)



2. Rongga mulut dan tenggorokan Bibir & mulut Geligi



Mukosa bibir dan mulut basah, berwarna merah muda



Lidah Uvula Palatum



Warna mukosa gusi merah muda, hiperemi (-), gigi berlubang (+) Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-) Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-) Ulkus (-), hiperemi (-)



mole Mukosa



Mukosa hiperemi (-)



faring Tonsila



Kanan: T1, Hiperemi (-), detritus (-), kripte melebar (-)



palatina Kiri: T1, Hiperemi (-), detritus (-), kripte melebar (-) Pemeriksaan laringoskopi indirect a. Plica vocalis dalam batas normal b. Mucosa laring tidak hyperemis 3. Telinga No. Area Telinga Kanan Telinga Kiri 1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-) 2. Pre dan Fistula (-), hiperemis (-), Fistula (-), hiperemis (-),



3.



Retro



edema (-), nyeri tekan (-)



edema (-), nyeri tekan (-)



auricula Daun



Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran dalam



telinga



batas normal, bekas luka batas normal, bekas luka (-), hematoma (-), edema (-), hematoma (-),edema (-), hiperemis (-), sekret (-), (-), hiperemis (-), sekret (-),



4.



Liang



nyeri tarik aurikula (-) nyeri tarik aurikula (-) Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),



telinga



furunkel (-), edema (-), furunkel (-), edema (-), sekret (-)



sekret(-)



5.



Membran Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-), timpani



hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-), perforasi (-), kolesteatom perforasi (-), kolesteatom (-), cone of light (+)



(-), cone of light (+)



MT intak



MT intak



Cone of light (+) Test Garpu Tala



Test Rinne : positif Test Weber: tidak



Cone of light (+)



Test Rinne : positif ada Test Weber: tidak



ada



laterisasi ke kanan/ ke kiri laterisasi ke kanan/ ke kiri Test Swabach : sama Test Swabach : sama dengan pemeriksa Kesimpulan : Normal



dengan pemeriksa Kesimpulan : Normal



4. Kepala dan leher a. Kepala 1) Konjungtiva anemis : -/2) Nafas cuping hidung : -/3) Sclera icterik : -/4) Sensibilitas menurun : -/b. Leher Pembesaran kelenjar getah bening pada leher kanan dan kiri (-/-). IV. Pemeriksaan Penunjang A. Pemeriksaan Darah Rutin 09-01-2017



Harga normal



13,7



12-16



Hematokrit 39,1



37-47



Leukosit



9,17



5-10



Trombosit



336



150-300



Eritrosit



4,28



4.00-5.00



MCV



91,3



82.0-92.0



HB



MCH



32



27.0-31.0



MCHC



35,1



32.0-37.0



Granulosit



73,2



50.0-70.0



Limfosit



22,2



25.0-40.0



Monosit



1,8



3.0-9.0



Eosinofil



2,5



0.5-5.0



Basofil



0,3



0.0-1.0



CT



04.30



2-8



BT



01.30



1-3



GDS



184



70-150



SGOT



23



0-46



SGPT



23



0-42



B. Foto CT-SCAN



V. Diagnosis Rinosinusitis Kronik Sinistra VI. Terapi Medikamentosa 



Antibiotik : Inj ceftriaxone / 12 jam







Kortikosteroid : Inj dexametasone / 8 jam







Analgetik : Inj santagesik / 8 jam







Dekongestan



VII. Terapi Operatif CWL ( Caldwell Luc )



VIII. Edukasi Meninum obat secara teratur Memeriksakan gigi ke dokter gigi Aktivitas fisik teratur



Meningkatkan asupan buah dan sayur Jika timbul gejala segera beristirahat, jangan beraktivitas terlalu berat Motivasi operasi agar pasien mempersiapkan diri karena akan segera dioperasi



IX. Prognosis Quo ad vitam



: dubia ad bonam



Quo ad sanam



: dubia ad bonam



Quo ad fungsionam



: dubia ad bonam



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan perdarahan dan persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah (Moore, 2013). 1. Pangkal hidung (bridge) 2. Dorsum nasi



3. 4. 5. 6.



Puncak hidung Ala nasi Kolumela Lubang hidung Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang



dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : (Moore, 2013). 1. Tulang hidung (os nasalis) 2. Prosesus frontalis os maksila 3. Prosesus nasalis os frontalis Sementara itu, kerangka tulang rawan terdiri atas beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu (Moore, 2013). 1. 2. 3. 4.



Sepasang kartilago nasalis lateralis superior Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor) Kartilago alar minor Tepi anterior kartilago septum Sinus paranasal memiliki bentuk yang bervariasi antar individu



sehingga sulit dideskripsikan. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Rongga sinus terebut berisi udara yang berlapis mukosa dan memiliki muara (ostium) masing - masing ke dalam rongga hidung. Sinus paranasal terdiri dari 4 pasang yaitu sinus maksilaris, sinus etmoid, sinus frontalis, dan sinus sfenoid (Snell, 2011).



Pembentukan



sinus-sinus



paranasal



dimulai



sejak



dalam



kandungan, akan tetapi hanya ditemukan dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksila dan etmoid.5 Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia 25 tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter, dan tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau dua puluhan (Snell, 2011).



Dari struktur di atas, dapat dilihat atap kavum nasi dibentuk oleh tulang-tulang nasal, frontal, etmoid, sfenoid dan dasar kavum nasi dibentuk oleh maksila dan prosesus palatina, palatina dan prosesus horizontal. Gambar 1 menunjukkan anatomi tulang-tulang pembentuk dinding nasal bagian lateral. Tiga hingga empat konka menonjol dari tulang etmoid, konka supreme, superior, dan media. Konka inferior dipertimbangkan sebagai struktur independen. Masing-masing struktur ini melingkupi ruang di baliknya di bagian lateral yang disebut meatus, seperti terlihat pada gambar 2 (Ballenger, 2008).



Gambar 2. Meatus pada dinding lateral hidung (Ballenger, 2008) Sebuah lapisan tulang kecil menonjol dari tulang etmoid yang menutupi muara sinus maksila di sebelah lateral dan membentuk sebuah jalur di belakang konka media. Bagian tulang kecil ini dikenal sebagai prosesus unsinatus. Jika konka media diangkat, maka akan tampak hiatus semilunaris dan bulla etmoid seperti tampak pada gambar 3. Dinding lateral nasal bagian superior terdiri dari sel-sel sinus etmoid yang ke arah lateral berbatasan dengan epitel olfaktori dan lamina kribrosa yang halus. Superoanterior dari sel-sel etmoid terdapat sinus frontal. Aspek postero-superior dari dinding lateral nasal merupakan dinding anterior dari sinus sfenoid yang terletak di bawah sela tursika dan sinus kavernosa (Ballenger, 2008).



Gambar 3. Struktur di balik konka(Ballenger, 2008) Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke daerah yang berbeda dalam kavum nasi seperti terlihat dalam gambar 4. Aliran sekresi sinus sfenoid menuju resesus sfenoetmoid, sinus frontal menuju infundibulum meatus media, sinus etmoid anterior \menuju meatus media, sinus etmoid media menuju bulla etmoid dan sinus maksila menuju meatus media. Struktur lain yang mengalirkan sekresi ke kavum nasi adalah duktus nasolakrimalis yang berada kavum nasi bagian anterior (Ballenger, 2008)



Gambar 4. Aliran sekresi sinus (Ballenger, 2008) Kompleks Osteo-Meatal (KOM) KOM adalah celah pada dinding lateral hidung dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang menyusun KOM adalah proseus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal (Gaillard , 2010)



KOM merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus – sinus yang terletak di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Ostium terletak pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media (Gaillard , 2010)



Gambar 5. Kompleks osteomeatal (Gaillard , 2010) B. Fisiologi Rongga Hidung dan Sinus Paranasal 1. Fisiologi Rongga Hidung a. Fungsi respirasi Udara yang dihirup mengalami proses humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang melalui hidung diatur sekitar 37oC. Fungsi ini dimungkinkan banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya pemukaan konka dan septum yang luas (Guyton, 2012). Adapun partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara disaring oleh hidung oleh rambut pada vestibulum nasi, silia, dan palut lendir. Selanjutnya, partikel debu dan bakteri yang melekat pada palut lendir dikeluarkan dengan refleks bersin (Guyton, 2012). b. Fungsi penghidu Pada hidung terdapat mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagaian atas septum yang berperan sebagai indra penghidu. Bau yang dihirup mencapai daerah ini dengan difusi dengan palur lendir atau menarik nafas yang kuat (Guyton, 2012). c. Fungsi fonetik



Kualitas suara saat bicara atau menyanyi dipengaruhi resonansi oleh hidung. Hidung membantu dalam pembentukan kata-kata. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia) (Guyton, 2012). d. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekeresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas (Guyton, 2012). 2. Fisiologi Sinus Paranasal a. Sistem mukosiliar Sinus paranasal memiliki mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Dalam mengalirkan lendirnya, sinus silia bergerak secara teratur menuju ositum mengikut jalur yang sudah tertentu polanya (Sherwood, 2011) Sistem mukosiliar dari sinus terdapat 2 aliran yang terdapat pada dinding lateral hidung. Lendir dari kumpulan sinus anterior bergabung di infundibulum etmoid lalu dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoidetmoidalis, yang dialirkan ke nasofaring di posterosuperior muara tuba. Hal ini yang menyebabkan terjadinya post nasal drip pada sinusitis (Walden et al, 2015) b. Fungsi sinus paranasal yang lain 1) Sebagai pengatur kondisi udara 2) Sebagai penahan suhu 3) Membantu keseimbangan kepala 4) Membantu resonansi udara 5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara 6) Membantu produksi mukus (Walden et al, 2015) C. Sinusitis 1. Definisi Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Buku Ajar THT FK UI, 2014).



2. Etiologi dan Faktor Predisposisi Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, infeksi bakteri, jamur, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, infeksi sumbatan komplek osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab terjadinya sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinositisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Buku Ajar THT FK UI, 2014). 3. Klasifikasi Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai 8 minggu dan kronik lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minngu, sub akut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan (Buku Ajar THT FK UI, 2014). 4. Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan (Kern and Liddy, 2015) Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berderkatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya



transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan ( Buku Ajar THT FK UI, 2014). Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil ( misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi ( Buku Ajar THT FK UI, 2014).



Gambar 5. Patogenesis Sinusitis Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini, yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan: (Kern and Liddy, 2015) a. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya kering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa. b. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan epitel.



c. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri, debris, epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mulamula encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum. d. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan berhentinya pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari. e. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan menjadi permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya dapat memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi : (1) Melalui suatu tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) Dengan terjadinya defek; dan (4) melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik (Kern and Liddy, 2015). D. Sinusitis Dentogen Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus. Sehingga, disebut sinusitis dentogen. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksilaris kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan



napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila (Soepardi et al, 2012) 1. Etiologi sinusitis tipe dentogen a. Perjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal. b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan folikuler (Soepardi et al, 2012) 2. Gejala dan Tanda Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas biasanya reda dengan pemberian analgetika biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, seperti sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk inisiatif non-produktif seringkali ada. Transluminasi berkurang bila sinus penuh cairan (Kern and Liddy, 2015)



Keluhan sinusitis kronis tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronis, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-bronkitis) dan yang paling penting adalah serangan asma yang sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Kern and Liddy, 2015) 3. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Sinusitis juga dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. American Academy of OtolaryngologyHead and Neck Surgery (AAO-HNS), menerbitkan kriteria diagnosis berdasarkan gejala dan tanda sinonasal, yang dibagi menjadi kriteria mayor dan minor.Terdapatnya 2 atau lebih tanda mayor, atau 1 mayor dan 2 minor, maka dikatakan sugestif sinusitis. Tabel 2.1 Kriteria diagnosis sinusitis Mayor



Minor



Sekret anterior nasal purulen



Sakit kepala



Sekret posterior nasal purulen



Batuk



Demam (akut)



Rasa lelah



Kongesti dan Obstruksi nasal



Halitosis



Kongesti wajah



Nyeri gigi



Hiposmia atau anosmia



Nyeri atau rasa tertekan pada telinga



Diagnosis memerlukan dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada



sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) (Walden et al, 2015). Pada rhinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius. Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa (Walden et al, 2015) 4. Tatalaksana Tujuan terapi sinusitis



adalah



mempercepat



penyembuhan,



mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsipnya adalah dengan membuka sumbatan di KOM atau melubangi di fossa canina sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami (Benninger and Stokken, 2015). Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin, dan jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin – asam klavulanat atau jenis sefalosporin generasi kedua. Pada sinusitis, antibiotik diberikan selama 10 – 14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronis diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negative dan anaerob (Benninger and Stokken, 2015). Selain dekongestan oral dan topical terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti analgetik, mukolitik, steroid oral atau topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi kedua. Irigasi sinus maksila juga merupakan terapi tambahan yang bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan pada kelainan alergi yang berat (Benninger and Stokken, 2015).



Tindakan bedah dilakukan bila terdapat indikasi berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan ireversibel; polip ekstentensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur. Tindakan bedah pada kasus sinusitis ada dua yaitu operasi Caldwell Luc dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (Lal and Stankiewicz, 2015). 5. Komplikasi Komplikasi sinusitis telah banyak menurun sejak ditemukannya antibiotic. Komplikasi biasana terjadi pada sinusitis akut atau sinusitis kronis eksaserbasi akut, antara lain (Benninger and Stokken, 2015). a. Kelainan Orbita Disebabkan oleh sinusitis yang lokasinya berdekatan dengan mata, yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui trombflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus (Benninger and Stokken, 2015). b. Kelainan Intrakranial Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan thrombosis sinus kavernosus (Benninger and Stokken, 2015). c. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada oseteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula di pipi (Benninger and Stokken, 2015). d. Kelainan Paru Kelainan para yang terjadi antara lain bronchitis kronis dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sebagai sino-bronkhial. Selain itu sinusitis dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sulit dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Benninger and Stokken, 2015).



BAB III PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN A. PEMBAHASAN Pada laporan kasus ini telah dilaporkan seorang perempuan usia 57 tahun dengan keluhan nyeri kepala, hidung tersumbat sebelah kiri, keluar ingus dibelakang hidung, hidung berbau. Untuk menegakkan diagnosis sinusitis dapat dipakai suatu kriteria dari American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) berdasarkan gejala dan tanda sinonasal yang dibagi menjadi kriteria mayor dan minor. Mayor



Minor



Sekret anterior nasal purulen



Sakit kepala



Sekret posterior nasal purulen



Batuk



Demam (akut)



Rasa lelah



Kongesti dan Obstruksi nasal



Halitosis



Kongesti wajah



Nyeri gigi



Hiposmia atau anosmia



Nyeri atau rasa tertekan pada telinga



Diagnosis memerlukan dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari. Berdasarkan kriteria diagnosis menurut AAOA dan ARS, pasien ini memiliki 2 gejala mayor dan 2 gejala minor, sehingga memenuhi kriteria sinusitis. Pada pemeriksaan status generalis didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis. Namun, pada tanda vital didapatkan tekanan darah tinggi pada pasien yakni130/80 mmHg. Pada pemeriksaan status lokalis THT, didapatkan temuan pada pemeriksaan rinoskopi anterior berupa adanya edema dan hiperemi pada konka, ditemukan sekret. Adanya gambaran sinus maksilaris sinistra yang tampak redup pada pemeriksaan CT-SCAN. Pada pemeriksaan gigi, didapatkan gigi berlubang. Sehingga merujuk pada temuan klinis yang didukung



oleh



adanya



pemeriksaan



penunjang,



maka



diagnosis



rhinosinusitis sinistra pada pasien sudah dapat ditegakkan. Karena gejala pada pasien sudah berlangsung lebih dari 3 bulan, maka rhinosinusitis pada pasien dapat dikategorikan sebagai rhinosinusitis kronik sinistra et causa infeksi gigi (sinusitis dentogen) (Soepardi et al, 2012). Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar terutama molar 1 dan molar 2. Hubungan ini dapat menimbulkan masalah klinis yaitu infeksi yang berasal dari gigi molar yang dapat menyebar naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila seperti yang terjadi pada pasien saat ini (Soepardi et al, 2012) Penanganan yang dilakukan pada pasien ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah komplikasi. Penanganan yang diberikan yaitu antibiotik spektrum luas, dekongestan, dan analgetik. Selain itu dilakukan upaya untuk mengeluarkan sekret dari sinus maksilaris sinistra dengan cara irigasi sinus. Apabila terapi tersebut tidak berhasil maka dilakukan tindakan operatif yaitu operasi Caldwell Luc, Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Pada kasus ini dilakukan tindakan operasi Caldwell Luc. Pasien juga direncanakan untuk dikonsulkan ke



bagian Gigi dan Bedah Mulut untuk penanganan kemungkinan infeksi gigi yang dialami pasien, sehingga penyebab primer dari sinusitis maksilaris dapat ditanggulangi untuk mencegah rekurensi (Soepardi et al, 2012) B. KESIMPULAN Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Rinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada kebanyakan individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini adalah rinosinusitis. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksilaris kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Berdasarkan kriteria diagnosis menurut AAOA dan ARS, pasien harus memiliki ≥2 gejala mayor dan ≥ gejala minor, sehingga memenuhi kriteria sinusitis Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa Prinsip penatalaksanaan



sinusitis



adalah



mempercepat



penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi



kronis. Prinsipnya adalah dengan membuka sumbatan di KOM atau melubangi di fossa canina sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.



DAFTAR PUSTAKA



Ballenger JJ. Aplikasi klinis anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal dalam penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 26. Jakarta: Binarupa Aksara, 2008 Benninger MS and Stokken J.K, 2015. Acute Rhinositis: Patogenesis, treatment and Complication :Cumming Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 16 edition. 2015. Mosby. Chapter : 45. Page : 724-738 Guyton, A.C., John, E.H., 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC Kern R.C, Liddy W., 2015. Patogenesis of Chronic Rhinosinusitis :Cumming Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 16 edition. 2015. Mosby. Chapter : 45. Page : 714-723 Lal Devyani and Stankiewicz J.A, 2015. Primary Sinus Surgery : :Cumming Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 16 edition. 2015. Mosby. Chapter : 45. Page : 752-763 Moore, L. 2013. Dasa-Dasar Anatomi Klinis. Jakarta: EGC Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidumg Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2012. Hal 118-9; 155-9.



Snell, S.R. 2011., Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th Ed. Jakarta : EGC Sherwood, L., 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2nd Ed. Jakarta: EGC Walden M.J, Zinreich S.J, Aygun N, 2015. Radiologi of Paranasal Sinus:Cumming Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 16 edition. 2015. Mosby. Chapter : 45. Page : 658-667