16 0 601 KB
LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA
A. KONSEP TEORITIS PENYAKIT 1. Pengertian Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal. Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut okesigen ke jaringan (Smeltzer & Bare, 2002). Anemia adalah berkurangnya kadar Hb dalam darah sehingga terjadi gangguan perfusi O2 ke jaringan tubuh. Disebut gravis yang artinya berat
dan nilai Hb
di bawah 7 g/dl sehingga memerlukan tambahan
umumnya melalui transfusi. Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006). Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) dan atau massa hemoglobin sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer ( penurunan oxygen carrying capacity) ( Lubis, 2006). Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan atau masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani & Haribowo, 2008).
2. Klasifikasi Menurut Mansjoer (2001) klasifikasi anemia yaitu : a. Anemia Mikrositik Hipokrom 1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesia paling banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang (ankilostomiasis). Infestasi cacing tambang pada seseorang dengan
makanan yang baik tidak akan menimbulkan anemia. Bila disertai malnutrisi, baru akan terjadi anemia. 2. Anemia Penyakit Kronik.
Penyakit ini banyak dihubungkan dengan berbagai penyakit infeksi, seperti infeksi ginjal, paru-paru (abses, empiema dll), inflamasi kronik (artritis reumatoid) dan neoplasma. b. Anemia Makrositik 1. Defisiensi Vitamin B12
Kekurangan vitamin B12 akibat faktor intrinsik terjadi karena gangguan absorpsi vitamin yang merupakan penyakit herediter autoimun, namun di Indonesia penyebab anemia ini adalah karena kekurangan masukan vitamin B12 dengan gejala-gejala yang tidak berat. 2. Defisiensi Asam Folat
Anemia defisiensi asam folat jarang ditemukan karena absorpsi terjadi di seluruh saluran cerna. Gejalanya yaitu perubahan megaloblastik pada mukosa, mungkin dapat ditemukan gejala-gejala neurologis, seperti gangguan kepribadian. c. Anemia karena perdarahan 1. Perdarahan akut akan timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup banyak, sedangkan penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari kemudian. 2. Perdarahan Kronik biasanya sedikit-sedikit sehingga tidak diketahui pasien. Penyebab yang sering adalah ulkus peptikum dan perdarahan saluran cerna karena pemakian analgesik. d. Anemia Hemolitik Pada anemia hemolitik terjadi penurunn usia sel darah merah ( normal 120/hari). Anemia terjadi hanya bila sumsum tulang telah tidak mampu mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek.
3. Etiologi Penyebab anemia pada dewasa terbagi menjadi dua, yakni : 1. Kehilangan sel darah merah a. Perdarahan Perdarahan dapat diakibatkan berbagai penyebab diantaranya adalah trauma, ulkus, keganasan, hemoroid, perdarahan pervaginam, dan lain-lain. b. Hemolisis yang berlebihan Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis, terjadi jika gangguan pada sel darah merah itu sendiri memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsik) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran sel darah merah (kelainan ekstrinsik). Sel darah merah mengalami kelainan pada keadaan : 1) Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan, contohnya adalah pada penderita penyakit sel sabit (sickle cell anemia) 2) Gangguan sintesis globin, contohnya pada penderita thalasemia 3) Kelainan membrane sel
darah merah, contohnya pada
sferositosis herediter dan eliptositosis 4) Difisiensi
enzim,
seperti
defisiensi
glukosa
6-fosfat
dehidrogenase (G6PD) dan defisiensi piruvat kinase (Price, 2006). 2. Kekurangan zat gizi seperti Fe, asam folat, dan vitamin B12.
c. Patofisiologi Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum tulang dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah
yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa faktor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah. Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sistem fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera (Smeltzer & Bare. 2002 : 935 ).
d. Manifestasi Klinis Tanda dan Gejala yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan kurus), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini, bisa dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya sklera (warna pucat pada bagian kelopak mata bawah). Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung (Price, 2000). Area
Manifestasi klinis
Keadaan umum
Pucat , penurunan kesadaran, keletihan berat , kelemahan, nyeri kepala, demam, dipsnea,
vertigo,
sensitive
terhadap
dingin, BB turun. Kulit
Jaundice (anemia hemolitik), warna kulit pucat, sianosis, kulit kering, kuku rapuh, koylonychia, clubbing finger, CRT > 2 detik,
elastisitas
kulit
munurun,
perdarahan kulit atau mukosa (anemia aplastik) Mata
Penglihatan
kabur,
jaundice
sclera,
konjungtiva pucat. Telinga
Vertigo, tinnitus
Mulut
Mukosa licin dan mengkilat, stomatitis, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis, lidah merah (anemia deficiency asam folat)
Paru – paru
Dipsneu, takipnea, dan orthopnea
Kardiovaskuler
Takikardia, lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak waktu kerja, angina pectoris dan bunyi
jantung
murmur,
hipotensi,
kardiomegali, gagal jantung Gastrointestinal
Anoreksia, hepatospleenomegali
mual-muntah, (pada
anemia
hemolitik) Muskuloskletal
Nyeri pinggang, sendi
System persyarafan
Sakit kepala, pusing, tinnitus, mata berkunang-kunang,
kelemahan
otot,
irritable, lesu perasaan dingin pada ekstremitas. (Bakta, 2003)
e. WOC (Terlampir)
f. Pemeriksaan Penunjang Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memperkuat penegakkan diagnosa anemia antara lain: 1. Pemeriksaan Laboratorium a. Hemoglobin Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli. b. Penentuan Indeks Eritrosit Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus: 1) Mean Corpusculer Volume (MCV) MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia
mulai
berkembang.
MCV
merupakan
indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl. 2) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg. \ 3) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%. c. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan
menggunakan
pembesaran
100
kali
dengan
memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag. d. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW) Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %. e. Eritrosit Protoporfirin (EP) EP diukur dengan memakai
haematofluorometer
yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang. f. Besi Serum (Serum Iron = SI) Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
g. Serum Transferin (Tf) Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan. h. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin) Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan
rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma. i. Serum Feritin Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan
tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/ l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris
(IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau
Essay immunoabsorben (Elisa). 2. Pemeriksaan Sumsum Tulang Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam selsel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah
suatu
teknik
invasif,
sehingga
sedikit
dipakai
untuk
mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.
g. Komplikasi Anemia
juga
menyebabkan
daya
tahan
tubuh
berkurang.
Akibatnya, penderita anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batukpilek, gampang flu, atau gampang terkena infeksi saluran napas, jantung juga menjadi gampang lelah, karena harus memompa darah lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani dan berkelanjutan dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin. Selain bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa juga mengganggu perkembangan organ-organ tubuh, termasuk otak. Anemia berat, gagal jantung kongesti dapat terjadi karena otot jantung yang anoksik tidak dapat beradaptasi
terhadap beban kerja jantung yang meningkat. Selain itu dispnea, nafas pendek dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya pengurangan oksigen (Price &Wilson, 2006).
h. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan Keperawatan a) Memberikan diet TKTP b) Memberikan diet gizi serat, dan buah – buahan yang cukup c) Mengawasi kegiatan anak d) Memberikan oksigen e) Memonitor hasil laborat (Hb dan Ht) f) Memberikan transfusi (setelah kolaborasi dengan dokter) 2. Penatalaksanaan Medis 1) Anemia mikrositik hipokrom a. Anemia defisiensi besi 1. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilotostomiasis diberikan antelmintik yang sesuai. 2. Pemberian preparat fe:
Fero sulfat 3 x 325 mg secara oral dalam keadaan perut kosong, dapat dimulai dengan dosis yang rendah dan dinaikan bertahap. Pasien yang tidak kuat,dapat diberikan bersama makanan.
Fero glukonat 3 x 200 mg secara oral sehabis makan. Bila terdapat intoleransi terhadap pemberian preparat Fe oral atau gangguan pencernaan sehingga tidak dapat diberikan oral, dapat diberikan secara parenteral dengan dosis 250 mg Fe (3 mg/kk BB) untuk tiap g% penurunan kadar Hb dibawah normal.
Iron dekstran mengandung fe 50mg/ml, diberikan secara intramuskular mula – mula 50 mg, kemudian 100-250 mg tiap 1-2 hari sampai dosis total sesuai perhitungan. Dapat pula diberikan intravena, mula –
mula 0,5 ml sebagai dosis percobaan. Bila dalam 3-5 menit tidak menimbulkan reaksi, boleh diberikan 250500 mg. b. Anemia penyakit kronik Terapi terutama ditujukan pada penyakit dasarnya. Pada anemia yang mengancam nyawa, dapat diberikan transfusi darah merah (packed red cell) seperlunya. Pengobatan dengan suplementasi besi, tidak diindikasikan, kecuali untuk mengatasi anemia
pada
artritis
reumatoid.
Pemberian
eritropoeitin dikatakan dapat memperbaiki
kobalt
dan
anemia pada
penyakit kronik. c. Anemia makrositik 1) Defisiensi vitamin B12 Pemberian vitamin B12 1.000 mg/hari im selama 5-7 hari, 1 kali tiap bulan. 2) Defisiensi asam folat 3) Meliputi pengobatan terhadap penyebab nya dan dapat dilakukan pula dengan pemberian suplementasi asam folat oral 1 mg per hari. 4) Anemia karena perdarahan Pemerikasaan laboratorium : Gambaran anemia sesuai dengan anemia defisiensi Fe. Perdarahan pada saluran cerna akan memberi hasil positif pada tes benzidin dari tinja.
Mengobati sebeb perdarahan.
Pemberian preparat Fe.
d. Anemia hemolitik 1) Anemia hemolitik Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila karena reaksi toksik – imunologik yang didapat
diberikan
adalah
kortikosteroid
(prednison,
prednisolon), kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila
keduanya tidak berhasil, dapat diberikan obat – obat sitostatik, seperti klorambusil dan siklofosfamid. 2) Anemia hemolitik autoimun Terapi inisial dengan menggunakan pednison 1-2 mg/kk Bb/hari dalam dosis terbagi. Jika terjadi anemia yang mengancam hidup, transfusi darah harus diberikan dengan hati – hati. Keputusan untuk melakukan transfusi harus melalui konsultasi dengan ahli hematologi terlebih dahulu. Apabila prednison tidak efektif dalam menanggulangi kelainan ini, atau penyakit mengalami kekambuhan dalam periode taperingoff dari prednison, maka dianjurkan untuk dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak menolong, maka dialkuakn terapi dengan menggunakan berbagai jenis obat imunosupresif. Imunoglobulin dosistinggi intravena (500 mg/kg BB/hari selama 1-4 hari) mungkin mempunyai efektivitas tinggi dalam mengontrol hemolisis. Namun efek pengobatan ini hanya sebentar (1-3 minggu) dan sangat mahal harganya. Dengan demikian pengobatan ini hanya digunakan pada situasi gawat darurat dan bila pengobatan dengan prednison menrupakan kontraindikasi. e. Anemia aplasti Tujuan utama terapi adalah pengobatan yang disesuaikan dengan etiologi dari anemianya. Berbagai teknik pengobatan dapat dilakukan, seperti :
Transfusi darah, sebaiknya diberikan packed red cell. Bila diperlukan trombosit, berikan darah segar atau platelet concentrate.
Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik. Higiene yang baik perlu untuk mencegah timbulnya infeksi.
Kortikosteroid, dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat trobositopenia berat.
Androgen,
seperti
fluokrimesteron,
testoteron,
metandrostenolon, dan nondrolon. Efek samping samping yang mungkin terjadi virilisasi, retensi air dan garam, perubahan hati, dan amenenore.
Imunosupresi, seperti siklosporin, globulin antimosit. Champlin, dkk menyarankan penggunaannya pada pasien > 40 tahun yang tidak dapat menjalani transplantasi sumsum tulang dan pada pasien yang telah mendapat transfusi berulang
Transplantasi sumsum tulang.
B. KONSEP TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Identitas Klien
Nama
Umur
Jenis kelamin Biasanya wanita lebih cenderung mengalami anemia ,disebabkan oleh kebutuhan zat besi wanita yang lebih banyak dari pria terutama pada saat hamil.
Pekerjaan Pekerja berat dan super ekstra dapat menyebabkan seseorang terkena anemia dengan cepat seiring dengan kondisi tubuh yang benar-benar tidak fit.
Hubungan klien dengan penanggung jawab
Agama
Suku bangsa
Status perkawinan
Alamat
Golongan darah
b. Riwayat Kesehatan 1. Keluhan Utama
Keluhan utama meliputi 5L, letih, lesu, lemah, lelah lalai, pandangan berkunang-kunang. 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari anemia, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan apa yang terjadi. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Pada
pengkajian
ini
ditemukan
anemia. Penyakit-penyakit
tertentu
kemungkinan seperti infeksi
penyebab dapat
memungkinkan terjadinya anemia. 4. Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit darah merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya anemia yang cenderung diturunkan secara genetik c. Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum Pucat, keletihan, kelemahan, nyeri kepala, demam, dispnea, vertigo, sensitif terhadap dingin, berat badan menurun. 2) Kulit Kulit kering, kuku rapuh. 3) Mata Penglihatan kabur, perdarahan retina. 4) Telinga Vertigo, tinitus. 5) Mulut Mukosa licin dan mengkilat, stomatitis. 6) Paru – paru Dispneu. 7) Kardiovaskuler Takikardi, hipotensi, kardiomegali, gagal jantung.
8) Gastrointestinal Anoreksia 9) Muskuloskletal Nyeri pinggang, nyeri sendi. 10) System persyarafan Nyeri kepala, bingung, mental depresi, cemas d. Fungsional Gordon a) Pola persepsi dan manajemen kesehatan Klien biasanya tidak mengetahui penyakitnya. Klien hanya beranggapan bahwa gejala yang dideritanya merupakan gejala biasa saja dan hanya kelelahan biasa. Klien mulanya hanya beristirahat, mengurangi aktivitas dan mengkonsumsi obat bebas yang ada di warung. b) Pola nutrisi metabolic Terjadinya penurunan
intake nutrisi
beruhubungan dengan
penurunan nafsu makan, terdapat nyeri mulut dan lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring). Selain itu, biasanya juga timbul gejala mual, muntah, dispnea, anoreksia, penurunan berat badan. c) Pola eliminasi Pada pola ini, biasanya bisa terjadi diare atau konstipasi, serta bisa terjadi penurunan haluaran urine. d) Pola aktivitas dan latihan Klien biasanya mengalami kelemahan, malaise, keletihan sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas klien, terjadi penurunan semangat untuk bekerja serta toleransi untuk latihan rendah. Saat bekerja timbul takikardi, dispnea, kelemahan otot dan penurunan kekuatan. e) Pola istirahat dan tidur Klien akan membutuhkan waktu untuk tidur dan istirahat yang lebih banyak karena keletihan. Selain itu perlu di kaji masalah yang dapat mengganggu klien saat tidur dan istirahat. f) Pola kognitif perceptual
Pengkajian yang dilakukan yaitu sehubungan dengan fungsi alat indera klien, kemampuan menulis, dan mengingat, terjadi penuurunan fungsi penglihatan. g) Pola persepsi diri dan konsep diri Persepsi klien terhadap dirinya bisa berubah sehubungan dengan penyakit yang diderita. Klien merasa lemah karena tidak bisa bekerja dan beraktifitas seperti orang lain. h) Pola peran hubungan Pada pola ini dikaji pekerjaan klien, peran klien dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu berisikan bagaiman hubungan klien dengan orang tersdekatnya, bagaimana pengambilan keputusan dan hubungan klien dengan masyarakat atau lingkungan sosial klien i) Pola reproduksi seksualitas Pada reproduksi
seksualitas bisa terjadi
perubahan
aliran
menstruasi, misalnya menoragia atau amenore, hilang libido, dan impoten. Serviks dan dinding vagina pucat. j) Pola koping dan toleransi stress Metode koping yang digunakan klien dalam mengatasi stress bisa saja dengan mengungkapkan perasaan gelisahnya kepada orang terdekat
atau
perawat
atau
meminum
obat
yang
dapat
menghilangkan stress. k) Pola nilai dan keyakinan Setelah pengkajian didapatkan kepercayaan klien, kepatuhan klien dalam melaksanakan ibadah, dan keyakinan-keyakinan pribadi yang bisa mempengaruhi pilihan pengobatan
2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan anemia meliputi : 1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan dipsneu, takikardia 2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan O2 ke otak ditandai dengan penurunan kesadaran, nyeri kepala
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (asam laktat) 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah ditandai dengan mual-muntah, anoreksia, penurunan BB 5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan 6. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan sekunder
(penurunan hemoglobin leucopenia, atau
penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan) 7. Konstipasi berhubungan dengan perubahan proses pencernaan
3. Aplikasi NANDA NOC NIC No 1.
NANDA
NOC
Pola napas tidak
Status
efektif b.d
ventilasi
Respirasi
NIC : Monitor Respirasi
hiperventilasi ditandai Indikator : dengan dipsneu, takikardia
- Frekuensi napas dalam batas normal - Irama pernapasan teratur - Tidak ada retraksi dada saat bernapas - Inspirasi dalam tidak ditemukan - Tidak memakai otot bantu pernapasan
Aktivitas : - Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan upaya bernapas - Monitor pergerakan, kesimetrisan, retraksi dada dan alat bantu pernapasan - Monitor pada pernapasan : bradipnea, takipnea, hiperventilasi, respirasi kusmaul, apnea - Monitor adanya penggunaan otot diafragma - Auskultasi suara napas, catat area penurunan dan ketidakadanya ventilasi
dan bunyi napas 2.
Perubahan perfusi
Status Neurologik
Intrakranial Pressure (ICP)
jaringan serebral
Indikator :
Monitoring (Monitor
berhubungan dengan
- Kien melaporkan
penurunan O2 ke
tidak ada pusing
otak ditandai dengan
atau sakit kepala
penurunan
tekanan intrakranial) Aktivitas : -
- Tidak terjadi
kesadaran, nyeri
peningkatan
kepala
tekanan intracranial - Peningkatan
informasi
kepada keluarga -
Monitor tekanan perfusi serebral
-
kesadaran, GCS ≥ 13
Berikan
Catat
respon
pasien
terhadap stimuli -
- Fungsi sensori dan
Monitor
tekanan
intrakranial pasien dan
motorik membaik,
respon
tidak mual, tidak
terhadap aktivitas
ada mutah
-
- Menunujukan konsentrasi dan orientasi
Monitor
jumlah
drainage
cairan
serebrospinal -
- Pupil seimbang dan reaktif
neurology
Monitor
intake
dan
output cairan -
Restrain
pasien
jika
suhu
dan
perlu -
Monitor
angka WBC -
Kolaborasi
pemberian
antibiotic -
Posisikan pasien pada posisi semifowler
Peripheral Management sensasi perifer) Aktivitas :
Sensation (Manajemen
-
Monitor adanya daerah tertentu
yang hanya
peka
terhadap
panas/dingin/tajam/tu mpul -
Monitor
adanya
paretese -
Gunakan sarun tangan untuk proteksi
-
Batasi gerakan pada kepala,
leher
dan
punggung -
Monitor
kemampuan
BAB -
Kolaborasi pemberian analgetik
3.
Nyeri akut
Level nyeri
Manajemen nyeri
berhubungan dengan
Indikator :
Aktivitas :
agen cedera biologis
-
(asam laktat)
-
-
Pasien tidak
-
Kaji tingkat nyeri secara
tampak mengeluh
komprehensif termasuk
dan meringis
lokasi, karakteristik,
Ekspresi wajah
durasi, frekuensi,
tidak menunjukkan
kualitas dan faktor
nyeri
presipitasi.
Pasien tidak
-
gelisah
Observasi reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.
Kontrol nyeri Indikator : -
-
-
Gunakan teknik komunikasi terapeutik
Pasien melaporkan
untuk mengetahui
nyeri berkurang
pengalaman nyeri klien
Pasien dapat
sebelumnya.
mengenal
-
-
-
Kontrol lingkungan yang
lama/onset nyeri
mempengaruhi nyeri
Pasien dapat
seperti suhu ruangan,
menggunakan
pencahayaan,
teknik non
kebisingan.
farmakologis
-
Kurangi presipitasi nyeri.
Pasien
-
Pilih dan lakukan
menggunakan
penanganan nyeri
analgesik sesuai
(farmakologis/non
indikasi
farmakologis).. -
Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..
-
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
-
Evaluasi tindakan pengurang nyeri.
Administrasi analgetik Aktivitas : -
Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
-
Cek riwayat alergi..
-
Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
-
Monitor TV
-
Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
-
Evaluasi efektifitas
analgetik, tanda dan gejala efek samping. 4.
Perubahan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan dengan kegagalan
untuk
mencerna
atau
ketidak
mampuan
mencerna
makanan
/absorpsi
nutrient
yang
Manajemen Nutrisi
Indikator:
Aktivitas:
- Asupan zat gizi - Asupan makanan dan cairan
jumlah kalori dan nutrisi
tubuh - Berat badan
penurunan BB
yang dibutuhkan pasien. - Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe.
merah nutrien
anoreksia,
- Kolaborasi dengan ahli
- Indeks massa
ditandai dengan mual- Indikator: muntah,
makanan.
gizi untuk menentukan
pembentukan Intake Nutrisi: intake darah
- Kaji adanya alergi
- Energi
diperlukan
untuk sel
Status Nutrisi:
- Anjurkan makan sedikit dan sering. - Yakinkan diet yang
- Intake kalori
dimakanmengandung
- Intake protein
tinggi serat.
- Intake lemak - Intake karbohidrat
- Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi. - Monitor albumin, total
- Intake vitamin
protein, hemoglobin dan
- Intake mineral
level hematokrit.
- Intake zatbesi - Intake kalium
Monitoring Nutrisi Aktivitas: - Timbang berat badan klien - Monitor kehilangan dan pertambahan berat badan - Monitor tipe dan kuantitas olah raga - Jadwalkan perawatan, dan tindakan keperawatan agar
tidak mengganggu jadwal makan - Monitor pertumbuhan dan perkembangan - Monitor tingkat energi, lelah, lesu, danlemah - Monitor intake kalori dan nutrisi 5.
Intoleransi aktivitas
Toleransi Aktifitas
Manajemen Energi
b.d
Indikator :
Aktivitas :
ketidakseimbangan
- Warna kulit normal
- Tentukan pembatasan
antara suplai oksigen
- Bisa berjalan bolak-
(pengiriman) dan kebutuhan
balik
aktivitas fisik pasien - Jelaskan apa dan
- Jarak berjalan
bagaimana aktivitas yang
- Kemampuan
dibutuhkan untuk
menaiki tangga - Kekuatan tubuh bagian atas - Kekuatan tubuh bagian bawah - Kemampuan pemenuhan aktivitas sehari-hari
membangun energi - Monitor intake nutrisi yang adekuat - Monitor pola tidur - Lakukan ROM aktif/pasif - Bantu pasien membuat jadwal istirahat
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made.(2003). Hematologi Klinik Dasar. Jakarta : EGC Lubis,
Dian.
(2006).
Anemia
Defisiensi
Besi.
Available
at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21579/4/Chapter%20II.pd f. Diakses pada 28 Mei 2017. Price, S.A. (2000). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit (6 ed., Vol. II). (H. Hartanto, Ed., & B. U. Pendit, Trans.) Jakarta : EGC. Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC.