Makalah Ushul Fiqh Semester Iii (Khomsul Amri) . [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH USHUL FIQH AL-IHTISAN



Dosen Pembimbing



: Nanang Zakaria, M.Pd.I



Disusun Oleh



: -



Khomsul Amri



-



Mahyudin



Jurusan



: Tarbiyah



Semester



: III ( tiga )



PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF SINTANG 2021



KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, kepadanya-Nya yang senantiasa memberikan kesehatan, kesempatan serta Rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas sebuah Makalah sederhana yang berjudul “ISTIHSAN” Dalam penyusunan Makalah ini penulis mengalami banyak hambatan dan kesulitan dimulai dari pengumpulan data sampai penyusunan-Nya. Namun dengan adanya kerja keras dan bantuan dari pihak lain dan petunjuk dari Dosen akhirnya penulis dapat menyelesaikan Makalah ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam penyusunan makalah ini. Penulis sadar bahwa dalam Makalah ini tentunya masih masih jauh dari kesempurnaan. Oleh Karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk membantu melengkapkan dan menyempurnakan makalah ini. Apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini , kami mohon maaf yang sebesarnya. Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat, Amin.



Sanggau , 25 Desember 2020 Penyusun



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagaimana kita ketahui, sumber ajaran islam yang pertama adalah al- Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak sekaligus tetapi dengan cara sedikit demi sedikit dimulai di Makkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan- persoalan yang timbul dalam mayarakat Islam ketika itu. Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya. Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya Dalam makalah ini akan dibahas tentang persoalan metode berijtihad oleh para ulama, namun dalam makalah ini pembahasan cukup difokuskan pada persoalan berijtihad dengan Istihsan. B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa pengertian Istihsan? 2. Apa saja macam-macam Istihsan? 3. Apa dasar hukum Istihsan? 4. Bagaimana Kehujjahan Istihsan? 5. Apa Alasan Ulama Syafi’iyah Dan Sepahamnya Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil? 6. Bagaimana relevansi istihsan dengan pembaharuan hukum islam?



BAB II PEMBAHASAN A. DEFINISI ISTISHAN 1. Menurut Bahasa artinya menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti,karena memang di suruh untuk itu. 2. Menurut Istilah ulama ushul fiqih adalah berpalingnya seseorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan kiyas yang khafi(samar)atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitnainy (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini 3. Imam al-bazdawi (400-482 H/1010-1059 M), salah seorang ahli mazhab hanafi menulis: istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang labih kuat. 4. Adapun As-Sarakhsi (1090 M), menyatakan: istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu karena adanya dalil yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang meng hendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. B. MACAM MACAM ISTIHSAN Ditinjau dari segi pengertian Istihsan menurtut ulama Ushul Fiqh diatas, maka istishan itu terbagi menjadi: a. Istihsan menurut syara’ 1) Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena ada suatu dalil. 2) Pepengecualian kasuistis (juz,iyyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengan adanya suatu dalil. b. Istihsan Qiyasi Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali (nyata) karena ada petunjuk untuk itu. Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi. c. Istihsan Istisnaiy Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut. Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu: 1) Istihsan bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an atau As-Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.



2) Istihsan berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukutiterhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum. 3) Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan. 4) Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan. C. DASAR HUKUM ISTIHSAN Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18 ‫ب‬ ِ ‫الَّ ِذينَ يَ ْستَ ِمعُونَ ْالقَوْ َل فَيَتَّبِعُونَ أَحْ َسنَهُ ۚ أُو ٰلَئِكَ الَّ ِذينَ هَدَاهُ ُم هَّللا ُ ۖ َوأُو ٰلَئِكَ هُ ْم أُولُو اأْل َ ْلبَا‬ Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18). Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah. ۡ‫َواتَّبِع ُۡۤوا اَ ۡحسَنَ َم ۤا اُ ۡن ِز َل اِلَ ۡي ُكمۡ ِّم ۡن َّربِّ ُكم‬ Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55) Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah. Hadits Nabi saw: ‫ َو َما َرأَى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َسيِّئًا فَه َُو ِع ْن َد هَّللا ِ َسيِّ ٌئ‬،‫ فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن‬،‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا‬



Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”. Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. D. KEJUJJAHAN ISTIHSAN Terdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara. Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan sebagian Hambaliah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara.alasan yang mereka kemukakan adalah: 1. Dasar dalam Al-Qur’an, surat Az-Zumar ayat 18: َ ‫ب‬ ِ ‫الَّ ِذينَ يَ ْستَ ِمعُونَ ْالقَوْ َل فَيَتَّبِعُونَ أَحْ َسنَهُ ۚ أُو ٰلَئِكَ الَّ ِذينَ هَدَاهُ ُم هَّللا ُ ۖ َوأُو ٰلَئِكَ هُ ْم أُولُو اأْل َ ْلبَا‬ Artinya: yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya.mereka itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang uang berakal (QS.AzZumar: 18) 2. Dasar istihsan dalam hadis ‫ فَه َُو ِع ْن َد هَّللا ِ َحس‬،‫َما َرأَى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا‬ Artinya: sesuatu yang dipandang baik menurut umat islam maka baik pula dihadapan Allah (H.R. Imam ahmad). Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadis terdapat berbagai permasalahan yang apabila diberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas ada kalanya membawa kesulitan bagi umat manusi. Sedangkan syariat islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Untuk menghilangkan kesulitan itu maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang memberikan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan umat. Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”. Imam syafi’i berkeyakinan bahwa



berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini. Dilihat dari paradigma yang dipakai oleh ulama Hanafiah, Imam Safi’i berpegang bahwa berhujjah dengan istihsan berarti Ia telah mengikuti hawa nafsunya. Sedangkan istihsan yang dimaksud ulama Hanafiah adalah berhujjah berdasarkan dalil yang lebih kuat.adapun dalil yang disodorkan ulama hanafiah mengenai istihsan, seperti surat az-zumar ayat 18 dan hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad, ulama safi’iyah berpandapat bahwa dalam surat AzZumar ayat 18, tidak menunjukan adanya istihsan, juga tidak menunjukkan wajibnya mengikuti perkataan yang baik.kemudian mengenai kutipan hadis di atas, mengisaratkan adanya ijma kaum muslimin.sedangkan ijma merupakan hujjah yang bersumber dari dalil.jadi hadis tersebut tidak berarti setiap orang yang memandang suatu urusan itu baik, maka baik pula menurut Allah.inilah pemahaman yang seharusnya tidak ada dalam benak kaum maslimin. Jadi penolakan Syafiiyah tersebut bukan pada lafad istihsannya.karena Imam Syafi’i pun sering menggunakan kata istihsan,seperti pada kasus pemberian mut’ah kepada wanita yang ditalak. Imam Syafi’i berkata menganggap baik pemberian mut’ah itu sebanyak 30 dirham. Padahal di dalam Al-Qur’an tidak ada ketentuan nilai yang harus diberikan, tetapi beliau melakukan itu sebagai ijtihad beliau atas makna pemberiaan yang ma’ruf. Jadi cara seperti ini menurut ulama Hanafiah adalah merupakan cara pengambilan hukum dengan istihsan. Menurut Ulama Syafi’iah ini bukan merupakan istihsan, tetapi dengan membatasi sesuatu dengan melihat kondisi waktu itu (taksillul illah). Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok Hanafi. Mereka beralasan : Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambil dalil dengan qiyas samar yang mengalahkan qiyas nyata, atau memenagkan qiyas yang satu terhadap qiyas lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar. E. ALASAN ULAMA SYAFI’IYAH DAN SEPAHAMNYA YANG MENOLAK ISTIHSAN SEBAGAI DALIL Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”. Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari



sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini. Alasan alasan Syafi'i menolak istihsan: 1. Mengambil Istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak berhukum dengan nash. Orang yang melakukan istihsan berarti dalam keadaan "suda", yaitu menetapkan hukum dengan menyalahi al Qur'an dan sunnah. 2. Melakukan istihsan berarti menentang ayat ayat al Qur'an yang memerintahkan agar mengikuti wahyu dan menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran (al haq) yang diturunkan Allah dan mengikuti hawa nafsu. 3. Rosulullah mengingkari hukum yang diterapkan shohabat yang mendasarkan dengan istihsan, yaitu mereka membunuh laki laki yang melekat pada pohon. 4. Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama'. 5. Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al Qur'an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu. F. RELEVANSI ISTIHSAN DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM Pembaharuan hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menjadikan perkembangan baru itu sebagai pertimbangan hukum agar hukum tersebut betul-betul mampu merealisasi tujuan syariat dan selalu berpedoman pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang dibawa al-Qur‟an dan Hadits. Jadi pembaharuan hukum Islam bukan berarti menetapkan hukum Islam yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru secara sembarangan tanpa pedoman dan batasan. Istihsan meskipun bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, namun dia menyingkap jalan yang ditempuh sebagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang di dalam masyarakat. Hal ini untuk menghilangkan kesulitan dan kemudharatan serta menghasilkan kemanfaatan dengan jalan menerapkan dasar-dasar syariat dan sumber-sumbernya. Istihsan pada hakikatnya dapat merombak hukum lama yang ditetapkan dengan qiyas, atau dengan kata lain, hukum yang ditetapkan dengan istihsan berbeda dengan hukum lama yang ditetapkan oleh Qiyas. Dari segi inilah istihsan merupakan suatu metode istinbat hukum yang sangat relevan



dengan pembaharuan hukum Islam. Karena istihsan berupaya melepaskan diri dari kekakuan hukum yang dihasilkan Qiyas. Salah satu contoh kasus kontemporer yang dapat diangkat yaitu masalah transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenazah, namun dalil yang menyuruh manusia untuk berobat rasanya lebih baik untuk diikuti. Dalam hal inipun pendekatan istihsan rasanya lebih tepat untuk dilaksanakan.



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Adapun kesimpulan awal yang dapat penulis tarik, berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Istihsan adalah sebuah konsep penalaran untuk menggali dan menemukan hukum suatu kejadian yang tidak ditetapkan hukumnya secara jelas oleh nash, di mana posisi istihsan disamakan dengan qiyas namun dengan sandaran yang lebih kuat. 2. Pada prinsipnya, istihsan tetap bersandar kepada dalil nash, ijma‟, dan qiyas, dengan esensi yang sama, yaitu untuk menghindarkan kesulitan demi sebuah kemaslahatan. 3. Istihsan sebagai salah satu metode istinbat hukum alternatif ternyata akan selalu relevan dengan perkembangan zaman.