Makalah Kep. Anak Hisprung [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS MAKALAH KEPERAWATAN ANAK ASKEP HISPRUNG



OLEH KELOMPOK XII (TK II REG. A) 1. MARTENY U.B.D MESA



NIM (PO.530320119132)



2. ROSALIA ROVIVI BULU



NIM (PO.530320119138)



POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG JURUSAN KEPERAWATAN PRODI D-III TAHUN AJARAN 2021



1



KATA PENGANTAR Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat serta bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan Judul “ASKEP HISPRUNG “. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Anak. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita pembaca.



Kupang, Juni 2021



Tim Penulis



2



DAFTAR ISI COVER……………………………………………………………………………….…1 KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….…2 DAFTAR ISI………………………………………………………………………….…3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………….5 1.2 Tujuan …………………………………………………………………………6 BAB II TINJAUAN TEORI` 2.1 Konsep Penyakit…………………………….…………………………..……7 2.1.1 Pengertian hisprung……………..….………………………….…….7 2.1.2 Etiologi hisprung…………..…………………………………….…….8 2.1.3 Tanda dan gejala………………………………………………………9 2.1.4 Klasfikasi hisprung……………………………………………...........10 2.1.5 Patofisiologi ………………………………………………………......10 2.1.6 Manifestasi Klinis……………………………………………………...11 2.1.7 Komplikasi……………………………………………………………...12 2.1.8 Penatalaksanaan………………………………………………………13 2.1.9 Pemeriksaan penunjang…………………… ………………………..14 2.2 Konsep Asuhan Keperawatan………………………………………………..14 2.2.1 Pengkajian keperawatan……………………………………………….15 2.2.2 Diagnosa keperawatan…………………………………………………16 2.2.3 Intervensi keperawatan………………………………………………...17 2.2.4 Implementasi keperawatan…………………………………………….18 2.2.5 Evaluasi keperawatan…………………………………………………..19 BAB lll PENUTUP 3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….20 3.2 Saran ………………………………………………………………………..…21 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………22



3



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Hirschsprung merupakan suatu kelainan kongenital pada kolon yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan pleksus mienterikus Aurbachi. Sembilan puluh persen kelainan ini terdapat pada rektum dan sigmoid. Penyakit ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista neuralis di daerah kolon distal pada minggu kelima sampai minggu kedua belas kehamilan untuk membentuk sistem saraf intestinal. Kelainan ini bersifat genetik yang berkaitan dengan perkembangan sel ganglion usus dengan panjang yang bervariasi, mulai dari anus, sfingter ani interna kearah proksimal, tetapi selalu termasuk anus dan setidaktidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional (Rochadi dkk., 2012). Menurut Dede Nurhayati (2018), penyakit Hirschprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionosis usus, mulai dari sfingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi. Disebut juga megacolon kongenital, merupakan kelainan tersering yang dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit ini tidak dijumpai pleksus myenterikus sehingga bagian usus tersebut tidak dapat mengembang. Menurut Kemenkes RI tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Penyakit Hirschprung nomor 474 tahun 2017 menyatakan bahwa Hirschprungdianggapsebagai kasus kegawatdaruratan bedah yang perlu penanganan segera, apabila jika tanpa penangganan segera maka mortalitas dapat mencapai 80% pada bulan-bulan pertama kehidupan. Dengan penangganan yang tepat angka kematian dapat ditekan. Penyakit hirschsprung dihubungkan dengan adanya mutasi pada paling kurang 12 gen yang berbeda. Penyebab hirschprung dapat dihubungkan dengan



adanya



sekitar



12%



individu



yang



mengalami



abnormalitas



dari



kromosomnya dan kromosom yang paling berhubungan dengan hirschsprung adalah down



syndrome,



dimana



dapat



terjadi



antara



2-10%



dari



semua



kasus



hirschsprung.Individu dengan down syndrom sekitar 100 kali lipat lebih tinggi berisiko menderita penyakit hirschprung dibandingkan individu yang normal. 4



Dampak yang terjadi pada penyakit hirschprung disease bila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti terjadinya obstruksi usus, konstipasi, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit, enterokolitis, striktur anal,dan inkontinensial (Nurarif & Kusuma, 2015). Diagnosis hirschprung dapat ditegakkan dengan berbagai macam pemeriksaan, antara lain pemeriksaan foto polos abdomen, pemeriksaan rektum, barium enema, biopsi rektal (Browne, et al., 2008). Masalah keperawatan yang muncul pada penderita Hirschprung Disease dibagi menjadi dua yaitu pre operatif dan post operatif. Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pre operasi yaitu gangguan eliminasi fekal (konstipasi, diare, inkontinensia fekal), kurang volume cairan dan elektrolit, gangguan kebutuhan nutrisi, risiko cedera (injury), sedangkan untuk post operasi yaitu nyeri, risiko infeksi, dan cemas pada keluarga (Hidayat, 2008). Dari masalah keperawatan yang muncul salah satunya adalah gangguan eliminasi fekal yang meliputi konstipasi, diare dan inkontinensia fekal. Eliminasi merupakan kebutuhan 4 dasar manusia yang esensial dan berperan penting untuk kelangsungan hidup manusia. Eliminasi dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis melalui sisa-sisa metabolisme tubuh (Kasiati & Rosmalawati, 2016). Peran perawat dalam menangani kasus hirschprung ini harus secara komprehensif yang dilakukan berdasarkan standar praktek keperawatan. Peran perawat disini meliputi peran sebagai pelaksana, pendidik, peneliti dan pengelola pelayanan kesehatan. Dalam upaya sebagai pelaksana pelayanan kesehatan perawat mampu memberikan 5 asuhan keperawatan secara langsung maupun tidak langsung secara menyeluruh. Dalam upaya peneliti perawat mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode penelitian serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan kesehatan yaitu dengan mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan sesuai dengan manajemen keperawatan dalam paradigma keperawatan (Potter & Perry, 2010).



5



1.2. TUJUAN 1.2.1 Tujuan Umum Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit hisprung 1.2.2 Tujuan Khusus 1. Mahasiswa-mahasiswi mampu melakukan pengkajian keperawatan pada anak dengan hisprung 2. Mahasiswa-mahasiswi mampu menegakan diagnose keperawatan pada anak dengan hisprung 3. Mahasiswa-mahasiswi mampu menyusun perencanaan keperawatan pada anak dengan hisprung 4. Mahasiswa-mahasiswi mampu melakukan implementasi keperawatan pada anak dengan hisprung 5. Mahasiswa-mahasiswi mampu melakukan evaluasi keperawatan pada anak dengan hisprung



6



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Penyakit 2.1.1 Pengertian Hisprung Penyakit hisprung disebut juga congenital aganglionosis atau megacolon (aganglionicmegacolon) yaitu tidak adanya sel ganglion dalam rectum dan sebagian tidak ada dalam colon( Suriadi, 2001 ). Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkangangguan pergerakan usus dimana hal ini terjadi karena kelainan inervasi usus, mulai pada spingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, Selain itu, penyakit hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering pada neonatus. Hisprung atau megakolon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid colon. Dan ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily & Sowden :2000 ). Penyakit Hirschsprung atau Megakolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir lebih kurang 3 Kg, lebih banyak pada anak laki – laki dari pada anak perempuan ( Arief Mansjoer dkk,2000). Megacolon congenital terjadi pada 1 dari 5000 kelahiran, dengan perbandingan antara laki-laki dan permpuan 4:1 ( Wyllie, 2004b, cit James & Ashley, 2007). Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan congenital dimana tidak



terdapatnya



sel



ganglion



parasimpatis



dari



pleksus



auerbach



dikolon,keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya paristaltik dan evakuasi usus secara spontan,spingter rectum tidak dapat berelaksasi,tidak mampu mencegah keluarnya fese secara spontan,kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong kebagian segmen yang tidak adalion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat



7



menyebabkan dilatasi usus proksimal.bersadarkan panjang segmen yang terkena,dapat dibedakan 2 tipe yaitu : a. Penyakit hisprung segmen pendek Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid,ini merupakan 70 persen dari kasus penyakit hisprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan b. Penyakit hisprung segmen panjang Kelaianan dapat melebihi sigmoid,bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus.ditemukan sama banyak pada anak laiki-laki maupun perempuan (Ngastiyah,1997:138) 2.1.2 Etiologi Hisprung Penyebab dari hisprung yang sebenarnya belum diketahui akan tetapi hisprung atau mega kolon diduga terjadi karena : 1. Faktor genetic dan lingkungan, sering terjadi pada anak dengan Down syndrome 2. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus,gagal eksistensi,kranio kaudal pada nyentrik dan sub mukosa dinding plexsus. 3. Aganglionis parasimpatis yang disebabkan oleh lesi primer,sehingga terdapat ketidak keseimbangan autonomic. 4. Umur bayi: bayi denngan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur yang paling rentan terkena penyakit hisprung merukan salah satu penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi beruumur 0-28 hari) 5. Faktor ibu: umur ibu yang semakin tua (>35 tahun ) dalam waktu hamil dapat meningkatkan resiko terjadinya kelainan congenital pada bayinya.bayi dengan sindrom down lebih sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. 6. Ras/



etnis



:Diindonesia,beberapa



suku



ada



yang



memperbolehkan



perkawinan kerabat dekat (sedarah) seperti suku batak toba (periban) dan batak karo (impal).perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan



darah atau incets. Perkawinan incets membawa akaibat pada 8



kesehatan fisik yang sangat berat dan memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan congenital ( Suriadi, 2001 : 242 ) 2.1.3 Tanda dan Gejala Tanda –tanda penyakit hisprung 1. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi 2. Perut membuncit (abdomen distention) karena retensi kotoran 3. Terlihat gelombang peristaltik pada dinding abdomen 4. Pemeriksaan rectal touché (colok dubur) menunjukan sfingter anal yang pada atau ketat,dan biasanya feses akan langsung menyeprot keluar dengan bau feses dan gas yang busuk 5. Tanda-tanda



edema,bercak-bercak



kemerahan



khususnya



disekitar



umbilicus,punggung dan sekitar genetalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis 6. Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan meconium dalam 24-28 jam pertama setelah lahir .tampak malas mengkonsumsi cairan,muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen. Gejala penyakit hisprung adalah obstruksi usus retak rendah, bayi dengan penyakit hisprung dapat menunjukan gejala klinis sebagai berikut: obstruksi total kollon saat lahir disertai muntah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi meconium. keterlambatan evakuasi meconium diikuti obsruksi konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pada saat colok dubur merupakan tanda yang kahas. bila telah timbul enterokolitis nimrotiskans terjadi distensu abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah (Nelson, 2001).



9



2.1.4 Klasfikasi Klasfikasi penyakit hisprung adalah: a. Hisprung segmen pendek Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, ini merupakan 80 persen dari kasus penyakit hisprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan . b. Hisprung segemen panjang Pada hisprung segmen panjang ini daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid c. Hisprung kolon aganglionik total Dikatakan hisprung kolon aganglionik total bila daerah aganglionik mengenai seluruh kolon d. Hisprung kolon aganglionik universal Dikatakan hisprung kolon aganglionik universal bila daerah aganglionik meliputi seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus (Ngastiyah, 2005 : 219) 2.1.5 Patofiologi Istilah congenital aganglionic mega colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormal atau tidak adanya gerakan tekanan pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak



dapat



bereleksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang meyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cema. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada mega colon (Betz, Cecily dan Sowden, 2002:197) Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk control konraksi dan relaksasi paristaltik secara normal. isi usus mendorong 10



ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proxsimal terhadap daerha itu karena terjadi obsruksi dan menyebabkan dibagian colon tersebut melebar (Price,S dan Wilson,1995:141). Penyakit hisprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding usus, meluas keproksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang bervariasi. tidak adanya intervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal.segmen yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75 % penderitam10% seluruh kolonnya tanpa sel –sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi secara histology,tidak didapatkan pleksus meissner dan auerbach dan ditmukan



berkas-berkas



saraf



yang



hipertrofi



dengan



kosentrasi



asetikolinesterase yang tinggi diantara lapisan-lapisan otot dan pada submukosa Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling disatan sampai pada bagian usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion parasimpatik



intramural.



Bagian



colon



aganglionik



itu



tidak



dapat



mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun,membentuk megakolon (Suriadi dan Rita Yuliana. 2010). 2.1.6 Manifestasi klinis 1. Kegagalan lewat mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan 2. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti pita 3. Obstruksi usus dalam periode neonatal 4. Nyeri abdomen dan distensi 5. Gangguan pertumbuhan (Suriadi, 2001 : 242)  Masa neonatal 1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir 11



2. Muntah berisi-empedu 3. Enggan minum 4. Distensi abdomen  Masa bayi dan anak-anak : 1.



Konstipasi



2.



Diare berulang



3.



Tinja seperti pita, berbau busuk



4.



Distensi abdomen



5.



Gagal tumbuh (Betz, Sowden : 197)



2.1.7 Komplikasi Menurut Corwin ( 2001 : 534 ) komplikasi penyakit hisprung yaitu gangguan elektrolit dan perforasi usus apabila distensi tidak laktasi 1. Kebocobaran Anastomose Kebocobaran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan unjung usus, infeksi dan abses sekitar anastomosse serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati . Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam.kebocoran anastomosi ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh,terdapat infilrat atau abses rongga pelvic, keboran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau periotenitis umum, sepsis. 2. Stenosis Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, Infeksi yang meyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit,distensi abdomen,enterokolitis hingga fistula perianal.tindakan yang dilakukan bervariasi,tergantung penyebab stenosis,mulai dari businasi hingga sfinkterektomi posterior. 12



3. Enterokolitis Enterokolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus halus. Semakin berkembang penyakit hisprung maka lumen usus halus makin dipenuhi eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi 2.1.8 Pemeriksaan penunjang 1. Biopsy isap,yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat pengisap dan mencari sel gaglion pada daerah submukosa (Darmawan K, 2004 : 17 ) 2. Biopsy otot rectum,yakin pengabilan lapisan otot rectum dilakukan dibawah narkos. pemeriksaan ini bersifat traumatic 3. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus (Betz, Cecily dan sowden, 2002 : 197) 4. Foto abdomen : untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon 5. Enema barium : untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon 6. Biobsi rectal : untuk mendeksi ada tidanya sel ganglion 7. Manometri anorektal : untuk mencatat respons reflex sfingter interna dan eksterna 2.1.9 Penatalaksanaan 1. Medis Penatalaksanaan operasi adalah untuk memperbiki partion aganglionik untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motolitis usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinker ani internal. Ada 2 tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu : a. Temporari ostomy dibuat proksimal terhadapa segemen aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dab terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya. b. Pembedahan koreksi diselesaikan untuk dilakukan lagi



biasanya saat



berat anak mencapai sekitar 9 kg (20 pouds) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama 13



2. Perawatan Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanannya bila



ketidakmampuan



terdiagnosa



selama



periode



neonatal,yang



diperhatikan utama yaitu: a. Membantu orang tuan untuk mengetahui adanya kelaianan congenital pada anak secara dini b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedaahan) d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang pada perawatan peroperasi harus diperhatikan juga kondisi kllinis anak-anak dengan malnutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai



status



fisiknya



meningkat.hal



ini



sering



kali



melibatkan



pengobatan simptomatik sepeti enema. diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total (NPT) 3. Pengobatan Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus.segera dilakukan colostomy sementara.colostomy adalah pembutan lubang pada dinding pert yang disambungkan dengan ujung usus besar.pengangkatan bagian usus yang terkena dan penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan pada saat anak berusia 6 bulan atau lebih.jika terjadi perforasi (perlubanngan usus) atau enterokolitis,diberikan antibiotic. ( FKUI, 2000 : 1135 )



14



2.3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HIRSCHPRUNG 2.3.1 PENGKAJIAN Menurut Muttaqin &Sari (2013) pengkajian pada anak meliputipengkajian penyakit hirschprung terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik dan evaluasi diagnostik. 1. Keluhan utama yang lazim ditemukan pada anak adalah nyeri abdomen.Untuk pengkajian nyeri pada anak terdiri atas pengumpulan data subjektif dan objektif. Keluhan orangtua pada bayinya dapat berupa muntah -muntah. Keluhan gastrointestinal lain yang menyertai, seperti distensi abdominal, mual, muntah, dan nyeri kolik abdomen. 2. Pengkajian riwayat kesehatan sekarang, keluhan orangtua pada bayi dengan tidak adanya evakuasi mekonium dalam 24 -48 jam pertama setelah lahir diikuti obstruksi konstipasi, muntah, dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensiabdomen, dan demam. Adanya feses yang menyemprot pada saat colok dubur merupakan tanda yang khas. Pada anak, selain tanda pada bayi, anak akan rewel dan keluhan nyeri pada abominal. Didapatkan keluhan lainnya berupa kontipasi atau diare berulang. Pada kondisi kronis, orangtua sering mengeluh anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Anak mungkin didapatkan mengalami kekurangan kalori –protein. Kondisi gizi buruk ini merupakan hasil dari anak karena selalu merasa kenyang, perut tidak nyaman, dan distensi terkait dengan konstipasi kronis. Dengan berlanjutnya proses penyakit, maka akan terjadi enterokolitis. Kondisi enterocolitis dapat berlanjut ke sepsis, transmural nekrosisusus, dan perforasi. 3. Pada pengkajian riwayat penyakit keluarga sering didapatkan kondisi yang sama pada generasi terdahulu. Kondisi ini terjadi sekitar 30% dari kasus. 4. Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan, serta perlunya pemenuhan informasi intervensi keperawatan dan pengobatan. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinik.Pada survey umum terlihat lemah atau gelisah.Tanda tanda 15



vital biasa didapatkan hipertermi dan takikardi dimana menandakan terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi.Tanda dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau sepsis. Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipat paha, dan rectum akan: a. Inspeksi



:



tanda



khas



didapatkan



adanya



distensi



abdominal.



Pemeriksaan rectum dan feses akan didapatkan adanya perubahan feses seperti pita dan dan berbau busuk. b. Auskultasi : pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut dengan hilangnya bising usus. c. Perkusi : timpani akibat abdominal mengalami kembung. d. Palpasi : teraba dilatasi kolon pada abdominal. 5. Pengkajian



diagnostik



yang



dapat



membantu,



meliputi



pemeriksaan



laboratorium untuk mendeteksi adanya Leukositosis dan gangguan elektrolit atau metabolic ; foto polos abdomen dengan dua posisi, yaitu posisi tegak dan posisi berbaring untuk mendeteksi obstruksi intestinal pola gas usus, serta USG untuk mendeteksi kelainan intra abdominal. 2.3.2DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan adalah langkah kedua dari proses keperawatan yang menggambarkan penelitian klinis tentang respon individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat terhadap permasalahan kesehatan baik actual maupun potensi. Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien anak dengan Hirsprung ada 7, salah satunya ialah:  Konstipasi berhubungan aganglionik ( misalnya penyakit Hirscprung)  Defisit nutrisi berhubungan detukan pedoman dengan Enterokolitis  Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi regulasi endokrin.



16



2.3.3INTERVENSI KEPERAWAN NO



DIAGNOSA



TUJUAN DAN



INTERVENSI



1



KEPERAWATAN Konstipasi berhubungan



KRITERIA HASIL Setelah dilakukan



KEPERAWATAN Manajemen Konstipasi



aganglionik ( misalnya



tindakan



penyakit Hirscprung)



keperawatan



Tindakan Observasi -



selama 3x 24 diharapkan proses



gejala konstipasi -



Periksa pergerakan



defekasi normal.



usus, karakteristik



SLKI label :



feses (konsistensi,



Eliminasi Fekal



bentuk, volume, dan



1. Kontrol pengeluaran feses



warna) -



meningkat (5)



Identifikasi faktor resiko konstipasi



2. Keluhan defekasi



(mis. Obat-obatan,



lama dan sulit



tirai baring, dan diet



menurun (5)



rendah serat)



3. Mengejan saat



-



Monitor tanda dan



defekasi menurun



gejala ruptur usus



(5)



dan atau/peritonitis.



4. Distensi abdomen



Terapeutik



menurun (5) 5. Teraba masa pada



-



6. Nyeri abdomen



-



perlu.



7. Kram abdomen 8. Konsistensi feses membaik (5)



Lakukan masase abdomen, jika



menurun (5) menurun (5)



Anjurkan diet serat tinggi



rektal menurun (5)



17



Periksa tanda dan



-



Lakukan evakuasi feses secara



9. Frekuensi defekasi membaik (5)



manual, jika perlu. -



Peristaltik usus membaik



Berikan enema atau irigasi, jika perlu.



(5)



Tindakan edukasi -



Jelaskan etiologi masalah dan alasan tindakan



-



Anjurkan peningkatan asupan cairan, jika tidak ada kontraindikasi



-



Latih buang air besar secara teratur



-



Ajarkan cara mengatasi konstipasi/impaksi Tindakan kolaborasi



-



Koloborasi dengan tim medis tentang penurunan/peningk atan frekuensi suara usus



-



Kolaborasi penggunaan obat pencahar, jika perlu



2



Defisit nutrisi berhubungan detukan pedoman dengan Enterokolitis



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan asupan nutrisi untuk memenuhi 18



Manajemen nutrisi Tindakan observasi : 1. identifikasi statu nutrisi 2. indentikasi alergi dan intoleransi makanan



kebutuhan metabolisme membaik SLKI label : Status nutrisi 1. porsi makan yang dihabiskan meningkat (5) 2. perasaan cepat kenyang menurun (5) 3. nyeri abdomen menurun (5) 4. diare menurun (5) 5. frekuensi makan membaik (5) 6. nafsu makan membaik (5) 7. bising usus membaik (5)



3. identifikasi maknan yang disukai 4. identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrian 5. identifeikasi perlunya kegunaan selama nasogatrik 6. monitoring asupan makanan 7. monitoring hasil pemeriksaan laboratarium Terapiotik 1. lakukan oral hygiene seblum makan jika perlu 2. fasilitas menentukan pedoman diet 3. sajikan maknan secara menarik dan suhu yang sesuai 4. berikan suplemen makanan jika perlu 5. hentikan pemebrian makanan melalui selang nasogastrik Tindakan edukasi 1. anjurkan posisi jika mampu 2. ajarkan diet yang diprogramkan Tindakan kolaborasi 1. kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan 2. kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan,jika perlu



19



3



Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi regulasi endokrin



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam diharapkan resiko ketidak seimbangan elektrolit teratasi. SLKI label : 1. Asupan cairan meningkat (5) 2. Kelembapan membrane mukosa meningkat ( 5 ) 3. Asupan makan meningkat (5) 4. Edema menurun ( 5 ) 5. Asites menurun ( 5 ) 6. Mata cekung membaik ( 5 ) 7. Terbor kulit membaik ( 5 ) 8. Berat badan membaik ( 5 )



4



Gangguan Tumbuh kembanga



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 1 x 24 jam 20



Manajemen Elektrolit Tindakan Observasi 1. Identifikasi tanda dan gejala ketidak keseimbangan kadar elektrolit 2. Identifikasi penyebab ketidak seimbangan elektrolit 3. Identifikasi kehilangan elektolit melalui cairan misalnya diare 4. Monitor kadar elektrolit 5. Monitor efek samping pemberian elektrolit Terapeutik 1. Berikan cairan jika perlu 2. Berikan diet tepat misalnya tinggi kalium, dan natrium 3. Anjurkan pasien dan keluarga memodifikasi diet, jika perlu 4. Pasang akses intravena jika perlu Edukasi 1. Jelaskan jenis, dan pengangan ketidak seimbangan elektrolit Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian suplemen elektrolit misalnya : Oral, NGT, IV,sesuai indikasi Perawatan perkembangan Tindakan Obeservasi



berhubungan dengan kelainan genital atau Kongenital



diharapkan kemampuan untuk berkembang sesuai dengan kelompok usia membaik SLKI label : Status Perkembangan 1. Keterampilan atau perilaku sesuai usia meningkat ( 5 ) 2. Kemampuan melakukan perawatn diri meningkat ( 5 ) 3. Respon sosial meningkat ( 5 ) 4. Kontak mata meningkat ( 5) 5. Efek membaik



21



1. Identifikasi pencapaian tugas perkembangan anak 2. Identifikasi isyarat perilaku dan fisiologis yang ditunjukan bayi misalnya : Lapr, tidak nyaman Terapeotik 1. Pertahankan sentuhan seminimal mungkin pada bayi premature 2. Berikan sentuhan yang bersifat gentle dan tidak ragu-ragu 3. Meminimalkan nyeri 4. Meminimalkan kebisingan ruangan 5. Pertahankan lingkungan yang endukung perkembangan optimal 6. Motifasi anak berinteraksi dengan orang lain 7. Sediakan aktifitas yang memotifasi anak berinteraksi dengan anak lainnya 8. Fasilitasi anak berbagi dan berganti atau bergilir Edukasi 1. Jelaskan orang tua dan atau pengasuh tentag nilai stone



perkembangan anak 2. Anjurkan orang tua menyentuh dan mengendng bayinya 3. Anjurkan orang tua berinteraksi dengan anaknya 4. Ajarkan anak keterampilan berinteraksi 5. Ajarkan anak teknik asertif Kolaborasi 1. Rujuk untuk konseling, jika perlu 5 .



Ansietas berhubungn dengan kondisi diagnosis penyakit



Setelah dilakukan tinakan keperawatn selam 1 x 24 jam diharapkan kondisi emosi dan pengelaman subyektif terhadap suatu objek tidak jelas menurun SLKI label : Tingkat Ansietas 1. Verblisasi kebingungan menurun ( 5) 2. Verbalisasi kuatir akibat kondisi yang dihadapi menurun ( 5 ) 3. Perilaku gelisa menurun ( 5 ) 4. Perilaku tengang menurun (5) 5. Pucat menurun ( 5 ) 6. Kontak mata membaik ( 5 ) 7. Orientasi membaik ( 5 )



22



Reduksi ansietas Tindakan Obserfasi 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah misalnya : Kondisi, waktu, stressor 2. Identifikasi kemampuan mengambiol keputusan 3. Monitor tanda-tanda ansietas ( Verval dan Nonverbal ) Terapiotik 1. Ciptakan suasana terapeotik untuk menumbuhkan kepercayaan 2. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan 3. Pahami situasi yang membuat



ansietas 4. Dengarkan dengan penuh perhatian 5. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan 6. Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan Edukasi 1. Jelaskan prosedur termasuk sensai yang mungkin dialami 2. Informasikan secara factual mengenai diaknosis, pengobatan, dan prognosis 3. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu 4. Anjurkan mengungkapkan perasan dan presepsion 5. Latih teknik relaksasi 6. Defisi pengetahuan m berhubungan dengan kurangnya terpapar informasi 11. m



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 1 x 24 jam diharpkan kecukupan informasi kongnitif meningkat SLKI label : Tingkat Pengertahuan 1. Perilaku sesuai anjuran meningkat ( 5 ) 2. Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topic meningkat ( 5 ) 3. Kemampuan mengambarkan pengelaman sebelumnya yang sesuai dengan topic meingkat (5) 4. Perilaku sesuai dengan perilaku meningkat ( 5 ) 23



Promosi kesehatan penerimaan informasi Tindakan Observasi 1. Identifikasi informasi yang akan disampaikan 2. Identifikasi pemahaman tentang kondisi kesehatan saat ini 3. Identifikasi kesiapan menerima informasi Terapiotik 1. Lakukan



5. Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi menurun ( 5 ) 6. Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat menurun



24



penguatan potensi pasien dan keluarga untuk menerima informasi 2. Libatkan pengambilan keputusan dalam keluarga untuk menerima informasi 3. Fasilitasi mengenali kondisi tubuh yang membutuhkan lanyanan keperawatan 4. Dahulukan menyampaikan informasi baik atau positif sebelum menyampaikan informasi kurang baik atau negative terkait kondisi pasien 5. Fasilitasi akses pelanyanan pada saat dibutuhkan Edukasi 1. Berikan informasi berupa alur, liflet, atau gambar untuk memudhkan pasien menciptakan informasi kesehatan 2. Anjurkan keluarga mendampingi pasien selam fase akut, progresif atau



terminal jika memungkinkan 2.3.4 IMPLEMENTASI KEPERAWAWATAN Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik, Tujuan dari pelaksanaa adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Adapun pelaksanaan tindakan keperawatan pada anak dengan konstipasi menuuurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2017) yaitu : a. Observasi: 1. Memeriksa tanda dan gejala konstipasi 2. Memeriksa pergerakan usus (peristaltik) 3. Memonitor buang air besar (misalnya, warna, frekuensi, konsistensi, volume) b. Terapeutik: Menganjurkan keluarga untuk memodifikasi diet c. Edukasi: 1. Menganjurkan keluarga mencatat warna, frekuensi, konsistensi, volume feses 2. Menganjurkan meningkatkan aktifitas fisik, sesuai toleransi 3. Menganjurkan meningkatkan asupan cairan, jika tidak ada kontraindikasi d. Kolaborasi: 1. Mengkonsultasikan dengan tim medis tentang penurunan frekuensi suara usus 2. Mengkolaborasikan pemberian obat (pencahar) supositoria anal, jika perlu Evaluasi adalah tindakan intrelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaanya sudah berhasil dicapai. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Adapun hasil yang diharapkan pada anak menurut Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2018) yaitu : 1. Keluhan defekasi lama dan sulit menurun 25



2. Tidak ada distensi abdomen 3. Konsistensi feses membaik 4. Peristaltik usus membaik 2.3.5 DOKUMENTASI KEPERAWATAN Pendokumentasian keperawatan merupakan bukti pencatatan dan pelaporan yang dimiliki perawat dalam melakukan catatatan keperawatan yang berguna untuk kepentingan klien, perawat dan tim kesehatan dalam memberikakn pelayanan kesehatan dangan dasar komunikasi yang akurat dan lengkap serta tertulis dengan tanggung jawab perawat. Adapun pendokumentasian yang digunakan pada proses keperawatan dengan diagnosa Hirsprung yaitu dengan menggunakan evaluasi hasil dan proses dengan dokumentasi menggunakan SOAP. Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai apakah tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi suatu masalah. (Meirisa, 2013). Pada tahap evaluasi, perawat dapat mengetahui seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaan telah tercapai. Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses keperwatan tetapi tahap ini merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan kecukupan data yang telah dikumpulkan dan kesesuaian perilaku yang observasi. Diagnosis juga perlu dievaluasi dalam hal keakuratan dan kelengkapannya. Evaluasi juga diperlukan pada tahap intervensi untuk menentukan apakah tujuan intervensi tersebut dapat dicapai secara efektif. Macam-macam evaluasi yaitu formatif dan sumatif, formatif yaitu berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan



guna



menilai



keefektifan



tindakan



keperawaatan



yang



telah



dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP. Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evalusi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara pada akhir layanan, menanyakan respon klien dan keluarga terkait layanan keperawatan, mengadakan



26



pertemuan pada akhir layanan. Evaluasi disusun disusun menggunakan SOAP dimana: S : Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan. O : Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan yang objektif A : Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif. P : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis. Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan. 1. Tujuan tercapai jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditentukan. 2. Tujuan tercapai sebagian atau klien masih dalam proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria yang telah ditetapkan. 3. Tujuan tidak tercapai jika klien hanya menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajauan sama sekali serta dapat timbul masalah baru. Perawat melakukan analisis, tugas dari evaluator adalah melakukan evaluasi, menginterpretasi data sesuai dengan kriteria evaluasi, menggunakan penemuan dari evaluasi untuk membuat keputusan dalam memberikan asuhan keperawatan. (Nurhayati, 2011)



BAB lll PENUTUP 2.4 KESIMPULAN Hirschsprung atau Megakolon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel gangliondalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidakadaan ini



27



menimbulkan keabnormalanatau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Peran perawat dalam menangani kasus hirschprung ini harus secara komprehensif yang dilakukan berdasarkan standar praktek keperawatan. Peran perawat disini meliputi peran sebagai pelaksana, pendidik, peneliti dan pengelola pelayanan kesehatan. Dalam upaya sebagai pelaksana pelayanan kesehatan perawat mampu memberikan 5 asuhan keperawatan secara langsung maupun tidak langsung secara menyeluruh. Dalam upaya peneliti perawat mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode penelitian serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan kesehatan yaitu dengan mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan sesuai dengan manajemen keperawatan dalam paradigma keperawatan. 2.5 SARAN Memberikan



pengetahuan



kepada



mahasiswa-mahasisiwi



kesehatan



khususnya untuk mahasiwa keperawatan agar mengetahui pada anak dengan penyakit hisprug dalam hal ini meliputi



pengertian ,etiologi klasfikasi



,patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan ,pemeriksaan penunjang,dan baserta asuhan keperawatan pada anak dengan penyakkit hisprung.



DAFTAR PUSTAKA Klaus & Fanoroff.1998. Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi Edisi 4.Jakarta:EGC. Wong,L.1996.Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Jakarta ECG. Kartono D.2004.Penyakit Hirschprung.Edisi 1.jakarta:Sagung Seto. 28



Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hisprung. Jakarta : Sagung Seto. Betz, Cecily dan Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih Bahasa Jan Tambayong. Jakarta : EGC.



29