Modul KLHS Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SAMBUTAN KEPALA DINAS PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG PROVINSI SUMATERA BARAT Selamat datang para peserta pelatihan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), kami sangat menghargai para peserta yang telah hadir dalam kegiatan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang akan secara nyata meningkatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan Aparatur Sipil Negara dari Organisasi Perangkat Daerah di seluruhKabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Barat. Dengan mengikuti pelatihan ini diharapkan terwujudnya kesamaan pemahaman baik secara aturan dan teknis dari penyusunan suatu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RTR Kabupaten/Kota serta tersedianya Sumberdaya Manusia di Kabupaten/ Kota yang memiliki kemampuan dalam penyusunan KLHS. KLHS merupakan proses mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam pengambilan keputusan terhadap kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP), melalui antisipasi kemungkinan dampak negatif KRP terhadap lingkungan hidup dan evaluasi sejauh mana KRP yang akan diterbitkan berpotensi: meningkatkan risiko perubahan iklim; meningkatkan kerusakan, kemerosotan, atau kepunahan keanekaragaman hayati. Diharapkan dengan adanya peran KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang menjadi suatu bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP] dalam perencanaan tata ruang.. Kepala Dinas



Ir. Fathol Bari, MSc. Eng



KATA PENGANTAR Modul Pelatihan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan acuan yang dapat digunakan oleh peserta pelatihan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam rangka Peningkatan Pemahaman Kapasitas SDM Bidang Penataan Ruang. Kegiatan ini merupakan tugas pokok dan fungsi Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Sumatera Barat yang mana akan dilaksanakan 5 (lima) kali pelatihan yang salah satunya adalah Pelatihan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Dengan adanya modul pelatihan Penyusunan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ini diharapkan dapat memudahkan peserta memahami prosedur dan tahapan penyusunan KLHS untuk Rencana Tata Ruang secara terstruktur. Demikian modul Pelatihan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ini dibuat sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis serta sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang diharapkan dapat menjabarkan tahapan – tahapan dalam Penyusunan KLHS.



Koordinator



Drs. Danang W. Jati, DUM, MUP



BIDANG PE NATAAN RUANG



MATERI POKOK 1 PENDAHULUAN



1. Latar Belakang 2. Tujuan 3. Pengguna Modul 4. Fasilitator 5. Evaluasi



P E L A TI HA N R E N CA NA D E TAI L T A TA R U AN I-3 MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



I-1



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI .................................................................................................................................................. I - 2 PENDAHULUAN .......................................................................................................................................... I - 3 Latar Belakang............................................................................................................................................. I - 3 Tujuan ........................................................................................................................................................... I – 5 Pengguna Modul ......................................................................................................................................... I - 5 Fasilitator .................................................................................................................................................... I – 5 Evaluasi .......................................................................................................................................................... I - 6



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



I -2



PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif digunakan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program sesuai dengan (UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Makna strategis mengandung arti sangat penting dan sangat berpengaruh. KLHS mengevaluasi kondisi dan rencana daerah yang sangat penting dan berpengaruh, karena komponen yang sangat penting dan berpengaruh tersebut jika dibiarkan akan berdampak pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan strategis yang digunakan dalam kebijakan, rencana, dan/atau program dapat digunakan untuk memperkirakan apa yang terjadi di masa depan, merencanakan dan mengendalikan langkah-langkah yang diperlukan sehingga menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek Lingkungan Hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan Lingkungan Hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. (Pasal 1 Ayat 3 UU 32 Tahun 2009 PPLH dan Pasal 1 Ayat 3 PP 46 Tahun 2016 KLHS). KLHS merupakan proses mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam pengambilan keputusan terhadap kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP), melalui antisipasi kemungkinan dampak negatif KRP terhadap lingkungan hidup dan evaluasi sejauh mana KRP yang akan diterbitkan berpotensi:



meningkatkan



risiko



perubahan



iklim;



meningkatkan



kerusakan,



kemerosotan, atau kepunahan keanekaragaman hayati; meningkatkan intensitas bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan terutama MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



I -3



pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis; menurunkan mutu dan kelimpahan sumber daya alam terutama pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis; mendorong perubahan penggunaan dan/atau alih fungsi kawasan hutan terutama pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis; meningkatkan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau meningkatkan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. Sebagaimana disebutkan dalam UU 32/2009 tentang PPLH Pasal 15 dan PP 46/2016 tentang KLHS Pasal 2, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip Pembangunan Berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP). Peran KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP] dalam perencanaan tata ruang. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai



instrumen



metodologis



pelengkap



(komplementer)



atau



tambahan



(suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas. Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah. Sesuai dengan amanat dalam PP 46/2016 pasal 4 ayat 3 yaitu Kebijakan, Rencana, dan/atau Program tingkat Kabupaten/Kota yaitu pada point a bahwa Rencana Tata MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



I -4



Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; diwajibkan dilaksanakannya penyusunan KLHS, maka untuk mendukung terlaksananya amanat ini, SDM aparatur dari sektor yang terkait langsung dalam perencanaan tata ruang perlu dibekali pemahaman serta dilatih kemampuannya untuk dapat menyusun dokumen KLHS. Hal ini mengingat hingga saat ini masih aparatur yang mengerti dan menguasai kompleksnya proses perumusan isuisu strategis dan prioritas, analisa KRP hingga tervalidasinya dokumen KLHS tersebut sangatlah terbatas. Untuk itu, pelatihan penyusunan KLHS menjadi sangat urgen untuk dilaksanakan, agar dapat mencetak aparatur yang handal dalam menyusun dokumen KLHS rencana tata ruang. B. TUJUAN Tujuan disusunnya modul ini adalah : -



bahan acuan agar peserta memiliki kemampuan dalam menyusun dokumen KLHS rencana tata ruang di Lingkungan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.



-



Untuk memudahkan peserta pelatihan memahami tahapan,-tahapan dalam penyusunan KLHS rencana tata ruang.



C.



PENGGUNA MODUL Pengguna modul merupakan peserta pelatihan penyusunan KLHS rencana tata ruang yang berasal dari organisasi perangkat daerah (OPD) pemerintah provinsi maupun OPD pemerintah dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat yang terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang.



D. FASILITATOR/NARASUMBER Pelaksanaan pelatihan penyusunan KLHS rencana tata ruang ini mendatangkan fasilitator/ narasumber dari : -



Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan



-



Pusat Studi Lingkungan Hidup, Intitut Teknologi Bandung.



-



Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat



-



Praktisi/Ahli Lingkungan Hidup



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



I -5



E. EVALUASI Pelaksanaan evaluasi dari pelatihan ini dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, yaitu : -



Pre Test Pre test atau tes awal dilakukan hanya untuk melihat sejauh mana pengetahuan dasar peserta mengenai KLHS. Sehingga nantinya pada saat pelatihan berakhir dapat mengukur progres yang dicapai oleh setiap peserta.



-



Post Test/Evaluasi Akhir Evaluasi akhir dilakukan setelah semua materi dibahas dan peserta melakukan best practice/ praktek analisa dalam setiap tahapan penyusunan KLHS.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



I -6



BIDANG PE NATA AN RUANG



MATERI POKOK 2 PERSIAPAN PENYELENGGARAAN KLHS 1. Pembentukan POKJA 2. Identifikasi Pemangku Kepentingan 3. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -1



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI ................................................................................................................................................. II - 2 DAFTAR GAMBAR..................................................................................................................................... II - 5 DAFTAR TABEL ........................................................................................................................................ II – 5 RANCANG BANGUN PEMBELAJARAN MATA AJAR (RBPMA) ............................................. II - 4 Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) KLHS .......................................................................... II - 5 Identifikasi Pemangku Kepentingan .............................................................................................. II - 7 Penyusunan Kerangka Acuan Kerja ............................................................................................. II - 13



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -2



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Fungsi dan Peran Pemangku Kepentingan ..................................................... II – 11 Gambar 2.2 Penyusunan KAK KLHS ............................................................................................................. II – 14



DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Pemetaan Pemangku Kepentingan .......................................................................... II – 10 Tabel 2.2 Contoh Instrumen Pemangku Kepentingan ........................................................ II – 13



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -3



1. Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) KLHS Dalam membuat dan melaksanakan KLHS, penyusun KRP membentuk Kelompok kerja (POKJA) KLHS yang dapat dibentuk tersendiri atau menjadi bagian dari kelompok kerja penyusunan atau evaluasi KRP. Kelompok kerja KLHS tersebut terdiri dari unsur: a. perwakilan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait, untuk Kebijakan, Rencana, dan/atau Program tingkat nasional; b. perwakilan Perangkat Daerah terkait, untuk Kebijakan, Rencana, dan/atau Program tingkat daerah. Dalam membuat dan melaksanakan KLHS, POKJA KLHS dapat dibantu oleh pakar. Dipersyaratkan dalam Kelompok kerja KLHS sedikitnya 1 (satu) anggota yang memenuhi standar kompetensi berupa: a. kriteria ketepatan keahlian pada isu yang dikaji; b. pengalaman di bidang pembuatan dan pelaksanaan KLHS atau kajian Lingkungan Hidup yang sejenis. Kelompok kerja KLHS memiliki tugas antara lain: a. menyusun kerangka acuan kerja (KAK); b. melaksanakan konsultasi publik; c. membuat dan melaksanakan KLHS melalui mekanisme sesuai dalam peraturan perundangan; d. melaksanakan pengintegrasian hasil KLHS ke dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP); e. melaksanakan penjaminan kualitas KLHS; f. melaksanakan pendokumentasian KLHS.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -5



Kelompok Kerja KLHS Untuk Kebijakan, Rencana, Dan/Atau Program Tingkat Provinsi Atau Kabupaten/Kota Pembentukan di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota mengikuti kaidah-kaidah sebagai berikut: a. Ketua Kelompok Kerja yang dijabat oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi/Kabupaten/Kota atau Kepala Perangkat Daerah Penyusun Kebijakan, Rencana dan/atau Program Provinsi/Kabupaten/Kota; b) Wakil Ketua Kelompok Kerja yang dijabat oleh Kepala PD Penyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program apabila ketua Kelompok Kerja dijabat oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup, atau sebaliknya. c. Sekretaris yang dijabat oleh pejabat eselon III/kepala bidang dari Perangkat Daerah yang menyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program. Contoh: - kepala bidang pada Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perencanaan pembangunan daerah; - kepala bidang pada Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang penataan ruang; atau - kepala bidang pada Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kelautan.



d) Anggota yang berasal dari unsur Perangkat Daerah terkait. e) Anggota lain yang terdiri dari satu atau lebih tenaga ahli yang memiliki standar kompetensi KLHS dan relevan terhadap isu dan/atau muatan Kebijakan, Rencana dan/atau Program.



Syarat-syarat keberhasilan Pokja KLHS







Perlu adanya Tim Inti(6 s/d 15 orang) dalam POKJA PL



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -6







Perlu anggota POKJA PL yang memiliki akses data spasial dan dapat mengoperasikan Sistem Informasi Geografis (SIG)







Perlu anggota dari unsur non-pemerintah







Media komunikasi bersama (Media Sosial)







Kordinasi kerja dengan Tenaga Ahli Pendamping



2. Identifikasi Pemangku Kepentingan Sebagaimana sifat dari KLHS sendiri yaitu partisipatif, dalam proses identifikasi dan perumusan isu Pembangunan Berkelanjutan (PB) dilakukan melalui konsultasi publik dengan melibatkan pemangku kepentingan yang relevan. Untuk itu, penting dalam tahap persiapan dilakukan identifikasi para pemangku kepentingan yang akan dilibatkan dalam penyusunan KLHS. Berdasarkan PP No. 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS (Pasal 32) Penyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dalam membuat KLHS melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan. Keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud diantaranya adalah: a. pemberian pendapat, saran, dan usul; b. pendampingan tenaga ahli; c. bantuan teknis; dan d. penyampaian informasi dan/atau pelaporan. Masyarakat dan pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud meliputi: a. masyarakat dan pemangku kepentingan yang terkena dampak langsung dan tidak langsung dari Kebijakan, Rencana, dan/atau Program; dan b. masyarakat dan pemangku kepentingan yang memiliki informasi dan/atau keahlian yang relevan dengan substansi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program. Teknik komunikasi yang akan digunakan dalam penyusunan KLHS RTRW ialah pemanfaatan dokumen atau kajian, melaksanakan konsultasi publik (FGD), pelaksanaan lokakarya serta pembentukan tim ahli dan wakil-wakil komunitas yang ada, di antaranya:



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -7



a. Pembuat keputusan dan/atau penyusun KRP:  Pejabat Perangkat Daerah tertentu b. Pejabat Perangkat Daerah tertentu  DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota  Instansi yang membidangi LH  Instansi yg membidangi kehutanan, pertanian, perikanan, pertambangan  Perangkat Daerah terkait lainnya c. Masyarakat yang memiliki informasi dan/atau keahlian (perorangan/tokoh/ kelompok)  Perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya  Asosiasi profesi  Forum-forum PB dan LH (DAS, air)  LSM  Perorangan/tokoh/  kelompok yang mempunyai data dan informasi berkaitan dengan SDA  Pemerhati LH  Masyarakat yang Terkena Dampak  Lembaga Adat  Asosiasi Pengusaha  Tokoh masyarakat  Organisasi masyarakat  Kelompok masyarakat tertentu (nelayan, petani dll.) Adapun tujuan identifikasi pemangku kepentingan antara lain : 1. Menentukan secara tepat pihak-pihak yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan KLHS 2. Menjamin diterapkannya asas partisipasi yang diamanatkan UU 32 tahun 2009 3. Menjamin hasil perencanaan dan evaluasi KRP memperoleh legitimasi atau penerimaan oleh publik



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -8



4. Agar masyarakat dan pemangku kepentingan mendapatkan akses untuk menyampaikan



informasi, saran, pendapat, dan



pertimbangan



tentang



pembangunan berkelanjutan melalui proses penyelenggaraan KLHS Kewajiban Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Dalam Pelibatan Masyarakat pada penyusunan KLHS adalah : 



Memberikan informasi dan menyediakan akses informasi kepada masyarakat tentang proses penyusunan dan penetapan KRP melalui media komunikasi yang memiliki jangkauan sesuai dengan tingkat dan skala KRP







Melakukan sosialisasi dan penyebar luasan informasi mengenai perencanaan KRP







Menyelenggarakan kegiatan untuk menerima masukan dari masyarakat terhadap perencanaan KRP







Memberikan tanggapan kepada masyarakat atas masukan yang diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan







Membangun kesadaran dan tanggung jawab masyarakat atas KRP yang diputuskan dan pengaruhnya terhadap segi kehidupan masyarakat luas



Dalam penyusunan KLHS dilakukan pendekatan: -



Teknokratik, yaitu menggunakan metodologi analisis ilmiah & dapat dipertanggungjawabkan secara birokrasi



-



Partisipatif, yaitu melibatkan pemangku kepentingan terkait



-



Deliberatif, yaitu perpaduan antara Teknokratik-Birokratik dan Partisipatif



Untuk memudahkan memahami siapa-siapa saja yang menajdi pemangku kepentingan dalam penyusunan KLHS dapat dilihat pada tabel pemetaan pemangku kepentingan dibawah ini :



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -9



Tabel 2.1 Pemetaan Pemangku Kepentingan Masyarakat dan Pemangku Contoh Lembaga Kepentingan Pembuat keputusan



a. Menteri/kepala lembaga pemerintah/gubernur/ bupati/wali kota b. DPR/DPRD



Penyusun kebijakan, rencana dan/atau program)



a. Kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian b. Bappeda/SKPD tertentu



Instansi



a. Instansi yang membidangi lingkungan hidup b. Instansi yg membidangi kehutanan, pertanian, perikanan, pertambangan c. SKPD terkait lainnya



Masyarakat yang memiliki informasi dan/atau keahlian (perorangan/ tokoh/kelompok)



Masyarakat yang Terkena Dampak



a. Perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya b. Asosiasi profesi c. Forum-forum pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup (DAS, air) d. LSM e. Perorangan/tokoh/kelompok yang mempunyai data dan informasi berkaitan dengan SDA f. Pemerhati Lingkungan Hidup a. b. c. d. e.



Lembaga Adat Asosiasi Pengusaha Tokoh masyarakat Organisasi masyarakat Kelompok masyarakat (nelayan, petani dll)



tertentu



Fungsi dan peran pemangku kepentingan dalam penyusunan KLHS dapat dijelaskan sebagai berikut :



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -10



Gambar 2.1 Fungsi dan Peran Pemangku Kepentingan Identifikasi dan pelibatan masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam peraturan perundangan, antara lain : UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 18 ayat (1) & Penjelasan  KLHS dilaksanakan dengan melibatkan masyarakatdan pemangku kepentingan  Pelibatan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi, dan konsultasi publik PP No 46 thn 2016. Psl 32 :  Dalam pemuatan KLHS, Penyusun KRP melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk : (a) pemberian pendapat, usul, (b) pendampingan tenaga ahli, (c) bantuan teknis dan (d) penyampaian informasi.  Pemangku Kepentingan: (a) masyarakat yg terkena dampak langsung dan tidak langsung akibat KRP dan (b) masyarakat yg memiliki informasi terkait materi KRP. 



Masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya adalah orang perseorangan atau kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan pemangku kepentingan lain



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -11







Perseorangan atau kelompok orang yang memiliki informasi dan keahlian sesuai kebutuhan penyelenggaraan KLHS (Akademisi, peneliti, pakar, profesional, kelompok peneliti, asosiasi profesi, LSM, dan lainnya)







Perseorangan atau kelompok orang yang terpengaruh dan terkena dampak KRP:







yang akan melaksanakan KRP







yang akan terkena akibat pelaksanaan KRP (tokoh masyarakat, wakil masyarakat pada skala wilayah, LSM, dunia usaha, penanggung jawab perlindungan dan pelestarian lingkungan, dan lainnya)







Perseorangan atau kelompok orang sebagai pemerhati (termasuk media massa) Berdasarkan hasil pemetaan pemangku kepentingan, nantinya dapat ditentukan



teknik konsultasi publik atau teknik komunikasi yang sesuai dalam pembuatan dan pelaksanaan KLHS. Dalam banyak kasus, lebih diperlukan metode diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) untuk membahas beberapa isu secara khusus dengan anggota yang terbatas daripada model diskusi publik terbuka (public hearing). Kelebihan metode ini agar diskusi mengenai beberapa isu spesifik dapat dilakukan secara khusus dan tajam dengan peserta yang terbatas, sehingga dialog dan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih efektif. Dengan cara ini, keberatan publik atas hasil KLHS diharapkan dapat ditanggapi melalui dialog yang konstruktif. Kiat untuk membangun komunikasi dan dialog agar proses KLHS berjalan efektif, yaitu: 1. bahan tertulis disiapkan secara ringkas, lengkap dan jelas; 2. waktu dan tempat ditentukan secara tepat; 3. presentasi dilakukan secara jelas dan tegas; 4. tidak berkesan menggurui; dan 5. tersedia moderator atau fasilitator yang handal dan efektif serta dapat diterima oleh para pemangku kepentingan.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -12



Fasilitator berperan penting antara lain dalam: 1. meluruskan dan mengklarifikasi komunikasi yang dapat menimbulkan intepretasi yang berbeda untuk menghindari kesalahpahaman; 2. menjelaskan pesan yang belum jelas disampaikan oleh para pemangku kepentingan; 3. menjaga kesantunan komunikasi dari para pemangku kepentingan; dan 4. membantu menyimpulkan dan menyepakati hasil diskusi. Tabel 2.2 Contoh Instrumen Pemangku Kepentingan PEMANGKU



YANG MEMPENGARUHI



YANG DIPENGARUHI



PENYUSUNAN KRP



PELAKSANAAN KRP



KEPENTINGAN 1. 2. Pemerintah 3. dst. 1. LSM/Ormas



2. dst. 1.



Perguruan Tinggi/Akademisi



2. dst. 1.



Dunia Usaha



2. dst. 1.



Tokoh Masyarakat 2. Lainnya



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -13



3. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja



Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) sangat penting dan menjadi salah satu tugas dari POKJA KLHS. Kerangka acuan ini menjadi pedoman kerja dan dasar pengukuran kinerja POKJA KLHS. Dalam penyusunan Kerangka Acuan Kerja untuk membuat KLHS minimal harus memuat: a. latar belakang; b. maksud dan tujuan c. sasaran; d. lingkup kegiatan; e. referensi hukum f. hasil yang diharapkan; g. cara pembuatan dan pelaksanaan; h. rencana kerja yang mencakup jadwal kerja; i. kebutuhan tenaga ahli yang diperlukan; j. pembiayaan. Secara umum, dalam penyusunan Kerangka Acuan Kerja KLHS harus memenuhi hal-hal sebagai berikut :



Gambar 2.2 Penyusunan Kerangka Acuan Kerja KLHS



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -14



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



II -15



BIDANG PE NATAAN RUANG



MATERI POKOK III PELAKSANAAN KLHS (1) 1. Daftar Isi 2. Bahan Ajar 3. Lampiran



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -1



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... III - 2 DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................... III - 3 DAFTAR TABEL ..................................................................................................................................... III – 3 RANCANG BANGUN PEMBELAJARAN MATA AJAR (RBPMA) ........................................... III - 4 Identifikasi/Perumusan Isu Pembangunan Berkelanjutan ............................................... III - 5 Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Strategis ................................................... III - 12 Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Prioritas ................................................... III - 20



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -2



DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Perumusan Isu Pembangunan Berkelanjutan .............................................. III – 8 Gambar 3.2 Tahap pengkajian Isu PB Strategis (KLHK-RI, 2018) ..................................... III - 11



DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Penapisan Isu Pembangunan Berkelanjutan ....................................................... III – 9 Tabel 3.2 Matrik Penentuan Isu Pembangunan Berkelanjutan Strategis ................ III – 12 Tabel 3.3 Alternatif Perumusan isu PB strategis (Kementerian LHK-RI, 2018) .....III –13 Tabel 3.3 Matrik Penilaian dan Pembobotan Isu Pembangunan Berkelanjutan Strategis dengan Kriteria Isu Pembangunan Prioritas .......................................................................... III - 19



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -3



1. Identifikasi / Perumusan Isu Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan dalam Pasal 1 Ayat 3 UU 32 Tahun 2009 PPLH dan Pasal 1 Ayat 3 PP 46 Tahun 2016 KLHS adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek Lingkungan Hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan Lingkungan Hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Tujuan pembangunan berkelanjutan ini diwujudkan melalui pencapaian 17 program/ agenda SDGs 2030, antara lain : a. Tanpa Kemiskinan Mengakhiri segala bentuk kemiskinan di mana pun. b. Tanpa Kelaparan Menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan. (Menurunnya penduduk dengan asupan kalori minimum pada tahun 2019 menjadi 8,5 % (2015: 17,4%). c. Kehidupan sehat dan sejahtera Menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia. (Menurunnya angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2019 menjadi 306 (pada 2010: 346). Dan Menurunnya angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2019 menjadi 24 (2012-2013: 32 jiwa). d. Pendidikan Berkualitas Menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua. (Meningkatnya rata-rata angka melek aksara di atas umur 15 tahun pada tahun 2019 sebesar 96,1%). e. Kesetaraan Gender Mencapai



kesetaraan



(Meningkatnya



jumlah



gender



dan



kebijakan



pemberdayakan yang



responsif



kaum



perempuan.



gender



mendukung



pemberdayaan perempuan pada tahun 2019 bertambah sebanyak 16 (2015: 19). MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -4



f.



Air Bersih dan Sanitasi Layak Menjamin ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua. (Meningkatnya akses terhadap layanan air minum dan berkelanjutan pada tahun 2019 menjadi 100% (2015: 70,9%) dan meningkatnya akses terhadap sanitasi yang layak dan berkelanjutan pada tahun 2019 menjadi 100% (2015: 62,14 %).



g. Energi Bersih dan Terjangkau Menjamin akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua (Meningkatnya konsumsi listrik per kapita menjadi 1.200 KWh pada tahun 2019 (2014: 843 KWh). h. Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Meningkatkan



pertumbuhan



ekonomi



yang



inklusif



dan



berkelanjutan,



kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua (Meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita per tahun menjadi lebih dari Rp 50,000 juta pada tahun 2019 (2015: Rp 45,180 45,2juta). i.



Industri, Inovasi dan Infrastruktur Membangun infrastruktur yang tangguh, meningkatkan industri inklusif dan berkelanjutan, serta mendorong inovasi. Terbangunnya jalan tol sepanjang 1.000 km pada tahun 2019 (2014: 820 km) , Bertambahnya panjang jalur kereta api sepanjang 3.258 km pada tahun 2019 (2014: 954 km), Meningkatnya jumlah bandara menjadi 252 pada tahun 2019 (2014: 237), dan Meningkatnya jumlah dermaga penyeberangan menjadi 275 pada tahun 2019 (2014: 210).



j.



Berkurangnya Kesenjangan Mengurangi kesenjangan intra- dan antarnegara (Jumlah daerah tertinggal yang terentaskan sebanyak 80 kabupaten dan berkurangnya desa tertinggal sebanyak 5.000 desa pada tahun 2019)



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -5



k. Kota dan Permukiman Berkelanjutan Menjadikan



kota



dan



permukiman



inklusif,



aman,



tangguh,



dan



berkelanjutan.(Target tersedia 3,7 juta akses rumah layak di tahun 2019) l.



Konsumsi dan Produksi yang Bertanggungjawab Menjamin Pola Produksi dan Konsumsi yang Berkelanjutan (Meningkatnya pengelolaan limbah B3 menjadi 150 juta ton pada tahun 2019)



m. Penanganan Perubahan Iklim Mengambil tindakan cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya (Terwujudnya penyelenggaraan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK), serta monitoring, pelaporan dan verifikasi Emisi GRK yang dilaporkan dalam dokumen Biennial Update Report (BUR) ke-3 hingga tahun 2019 (2015: dokumen BUR ke-1). n. Ekosistem Lautan Melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera untuk pembangunan berkelanjutan. (Terkendalinya Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) fishing dan kegiatan di laut yang merusak ditandai dengan kepatuhan sebanyak 87% pelaku usaha pada tahun 2019 (2015: 66 %). o. Ekosistem Daratan Melindungi,



merestorasi,



dan



meningkatkan



pemanfaatan



berkelanjutan



ekosistem daratan, mengelola hutan secara lestari, menghentikan penggurunan, memulihkan degradasi lahan, serta menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati. (Berkurangnya luasan lahan kritis melalui rehabilitasi seluas 5,5 juta hektar di dalam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas hingga tahun 2019 (2015: 1,25 juta hektar). p. Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh Menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangun kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -6



(Menurunnya prevalensi kekerasan terhadap anak pada tahun 2019 (2013: 38,62% untuk anak laki-laki dan 20,48% untuk anak perempuan). q. Kemitraan untuk mencapai tujuan Menguatkan sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan



berkelanjutan.



(Tercapainya



rasio



penerimaan



perpajakan



terhadap PDB di atas 10% per tahun (2015: 10,7%).



Untuk memudahkan tahapan Identifikasi isu pembangunan berkelanjutan dapat ditapis dengan cara : 1. Mengumpulkan isu pembangunan berkelanjutan melalui : 



telaah literatur







curah pendapat Kelompok Kerja







konsultasi publik



2. Memusatkan isu-isu pembangunan berkelanjutan (pelingkupan isu), yang dilakukan dengan cara : Hasil diskusi dalam konsultasi publik dikumpulkan menjadi Isu PB dalam daftar panjang, lalu ditelaah berdasar kesamaan dan sebab akibat isu, lalu dipusatkan. Pemusatan isu-isu pembangunan berkelanjutan dilakukan berdasarkan : a.



Melihat



kesamaan



substansi



dan/atau



menelaah



sebab-akibat



dengan



memperhatikan 



isu lintas sektor







isu lintas wilayah







isu lintas pemangku kepentingan







isu lintas waktu



b. Melakukan konsultasi dengan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk pengayaan dan penajaman isu pembangunan berkelanjutan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -7



c.



Melakukan



konfirmasi



dari



data



atau



informasi



yang



dapat



dipertanggungjawabkan 3. Melakukan telaah cepat hasil pelingkupan yang mempertimbangkan unsur-unsur paling sedikit: a. karakteristik wilayah yang ditelaah dalam bentuk spasial (misalnya dengan menggunakan peta Rupa Bumi, peta rencana tata ruang, dan peta tutupan lahan); b. tingkat pentingnya potensi dampak; c. keterkaitan antar isu strategis pembangunan berkelanjutan 4. Membuat perkiraan tentang : a. tingkat pentingnya potensi dampak, berdasarkan indikasi cakupan wilayah dan frekuensi/intensitas dampak. b. keterkaitan antar isu strategis pembangunan berkelanjutan hasil telaah sebabakibatnya 5. Memutuskan isu yang strategis dan prioritas, antara lain dapat dengan menyusun daftar pendek yang telah memperhatikan hasil konsultasi kepada masyarakat dan telah dikonfirmasikan dengan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun proses perumusan isu pembangunan berkelanjutan dapat digambarkan sebagai berikut :



Gambar 3.1 Perumusan Isu Pembangunan Berkelanjutan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -8



Sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 8 ayat 1 PP 46/2016 bahwa perumusan isu pembangunan berkelanjutan ini dilakukan untuk dapat menentukan isuisu pembangunan berkelanjutan strategis, yang hasilnya nanti akan dibahas pada konsultasi publik bersama masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Latihan 1 : Dalam pelaksanaan konsultasi publik perumusan isu PB, peserta yang hadir dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok. Pengelompokan ini dapat disesuaikan berdasarkan jumlah dan/atau spesialisasi dari tiap-tiap pemangku kepentingan yang hadir dan/atau pertimbangan lainnya dari POKJA KLHS. Hasil diskusi yang didapatkan dari setiap kelompok kemudian dikumpulkan ke dalam tabel daftar isu PB, lalu ditelaah berdasar kesamaan dan sebab akibat isu. Untuk lebih memudahkan pemahaman kita bagaimana tahapan identifikasi isu pembangunan berkelanjutan ini, berikut contoh form penapisan isu yang dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah masing-masing : Tabel 3.1 Form Penapisan Isu Pembangunan Berkelanjutan No



Nama Isu



Kelompok 1



Isu Lingkungan



1



Persampahan



2 Dst ... Kelompok 2



Isu Ekonomi



1



Pertumbuhan ekonomi masyarakat rendah



2 Dst ... Kelompok 3



Isu Sosial



1



Tingginya kesenjangan sosial



2 Dst ... Kelompok 4



Isu Hukum dan Tata Kelola



1



Penegakan aturan lingkungan hidup



2 Dst ...



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -9



Tabel tersebut hanya merupakan contoh dalam merumuskan isu PB. Klasifikasi pemusatan isu PB dapat disesuaikan berdasarkan isu yang berhasil dihimpun serta didiskusikan baik dengan peserta konsultasi publik dan/atau diskusi antar anggota POKJA KLHS. 2.



IDENTIFIKASI ISU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN STRATEGIS



Berdasarkan daftar isu yang telah dibuat pada tahap identifikasi isu PB kemudian dilakukan tahap identifikasi dan perumusan isu PB Strategis dengan cara melakukan penapisan antara hasil pemusatan isu PB dengan unsur-unsur paling sedikit (Pasal 9 ayat 1 PP 46/2016), yaitu : 1. Telaah karakteristik wilayah Analisis ini dilakukan dengan analisis yang menggunakan data spasial, antara lain: a. Peta Rupa Bumi Indonesia b. Peta Rencana Tata Ruang c. Peta Tutupan Lahan Analisis ini dilakukan dengan cara melakukan overlay peta-peta isu pembangunan strategis yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat dengan overlay peta RBI, peta pola ruang yang tertuang dalam RTRW dan peta tutupan lahan (penggunaan lahan). Hasil analisis dapat digunakan untuk menentukan tingkat pentingnya potensi dampak. 2. Telaahan tingkat potensi dampak dilakukan dengan memperhatikan: a. indikasi cakupan wilayah; b. frekuensi dan/atau intensitas. 3. Telaah keterkaitan antar isu strategis pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan cara analisis sebab akibat atau analisis sejenis lainnya. 4. Telaah materi muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dilakukan dengan cara pemetaan lokasi dan/atau analisis potensi pengaruh. 5. Telaah muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan dengan cara analisis keterkaitan isu pembangunan berkelanjutan dengan muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -10



6. Telaah hasil KLHS dari Kebijakan, Rencana dan/atau Program pada hierarki diatasnya yang harus diacu, serupa dan berada pada wilayah yang berdekatan, dan/atau memiliki keterkaitan dan/atau dilakukan dengan cara analisis keterkaitan isu pembangunan berkelanjutan dengan hasil KLHS dimaksud. Hasil telaahan isu-isu pembangunan berkelanjutan prioritas dikonsultasikan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk pengayaan dan penajaman isu pembangunan berkelanjutan yang paling strategis. Hasil konsultasi menjadi dasar telaahan pada tahap identifikasi isu-isu pembangunan berkelanjutan yang paling strategis. Sebagaimana yang telah di tetapkan dalamPermen LH dan Kehutanan no 69 tahun 2017 pasal 20 bahwa penentunan isu pembangunan berkelanjutan strategis dan prioritas di dasarkan pada hasil telaahan terhadap isu pembangunan berkelanjutan. Dari hasil telaah terhadap isu-isu pembangunan berkelanjutan, selanjutnya dilakukan analisis matrik uji silang /tekniks scoring dan pembobotan antara isu-isu pembangunan berkelanjutan dengan ktriteria isu pembangunan berkelanjutan strategis dan prioritas. Berikut adalah bagan tahap pengkajian Isu Pembangunan Berkelanjutan (PB) Strategis



Gambar 3.2. : Tahap pengkajian Isu PB Strategis (KLHK-RI, 2018)



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -11



Adapun contoh tabel identifikasi dan perumusan Isu PB Strategis sebagai berikut : Tabel 3. 2 Contoh Matrik Penentuan Isu Pembangunan Berkelanjutan yang Paling Strategis Kriteria Isu Pembangunan Berkelanjutan



No



Isu Pembangunan Berkelanjutan



Telaahan Karakteristik Wilayah Peta RBI



Peta RTRW



Peta Tutupan Lahan



Tingkat Pentingnya Potensi Dampak Indikasi Cakupan Wilayah



20%



Frekuensi dan/atau Intensitas



40%



Keterkaitan antara Isu Pembangunan Berkelanjutan



Keterkaitan dengan muatan KRO



Muatan RPPLH



Hasil KLHS dari KRP pada Hirarki diatasnya



10%



10%



10%



10%



Jumlah Penilaian



Analisis yang dilakukan untuk dapat mengisi Tabel Identifikasi dan Perumusan Isu PB Strategis ialah sebagai berikut: a. Karakteristik Wilayah, analisis isu PB Strategis terhadap karakteristik wilayah dilakukan dengan cara menumpang susunkan Isu PB dengan Peta Topografi dan Peta Tutupan Lahan yang selanjutnya ditelaah sesuai dengan aturan yang berlaku; b. Tingkat Pentingnya Potensi Dampak, analisis Isu PB terhadap tingkat pentingnya potensi dampak dilaksanakan dengan cara mencari informasi dari pemangku kepentingan terhadap luas dan frekuensi isu PB strategis yang dituangkan dalam peta sebaran dan ditelaah sesuai dengan aturan yang berlaku; c. Keterkaitan antar Isu Strategis PB, analisis isu PB Strategis dilaksanakan dengan cara mencari informasi sebab akibat dan ditelaah sesuai dengan aturan yang berlaku; d. Keterkaitan dengan materi muatan KRP berupa KRP awal yang ditinjau oleh KLHS; e. Keterkaitan dengan muatan RPPLH, analisis isu PB Strategis terhadap materi muatan RPPLH dilaksanakan dengan cara menumpangsusunkan isu PB Strategis dengan Peta RPPLH; f. Hasil KLHS dari KRP pada hierarki yang diatasnya yang harus diacu, serupa dan berada pada wilayah yang berdekatan, dan/atau memiliki keterkaitan dan/atau



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -12



relevansi langsung; Analisis dilaksanakan dengan cara menelaah sinkronisasi isu dengan struktur dan pola ruang yang terdapat pada KLHS RTRW dan KLHS RPJMD. Adapun alternatif matriks perumusan isu PB strategis berdasarkan arahan teknis kementerian LHK-RI adalah sebagai berikut. Tabel 3.3 Alternatif Perumusan isu PB strategis (Kementerian LHKRI, 2018) Parameter No



Isu PB



Ket. 1)



2)



3)



4)



1



Isu Lingkungan



/X



/X



/X



/X



Strategis/tidak



2



Isu Ekonomi



/X



/X



/X



/X



Strategis/tidak



3



Isu Sosial



/X



/X



/X



/X



Strategis/tidak



4



Dst ...



/X



/X



/X



/X



Strategis/tidak



Keterangan: Lintas sektor Lintas wilayah Lintas pemangku wilayah Lintas waktu



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -13



Contoh Perumusan Isu PB Strategis Ps 9 (1) PP 46/2016



No



Isu Pembangunan Berkelanjutan



1



2



1



Kekeringan



2



Banjir



3



Longsor



4



Terganggunya Ekosistem Hutan (perambahan)



2



12 Kecamatan



Tastim, Kakuluk Mesak 12 Kec rawan longsor. Sangat Rawan Longsor Lamaknen Selatan, Tastim Raihat, Lasiolat, Kakuluk Mesak, Nanaet dan Raimanuk



Lamknen, Nanaet Dubesi, Tasti,



Tingkat pentingnya potensi dampak



KARAKTERISTIK WILAYAH



Luas (Ha)



Peta RBI



Peta RTR



Peta PL



3



4



5



Dataran rendah, dataran rendah pedalaman, perbukitan rendah, perbukitan, perbukitan tinggi, Datar, Landai



Tanaman Tahunan, Pertanian Tanaman Pangan Lahan Basah, Pertanian Tanaman Pangan Lahan Kering, Hutan Lindung, Kawasan Pengamanan Sungai, Permukiman Pedesaaan, Permukiman Perkotaan, Hutan Produksi



Perkebunan, Sawah, Sawah Tadah Hujan, Tegalan



23.609



sering



Dataran rendah, datar



Tanaman Tahunan



sawah



179



jarang



-



-



-



Hutan Lindung



Hutan Lahan Kering Primer, Hutan Mangrove, Pertanian Lahan Kering, Pertanian Campuran dan Semak



Dataran rendah dan pegunungan



6



Katerkaitan antar isu Strategis PB



Keterkaita n dengan muatan KRP



Muatan RPPLH



Hasil KLHS dari KRP pada hirarki di atasnya.



8



9



10



11



12



Ada, kekeringan, banjir dan longsor



terkait dengan banjir, yaitu musim panas dan misum hujan



Tidak ada RPPLH



Tidak ada KLHS Provinsi NTT



sangat strategis



Frekuensi 7



sering



11670



sedang



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -14



Strategis/ Tidak Strategis



5



Terganggunya Kerapatan Vegetasi



Nanaet Dubesi, Raimanuk, Tasbar, Tastim, Lamaknen, Lamaknen Selatan



6



Alih Fungsi Lahan (pertanian ke pemukiman, kawasan hutan ke pertanian)



Tastim Kakuluk Mesak, Tasbar,



-



-



-



Dataran rendah, dataran rendah pedalaman, perbukitan rendah, perbukitan, perbukitan tinggi, Datar, Landai



Tanaman Tahunan, Pertanian Tanaman Pangan Lahan Basah, Pertanian Tanaman Pangan Lahan Kering, Hutan Lindung, Kawasan Pengamanan Sungai, Permukiman Pedesaaan, Permukiman Perkotaan



Perkebunan, Sawah, Sawah Tadah Hujan, Tegalan



7476



-



-



-



7



Gagal Panen



Kakuluk mesak, Raimanuk Lamaknen



8



Abrasi Pantai



Tastim dan Kakuluk Mesak



Dataran rendah, datar dan landai



Jalan Arteri



Jalan



100 m



9



Rusaknya Ekosistem Pesisir (Pemukiman ilegal di Hutan Mangrove)



Tastim dan Kakuluk Mesak



Dataran rendah, datar



Kawasan Pantai Berhutan Bakau, Tanaman Tahunan



Hutan Mangrove



284



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -15



10



Rusaknya Terumbu Karang



11



Pencemaran Air, Udara dan Tanah



Air : 3 Kec Kota Tanah : tdk ada



12



Peningkatan Debu di Udara



Kec Kota, Atb Selatan, Tastim



13



Penurunan Kualitas Udara



Kota dan Atb Selatan



14



Peningkatan Kebisingan



15



Sampah



16



Limbah Industri



17



Gangguan Kesehatan



12 Kecamatan



18



Peningkatan Kecelakaan Lalu Lintas



12 Kecamatan



19



Perubahan Iklim



12 Kecamatan



20



Kesenjangan Ekonomi



12 Kecamatan



Tastim dan Kakuluk Mesak



Laut 0 -500 m



Laut



Terumbu Karang



tidak ada data



Udara : 12 Kec



Tidak ada 3 Kec. Kota, Kakuluk Mesak Kota, Atb Barat (limbah industri tahu)



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -16



21



Ledakan Penduduk



Tidak ada



22



Kemiskinan



12 Kec



23



Konflik Sosial



12 Kec



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -17



3.



IDENTIFIKASI ISU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PRIORITAS



Setelah didapatkan isu-isu PB strategis selanjutnya akan dirumuskan isu PB prioritas. Dalam menentukan dan/atau merumuskan isu pembangunan berkelanjutan strategis menjadi isu pembangunan berkelanjutan prioritas, dilakukan dengan melakukan pembobotan terhadap hasil identifikasi isu pembangunan berkelanjutan strategis dengan Pasal 9 (2) pada PP 46/2016. Isu pembangunan berkelanjutan prioritas diperoleh dengan cara menapis hasil isu-isu pembangunan berkelanjutan strategis dengan unsur-unsur pada Pasal 9 (2), yaitu: a. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk



pembangunan b. Perkiraan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup c. Kinerja layanan atau jasa ekosistem d. Intensitas dan cakupan wilayah bencana alam e. Status mutu dan ketersediaan sumber daya alam f. Ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati g. Kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim h. Tingkat dan status jumlah penduduk miskin atau penghidupan sekelompok masyarakat serta terancamnya keberlanjutan penghidupan masyarakat i. Risiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat j. Ancaman



terhadap



perlindungan



kawasan



tertentu



yang



secara



tradisional dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat hukum adat



Daftar isu pembangunan berkelanjutan prioritas dilakukan dengan cara pembobotan. Hasil pembobotan menetapkan paling sedikit tiga isu pembangunan berkelanjutan prioritas. Hasil pembobotan dikonsultasikan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk pengayaan dan penajaman isu pembangunan berkelanjutan prioritas.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -18



Contoh matriks penetapan Isu Pembangunan Berkelanjutan Prioritas dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3.4 Contoh Matrik Penilaian dan Pembobotan Isu Pembangunan Berkelanjutan Strategis dengan Kriteria Isu Pembangunan Prioritas



No



Isu PB Strategis



Penentuan A B



C D E



F G H I J Jumlah` Peringkat



Isu PB Prioritas



Keterangan: Materi penilaian: A. Kapasitas daya dukung dan daya tampung B. perkiraan dampak dan/atau resiko lingkungan hidup C. kinerja layanan atau jasa ekosistem D. intensitas dan cakupan wilayah bencana alam E. status mutu dan ketersediaan SDA F. ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati G. kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim H. tingkat dan status jumlah penduduk miskin I. risiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat J. ancaman terhadap perlindungan terhadap kawasan tertentu secara tradisional Keterangan Bobot : 1. Sangat tidak penting 2. Tidak penting 3. Cukup penting 4. Penting 5. Sangat penting Keterkaitan dari masing-masing isu PB strategis dengan parameter kemudian diakumulasikan ke dalam skoring dan diurutkan untuk mendapatkan ranking isu PB paling prioritas. Tidak ada batasan maksimal yang diatur dalam peraturan perundangan untuk jumlah isu PB prioritas tetapi dalam praktisnya ditentukan sebanyak 5-10 isu PB prioritas.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



III -19



BIDANG PE NATAAN RUANG



MATERI POKOK 4 PELAKSANAAN KLHS (II) (TAHAP ANALISIS) 1. Daftar Isi 2. Bahan Ajar 3. Lampiran



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



IV -1



DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... IV - 2 DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................... IV - 3 DAFTAR TABEL ....................................................................................................................................... IV - 3 I.



IDENTIFIKASI MUATAN KRP BERDAMPAK PADA LINGKUNGAN ................. IV - 4



II.



ANALISIS PENGARUH MUATAN KRP .............................................................................. IV - 5



III.



ANALISIS KAJIAN MUATAN .................................................................................................. IV- 6



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



IV -2



DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1. Taap Analisis Materi Muatan Isu PB Prioritas............................................ IV- 5



DAFTAR TABEL Tabel 4.1. Matrik Uji Silang Dalam Proses Penapisan KRP Yang Berpotensi Menimbulkan Dampak/Resiko Lingkungan Hidup ...................................... IV - 4 Tabel 4.2. Matrik Uji Silang Dalam Analisa Pengaruh Materi Muatan KRP dengan Isu Prioritas ........................................................................................................................... IV - 6 Tabel 4.3. Analisis Uji Silang Muatan KRP dengan KLHS ............................................... IV- 10 Tabel 4.4. Matrik Uji Silang Materi Muatan Kebijakan Rencana Program dengan Muatan Kajian ...............................................................................................................IV - 11



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



IV -3



IDENTIFIKASI MUATAN KRP BERDAMPAK PADA LINGKUNGAN HIDUP Identifikasi materi muatan KRP dilakukan dengan menelaah dasar-dasar penyusunannya (visi, misi, tujuan, sasaran, latar belakang), konsepnya (konsep makro, desain besar, peta jalan), dan/atau muatan arahannya (strategi, skenario, desain, struktur, teknis pelaksanaan) sesuai dengan tingkat kemajuan penyusunan Kebijakan, Rencana, dan Program pada saat mulai dilakukan KLHS. Identifikasi materi muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dilakukan dengan cara uji silang antara materi muatan Kebijakan, Rencana dan/atau Program dengan kriteria dampak dan/atau risiko lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Hasil uji silang dijadikan dasar untuk analisis pengaruh materi muatan Kebijakan, Rencana dan/atau Program yang berpotensi menimbulkan pengaruh terhadap kondisi lingkungan hidup. Tabel 4. 1Contoh Matrik Uji Silang dalam Proses Penapisan Kebijakan, Rencana,



dan/ atau Program yang Berpotensi Menimbulkan Dampak dan/atau Risiko Lingkungan Hidup No



Materi Muatan KRP



1. 2. 3. 4. 5.



KRP 1 KRP 2 KRP 3 KRP 4 dst



1 + -



Kriteria Dampak/Risiko LH 2 3 4 5 6 + + + + + +



Keterangan



7 + +



> 2 kriteria negatif, perlu KLHS > 2 kriteria negatif, perlu KLHS > 2 kriteria negatif, perlu KLHS > 2 kriteria negatif, perlu KLHS



Keterangan : + = Berdampak positif terhadap lingkungan hidup - = Berdampak negatif terhadap lingkungan hidup Kriteria Dampak/Resiko Lingkungan Hidup : 1. perubahan iklim; 2. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati; 3. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran dan lahan; 4. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam; 5. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



IV -4



6. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau 7. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.



ANALISIS PENGARUH MUATAN KRP Analisis pengaruh dilakukan dengan cara menguji keterkaitan antara materi muatan Kebijakan, Rencana dan/atau Program dengan isu pembangunan berkelanjutan prioritas. Hasil analisis pengaruh dikonsultasikan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk pengayaan dan penajaman hasil analisis pengaruh. Adapun bagan tahap analisis pengaruh Isu PB Prioritas adalah sebagai berikut



Gambar 4.1 Tahap analisis pengaruh materi muatan Isu PB Prioritas (KLHK-RI, 2018)



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



IV -5



Tabel 4. 2 Contoh Matrik Uji Silang dalam Analisis Pengaruh Materi Muatan KRP dengan Isu PB Prioritas Isu PB Prioritas Materi Muatan KRP



Isu PB 1



Isu PB 2



Jumlah dst



Ringkasan



Pengaruh Negatif



KRP yang perlu KLHS 1



-



-



+



2



Perlu kajian KLHS



KRP yang perlu KLHS 2



-



-



-



3



Perlu kajian KLHS



KRP yang perlu KLHS 3



0



-



0



1



Tidak perlu kajian KLHS



KRP yang perlu KLHS 4



0



-



0



1



Tidak perlu kajian KLHS



KRP yang perlu KLHS 5



-



-



+



2



Perlu kajian KLHS



dst



-



-



+



2



Perlu kajian KLHS



Keterangan : + = Materi muatan KRP berpengaruh positif terhadap isu PB prioritas 0 = Materi muatan KRP tidak berpengaruh terhadap isu PB prioritas - = Materi muatan KRP berpengaruh negatif terhadap isu PB prioritas Materi muatan KRP berdampak LH yang terkait dengan sebagian besar Isu PB Prioritas yang kemudian akan dikaji mendalam pada tahap selanjutnya yaitu pada kajian muatan atau kajian 6 (enam) muatan KLHS.



Tahap Analisis Kajian Muatan Tahap pengkajian muatan atau biasa disebut dengan Kajian 6 (enam) Muatan KLHS merupakan inti kajian yang dilakukan dalam KLHS. Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dari PP 46/2016, hasil analisis paling sedikit memuat kajian: a) Kapasitas daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup untuk pembangunan; Kajian



ini



mengukur



kemampuan



suatu



ekosistem



untuk



mendukung



satu/rangkaian aktivitas dan ambang batas kemampuannya berdasarkan kondisi



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



IV -6



yang ada. Kepentingan kajian ini terutama adalah untuk menentukan apakah intensitas pembangunan masih dapat dikembangkan atau ditambahkan. Bisa diukur dalam bermacam variabel yang mencerminkan jasa dan produk dari ekosistem, misalnya daya dukung tanah/kemampuan lahan, air, habitat spesies, dan lain sebagainya. Beberapa teknik yang dapat digunakan antara lain adalah mengukur kinerja jasa lingkungan, mengukur populasi optimal yang dapat didukung,



maupun



mengukur



tingkat



kerentanan,



kerawanan



dan



kerusakan.Teknik-teknik perhitungan dan penentuan daya dukung lingkungan hidup dapat mengikuti ketentuan yang ada atau metodologi yang telah diakui secara ilmiah. Daya tampung lingkungan hidup dapat diukur dari tingkat asimilasi media (air, tanah, udara) ketika menerima gangguan dari luar. Indikator yang digunakan dapat berupa kombinasi antara beban pencemaran dengan kemampuan media mempertahankan fungsinya sejalan dengan masuknya pencemaran tersebut.



b) Perkiraan dampak dan risiko Lingkungan Hidup; Kajian ini mengukur besar dan pentingnya dampak dan/atau risiko suatu kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap perubahan-perubahan lingkungan hidup dan kelompok masyarakat yang terkena dampak dan/atau risiko. Teknik analisis mengikuti ketentuan yang telah tersedia (misalnya Pedoman Dampak Penting) dan metodologi yang diakui secara ilmiah (misalnya metodologi Environmental Risk Assessment).



c) Kinerja layanan atau jasa ekosistem; Kajian ini terutama ditujukan untuk memperkirakan kinerja layanan atau fungsi ekosistem yang terdiri atas:  Layanan/fungsi penyedia (provisioning services): Ekosistem memberikan jasa/produk darinya, seperti misalnya sumber daya alam, sumber daya genetika, air dll.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



IV -7



 Layanan/fungsi pengatur (regulating services): Ekosistem memberikan manfaat melalui pengaturan proses alam, seperti misalnya pengendalian banjir, pengendalian erosi, pengatur iklim dll.  Layanan/fungsi budaya (cultural services): Ekosistem memberikan manfaat non material yang memperkaya kehidupan manusia, seperti misalnya pengkayaan perasaan dan nilai spiritual, pengembangan tradisi dan adat istiadat, pengalaman batin, nilai-nilai estetika dan pengetahuan.  Layanan/fungsi pendukung kehidupan (supporting services): Ekosistem menyediakan dan/atau mendukung pembentukan faktor produksi primer yang diperlukan makhluk hidup, seperti misalnya produksi biomasa, produksioksigen, nutrisi, air, dll. Kajian yang dilakukan terutama ditujukan untuk mengidentifikasi jenis-jenis layanan/fungsi



suatu



ekosistem



serta



gambaran



kemampuan



dan



keberfungsiannya. d) Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; Kajian ini mengukur tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat dijamin keberlanjutannya. Dilakukan dengan cara:  Mengukur kesesuaian antar tingkat kebutuhan dan ketersediaannya  Mengukur cadangan yang tersedia, tingkat pemanfaatannya yang tidak menggerus cadangan, serta perkiraan proyeksi penyediaan untuk kebutuhan di masa mendatang Mengukur dengan nilai dan distribusi manfaat dari sumber daya alam tersebut secara ekonomi e) Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; Kajian tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dilakukan dengan cara:  mengkaji kerentanan dan risiko perubahan iklim  menyusun pilihan adaptasi perubahan iklim  menentukan prioritas pilihan aksi adaptasi perubahan iklim



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



IV -8



f) Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. Kajian tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati dilakukan dengan cara:  Mengkaji pemanfaatan dan pengawetan spesies/jenis tumbuhan dan satwa, yang meliputi: -



Penetapan dan penggolongan yang dilindungi atau tidak dilindungi



-



Pengelolaan tumbuhan dan satwa serta habitatnya



-



Pemeliharaan dan pengembangbiakan



-



Pendayagunaan jenis atau bagian-bagian dari tumbuhan dan satwa liarnya



-



Tingkat keragaman hayati dan keseimbangannya



 Mengkaji ekosistem, yang meliputi : - Interaksi jenis tumbuhan dan satwa - Potensi jasa yang diberikan dalam konteks daya dukung dan daya tampung  Mengkaji genetik, yang meliputi : - Keberlanjutan sumber daya genetik - Keberlanjutan populasi jenis tumbuhan dan satwa Hasil analisis menjadi dasar perumusan alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program. Kajian muatan ini dilakukan pada masing-masing materi muatan KRP yang didapatkan dari hasil tahapan Analisis Pengaruh. Penting dalam melakukan analisis untuk memerhatikan lokus dan besaran untuk mendapatkan analisis yang lebih bersifat kuantitatif.Penentuan lingkup, metode, teknik, dan kedalaman analisis kajian muatan dilakukan berdasarkan: a) Jenis dan tema KRP; b) tingkat kemajuan penyusunan atau evaluasi KRP; c) relevansi dan kedetilan informasi yang dibutuhkan; d) input informasi KLHS dan kajian Lingkungan Hidup lainnya yang terkait dan relevan untuk diacu; e) ketersediaan data.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



IV -9



Analisis dalam kajian muatan KLHS memerhatikan: a) peraturan perundangan; b) keberadaan pedoman, acuan, standar, contoh praktek terbaik, dan informasi tersedia yang diakui secara ilmiah; c) keberadaan hasil penelitian yang akuntabel; dan/atau d) kesepakatan antarahli. Bentuk dari analisis kajian muatan KLHS dapat berbentuk sub bab tersendiri maupun dalam tabel seperti contoh berikut: Tabel 4.3 Analisis Uji Silang Muatan KRP dengan Kajian Muatan KLHS



No



Materi Muatan



Muatan Kajian KLHS



KRP Hasil



Pasal 13(1) PP 46/2016



Analisis Pengaruh



1 2 3 4



1)



2)



3)



4)



5)



6)



KRP 1



Analisis.. Analisis..



Analisis..



Analisis..



Analisis.. Analisis..



KRP 2



Analisis.. Analisis..



Analisis..



Analisis..



Analisis.. Analisis..



KRP 3



Analisis.. Analisis..



Analisis..



Analisis..



Analisis.. Analisis..



Dst ...



Analisis.. Analisis..



Analisis..



Analisis..



Analisis.. Analisis..



U ntuk contoh lebih jelasnya dapat dijabarkan sebagai berikut :



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



IV -10



Tabel 4. 4 Contoh Matrik Uji Silang Materi Muatan KRP dengan Muatan Kajian Analisis



No



Muatan KRP



1



Pembangunan Jalan Primer A



DDDT



Jasa Ekosistem



Muatan Kajian Analisis Risiko dan Perubahan SDA Biodiversity Dampak Iklim LH



Telaahan : a. Trace AB berada pada pola ruang : permuki man padat 2



Terlampaui



Jasa ekosistem air/Pangan terganggu



Analisis kebutuhan SDA untuk pembangunan



Banjir, land subsudance, kualitas air menurun



Semakin panas



Tidak ada, karena dari pemukiman ke tanggul tidak ada vegetasi



dst



Keterangan : DDDT : Daya dukung daya tampung SDA : Sumberdaya alam



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



IV -11



BIDANG PE NATAAN RUANG



MATERI POKOK 5 PERUMUSAN ALTERNATIF & REKOMENDASI 1. Daftar Isi 2. Bahan Ajar 3. Lampiran



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



V -1



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI ................................................................................................................................................. V - 2 I.



PERUMUSAN ALTERNATIF.............................................................................................. ... V – 3



II.



PERUMUSAN REKOMENDASI .............................................................................................. V – 4



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



V -2



Tahap Perumusan Alternatif Penyempurnaan Kebijakan, Rencana dan/atau Program Dalam perumusan alternatif penyempurnaan KRP didasari oleh hasil analisis dari kajian muatan. Maksud dari perumusan alternatif ini adalah memberikan opsi-opsi rekomendasi perbaikan/penyempurnaan KRP berdasarkan hasil kajian muatan sebelumnya yang menggunakan data-data valid, kajian ilmiah serta pendapat pakar pada bidangnya. Bentuk dari rumusan alternatif penyempurnaan KRP dapat berupa:  perubahan tujuan atau target;  perubahan strategi pencapaian target yang lebih memenuhi pertimbangan pembangunan berkelanjutan;  perubahan atau penyesuaian ukuran skala, dan lokasi yang lebih memenuhi pertimbangan pembangunan berkelanjutan;  perubahan atau penyesuaian proses, metode, dan adaptasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih memenuhi pertimbangan pembangunan berkelanjutan;  penundaan, perbaikan urutan, atau perubahan prioritas pelaksanaan;  pemberian arahan atau rambu-rambu untuk mempertahankan atau meningkatkan fungsi ekosistem; dan/atau  pemberian arahan atau rambu-rambu mitigasi dampak dan risiko lingkungan hidup Hasil perumusan alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dijadikan dasar dalam menyusun rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Alternatif penyempurnaan dipilih berdasarkan:  manfaat yang lebih besar;  risiko yang lebih kecil;  kepastian keselamatan dan kesejahteraan masyarakat yang rentan terkena dampak;  mitigasi dampak dan risiko yang lebih efektif;



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



V -3



dengan mempertimbangkan:  mandat, kepentingan, atau kebijakan nasional yang harus diamankan;  situasi sosial-politik;  kapasitas kelembagaan pemerintah;  kapasitas dan kesadaran masyarakat;  kesadaran, ketaatan dan keterlibatan dunia;  kondisi pasar dan potensi investasi; Tahap Perumusan Rekomendasi Penyusunan rekomendasi perbaikan dilakukan berdasarkan hasil perumusan alternatif penyempurnaan KRP. Rekomendasi perbaikan disusun untuk pengambilan keputusan KRP yang mengintegrasikan prinsip Pembangunan Berkelanjutan (PB) yang memuat:  materi perbaikan KRP;  informasi jenis usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup beserta tindak lanjutnya. Rekomendasi perbaikan dapat juga ditambahkan muatan  usulan KRP lain yang relevan untuk disusun agar mendukung tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;  tindak lanjut yang relevan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Sebagai catatan bahwa tingkat ketajaman dari suatu dokumen KLHS akan dapat dilihat dari rekomendasi perbaikan yang diberikan. Rekomendasi yang diberikan harus sejalan dengan keseluruhan kajian yang dilakukan serta dapat menjawab isu serta permasalahan yang ada.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



V -4



BIDANG PE NATAAN RUANG



MATERI POKOK 6 PENJAMINAN KUALITAS & PENDOKUMENTASIAN 1. Daftar Isi 2. Bahan Ajar 3. Lampiran



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -1



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... VI - 2 DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................... VI - 5 DAFTAR TABEL ....................................................................................................................................... VI - 5 6.



Penjaminan Kualitas dan Pendokumentasian KLHS .......................................



VI - 4



6.1



Proses Penjaminan Kualitas ......................................................................................



VI - 4



6.1.1 Pengintegrasian KLHS ..................................................................................................



VI - 4



6.1.2 Penjaminan Kualitas KLHS .........................................................................................



VI – 8



6.2



VI - 16



Pendokumentasian KLHS ...........................................................................................



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -2



DAFTAR GAMBAR Gambar 6.1. Alternatif Pelaksanaan KLHS dengan KRP .................................................. VI - 6



DAFTAR TABEL Gambar 6.1. Matrik Sanding Pengintegrasian KLHS ......................................................... VI - 7 Gambar 6.2. Matrik Sandingan KLHS ...................................................................................... VI - 8



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -3



IV.



PENJAMINAN KUALITAS, DAN PENDOKUMENTASIAN



Tahapan penyelenggaraan KLHS setelah pembuatan dan pelaksanaan KLHS yaitu penjaminan kualitas dan pendokumentasian KLHS. Berdasarkan Pasal 5 dari Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2016 bahwa penyelanggaraan KLHS dilakukan dengan tahapan: - pembuatan dan pelaksanaan; - penjaminan kualitas dan pendokumentasian KLHS; dan - validasi KLHS. Dalam tahapan pembuatan dan pelaksanaan KLHS setelah dirumuskannya alternatif penyempurnaan dan rekomendasi perbaikan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) dan/atau alternatif proyeksi pencapaian TPB, diperlukan adanya tahapan pengintegrasian KLHS ke dalam KRP yang dilakukan oleh Penyusun KRP. Dengan demikian baik secara langsung maupun tidak, pengintegrasian KLHS ini menjadi tahap yang perlu dilalui dan menjadi bagian dalam penyelenggaraan KLHS. 6.1 6.1.1



Proses Penjaminan Kualitas dan Pendokumentasian KLHS Pengintegrasian KLHS



Pengintegrasian KLHS dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP) menjadi kunci efektivitas penyelenggaraan KLHS. Dalam konteks ini, tidak terdapat formula atau rumus baku yang dapat memandu pengintegrasian ini karena setiap kebijakan, rencana, dan/atau program memiliki karakteristik proses, dan prosedur yang tertentu, sehingga menjadi penting untuk memahami secara rinci masing-masing proses dan prosedur penyusunan dan evaluasi KRP dengan segala dinamikanya. Hasil akhir yang diperoleh dari rekomendasi diintegrasikan ke dalam rumusan kebijakan, rencana, dan/atau program. Pelaksanaan proses dialog, konsultasi publik, maupun berbagai bentuk keterlibatan masyarakat yang dilaksanakan dalam KLHS diintegrasikan ke dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program, sehingga:



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -4



-



Menghemat waktu dan biaya



-



Antisipatif terhadap aspirasi masyarakat tentang dampak dan risiko lingkungan hidup sejak dini



-



Lebih mudah mengintegrasikan masukan-masukan perbaikan sejak awal perencanaan Penggabungan proses dialog KLHS dan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program



seperti ini berimplikasi pada kebutuhan lebih luasnya cakupan dialog, dan dibutuhkannya kemitraan yang erat antara penyusun KLHS dengan penyusun KRP. Integrasi substansi muatan KLHS ke dalam muatan KRP adalah hasil langsung dari integrasi proses penyusunannya. Bentuk dari integrasi muatan KLHS ke dalam muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program adalah dokumentasi tertulis masukan-masukan KLHS dalam butir-butir substansi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program, yang diantaranya dapat berupa: 1.



Penulisan kembali rekomendasi substansi teknis KLHS ke dalam materi teknis Kebijakan, Rencana dan/atau Program



2.



Penulisan kembali rekomendasi KLHS yang bersifat pengaturan dalam materi pengaturan pada Kebijakan, Rencana dan/atau Program dan/atau pasal pengaturan dalam peraturan yang memayungi keabsahan Kebijakan, Rencana dan/atau Program tersebut



3.



Melakukan interpretasi penulisan muatan teknis arahan KLHS ke dalam bahasa hukum yang sesuai dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang dikuatkan sebagai peraturan



4.



Menuliskan muatan ketentuan baru dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang dianggap dapat menampung rekomendasi KLHS sesuai dengan lingkup Kebijakan, Rencana, dan/atau Program.



Berikut merupakan gambaran untuk alternatif pelaksanaan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -5



Gambar 6.1 Alternatif Pelaksanaan KLHS dengan KRP Untuk metode pertama, proses penyusunan KLHS dilakukan secara menyatu dengan penyusunan KRP. Sedangkan untuk metode kedua dilakukan secara terpisah. Terdapat dua alternatif yaitu penyusunan KLHS dilakukan saat penyusunan KRP sudah berjalan atau dapat dilakukan secara paralel dan terintegrasi dengan proses penyusunan KRP. Kekurangan dari metode ini, menghabiskan waktu lebih lama, dan dapat terdapat distorsi informasi. Detil pengintegrasian KLHS dalam masing-masing kebijakan,



rencana,



dan/atau



program



dirumuskan



oleh



masing-masing



kementerian/lembaga yang berwenang. Bukti dari integrasi muatan KLHS kedalam



muatan



Kebijakan,



Rencana,



dan/atau Program adalah dokumentasi tertulis masukan-masukan KLHS dalam butirbutir substansi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang diantaranya dapat berupa: -



Penulisan kembali rekomendasi substansi teknis KLHS ke dalam materi teknis Kebijakan, Rencana dan/atau Program;



-



Penulisan kembali rekomendasi KLHS yang bersifat pengaturan dalam materi pengaturan pada Kebijakan, Rencana dan/atau Program dan/atau pasal



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -6



pengaturan dalam peraturan yang memayungi keabsahan Kebijakan, Rencana dan/atau Program tersebut; -



Melakukan interpretasi penulisan muatan teknis arahan KLHS ke dalam bahasa hukum yang sesuai dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang dikuatkan sebagai peraturan; dan/atau



-



Menuliskan muatan ketentuan baru dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang dianggap dapat menampung rekomendasi KLHS sesuai dengan lingkup Kebijakan, Rencana, dan/atau Program itu. Pokok-pokok pengintegrasian hasil KLHS dituangkan dalam Berita Acara yang



ditandatangani oleh penyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) dan ketua kelompok kerja KLHS. Berita Acara pengintegrasian hasil KLHS disusun dengan muatan berikut: - Ditandatangani secara bersama-sama oleh Penyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program atau pejabat yang ditunjuk, dan Ketua Kelompok kerja KLHS; dan -



Menyatakan telah dilaksanakannya proses pengintegrasian hasil KLHS terhadap Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang dijelaskan nama dan jenisnya.



Berikut merupakan contoh matriks sanding dalam mengintegrasikan KLHS ke dalamKRP. Tabel 6.1 Matriks sanding pengintegrasian KLHS (Contoh 1) No.



Muatan KRP



Rekomendasi KLHS



Muatan KRP Sesudah Integrasi KLHS



1



KRP 1



Rekomendasi 1



Hasil Integrasi 1



2



KRP 2



Rekomendasi 2



Hasil Integrasi 1



3



KRP 3



Rekomendasi 3



Hasil Integrasi 1



4



Dst..



…………………



………………….



Atau pun alternatif matriks sanding dalam mengintegrasikan KLHS ke dalam KRP



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -7



Tabel 6.2 Matriks sanding pengintegrasian KLHS (Contoh 2) No.



Rekomendasi KLHS



Muatan KRP



Letak perbaikan



Sesudah Integrasi KLHS



1



Rekomendasi 1



(bab/sub bab/halaman)



Hasil Integrasi 1



2



Rekomendasi 2



(bab/sub bab/halaman)



Hasil Integrasi 1



3



Rekomendasi 3



(bab/sub bab/halaman)



Hasil Integrasi 1



4



Dst..



…………………



………………….



6.1.2



Penjaminan Kualitas KLHS Penjaminan kualitas KLHS dilaksanakan melalui penilaian mandiri oleh



Penyusun KRP, dibuktikan dengan tandatangan Penyusun KRP dalam berita acara, untuk memastikan bahwa kualitas dan proses pembuatan dan pelaksanaan KLHS dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dalam peraturan perundangan. Penilaian mandiri dalam penjaminan kualitas KLHS harus mempertimbangkan: -



dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang relevan;



-



laporan KLHS dari KRP yang terkait dan relevan. Dalam



hal



dokumen



RPPLH belum



tersusun



maka penilaian



mandiri



mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup. Dalam rangka melakukan penjaminan kualitas KLHS, penyusun KLHS wajib memenuhi standar kompetensi. Kunci dalam Penjaminan Kualitas menurut Permen LHK 69/2017 antara lain: -



Desain proses klhs



-



laporan klhs



-



isu pembangunan berkelanjutan paling strategis dan prioritas



-



analisis krp dan isu pembangunan berkelanjutan prioritas



-



pengkajian 6 muatan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -8



-



alternatif dan rekomendasi



-



dokumentasi pembuatan dan pelaksanaan KLHS



-



integrasi hasil KLHS/pengambilan keputusan



-



partisipasi pemangku kepentingan



Dalam penjaminan kualitas, menyampaikan :  kesimpulan kelayakan proses dan dokumen klhs, dinyatakan layak / tidakdari segi relevansi, memenuhi kaidah ilmiah, dan memenuhi peraturan perundangan yang terkait;  kesimpulan kelayakan penyusun, metodologi, muatan serta hasil KLHS telah memenuhi ketentuan serta memenuhi kaidah ilmiah;  catatan dan/atau rekomendasi yang dianggap perlu terhadap KLHS, KRP dan/atau proses keseluruhan;  catatan dan/atau rekomendasi mengenai hal-hal yang bersifat keterbatasan klhs yang perlu menjadi pertimbangan;  rekomendasi dan catatan keterbatasan ilmiah/metodologi KLHS yang disadari penyusun;  lingkup integrasi hasil klhs ke dalam KRP Hasil penjaminan kualitas KLHS nantinya digunakan sebagai masukan penyempurnaan KLHS serta harus disusun secara tertulis dengan memuat informasi tentang: -



kelayakan KLHS jika telah memenuhi ketentuan peraturan perundangan;



-



rekomendasi perbaikan KLHS yang telah diikuti dengan perbaikan KRP



Adapun bentuk kriteria penilain dari penjaminan kualitas adalah sebagai berikut : Nama KLHS Nama Kebijakan, Rencana, atau Program (KRP) K/L Penanggung Jawab Tahun Pelaksanaan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -9



Penilaian : Desain proses KLHS Kriteria



Penilaian



Ket



Apakah KLHS dilakukan sebagai satu kesatuan proses perencanaan KRP? - Bila ”Ya” lanjutkan ke c - Bila ”Tidak” lanjutkan ke a, lalu b dan c a. Apakah ada mekanisme komunikasi antara tim perencana dengan kelompok kerja KLHS? b. Apakah rekomendasi yang diusulkan KLHS didiskusikan tim perencana dengan pembuat KRP? c. Apakah disampaikan secara jelas siapa penyusun KLHS? (SDM internal institusi pembuat KRP, SDM institusi yang ditunjuk sebagai penyusun KLHS, tenaga ahli eksternal, perusahaan konsultan, pokja yang dibentuk oleh SK, pegawai pemerintah atau lainnya) Ringkasan kesimpulan : Harus menjelaskan apakah proses KLHS sesuai ketentuan dan rekomendasinya layak? (relevan, memenuhi kaidah ilmiah, memenuhi kaidah peraturan perundangan yang terkait) Penilaian : Laporan KLHS Kriteria



Penilaian



Apakah laporan KLHS telah memuat :



Nilai :



Ket.



Belum lengkap Lengkap Terpenuhi sebagian Tidak bisa dilakukan penilaian (dijelaskan dalam keterangan) 1. Dasar pertimbangan dilengkapi



KRP



sehingga



perlu



KLHS



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -10



2. Metode, teknik, rangkaian langkah-langkah dan hasil pengkajian pengaruh KRP terhadap kondisi lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan 3. Metode, teknik, rangkaian langkah-langkah dan hasil perumusan alternatif muatan KRP 4. Pertimbangan, muatan dan konsekuensi rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan KRP yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan 5. Gambaran pengintegrasian hasil KLHS dalam KRP 6. Pelaksanaan partisipasi masyarakat keterbukaan informasi KLHS



dan



7. Hasil penjaminan kualitas KLHS 8. Ringkasan eksekutif yang menuangkan rekomendasi-rekomendasi KLHS untuk pengambil keputusan secara jelas Penilaian : Isu Pembangunan Berkelanjutan Paling Strategis dan Prioritas Kriteria Penilaian Ket. Apakah isu-isu pembangunan berkelanjutan paling Nilai : strategis sudah disepakati oleh pemangku kepentingan sebagai akar masalah dan telah disampaikan dengan Sudah jelas Belum Ada catatan (jelaskan dalam keterangan) Apakah hasil identifikasi isu strategis telah sedikitnya Uraikan mempertimbangkan : penilaiannya dalam keterangan 1. Karakteristik wilayah 2. Tingkat pentingnya potensi dampak 3. Keterkaitan antar isu strategis 4. Keterkaitan dengan muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program 5. Muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup/RPPLH dan/atau 6. Hasil KLHS dari Kebijakan, Rencana, dan/atau Program pada hirarki diatasnya yang harus diacu,



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -11



serupa dan berada pada wilayah yang berdekatan, dan/atau memiliki keterkaitan dan/atau relevansi langsung. Penilaian : Isu Pembangunan Berkelanjutan Paling Strategis dan Prioritas Kriteria Penilaian Ket. Apakah rumusan prioritas juga sudah memperhatikan Uraikan aspek-aspek berikut : penilaiannya dalam keterangan 1. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan 2. Perkiraan mengenai lingkungan hidup



dampak



dan



resiko



3. Kinerja layanan/jasa ekosistem 4. Intensitas dan cakupan wilayah bencana alam 5. Status mutu dan ketersediaan SDA 6. Ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati 7. Kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim 8. Tingkat dan status jumlah penduduk miskin atau penghidupan sekelompok masyarakay serta terancamnya keberlanjutan penghidupan masyarakat 9. Risiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat, dan/atau 10. Ancaman terhadap perlindungan kawasan tertentu secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat hukum adat Apakah lingkup geografis disampaikan dengan jelas? Uraikan penilaiannya dalam keterangan Jika YA, apakah melingkupi wilayah di luar cakupan Uraikan KRP? penilaiannya dalam keterangan Apakah lingkup pihak terkena dampak/berisiko dan Uraikan berkepentingan disampaikan dengan jelas? penilaiannya dalam keterangan Penilaian : Analisis KRP dan Isu Pembangunan Berkelanjutan Prioritas Kriteria Penilaian Uraikan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



Ket.



VI -12



Penilaian : Analisis KRP dan Isu Pembangunan Berkelanjutan Prioritas Kriteria Penilaian penilaiannya dalam keterangan



Ket.



Apakah kondisi terkini dan pemetaan dari isu prioritas dideskripsikan dengan jelas? Apakah tersedia informasi yang menjelaskan kondisi daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup terkini dan/atau kecenderungannya? Apakah telah dilakukan analisis semua dampak KRP terhadap isu prioritas? Apakah hasil analisis diatas dideskripsikan dengan jelas? Apakah hasil analisis diatas dijelaskan secara spasial? Jika ”Ya”, apakah dibedakan tingkat kerinciannya? Contoh : isu skala nasional, skala pulau atau skala lokasi



Penilaian : Pengkajian Kriteria



Penilaian Uraikan penilaiannya dalam keterangan



Ket.



Apakah pengkajian memuat : 1. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan 2. Perkiraan mengenai lingkungan hidup



dampak



dan



risiko



3. Kinerja layanan atau jasa ekosistem 4. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam 5. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim 6. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati Apakah pengkajian yangbersifat kuantitatif dilengkapi dengan perhitungan yang akuntabel? Apakah pengkajian menyebutkanlandasan pedoman, acuan/referensi, standar, jaminan akuntabilitas dari ahli yang jelas? Apakah pengkajian dilakukan dengan pendekatan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -13



Penilaian : Pengkajian Kriteria Penilaian spasial? Apakah dijelaskan pada tahap penyusunan KRP yang mana, proses telaahan KLHS dilaksanakan? Apakah semua dampak dan risiko terhadap isu prioritas telah dianalisis? Apakah perkiraan dampak dan risiko dilakukan secara kuantitatif? Apakah dilakukan simulasi berbasis skenario untuk perkiraan? Apakah perkiraan dampak dan risiko dituangkan secara spasial? Apakah ada penjelasan antara hasil telaahan dengan pengaruhnya pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup? Penilaian : Alternatif dan Rekomendasi Kriteria



Penilaian Uraikan penilaiannya dalam keterangan



Ket.



Ket.



Bagaimana bentuk penyempurnaan Kebijakan, Rencana dan/atau Program? Uraikan dalam bagian-bagian yang sesuai di bawah ini : 1. Perubahan tujuan atau target 2. Perubahan strategi pencapaian target 3. Perubahan atau penyesuaian ukuran, skala dan lokasi 4. Perubahan, penyesuaian atau adaptasi proses atau metode terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dna teknologi 5. Penundaan, perbaikan urutan atau perubahan prioritas pelaksanaan 6. Pemberian arahan atau rambu-rambu untuk mempertahankan atau meningkatkan fungsi ekosistem 7. Pemberian arahan atau rambu-rambu mitigasi dampak dan risiko lingkungan hidup Apakah dijelaskab bagaimana cara menyusun dan memutuskan alternatif KRP serta rekomendasi KLHS? Apakah



langkah-langkah



untuk



pencegahan



dan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -14



Penilaian : Alternatif dan Rekomendasi Kriteria Penilaian pengurangan dampak dan risiko dari KRP telah diidentifikasikan dengan jelas?



Ket.



Apakah langkah-langkah mitigasi mencantumkan apa perkiraan dampak/risiko tambahan/sisa dampak/risiko yang mungkin/masih akan muncul? Adakah rekomendasi KLHS terkait hasil kajian terutama pengaruhnya pada daya dukung dan daya tampung LH diidentifikasikan dengan jelas? Apakah hasil rekomendasi konsisten dan relevan sebagai hasil dari rangkaian proses penetapan isu prioritas, pengkajian, dan penyusunan alternatif? Apakah disusun rekomendasi tindak lanjut tambahan sebagai konsekuensi implementasi KLHS untuk KRP? Penilaian : Dokumentasi Pembuatan dan Pelaksanaan KLHS Kriteria Penilaian Ket. Apakah telah terpenuhi : Uraikan penilaiannya dalam keterangan Data dukung proses konsultasi publik (foto,absen, berita acara) Dokumen KRP sebelum dan sesudah KRP diperbaiki dan/atau matriks yang menjelaskan perubahan sebelum dan sesudah Dokumen penjaminan kualitas Bukti pemenuhan kompetensi penyusunan KLHS SK kelompok kerja KLHS Penilaian : Integrasi Hasil KLHS/Pengambilan Keputusan Kriteria Penilaian Apakah telah terpenuhi : Uraikan penilaiannya dalam keterangan Rekomendasi yang dihasilkan KLHS ditulis/dimasukkan materi teknis KRP Rekomendasi yangdihasilkan KLHS ditulis/dijadikan ketentuan pengaturan KRP Rekomendasi yang dihasilkan KLHS dijembatani/diinterpretasikan kembali penulisannya



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



Ket.



VI -15



Penilaian : Integrasi Hasil KLHS/Pengambilan Keputusan Kriteria Penilaian dalam bahasa peraturan pada KRP Rekomendasi KLHS diatur tersendiri dalam ketentuan KRP (tidak ditulis kembali) Penjelasan tentang KRP lainnya yang juga harus mempertimbangkan rekomendasi KLHS ini? Rekomendasi khusus untuk penyusunan KLHS bagi KRP turunannya Rekomendasi khusus tentang pelaksanaan AMDAL dan UKL/UPL sebagai tindak lanjut KRP ini



Ket.



6.2 Pendokumentasian KLHS Setelah selesai dilakukan pengintegrasian KLHS ke dalam KRP serta penjaminan kualitas, tahapan selanjutnya yaitu melengkapi seluruh persyaratan dokumen KLHS disebut dengan pendokumentasian. Proses pendokumentasian ini penting dilakukan untuk persiapan proses selanjutnya yaitu validasi KLHS. Laporan atau dokumen KLHS memuat informasi tentang: -



Dasar pertimbangan KRP sehingga perlu dilengkapi KLHS;



-



metoda, teknik, rangkaian langkah-langkah dan hasil pengkajian pengaruh KRP terhadap kondisi LH



-



metoda, teknik, rangkaian langkah-langkah dan hasil perumusan alternatif muatan KRP;



-



pertimbangan, muatan, dan konsekuensi rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan KRP yang mengintegrasikan prinsip PB;



-



gambaran pengintegrasian hasil KLHS dalam KRP;



-



pelaksanaan partisipasi masyarakat dan keterbukaan informasi KLHS;



-



hasil penjaminan kualitas KLHS.



Dari keseluruhan informasi tersebut, secara umum kelengkapan dokumen KLHS untuk diajukan validasi antara lain: -



dokumen KLHS;



-



ringkasan eksekutif KLHS;



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -16



-



dokumen atau materi teknis KRP awal dan akhir;



-



lampiran tahapan;



-



lampiran data dan album peta;



-



bukti pemenuhan kompetensi tenaga ahli.



Adapun outline dari dokumen KLHS berdasarkan arahan dari KLHK-RI antara lain: Bab I



: Pendahuluan



Bab II



: Karakteristik wilayah kajian



Bab III



: Proses penyelenggaraan KLHS



Bab IV



: Hasil proses penyelenggaraan KLHS



Bab V



: Kesimpulan



Kemudian lampiran tahapan terdiri atas pendokumentasian untuk masing-masing tahapan berupa: -



kerangka acuan kerja;



-



surat keputusan pembentukan Kelompok kerja KLHS;



-



surat undangan kegiatan;



-



daftar hadir kegiatan;



-



notulen kegiatan;



-



dokumentasi foto kegiatan;



-



berita acara kegiatan (untuk konsultasi publik, pengintegrasian dan penjaminan kualitas KLHS). Kelengkapan dokumentasi tersebut dibuat untuk masing-masing tahapan



sebagai bukti bahwa tahapan tersebut telah dilaksanakan sesuai peraturan perundangan. Dokumen KLHS merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen KRP dan menjadi informasi pendukung sistem pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan serta sistem akuntabilitas kinerja instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.Sebagai catatan bahwa dokumen KLHS yang telah memenuhi seluruh ketentuan informasi pada Pasal 23(2) dari PP 46/2016 bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -17



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VI -18



BIDANG PE NATAAN RUANG



MATERI POKOK 7 VALIDASI 1. Daftar Isi 2. Bahan Ajar 3. Lampiran



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VII -1



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. VII - 2 DAFTAR GAMBAR............................................................................................................................... VII – 6 7.



Validasi ..................................................................................................................................



VII – 4



7.1



Validasi KLHS .....................................................................................................................



VII – 4



7.2



Validasi KLHS RDTR ......................................................................................................



VII – 7



7.2.1 Penelaahan Muatan KLHS RDTR.................................................................................



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VII – 8



VII -2



DAFTAR GAMBAR



Gambar 7.1. Alur Tahapan Validasi KLHS ............................................................................. VII - 6



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VII -3



VII.



VALIDASI



Validasi merupakan salah satu tahapan yang wajib dilalui dalam penyelenggaraan KLHS penyusunan dan/atau evaluasi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP). Tujuan dari validasi KLHS yaitu untuk memastikan penjaminan kualitas telah dilaksanakan secara akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Berdasarkan Pasal 5 dari Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2016 bahwa penyelenggaraan KLHS dilakukan dengan tahapan: pembuatan dan pelaksanaan; penjaminan kualitas dan pendokumentasian KLHS; dan validasi KLHS. 7.1



Validasi KLHS



Berbeda dengan penjaminan kualitas yang merupakan penilaian mandiri, proses validasiKLHS sendiri dilakukan oleh: Menteri, untuk Kebijakan, Rencana, dan/atau Program tingkat nasional dan provinsi; ataugubernur, untuk Kebijakan, Rencana, dan/atau Program tingkat kabupaten/kota. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam melaksanakan validasi KLHS, Menteri dan gubernur sesuai kewenangannya dapat menunjuk pejabat yang berwenang. Pada



umumnya,



gubernur



menunjuk



organisasi



perangkat



daerah



yang



menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Penyusun KRP mengajukan permohonan validasi KLHS secara tertulis kepada Menteri dan gubernur dengan melampirkan:



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VII -4



rancangan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program; laporan KLHS; bukti pemenuhan standar kompetensi Penyusun KLHS. Menteri atau gubernur melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan permohonan tersebut lengkap, Menteri atau gubernur menerbitkan persetujuan validasi KLHS dalam waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja kepada Penyusun KRP yang paling sedikit memuat: kesesuaian hasil KLHS dengan penjaminan kualitas: dan rekomendasi. Dalam hal Menteri atau gubernur tidak menerbitkan persetujuan validasi KLHS dalam waktu sebagaimana dimaksud, terhadap KLHS yang dimohonkan persetujuan validasinya oleh Penyusun KRP dianggap telah memperoleh persetujuan validasi KLHS. Menteri atau gubernur mengumumkan persetujuan validasi KLHS kepada masyarakat dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya persetujuan validasi. Dalam pelaksanaanya, validasi KLHS dilakukan secara bertahap pada setiap proses pembuatan dan pelaksanaan KLHS; atau pada tahap akhir pembuatan dan pelaksanaan KLHS.Proses validasi yang umum dilaksanakan yaitu pada tahap akhir pembuatan dan pelaksanaan KLHS. Dengan demikian, sebelum diajukannya surat permohonan validasi KLHS, perlu dipastikan bahwa pembuatan dan pelaksanaan KLHS telah selesai hingga tahapan penjaminan kualitas dan pendokumentasian. Adapun alur tahapan validasi KLHS berdasarkan arahan Kementerian LHK – RI ditunjukkan pada gambar berikut.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VII -5



Gambar 7.1 Alur tahapan validasi KLHS (KLHK-RI, 2018)



Alur tahapan validasi KLHS adalah sebagai berikut: Penyusun KRP mengajukan surat permohonan validasi KLHS kepada Menteri atau gubernur beserta seluruh persyaratan yang perlu dilampirkan; Dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak surat atau disposisi diterima dilakukan pengecekkan kelengkapan dokumen persyaratan validasi KLHS; Apabila sudah dinyatakan lengkap maka akan dilakukan telaahan teknis serta dijadwalkan rapat pembahasan validasi KLHS untuk menentukan apakah KLHS sudah bisa mendapatkan persetujuan validasi KLHS dalam rentang waktu 20 (dua puluh) hari kerja; Apabila dokumen persyaratan dinyatakan tidak lengkap atau diputuskan belum bisa mendapatkan persetujuan validasi maka dokumen akan dikembalikan kepada Penyusun KRP untuk dilengkapi; Terhadap KLHS yang telah mendapat persetujuan validasi, Menteri atau Gubernur akan menerbitkan surat hasil validasi kepada Penyusun KRP serta mengumumkan persetujuan validasi KLHS kepada masyarakat dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya persetujuan validasi.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VII -6



Permohonan validasi KLHS diajukan oleh : 



Menteri/Kepala lembaga nonkementerian penyusun KRP kepada Menteri LHK;







Gubernur kepada Menteri LHK;







Bupati/Walikota kepada Gubernur.



Adapun kelengkapan permohonan validasi dapat disampaikan dengan dua cara, yaitu : a. Bertahap, harus melengkapi : - surat permohonan -



rancangan KRP;



-



laporan KLHS sampai dengan tahap pengkajian pengaruh KRP terhadap



kondisi Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan; dan - bukti pemenuhan standar kompetensi Penyusun KLHS -



Penjaminan Kualitas



b. Tahap Akhir , dengan kelengkapan : - surat permohonan - rancangan KRP; - laporan KLHS sampai dengan tahap penjaminan kualitas KLHS; dan - bukti pemenuhan standar kompetensi Penyusun KLHS - Penjaminan Kualitas 7.2



Validasi KLHS RDTR Tahapan penyelenggaraan KLHS untuk Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) secara



umum sama dengan proses penyelenggaraan KLHS yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK – RI No. 69 Tahun 2017. Hal yang secara khusus menjadi poin penting dalam KLHS RDTR yaitu terkait adanya pengecualian kewajiban menyusun dokumen Analsisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Pengecualian kewajiban menyusun AMDAL untuk usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di daerah kabupaten/kota yang telah memiliki RDTR diatur dalam Permen LHK 24/208. KLHS RDTR sendiri menjadi syarat dalam penyusunan dokumen KRP RDTR.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VII -7



Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah daerah kabupaten/kota yang dipengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan. Sebagai catatan bahwa tidak semua KLHS RDTR menghasilkan pengecualian kewajiban dalam menyusun AMDAL. Terdapat kriteria-kriteria yang menjadi persyaratan untuk pengecualian tersebut yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 24 Tahun 2018. Peraturan Menteri LHK No. 24 Tahun 2018 dimaksudkan untuk memperkuat sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tahap perencanaan dan pelaksanaan RDTR. Peraturan ini juga bertujuan untuk memberikan pedoman Pengecualian kewajiban Amdal untuk rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di daerah kabupaten/kota yang telah memiliki RDTR. 7.2.1



Penelaahan Muatan KLHS RDTR Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan



hidup wajib menyusun Amdal dan dapat dikecualikan apabila lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatannya berada pada daerah kabupaten/kota yang telah memiliki RDTR dengan kewajiban menyusun UKL-UPL berdasarkan RDTR yang mengacu pada pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup. Pengecualian kewajiban menyusun Amdal hanya berlaku apabila rencana usaha dan/atau kegiatannya masih dalam skala/besaran kajian KLHS dan RDTR. A.



Persyaratan Pengecualian Amdal



Pengecualian kewajiban penyusunan Amdal dilakukan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VII -8



a. RDTR telah dilengkapi dengan KLHS yang dibuat dan dilaksanakan secara komprehensif dan rinci; dan b. RDTR telah mengintegrasikkan hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Kriteria KLHS RDTR yang dibuat dan dilaksanakan secara komprehensif dan rinci terdiri atas: pengkajian pengaruh RDTR terhadap kondisi lingkungan hidup; perumusan alternatif penyempurnaan RDTR; dan penyusunan rekomendasi perbaikan untuk pengambil keputusan RDTR yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. B.



Tata laksana pengecualian kewajiban menyusun Amdal



Gubernur atau bupati/walikota mengajukan permohonan secara tertulis Pengecualian kewajiban penyusunan Amdal kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang dilengkapi dengan: dokumen RDTR yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah; dokumen KLHS RDTR yang telah divalidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan surat validasi KLHS RDTR yang ditandatangani oleh Menteri LHK dan gubernur sesuai dengan kewenangannya. Berdasarkan permohonan tersebut, Menteri LHK menugaskan Ditjen untuk membentuk



tim



evaluasi



untuk



melakukan



evaluasi



terhadap



permohonan



Pengecualian kewajiban penyusunan Amdal berdasarkan kriteria KLHS RDTR. Berdasarkan hasil evaluasi, Menteri LHK menetapkan keputusan menyetujui atau menolak Pengecualian kewajiban penyusunan Amdal paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan dinyatakan lengkap untuk dilakukan evaluasi. Berdasarkan hasil evaluasi, Menteri LHK sesuai kewenangannya menerbitkan surat keputusan persetujuan Pengecualian Wajib Amdal; ataumenugaskan Ditjen menerbitkan surat penolakan Pengecualian wajib Amdal, apabila dinyatakan tidak disetujui.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VII -9



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VII -10



MODUL II KAJIAN MUATAN KLHS



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... VIII - 2 DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................ VIII – 6 DAFTAR TABEL ................................................................................................................................... VIII – 6 1.



Kapasitas Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup untuk



VIII-2



Pembangunan 1.1



Daya Dukung Lingkungan dalam Studi Ekologi



VIII-4



1.2



Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah



VIII-5



1.3



Daya Tampung



VIII-10



2.



Perkiraan Dampak dan Resiko Lingkungan Hidup



VIII-5



3.



Kinerja Layanan / Jasa Ekosistem



VIII-25



4.



Efisiensi Pemanfaatan Sumber Daya Alam



VIII-40



5.



Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim



VIII-44



6.



Tingkat Ketahanan dan Potensi Keanekaragaman Hayati



VIII-72



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



DAFTAR GAMBAR 1.1



Kurva Daya Dukung Lingkungan Hidup



VIII-5



1.2



Hubungan Antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Intensitas Spektrum dan Hambatan Cara Penamaan Sub Kelas Kemampuan Lahan



VIII-5



VIII-9



2.1



Diagram Alir Pembuatan Peta Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas Risk Management Model COSO



2.2



Map & QuantifyRisk



VIII-15



2.4



Konsep Analisis Resiko Lingkungan



VIII-19



2.5



Langkah Analisis Resiko Spasial Multifaktor



VIII-22



2.6



Contoh Peta Spasial Resiko Lingkungan



VIII-23



2.7



Penggunaan Analisis Resiko Dalam Penentuan Tindakan Strategis



VIII-24



3.1



Tipe Jasa Ekosistem



VIII-26



1.3 1.4



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII-8



VIII-14



DAFTAR TABEL 1.1



Klasifikasi Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas



VIII-6



1.2



Identifikasi Kelas dan Sub Kelas Lahan



VIII-9



1.3



Kriteria Status Trofik Danau/Waduk



VIII-11



2.1



Pendekatan Terhadap Analisa Resiko Lingkungan



VIII-18



2.2



Indikator Mengukur Ketahanan Banjir



VIII-20



2.3



Sistem Penilaian Indikator untuk Evaluasi Lingkungan



VIII-22



3.1



Jenis-jenis Ekosistem Alami



VIII-27



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



KAJIAN MUATAN KLHS Kajian muatan atau biasa disebut dengan Kajian 6 (enam) Muatan KLHS merupakan inti kajian yang dilakukan dalam KLHS. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 dari PP 46/2016, hasil analisis paling sedikit memuat kajian: - kapasitas daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup untuk pembangunan; - perkiraan dampak dan risiko Lingkungan Hidup; - kinerja layanan atau jasa ekosistem; - efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; - tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; - tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. Kajian muatan ini dilakukan pada masing-masing materi muatan KRP yang didapatkan dari hasil tahapan Analisis Pengaruh. Penting dalam melakukan analisis untuk memerhatikan lokus dan besaran untuk mendapatkan analisis yang lebih bersifat kuantitatif. Penentuan lingkup, metode, teknik, dan kedalaman analisis kajian muatan dilakukan berdasarkan: - jenis dan tema KRP; - tingkat kemajuan penyusunan atau evaluasi KRP; - relevansi dan kedetilan informasi yang dibutuhkan; - input informasi KLHS dan kajian Lingkungan Hidup lainnya yang terkait dan relevan untuk diacu; - ketersediaan data. Analisis dalam kajian muatan KLHS memerhatikan: -



peraturan perundangan;



-



keberadaan pedoman, acuan, standar, contoh praktek terbaik, dan informasi tersedia yang diakui secara ilmiah;



-



keberadaan hasil penelitian yang akuntabel; dan/atau



-



kesepakatan antar ahli.



Kajian muatan KLHS dalam Rencana Tata Ruang dapat dijabarkan sebagai berikut :



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -1



1. Kapasitas Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup untuk Pembangunan Pembangunan yang menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan (PB) harus dilakukan secara bijaksana, yaitu dengan memperhatikan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Berdasarkan asas kelestarian dan keberlanjutan, bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Hal tersebut yang mendasari adanya pelestarian fungsi lingkungan hidup berupa serangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Definisi daya dukung dan daya tampung sendiri berdasarkan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut: a. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya; b. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Disamping UU PPLH Nomor 32/2009, daya dukung dan daya tampung lingkungan juga sudah menjadi dasar pertimbangan utama dalam perencanan tata ruang dan pembangunan sektor. Sebagai contoh antara lain:



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -2



-



UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 20, Pasal 23 dan Pasal 25 : menyiratkan



bahwa



penyusunan



rencana



tata



ruang



wilayah



nasional/provinsi/kabupaten /kota harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; -



UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 1 (ayat 6) menyatakan bahwa pembangunan kelautan adalah pembangunan yang memberi arahan dalam pendayagunaan sumber daya Kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut;



-



UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 6 (ayat 1 huruf d) menyatakan bahwa perencanaan perkebunan dilakukan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan;



-



UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, Pasal 32 (huruf c) (termasuk juga Pasal 18 dan Pasal 28), menyatakan bahwa kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus) dalam 1 (satu) WUPK (Wilayah Usaha Pertambangan Khusus) adalah Daya Dukung Lingkungan.



-



UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pasal 7 (huruf c) menyatakan bahwa perencanaan pangan harus memperhatikan daya dukung sumber daya alam, teknologi, dan kelestarian lingkungan. Sebagai konsekuensi adanya peraturan perundangan tersebut, daya dukung



dan daya tampung lingkungan hidup penting untuk diketahui, dipahami dan dijadikan dasar dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Dalam peraturan perundangan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yaitu PP 46/2016 dan Permen LHK 69/2017, kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan menjadi salah satu hal yang wajib ada dan dilakukan pada tahap kajian 6 (enam) muatan KLHS. Dalam menghitung atau menentukan kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup diperlukan beberapa pertimbangan antara lain: -



ruang dan sifatnya;



-



tipe pemanfaatan ruang;



-



ukuran produk lingkungan hidup utama (udara dan air);



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -3



-



penggunaan/penutupanlahan mendukung publik (hutan);



-



penggunaan tertentu untuk keperluan pribadi. Untuk daya dukung lingkungan hidup dapat dihitung atau ditentukan dengan



mengukur kinerja jasa lingkungan, mengukur populasi optimal yang dapat didukung, maupun mengukur tingkat kerentanan, kerawanan dan kerusakan pada lingkungan hidup. Teknik-teknik perhitungan dan penentuan untuk daya dukung lingkungan hidup dapat mengikuti ketentuan yang ada atau metodologi yang telah diakui secara ilmiah. Untuk daya tampung lingkungan hidup dapat diukur dari tingkat asimilasi media (air, tanah, udara) ketika menerima gangguan dari luar. Indikator yang digunakan dapat berupa



kombinasi



antara



beban



pencemaran



dengan



kemampuan



media



mempertahankan fungsinya sejalan dengan masuknya pencemaran tersebut. Terdapat banyak sekali kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang ada dan dapat dikaji. Beberapa contoh analisis kapasitas daya dukung dan daya tampung untuk pembangunan yang umum dikaji dalam KLHS dijabarkan sebagai berikut. Daya Dukung Lingkungan dalam Studi Ekologi Di dalam studi ekologi, konsep daya dukung lingkungan digunakan sebagai terjemahan dari carrying capacity, yang secara konseptual dapat diartikan sebagai batas populasi makhluk hidup yang dapat didukung oleh suatu ekosistem. Prinsip dasar dari perhitungan daya dukung lingkungan adalah bahwa populasi makhluk hidup akan terus tumbuh dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di ekosistem, sampai sumberdaya tersebut menipis dan laju pertumbuhan populasi pada akhirnya menurun. Daya dukung lingkungan didefinisikan sebagai ukuran populasi maksimum yang dapat dicapai oleh makhluk hidup tersebut (kurva mencapai garis asimptotik; lihat Gambar x). Di dalam konteks pertumbuhan populasi manusia, konsep daya dukung ekosistem menjadi tidak relevan karena manusia dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan sumberdaya yang tersedia atau mendatangkannya dari daerah lain. Meskipun demikian, konsep daya dukung tetap dapat digunakan di dalam pengelolaan lingkungan hidup.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -4



Gambar 1.1 Kurva Daya Dukung Lingkungan Hidup (Sumber: Encyclopedia Britannica, 2011)



1.2



Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah



a. Klasifikasi Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan lahan dengan memanfaatkan peta kemampuan lahan. -



Peta kemampuan lahan menggambarkan tingkat kelas potensi lahan secara keruangan dan dapat dipakai untuk menentukan arahan penggunaan lahan secara umum



-



Spektrum penggunaan lahan (ditunjukkan pada Gambar 1.2) apabila tingkat bahaya/risiko kerusakan dan hambatan penggunaan meningkat, spektrum penggunaan lahan menurun seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 1 (Klingebiel dan Montgomery, 1961).



Gambar 1.2 Hubungan Antara Kelas Kemampuan Lahan Dengan Intensitas, Spektrum dan Hambatan Penggunaan Tanah



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -5



Kemampuan lahan dalam tingkat kelas Lahan diklasifikasikan ke dalam 8 (delapan) kelas, yang ditandai dengan huruf romawi I sampai dengan VIII. Dua kelas pertama (kelas I dan kelas II) merupakan lahan yang cocok untuk penggunaan pertanian dan 2 (dua) kelas terakhir (kelas VII dan kelas VIII) merupakan lahan yang harus dilindungi atau untuk fungsi konservasi. Keterangan lebih rinci mengenai klasifikasi kelas lahan dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Klasifikasi Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas Kls



Kriteria



Penggunaan



I



1. Tidak mempunyai atau hanya sedikit hambatan yang membatas penggunaannya. 2. Sesuai untuk berbagai penggunaan, terutama pertanian. 3. Karakteristik lahannya antara lain: topografi hampir datar - datar, ancaman erosi kecil, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah, kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir.



Pertanian: a. Tanaman pertanian semusim. b. Tanaman rumput. c. Hutan dan cagar alam



II



1. Mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau memerlukan tindakan konservasi yang sedang. 2. Pengelolaan perlu hati-hati termasuk tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan



Pertanian: a. Tanaman semusim. b. Tanaman rumput. c. Padang penggembalaan d. Hutan produksi. e. Hutan lindung. f. Cagar alam.



III



1. Mempunyai beberapa hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi khusus dan keduanya. 2. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. 3. Hambatan pada angka I membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas tersebut. f. Hutan lindung dan cagar alam. 1. Hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga terbatas. 2. Perlu pengelolaan hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan.



1. Pertanian: a. Tanaman semusim. b. Tanaman yang memerlukan pengolahan tanah. c. Tanaman rumput. d. Padang rumput. e. Hutan produksi.



IV



2. Non-pertanian.



1. Pertanian: a. Tanaman semusim dan Tanaman pertanian pada umumnya b. Tanaman rumput c. Hutan produksi. d. Padang penggembalaan.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -6



e. Hutan lindung f. dan suaka alam. 2. Non-pertanian. V



1. Tidak terancam erosi tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi pilihan penggunaannya. 2. Mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman. 3. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai.



1. Pertanian: a. Tanaman rumput. b. Padang penggembalaan. c. Hutan produksi. d. Hutan lindung dan suaka alam.



1. Mempunyai faktor penghambat berat yang menyebabkan penggunaan tanah sangat terbatas karena mempunyai ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan. 2. Umumnya terletak pada lereng curam, sehingga jika dipergunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari erosi.



1. Pertanian: a. Tanaman rumput. b. Padang penggembalaan. c. Hutan produksi. d. Hutan lindung dan cagar alam.



VII



1. Mempunyai faktor penghambat dan ancaman berat yang tidak dapat dihilangkan, karena itu pemanfaatannya harus bersifat konservasi. Jika digunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan pencegahan erosi yang berat.



a. Padang rumput. b. Hutan produksi



VIII



1. Sebaiknya dibiarkan secara alami. 2. Pembatas dan ancaman sangat berat dan tidak mungkin dilakukan tindakan konservasi, sehingga perlu dilindungi



a. Hutan lindung. b. Rekreasi alam. c. Cagar alam.



VI



2. Non-pertanian



2. Non-pertanian.



Kemampuan Lahan dalam tingkat Subkelas Kategori subkelas hanya berlaku untuk kelas II sampai dengan kelas VIII karena lahan kelas I tidak mempunyai faktor penghambat. Kelas kemampuan lahan seperti tersebut di atas (kelas II) sampai dengan kelas VIII) dapat dirinci ke dalam subkelas. Berdasarkan empat faktor penghambat, yaitu: -



Kemiringan lereng (t)



-



Penghambat terhadap perakaran tanaman (s) MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -7



-



Tingkat erosi/bahaya erosi (e)



-



Genangan air (w)



Cara penamaan kelas dan subkelas dilakukan dengan menuliskan faktor penghambat di belakang angka kelas, contoh: lahan kelas III dengan faktor penghambat kelerengan (t) ditulis IIIt, lahan kelas II dengan faktor penghambat erosi (e) ditulis IIe, lahan kelas II dengan faktor penghambat drainase (w) ditulis IIw; dan lahan kelas IV dengan faktor penghambat perakaran tanaman karena kedalaman tanah (s) ditulis IVs. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.3



Gambar 1.3 Contoh cara penamaan kelas dan sub kelas kemampuan lahan Kemampuan Lahan dalam tingkat Unit Pengelolaan Dalam kategori unit pengelolaan telah diindikasikan kesamaan potensi dan hambatan/risiko sehingga dapat dipakai untuk menentukan tipe pengelolaan atau teknik konservasi yang dibutuhkan. Kemampuan lahan pada tingkat unit pengelolaan memberikan keterangan yang lebih spesifik dan detil dari subkelas. Tingkat unit pengelolaan lahan diberi simbol dengan menambahkan angka di belakang simbol subkelas. Angka ini menunjukkan besarnya tingkat faktor penghambat yang ditunjukkan dalam subkelas, misalnya IIw1, IIIe3, IVs3, dan sebagainya. Evaluasi kecocokan penggunaan lahan diperlukan sebagai masukan bagi revisi rencana tata ruang atau penggunaan lahan yang sudah ada. Klasifikasi pada kategori unit pengelolaan memperhitungkan faktor-faktor penghambat yang bersifat permanen atau sulit diubah seperti tekstur tanah, lereng permukaan, drainase, kedalaman efektif tanah, tingkat erosi yang telah terjadi, liat masam (cat clay), batuan di atas permukaan tanah, ancaman banjir atau genangan air yang tetap. Faktor-faktor tersebut digolongkan berdasarkan besarnya intensitas faktor penghambat atau ancaman.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -8



Gambar 1.4 Diagram Alir Pembuatan Peta Kemampuan Lahan Dalam Tingkat Kelas Dari overlay peta, didapat kombinasi keempat parameter di atas, sehingga dapat dilakukan identifikasi kelas lahan. Besarnya hambatan yang ada untuk masing-masing parameter menentukan masuk ke dalam kelas dan subkelas mana lahan tersebut. Dari hasil identifikasi, dapat dideliniasi kelas dan subkelas kemampuan lahan. Sebagai contoh, lahan yang memiliki lereng datar dan tidak mempunyai hambatan dari paramater lainnya masuk ke dalam kelas I. Contoh yang lebih rinci untuk mengidentifikasi kelas dan subkelas lahan sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Contoh Identifikasi Kelas dan Subkelas Lahan No.



No Sampel



1



Kode



Kemampuan



Faktor Pembatas



Data



1



Kemiringan Lereng (l)



0-2%



l0



I



2



Kepekaan Erosi (KE)



0,49



KE5



III



3



Tingkat erosi (e)



SR



e0



I



4



Kedalaman tanah (k)



>90 cm



k0



I



5



Tekstur Tanah Atas (t)



Geluh



t2



I



Lahan



Berlempung 6



Tekstur Tanah Bawah (t)



Lempung



t1



I



7



Permeabilitas Tanah (P)



Agak lambat



P2



I



8



Drainase (d)



Agak jelek



g0



III



9



Kerikil/ Batu (b)



Tanpa



g0



I



10



Ancaman Banjir (o)



Kadang-kadang



g0



II



11



Salinitas (g)



Bebas



g0



I



Kelas



II



Sub Kelas



III ke, d



Potensi kemampuan lahan



Tinggi



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -9



Dari contoh Tabel 1.2 dapat disimpulkan, kelas kemampuan lahan masuk dalam kategori Kelas III dengan factor penghambat kepekaan erosi (ke) dan drainase (d). Apabila peta kemampuan lahan atau peta kemampuan tanah sudah ada, akan dapat memudahkan penentuan kelas lahan, karena sudah tidak perlu lagi dilakukan langkah tumpang tindih (overlay) peta. Namun demikian identifikasi dan delineasi kelas lahan tetap harus dilakukan. 1.3



Daya Tampung



Daya tampung beban pencemar pada sumber air (sungai dan danau/waduk) Dalam analisis pembangunan berkelanjutan khususnya yaitu pada pilar lingkungan hidup, keandalan sumber daya air menjadi sangat penting keberadaannya. Dalam analisis keandalan sumber daya air, khususnya air permukaan, perlu dikaji dari masing-masing aspek yaitu kuantitas, kualitas, dan kontinuitas (keberlanjutan) yang tidak terpisahkan. Hal yang paling terkait dengan daya tampung sendiri yaitu mengenai kualitas air permukaan khususnya sungai dan danau/waduk yang dipengaruhi oleh masuknya beban pencemar dari aktivitas yang ada di sekitarnya. Penentuan daya tampung beban pencemaran badan air dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 tahun 2009 Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk. Daya tampung danau dan/atau waduk yaitu kemampuan perairan danau dan/atau waduk menampung beban pencemaran air sehingga memenuhi baku mutu air dan status trofik. Baku mutu air danau dan/atau waduk terdiri dari parameter fisika, kimia dan mikrobiologi. Sedangkan persyaratan status trofik danau dan/atau waduk meliputi parameter kecerahan air, Nitrogen, Phosphor serta Klorofil-a. Kadar P-total merupakan faktor penentuan status trofik. Penentuan Status trofik Danau dan/atau Waduk Penentuan status trofik danau dan/atau waduk berdasarkan Peraturan Meneri Lingkungan Hidup No.28 Tahun 2009. Berdasarkan peraturan tersebut, kondisi kualitas air danau dan/atau waduk diklasifikasikan berdasarkan eutrofikasi yang disebabkan adanya peningkatan kadar unsur hara dalam air. Faktor pembatas sebagai penentu eutrofikasi adalah unsur Fosfor (P) dan Nitrogen (N). Sedangkan parameter Klorofil-a merupakan pigmen tumbuhan hijau yang diperlukan untuk fotosintesis. Parameter Klorofil-a ini digunakan untuk mengindikasikan kadar biomassa algae, dengan perkiraan rata-rata beratnya adalah 1% dari biomassa. MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -10



Eutrofikasi diklasifikasikan dalam empat kategori status trofik yaitu : Oligotrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar rendah, status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum tercemar dari sumber unsur hara Nitrogen dan Fosfor. Mesotrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sedang, status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran air. Eutrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor . Hipereutrof/Hipertrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor. Berikut merupakan tabel kriteria status trofik danau dan/ atau waduk yang digunakan untuk menentukan kategori status trofik danau dan/atau waduk. Tabel 1.3 Kriteria Status Trofik Danau dan/atau Waduk Status Trofik



Kadar Rata-



Kadar Rata-



Kadar Rata-



Kecerahan



rata Total-N



rata Total-P



rata Khlorofil-



Rata-rata



(µg/L)



(µg/L)



a (µg/L)



(m)



Oligotrof



≤ 650



< 10



< 2.0



≥ 10



Mesotrof



≤ 750



< 30



< 5.0



≥4



Eutrof



≤ 1900



< 100



< 15



≥ 2,5



Hipereutrof



>1900



≥ 100



≥ 200



< 2,5



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -11



2. Perkiraan Dampak dan Resiko Lingkungan Hidup Kajian muatan perkiraan dampak dan risiko lingkungan hidup bertujuan untuk mengukur besar dan pentingnya dampak dan/atau risiko suatu kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap perubahan-perubahan lingkungan hidup dan kelompok masyarakat yang terkena dampak dan/atau risiko. Teknik analisis mengikuti ketentuan yang telah tersedia (misalnya Pedoman Dampak Penting) dan metodologi yang diakui secara ilmiah (misalnya metodologi Environmental Risk Assessment). Dampak lingkungan hidup merupakan pengaruh perubahan yang merugikan pada lingkungan hidup. Sedangkan resiko lingkungan hidup adalah kemungkinan atau tingkat kejadian, bahaya, dan/atau konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu kondisi lingkungan yang menjadi ancaman bagi ekosistem dan kehidupan, atau terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. Kajian perkiraan dampak lingkungan hidup diidentifikasi dengan melihat posisi KRP terhadap isu pembangunan berkelanjutan prioritas. Berdasarkan pasal 47 UU No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Analisis Risiko Lingkungan Hidup adalah setiap usaha dan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup. Analisis risiko yang dimaksud diantaranya adalah: a. pengkajian risiko, meliputi seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya, penaksiran besarnya konsekuensi atau akibat, dan penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang tidak diinginkan, baik terhadap keamanan dan kesehatan manusia maupun lingkungan hidup b. pengelolaan risiko, meliputi evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan pengelolaan, identifikasi pilihan pengelolaan risiko, pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan pengimplementasian tindakan yang dipilih komunikasi risiko, proses interaktif dari pertukaran informasi dan pendapat di antara individu, kelompok, dan institusi yang berkenaan dengan risiko. Dampak suatu kegiatan terhadap perubahan lingkungan hidup yang mendasar dapat diukur dari beberapa media lingkungan antara lain ialah tanah, air, udara, dsb. Yang tertuang dalam penjelasan UUPPLH Pasal 15 ayat (2) huruf b meliputi: MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -12



- perubahan iklim; - kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati; - peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan; - penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam; - peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan; - peningkatan



jumlah



penduduk



miskin



atau



terancamnya



keberlanjutan



penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau - peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia Manajemen



risiko



adalah



suatu



pendekatan



terstruktur



dalam



mengelola



ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman. Risk management dapat dilaksanakan secara terus menerus dan dipantau secara berkala. Adapun fungsi dari manajemen resiko adalah untuk: -



Menemukan kerugian potensial



-



Mengevaluasi kerugian potensial



-



Memilih teknis/cara yang tepat atau menentukan suatu kombinasi dari teknikteknik yang tepat guna menanggulangi kerugian



Pemahaman manajemen resiko memungkinkan manajemen untuk terlibat secara efektif dalam menghadapi ketidakmungkinan dengan risiko dan peluang yang berhubungan dan meningkatkan kemampuan organisasi untuk memberikan niali tambah. Menurut COSO ERM (2004), proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam 8 komponen (tahap), dapat dilihat pada gambar berikut:



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -13



Gambar 2.1 Risk management model COSO Keterangan: Internal environment (Lingkungan internal) Cakupan dalam lingkungan internal diantaranya adalah risk management philosophy, integrity, risk perspective, risk appetite, ethical values, struktur organisasi, dan pendelegasian wewenang. Objective settling (Penentuan tujuan) Tujuan diklasifikasikan menjadi strategic objective dan activity objective. Event identification (Identifikasi risiko) Komponen ini berfungsi untuk mengidentifikasi kejadian potensial yang terjadi di lingkungan internal maupun eksternal yang memperngaruhi strategi atau pencapaian tujuan yang bisa berdampak positif ataupun negatif. Risk assessment Komponen ini menilai sejauh mana dampak dari keadaan dapat mengganggu pencapaian tujuan. Besarnya dampak dapat diketahui dari inherent dan residual risk, dan dapat dianalisis dalam dua perspektif yaitu kecendrungan dan besaran teralisasinya risiko. Penilaian risiko dapat menggunakan dua teknik yaitu : Qualitative techniques menggunakan beberapa tools seperti self assessment (low, medium, high), questionnaries, dan internal audit reviews. Quantitative techniques menghasilkan data berbentuk angka yang diperoleh dari tools seperti probability based, non probabilistic models, dan benchmarking



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -14



Gambar 2.2 Map and Quantify Risk Risk response Control activities Information and communication Monitoring Risiko adalah kombinasi kemungkinan terjadinya bahaya yang ditentukan dan besarnya konsekuensi dari kejadian. Untuk menghindari terjadinya risiko, diperlukan penilaian risiko sebagai strategi untuk mengelola dan mitigasi risiko dengan pengelolaan sumberdaya. Penilaian terhadap risiko akan bergantung pada persepsi penilai terhadap suatu risiko. Penilaian bersifat subyektif karena menilai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang menimbulkan dampak negative, seperti kerugian, cedera, penyakit dan kematian. Dalam prosesnya, besar nilai risiko dipengaruhi oleh: -



Dimensi kognitif, yaitu seberapa jauh orang mengetahui dan memahami risiko tersebut, dan dapat menjadi subyektif



-



Dimensi emosi, yaitu bagaimana perasaan orang terhadap risiko Respon orang terhadap risiko pun akan konsisten dengan persepsi mereka



sehinga mempengaruhi perilaku atau tindakan mereka. Dalam analisis risiko perlu dipahami juga bahwa analisis risiko mengandung ketidakpastian. Hal ini karena terbatasnya pemahaman, asumsi yang salah atau variabilitas statistic yang mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap kesimpulan dari analisis risiko. Dengan MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -15



demikian, penilaian risiko bukan suatu ilmu eksakta yang diartikan dengan ‘pasti terjadi sesuatu’. Namun, lebih kepada besar kemungkinan akan terjadi sesuatu. Tahapan umum yang digunakan dalam analisis risiko sebagai berikut: -



Formulasikan masalah



-



Identifikasi bahaya



-



Penilaian Konsekuensi



-



Penilaian Probability



-



Karakterisasi risiko dan kemungkinan Dalam suatu pendekatan kajian analisis risiko lingkungan yang berbasis tata



ruang, ketidakpastian muncul akibat adanya aktivitas manusia yang mengubah bentuk alam. Hal ini dapat menggangu proses alamiah yang secara natural berlangsung kontinu. Manusia memanfaatkan banyak sumber daya alam untuk kepentingannya. Seperti air, udara, tanah untuk pertanian dan tempat tinggal, sumber energi dan lainlain. Perubahan akibat penggunaan lahan bisa bersifat positif bila daya dukung ekosistem lebih besar dari demand manusia (positive risk). Bila daya dukung ekosistem lebih kecil, ditambah dengan adanya polusi dan pengrusakan lingkungan kontinu maka perubahan akan ke arah negative (negative risk) bagi manusia. Seperti munculnya bencana longsor, banjir, habisnya SDA, dll. Dalam konsep ini, dikenal istilah hazard sebagai sumber bahaya, vulbnerability sebagai faktor yang dapat berperan meningkatkan kemungkinan terjadinya risiko atau memperparah kejadian, serta risiko akhir. Pemahaman terhadap konsep ini dapat dillihat dalam gambar berikut.



Gambar 2.3 Konsep Analisis Risiko Lingkungan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -16



Saat ini proses perencanaan jangka pendek atau menengah, yang dirumuskan dalam RTRW sering tidak sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang memuat rencana mitigasi lingkungan. Hal ini bisa dipengaruhi oleh tingkat kepahaman terhadap risiko, terbatasnya informasi terhadap faktor-faktor atau indicator risiko lebih objektif, belum adanya standardisasi metode, perbedaan kondisi satu daerah dengan yang lainnya, dll. Dengan demikian, diperlukan pemahaman mengenai karakteristik risiko-risiko yang ada, seperti faktor penyebab, distribusi spasialnya dan tingkatan risiko tersebut, sehingga pengambilan keputusan bisa diarahkan dengan lebih tepat sasaran. Secara khusus, isu utama tentang manajemen risiko lingkungan harus memiliki kecenderungan dibidang berikut: -



Pengelolaan limbah dan efisiesi sumber daya alam



-



Pencegahan risiko dan adaptasi perubahan iklim



-



Pengurangan polusi udara



-



Perlindungan tanah dan penggunaan lahan



-



Pengelolaan air dan perlindungan terhadap banjir



-



Perlindungan keanekaragaman hayati dan bentang alam.



Pemetaan risiko bermanfaat untuk memberikan perbandingan risiko dan kerentanan masyarakat secara spasial, khususnya terhadap stressor lingkungan. Hal ini dapat membantu perencanaan tata ruang yang mendukung upaya konservasi lingkungan, meminimasi dampak negating pembangunan dan meningkatkan layanan ekosistem. Hasil dari pemetaan risiko ini dapat memperlihatkan daerah yang risiko tinggi, yang dapat menjadi target prioritas utama untuk perbaikan lingkungan. Instrumen analisis risiko sangat beragam, karena kembali lagi pada persepsi risiko dari penilai, kondisi daerah, faktor-faktor penyebab risiko, faktor bahaya dan faktor kerentanan yang ada di suatu daerah. Secara garis besar, konsep yang digunakan dalam analisis risiko lingkungan berbasis spasial, seperti pada tabel berikut.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -17



Tabel 2.1 Pendekatan terhadap Analisis Risiko Lingkungan Sumber Bahaya (Hazard)



Pendekatan (Approach)



Daya Banjir, kekeringan, polutan di air



Air



Flood Risk/Resilience Index, Drought Risk/Resilience Index, Water Quality Index Air Quality Index, CO2 emission



Udara



Polutan di udara



Tanah



Pencemar di tanah, longsor, Soil Quality Index Kebakaran hutan



Sosial



Penyakit



Tingkat Insidensi



Salah satu teknik analisis/penilaian risiko lingkungan hidup diantaranya adalah ERA (Environment Risk Assessment), suatu metode perkiraan kemungkinan atau probabilitas dampak buruk terhadap lingkungan yang dihasikan dari aktivitas manusia. ERA telah diterapkan untuk mengevaluasi risiko lingkungan terhadap ekosistem dan dengan demikian mengidentifikasi peluang untuk mengatur penggunaan lahan berkelanjutan (Choquette, 2003; Hession, 1995; Neumann, 2014; USEPA, 1998). Untuk mengintegrasikan beberapa faktor ke dalam ERA, metode Analytical Hierarchy Process (AHP) (Saaty, 1980) telah digunakan untuk mengevaluasi kepentingan relatif dari berbagai faktor dengan menetapkan bobot indikator melalui perbandingan berpasangan (Babaie-Kafaky et al., 2009; Jaiswal et al., 2014; Liu et al., 2007; Panagopoulos et al., 2012). Bobot yang ditetapkan dapat digunakan dalam program Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk kombinasi linear tertimbang dari berbagai faktor dalam bentuk lapisan data spasial (Liu et al., 2007). Teknik GIS telah diusulkan sebagai pendekatan praktis untuk tugas-tugas yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, termasuk ERA dan perencanaan penggunaan lahan (Lahr dan Kooistra, 2010; Phua dan Minowa, 2005; Youssef et al., 2011). Pendekatan ini memiliki kapasitas



untuk



menganalisis



informasi



spasial



secara



komprehensif



dan



menggambarkan masalah lingkungan dan strategi penggunaan lahan (Collins et al., 2001; Karaman, 2015; Leman et al., 2016; Malczewski, 2006).



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -18



Gambar 2.4 Skeleton dari DSS Beberapa contoh instrumentasi yang digunakan untuk menghitung risiko lingkungan seperti: 1. Flood Risk Index (FRI) Digunakan untuk menghitung tingkat kerentanan suatu area terhadap banjir. Kalkulasi nilai risiko dilakukan dengan persamaan Averaged Weight Mean Index berikut. FRI= Σ𝐼𝑖 𝑥 𝑤𝑖𝑛𝑖=1Σ𝑤𝑖𝑛𝑖 Dengan: I : nilai indikator W : bobot indikator N : jumlah dimensi yang dihitung Indikator yang digunakan untuk pengukuran ketahanan banjir dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -19



Tabel 2.2 Indikator untuk Mengukur Ketahanan Banjir Dimensi



Elemen banjir



Indikator



Pendukung



Karakteristik banjir di



Indikator Alami



setiap dusun di Andir Pendukung



Ruang terbuka hijau



Penghambat



Kondisi tanggul di sepanjang sungai



Penghambat



Jumlah rumah dengan konstruksi tahan banjir



Penghambat



Jumlah bangunan dengan drainase yang berfungsi secara optimal



Fisik



Penghambat



Jumlah rumah dengan fasilitas air bersih yang dapat diakses pada saat kejadian banjir



Penghambat



Jumlah rumah dengan fasilitas air limbah yang dilindungi saat kejadian banjir



Pemulihan



Jumlah responden yang menerima bantuan saat kejadian banjir



Tanggap



Jumlah responden yang menerima peringatan dini banjir



Sosial



Pencerminan



Jumlah penduduk lokal



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -20



Dimensi



Elemen banjir



Indikator



Indikator yang berpartisipasi dalam penyebaran inforrmasi untuk meningkatkan kesadaran banjir Ekonomi



Pemulihan



Kehilangan dan dampak negatif dari responden akibat banjir



Institusi



Tanggap



Jumlah korban dievakuasi dari area banjir



Pemulihan



Program konservasi dan pembersihan sungai yang berkelanjutan



Drought Risk Index (DRI) DRI mengukur tingkat ketahanan terhadap peristiwa kekeringan dengan berfokus pada keandalan dan kerentanan pasokan air, yang diwakili oleh tekanan pasokan dan keragaman pasokan (Gonzales, 2017). Dalam mengukur DRI, indikator kualitatif dan kuantitatif diintegrasikan dalam tiga faktor penting diantaranya adalah penawaran, permintaan, dan kapasitas adaptasi. Analisis Superposisi Spasial Multi Faktor Analisis ini menggunakan berbagai data spasial yang dijadikan faktor-faktor risiko di suatu daerah. Tentunya pemilihan indicator disesuaikan dengan aktual bahaya/hazard yang ditemukan di daerah tersebut. Contoh indicator dan tahapan dalam pelaksanaan analisis superposisi spasial muktifaktor dijelaskan dalam gambar dan tabel berikut.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -21



Gambar 2.5 Langkah Analisis Risiko Spasial Multifaktor Dalam tabel berikut diperlihatkan contoh penialian indikator/faktor yang dapat digunakan untuk mengevaluasi risiko lingkungan. Tabel 2.3 Sistem Penilaian Indikator Untuk Mengevaluasi Risiko Lingkungan Indikator



Sub indikator



Topografi



Hidrologi



Skor Penilaian Tidak ada



Risiko



Risiko



Risiko



risiko (1)



rendah



sedang



tinggi (7)



(3)



(5)



Elevasi



0-50 m



50-100 m



100-200 m



>200 m



Kemiringan



0-5◦



5-15◦



15-25◦



>25◦



Jarak



>800 m



400-800



200-400 m



0-200 m



1000-



500-1000



0-500 m



5000 m



m



2000-



200-2000



3000 m



m



menuju



m



badan air Ekosistem



Jarak



>5000 m



menuju ke cadangan hutan Jarak menuju ke



>3000 m



0-200 m



cadangan sumber air



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -22



Penggunaan -



Spare land



lahan Lalu lintas



Jarak



>1000 m



menuju ke



Urban



Green



Nature



land



space



reserve



500-1000 200-500 m



0-200 m



m



jalan Faktor



Daerah



Tingkat



koreksi



longsor



kelas risiko sebesar 1



Daerah



Tingkat



kapur



kelas risiko sebesar 1



Dengan bantuan software pemetaan, dapat dihasilkan peta sebagai berikut.



Gambar 2.6 Contoh Peta Spasial Risiko Lingkungan Dengan adanya peta risiko, dapat menjadi dasar dalam pengambilan keputusan, seperti area yang risikonya lebih tinggi dapat lebih diutamakan, seperti yang ditunjukan pada gambar berikut.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -23



Gambar 2.7 Penggunaan Analisis Risiko dalam Penentuan Tindakan Strategis Soil Quality Index Dalam metoda ini dibahas fungsi tanah, indikator kualitas tanah, fungsi pedotransfer, dan kualitas tanah perkotaan. Soil Quality Indeks menilai kualitas tanah dalam melaksanakan fungsinya sebagai: -



indeks kualitas tanah (menyatakan kualitas tanah / kesesuaian untuk penggunaan lahan tertentu)



-



indeks kualitas lingkungan tanah (nilai lingkungan tanah) dalam hal melakukan fungsi ekologis penting dari tanah,



-



indeks perubahan penggunaan lahan (penilaian dampak perencanaan penggunaan lahan terhadap sumber daya tanah).



Prediksi Risiko Lingkungan terhadap Carrying Capacity berdasarkan Risk Entropy Penghitungan risiko lingkungan ini dilakukan dengan menggunakan model matematis yang memanfaatkan berbagai teori seperti model genetic projection pursuit, teori difusi informasi dan metode risk entropy. Data yang diolah berdasarkan pada indicator yang dipilih, dimana digunakan perspektif ekologi, infrastruktur, sosial dan daya dukung lingkungan sebagai dasar indikatornya. Hasil penghitungan risiko ditampilkan dalam bentuk peta GIS, karena analisis menggunakan dasar analisis spasial.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -24



3. Kinerja Layanan / Jasa Ekosistem Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, terdapat banyak teknik atau metode dalam mengoperasionalisasi konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, di antaranya yang sudah disepakati oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada forum koordinasi Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (PPPE) seluruh Indonesia adalah penggunaan konsep jasa ekosistem (ecosisystem services). Di banyak negara maju, sudah digunakan metode/pendekatan yang berbasis pada jasa ekosistem seperti yang dikembangkan pada Millenium Ecosystem Assesment (MEA) pada tahun 2005. Jasa ekosistem didefinisikan sebagai barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem alami yang bermanfaat bagi manusia (Price, 2007 dalam Djajadiningrat et al. 2014). Menurut Daily (2010, dalam Djajadiningrat et al.2014) jasa ekosistem merupakan kondisi dan proses pada ekosistem alami dan spesies yang membuat mereka mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan manusia. Menurut Burkhard et al.(2014) jasa ekosistem merupakan kontribusi dari struktur dan fungsi ekosistem dalam kombinasi dengan input lain yang bermanfaat untuk mensejahterakan kehidupan manusia. Dalam pendekatan ini DDDT dilihat dalam konteks “manfaat yang diperoleh masyarakat dari ekosistem”. Contohnya antara lain meliputi produksi pangan dan obatobatan, pengaturan iklim dan penyakit, tersedianya jasa tanah produktif dan air bersih, perlindungan terhadap bencana alam, peluang untuk rekreasi, terpeliharanya warisan budaya, dan manfaat spiritual. Pendekatan jasa ekosistem merupakan konsep perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengelolaan yang komprehensif yang menguraikan “strategi pengelolaan terpadu tanah, air, dan sumber daya kehidupan yang meningkatkan konservasi dan pemakaian secara berkelanjutan dan berkeadilan (SCBD, 2014). Pendekatan ekosistem dibangun atas pemikiran bahwa seluruh ekosistem di dunia adalah terkait dan tidak satu ekosistem pun dapat berfungsi sebagai satu sistem yang seluruhnya tertutup. Untuk penilaian DDDT ekosistem, MEA (2005) mendefinisikan empat kategori dasar jasa ekosistem, yaitu:



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -25



Gambar 3.1 Tipe jasa ekosistem (Sumber: WWF, 2016) 



Jasa Penyediaan (provisioning); menyediakan pangan, air bersih, serat kayu, dan bahan bakar.







Jasa Pengaturan (regulating); mengatur tingkat iklim, tata air dan banjir, penyakit, dan pemurnian air.







Jasa Budaya (cultural); menyediakan potensi estetika, ekoturisme, dan ruang hidup







Jasa Pendukung (supporting); mendukung daur ulang unsur hara, pembentukan tanah, dan produksi primer. Dalam pendekatan jasa layanan ekosistem mengacu pada kerangka metodologi



Millenium Ecosystem Assessment (MEA) yang digagas oleh World Resources Institute (WRI), United Nations Environment Programme (UNEP), United Nations Development Programme (UNDP) dan The World Bank dan kini dijadikan salah satu basis acuan penyusunan informasi lingkungan hidup untuk kebijakan pembangunan di hampir semua negara. Secara umum manfaat ekosistem dibagi menjadi kategori nilai guna (use value) dan nilai bukan guna (non use value) seperti terlihat pada Tabel berikut (Bishop, 1999).



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -26



Tabel 3.1 Jenis-Jenis Nilai Ekosistem Alami (Sumber : diadaptasi dari Barbier (1991))



Nilai guna ialah nilai yang timbul dari penggunaan barang dan jasa ekosistem. Nilai guna meliputi nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan. Nilai guna langsung terdiri dari produk dan jasa yang langsung disediakan eksositem seperti kayu, rotan, buah-buahan dan obatobatan. Nilai guna tak langsung terdiri dari banyak fungsi ekosistem. Nilai ini mendukung dan melindungi kegiatan ekonomi yang memberikan manfaat pasar secara langsung. Sebagai contoh dari nilai guna tidak langsung suatu ekosistem ialah berupa pengendalian sedimentasi dan kerusakan banjir yang mempengaruhi pertanian, pemancingan, persediaan air dan kegiatan ekonomi ke arah muara (Bishop, 1999). Nilai pilihan (option value) merupakan nilai guna yang berhubungan dengan kegunaan suatu ekosistem (hutan tropis) di masa depan. Nilai ini muncul karena masyarakat memiliki pilihan tentang kegunaan hutan tropis di masa yang akan datang. Konsekuensinya adalah konservasi hutan, maka tingkat pemanfaatannya akan berkelanjutan dengan harapan di masa depan mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam lingkup ilmu dan teknologi, pendidikan, serta kegunaan ekonomi lainnya. Nilai bukan guna (non use value) merupakan nilai yang muncul karena adanya keinginan masyarakat untuk melindungi hutan tropis sekalipun mereka tidak menikmati manfaat secara langsung atau tidak langsung dari hasil hutan tropis yang bersangkutan. Nilai bukan guna sering disebut sebagai nilai eksistensi atau nilai intrinsik, nilai ini diperoleh dari kesenangan murni terhadap keberadaan suatu barang tidak berhubungan dengan bermanfaat atau tidaknya barang tersebut.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -27



Untuk memperoleh nilai jasa ekosistem dapat menggunakan dua penaksiran yaitu landscape based proxy dan landcover/landused based, yang selanjutnya digunakan dasar untuk melakukan pemetaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 3.1



Ekoregion Berbasis Bentang lahan (landscape based proxy) Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan



Lingkungan Hidup secara eksplisit mengamanatkan pentingnya penggunaan ekoregion sebagai azas dalam pengelolaan lingkungan. Sebaliknya dalam UU Penataan Ruang juga menegaskan pentingnya penggunaan ekoregion sebagai dasar penyusunan tata ruang wilayah. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Ekoregion adalah bentuk metode perwilayahan untuk manajemen pembangunan yang mendasarkan pada batasan dan karakteristik tertentu (deliniasi ruang). Berdasarkan definisi tersebut karaktersitik yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan batas wilayah diantara kesamaan karakteristik: -



karakteristik bentang alam;



-



daerah aliran sungai;



-



iklim;



-



flora dan fauna;



-



sosial budaya;



-



ekonomi;



-



kelembagaan masyarakat; dan



-



hasil inventarisasi lingkungan hidup Kompleksnya karakteristik lingkungan yang dijadikan sebagai dasar penentuan



wilayah ekoregion menyulitkan proses deliniasi ekoregion. Diperlukan pendekatan yang lebih praktis untuk penyusunan ekoregion. Widiyanto, dkk, (2008) dalam tulisannya tentang bentang lahan (landscape) untuk pengenalan fenomena geosfer pendekatan teknik bentuk lahan (landform). Persamaan antara ekoregion dengan bentuk lahan tersebut dapat dicermati dari definisi berikut : MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -28



Bentang lahan ialah sebagian ruang permukaan bumi yang terdiri atas sistemsistem, yang dibentuk oleh interaksi dan interdependensi antara bentuk lahan, batuan, bahan pelapukan batuan, tanah, air, udara, tumbuh-tumbuhan, hewan, laut tepi pantai, energi dan manusia dengan segala aktivitasnya yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan (Surastopo, 1982). Bentang lahan merupakan bentangan permukaan bumi dengan seluruh fenomenanya, yang mencakup: bentuk lahan, tanah, vegetasi, dan atribut-atribut yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia (Vink, 1983). Bentang lahan adalah bentangan permukaan bumi yang di dalamnya terjadi hubungan saling terkait (interrelationship) dan saling ketergantungan (interdependency) antar berbagai komponen lingkungan, seperti: udara, air, batuan, tanah, dan flora-fauna, yang mempengaruhi keberlangsungan kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya. (Verstappen, 1983). Berdasarkan definisi tersebut karaktersitik yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan bentang lahan diantara kesamaan karakteristik yaitu : -



Geomorfik (G),



-



Litologik (L),



-



Edafik(E),



-



Klimatik (K)



-



Hidrologik (H),



-



Oseanik (O)



-



Biotik (B) flora dan fauna



-



Antropogenik (A)



Berdasarkan perbandingan dua pengertian tersebut di atas (ekoregion dan bentang lahan), maka terdapat kesamaan substansi antara keduanya, oleh karena itu pendekatan bentang lahan dapat digunakan sebagai teknik penyusunan ekoregion. Verstappen (1983) telah mengklasifikasikan bentuk lahan berdasarkan genesisnya menjadi 10 macam bentuk lahan asal proses, yaitu: -



Bentuk lahan asal proses volkanik (V), merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuk lahan ini antara lain: kawah, kerucut gunung api, kaldera, medan lava, lereng kaki, dataran, dataran fluvial gunung api. MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -29



-



Bentuk lahan asal proses struktural (S), merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologis. Pegunungan lipatan, pegunungan patahan, perbukitan (monoklinal/homoklinal), kubah, Graben, gawir, merupakan contoh-contoh untuk bentuk lahan asal struktural.



-



Bentuk lahan asal fluvial (F) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat aktivitas sungai. Dataran alluvial, kerucut alluvial, kipas alluvial, dataran banjir, rawa belakang, teras sungai, dan tanggul alam, gosong sungai merupakan contoh-contoh satuan bentuk lahan ini.



-



Bentuk lahan asal proses solusional (S) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat proses pelarutan pada batuan yang mudah larut, seperti batu gamping dan dolomite karst menara, karst kerucut, doline, uvala, polye, goa karst, dan logva merupakan contoh-contoh satuan bentuk lahan ini.



-



Bentuk lahan asal proses denudasional (D) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat proses degradasi, seperti longsor dan erosi. Contoh satuan bentuk lahan ini antara lain: bukit sisa, lembah sungai, peneplain, dan lahan rusak.



-



Bentuk lahan asal proses eolian (E) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat proses angin. Contoh satuan bentuk lahan ini antara lain: gumuk pasir barkhan, parallel, parabolik, bintang, lidah, dan transversal.



-



Bentuk lahan asal marine (M) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus, dan pasang-surut. Contoh satuan bentuk lahan ini antara lain: gisik pantai (beach), bura (spit), tombolo, laguna, dan beting gisik (beach ridge). Karena kebanyakan sungai dapat dikatakan bermuara ke laut, maka sering kali terjadi bentuk lahan yang terjadi akibat kombinasi proses fluvial dan proses marine. Kombinasi kedua proses itu disebut proses fluvio-marine. Contoh-contoh satuan bentuk lahan yang terjadi akibat proses fluvio-marine ini antara lain delta dan estuari.



-



Bentuk lahan asal glasial (G) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat proses gerakan es (gletser). Contoh satuan bentuk lahan ini antara lain lembah menggantung dan marine.



-



Bentuk lahan asal organik (O) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat pengaruh kuat aktivitas organisme (flora dan fauna). Contoh satuan bentuk lahan ini adalah pantai mangrove, gambut, dan terumbu karang. MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -30



-



Bentuk lahan asal antropogenik (A) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Waduk, kota, pelabuhan, merupakan contoh-contoh satuan bentuk lahan hasil proses antropogenik. Gambar berikut adalah contoh bentang lahan yogyakarta.



Berdasarkan hal tersebut dapat dibuat klasifikasi ekoregion berbasis bentuk lahan kedalam beberapa kelompok sesuai dengan skala petanya. 3.2



Penutup Lahan (landcover/landused based) Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup



pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2004). Landcover atau tutupan lahan merupakan keadaan biofisik dari permukaan bumi dan lapisan di bawahnya. Land cover menjelaskan keadaan fisik permukaan bumi sebagai lahan pertanian, gunung atau hutan. Land cover adalah atribut dari permukaan dan bawah permukaan lahan yang mengandung biota, tanah, topografi, air tanah dan permukaan, serta struktur manusia. Dalam pembahasan tentang jasa ekosistem, land cover memiliki posisi penting untuk dibaca dan cerminan potensi dari masing-masing jenis jasa ekosistem dikarenakan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Landcover budidaya juga bentukan hasil kreasi interaksi bentang alam dan bentang budaya, sehingga membentuk pola dan cirinya sendiri. Metodologi Metodologi yang digunakan untuk menentukan DDDT dalam konteks manfaat yang diperoleh masyarakat adalah dengan mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan pembangunan di suatu daerah. Besarnya kapasitas tersebut dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai. Analisis tersebut meliputi penyusunan peta jasa ekosistem perekoregion, penyusunan peta



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -31



status DDLH, penyusunan peta cluster aliran air dan pangan, dan penyusunan peta tekanan terhadap lingkungan. Penyusunan Peta Indeks Jasa Ekosistem per Ekoregion Identifikasi Jasa Ekosistem Jasa ekosistem dibandingkan tingkat kepentingannya terhadap tiap kelas ekoregion dan penutup lahan. Hasil perbandingan selanjutnya digunakan untuk menentukan bobot masing-masing jasa ekosistem. Penilaian Jasa Ekosistem Data yang digunakan untuk perhitungan bobot menggunakan metode Pairwise Comparison ini diperoleh dari hasil pengisian kuisioner oleh beberapa responden. Adapun kuisioner yang disusun terkait dengan kegiatan penentuan nilai bobot jasa ekosistem



terhadap



ekoregion



dan



penutup/liputan lahan. Responden



yang



berpartisipasi dalam pengisian kuisioner ini, antara lain pakar geomorfologi, pakar kehutanan, pakar biologi, pakar perencanaan wilayah, dan pakar lingkungan. Kuisioner yang disebarkan ini berisikan tabel-tabel yang menggambarkan perbandingan skala penilaian jasa ekosistem terhadap setiap kelas penutup lahan dan ekoregion. Pengisian daftar pertanyaan dilakukan berdasarkan teori dan pengetahuan, pengamatan dan pengalaman yang dimiliki oleh pengisi kuisioner terhadap kondisi faktual. Mengingat keragaman fenomena bentang lahan dan penutup lahan di wilayah pengamatan, maka dilakukan prinsip generalisasi sesuai dengan kedalaman skala pengamatan. Proses transformasi data dari bentang lahan dan penutup lahan menjadi nilai jasa ekosistem dilakukan dengan menjawab sejumlah pertanyaan tentang kepentingan dan peran bentang lahan dan penutup lahan terhadap besar kecilnya nilai jasa ekosistem atau yang disebut dengan metode expert based valuation. Prinsipnya adalah perbandingan tingkat kepentingan atau peran jenis-jenis bentang lahan dan penutup lahan terhadap jenis-jenis jasa ekosistem (prinsip relativitas). Penentuan Nilai Bobot Jasa Ekosistem Setelah dilakukan pengisian kuisioner oleh para responden, selanjutnya dilakukan perhitungan bobot untuk setiap jasa ekosistem pada 2 komponen penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup berdasarkan hasil kuisioner yang



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -32



diperoleh. Terdapat beberapa prosedur dalam proses perhitungan hasil kuisioner dengan menggunakan metode Pairwise Comparison, yaitu: -



Membangun matriks pairwise comparison untuk setiap jenis jasa ekosistem,



-



Normalisasi matriks pairwise comparison,



-



Menghitung nilai rata-rata setiap baris matriks untuk mendapatkan tingkat kecocokan,



-



Menghitung dan mengecek rasio konsistensi atau consistency ratio (CR).



Sebelum membangun matriks pairwise comparison, perlu dilakukan konversi hasil kuisioner. Pada kuisioner yang ada rentang nilai yaitu antara 0 – 10. Sedangkan hasil perbandingan setiap jasa ekosistem harus dideskripsikan dalam nilai integer dari 1 (sama-sama penting) hingga 9 (sangat berbeda), dimana semakin tinggi nilai berarti jasa ekosistem tersebut dianggap jauh lebih penting dibandingkan jasa ekosistem pembandingnya. Matriks pairwise comparison dibuat untuk setiap pakar dan setiap jasa ekosistem. Kemudian untuk keperluan perhitungan nilai bobot tiap jasa ekosistem, dilakukan perhitungan rata-rata geometrik (geometric mean) dari matriks-matriks semua pakar pada jasa ekosistem yang dihitung. Rata-rata geometrik adalah rata-rata yang menunjukkan tendensi sentral atau nilai khas dari sebuah himpunan bilangan dengan menggunakan produk dari nilai-nilai mereka. Langkah selanjutnya, melakukan proses normalisasi pada matriks pairwise comparison. Normalisasi matriks dilakukan dengan menjumlahkan nilai-nilai di setiap kolom. Setiap nilai pada matriks kemudian dibagi dengan hasil penjumlahan di kolom masing-masing untuk mendapatkan nilai bobot normal. Jumlah dari setiap kolom yang sudah dinormalisasi adalah 1. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai bobot untuk jasa ekosistem terhadap setiap kelas penutup lahan dan ekoregion. Caranya dengan menjumlahkan nilai di setiap baris. Nilai total yang didapat menjadi nilai bobot dari jasa ekosistem tersebut terhadap masing-masing kelas ekoregion atau penutup lahan. Hasil perhitungan nilai bobot perlu dicek dan dihitung rasio konsistensi nya. Tujuan dari proses ini yaitu untuk memastikan penilaian yang dilakukan para pakar konsisten. Terdapat 3 langkah dalam menghitung consistensi ratio: -



Menghitung consistency measure,



-



Menghitung consistency index (CI) MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -33



-



Menghitung consistency ratio (CI/RI, dimana RI adalah indeks acak)



Secara praktis, nilai CR = 0.1 atau di bawah 0.1 menunjukkan bahwa nilai yang didapat sudah dapat digunakan. Sedangkan jika nilai CR di atas 0.1, maka penilaian yang dilakukan perlu diperiksa ulang. Analisis Spasial Jasa Ekosistem Analisis spasial jasa ekosistem merupakan proses overlay data spasial dengan nilai indeks jasa ekosistem. Terdapat dua tahapan dalam analisis ini yaitu: -



analisis data spasial ekoregion dan penutup lahan dengan operasi spasial overlay (intersect). Metode ini menghasilkan unsur spasial baru dari irisan unsur spasial ekoregion dan tutupan lahan.



-



proses overlay data geospasial dengan nilai indeks jasa ekosistem (JE). Pada proses ini, nilai indeks JE dari kajian sebelumnya dimasukkan ke dalam tabel atribut dari data spasial hasil interseksi antara ekoregion dan penutup lahan.



Analisis overlay (intersect) dilakukan menggunakan data ekoregion dan penutup lahan yang sudah berisi nilai bobot JE. Hasil analisis yaitu berupa data spasial interseksi yang berisi nilai-nilai bobot JE untuk kedua unit analisis. Data hasil analisis spasial jasa ekosistem ini kemudian digunakan untuk perhitungan indeks daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Perhitungan Indeks Daya Dukung Lingkungan Hidup Kapasitas daya dukung lingkungan hidup terhadap jasa ekosistem tertentu direpresentasikan dalam bentuk indeks daya dukung lingkungan hidup. Indeks daya dukung LH dihitung dengan melibatkan nilai bobot jasa ekosistem terhadap ekoregion dan penutup lahan. IJE=f(ieco, iLC) Dengan, IJE : Indeks Jasa Ekosistem, iec o : indeks berdasarkan ekoregion, dan iLC : indeks berdasarkan penutup lahan. Terdapat 4 (empat) skenario model matematika perhitungan indeks. Skenario model matematika yang dimaksud di antaranya: MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -34



Pertama, perkalian indeks jasa ekosistem berdasarkan ekoregion dan penutup lahan (ieco * ilc) Kedua, setiap indeks berdasarkan ekoregion pada setiap baris dibagi dengan indeks rata-rata ekoregion, kemudian dikalikan dengan indeks penutup lahan ((ieco ke-n/ieco rata2)* ilc). Ketiga, nilai indeks berdasarkan ekoregion dijumlahkan dengan indeks berdasarkan penutup lahan (ieco + ilc). Keempat, penjumlahan nilai bobot indeks berdasarkan ekoregion dan penutup lahan (weco ilc + wec ilc). Berdasarkan pola distribusi nilai yang dihasilkan oleh keempat skenario, maka dipilih skenario pertama. Adapun pemilihan skenario model matematika dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut: Distribusi nilai lebih baik dan tidak ada satu parameter yang lebih dominan dari parameter lainnya (seperti pada skenario 3 dan 4). Perkalian lebih dekat dengan logika hubungan antara ekoregion sebagai pembawa karakteristik dasar dari suatu bentang lahan dan penutup lahan sebagai cerminan pemanfaatan bentang alam oleh manusia (sebagai jasa ekosistem). Skenario kedua memberikan informasi yang sama dengan skenario pertama. Sedangkan skenario ke 3 dan ke 4 selalu menghasilkan magnifikasi (karena penambahan) terhadap hasilnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dipilih skenario pertama, dengan melakukan penyekalaan maka diperoleh perhitungan Indeks daya dukung LH adalah sebagai berikut: √IJEeco×IJELC maks IJE= (√IJE eco×IJELC) denga n, IJE



: Indeks Jasa Ekosistem,



: nilai maksimum dari perhitungan hasil perkalian dan akar maks terhadap nilai



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -35



Penyusunan Peta Ambang Batas dan Status DDLH Secara sederhana, ambang batas merupakan suatu tingkatan yang masih dapat diterima. Dalam konteks lingkungan, ambang batas adalah suatu kondisi saat terjadi perubahan mendadak dalam kualitas ekosistem, properti atau fenomena, atau saat perubahan kecil di lingkungan menghasilkan respon yang besar pada ekosistem (Groffman et al., 2006). Dalam pengembangan wilayah, pendekatan konsep ambang batas pada daya dukung lingkungan digunakan untuk mempelajari dampak yang terjadi pada lingkungan akibat pengembangan wilayah dan pertumbuhan penduduk (Muta’ali, 2012). Daya dukung lingkungan digambarkan melalui perbandingan jumlah sumberdaya yang dapat dikelola terhadap jumlah konsumsi penduduk (Cloud, (dalam Soerjani, dkk., 1987)). Perbandingan ini menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan berbanding lurus terhadap jumlah sumber daya lingkungan dan berbanding terbalik dengan jumlah konsumsi penduduk. Status DDLH diperoleh dari pendekatan kuantitatif melalui perhitungan selisih dan perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan untuk masing-masing jasa ekosistem (Norvyani, 2016). Peta status daya dukung lingkungan hidup Kabupaten/Kota disusun dengan memanfaatkan sistem grid skala ragam beresolusi 5” x 5” (±150m x 150m). Penggunaan sistem grid skala ragam ini menjadi suatu pendekatan yang mampu merepresentasikan DDLH wilayah dalam bentuk informasi spasial, tanpa harus menyamakan skala dari berbagai jenis data yang tersedia. Sistem grid skala ragam yang digunakan mengacu pada sistem grid Indonesia berbentuk dasar persegi dengan elemen utama, antara lain sistem koordinat geodetik dan datum geodetik World Geodetic System 1984 (WGS84); titik asal sistem koordinat grid, yaitu titik (90° BT, 15° LS); sistem penomoran; dan resolusi grid (Riqqi, 2011). Penyusunan Peta Ketersediaan Bahan Pangan dan Air Bersih Pada tahap perhitungan ketersediaan, data yang digunakan adalah Peta Distribusi Penduduk dalam sistem grid dan data ekoregion beserta Indeks Jasa Ekosistem (IJE). Peta Distribusi Penduduk dalam sistem grid dibuat berdasarkan bobot densitas populasi dalam kelas tutupan lahan dan jalan. Tahapan perhitungan ketersedian energi bahan pangan dan potensi penyediaan air bersih, meliputi: Perhitungan IJE tiap grid berdasarkan bobot perbandingan luas dan tutupan lahan. MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -36



Perhitungan IJE tiap kabupaten/kota, yang merupakan penjumlahan nilai IJE untuk masing-masing jasa ekosistem (penyediaan pangan dan penyediaan air bersih) dari semua grid dalam masing-masing kabupaten/kota. Perhitungan energi bahan pangan dan potensi ketersediaan air bersih tiap kabupaten/kota. Untuk energi bahan pangan, digunakan data produksi bahan pangan tiap kabupaten/kota. Jenis bahan pangan yang beragam dari tiap kabupaten/kota disamakan dengan mengonversikan data produksi yang memiliki satuan berat (gram) menjadi satuan energi (kkal) untuk mendapatkan nilai energi bahan pangan (jenis bahan pangan dan kandungan kalori terlampir pada Lampiran C). Energi untuk tiap jenis bahan pangan lalu dijumlahkan berdasarkan kabupaten/kota untuk mendapatkan nilai energi bahan pangan tiap kabupaten/kota. Sementara itu, untuk jasa ekosistem air, nilai yang digunakan langsung merupakan potensi ketersediaan air, baik air permukaan maupun air tanah, per unit spasial wilayah aliran sungai. Pendistribusian ketersediaan energi bahan pangan dan potensi ketersediaan air dalam sistem grid, dilakukan dengan terlebih dahulu membandingkan total energi bahan pangan maupun potensi ketersediaan air kabupaten/kota, terhadap total IJE masing-masing ekosistem (IJEPBP dan IJEPPA) tiap kabupaten/kota yang sama untuk menghasilkan energi bahan pangan 1IJEPBP dan potensi ketersediaan air 1IJEPPA. Nilai 1IJE merepresentasikan ketersediaan untuk satu IJE pada kabupaten/kota. Pada akhirnya, pendistribusian energi bahan pangan dan potensi ketersediaan air dalam sistem grid dilakukan melalui perkalian IJE masing-masing grid dengan 1IJE pada kabupaten/kota yang sama. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Barirottutaqiyah, 2015): total ketersediaan satu kabupaten/kota 1IJE = total IJE kabupaten/kota Pada akhirnya, pendistribusian energi bahan pangan dan potensi air bersih dalam sistem grid dilakukan melalui perkalian IJE masing-masing grid dengan 1IJE pada kabupaten/kota yang sama.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -37



Penyusunan Peta Kebutuhan Bahan Pangan dan Air Bersih Kebutuhan energi bahan pangan Kebutuhan energi bahan pangan diperoleh melalui perhitungan Angka Kecukupan Energi (AKE) penduduk tiap grid selama setahun. AKE merupakan besar kebutuhan energi bahan pangan suatu individu untuk melakukan pekerjaan atau aktivitas harian (Hardinsyah, 2012). Barirotuttaqiyah (2015) menggunakan persamaan matematis berikut, untuk menghitung AKE tiap grid: KB = Pij × AKE × 365 i dengan, KBi



: AKE grid ke-i selama setahun (kkal),



Pij



: jumlah penduduk grid ke-i di kabupaten/kota j,



AKE



: AKE per kapita (kkal).



Kebutuhan air bersih Kebutuhan air domestik untuk tiap grid, dihitung dengan mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Selain kebutuhan air domestik, kebutuhan air tutupan lahan juga perlu diikutsertakan dalam perhitungan kebutuhan air wilayah. Pada penyusunan ini kelas lahan yang diperhitungkan, meliputi persawahan, perkebunan, kebun campuran, dan tegalan/ladang. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kebutuhan tutupan lahan untuk penyediaan bahan pangan, mengacu pada rumusan perhitungan penggunaan air untuk padi per tahun sebagai berikut (Muta’ali, 2012): Qi = A i × I × q Qi : jumlah penggunaan air tutupan lahan dalam setahun untuk grid ke-i (m3/tahun), Ai : luas lahan grid ke-i (hektare), : intensitas tanaman dalam persen (%) musim per tahun, dan q : standar penggunaan air (1 liter/detik/hektare), q : 0,001 m3/detik/ha × 3600 × 24 × 120 hari per musim.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -38



Total kebutuhan air tiap grid didapatkan dari penjumlahan kebutuhan air domestik dan tutupan lahan. Berikut ini merupakan rumus total kebutuhan air tiap grid (Norvyani, 2016): Ti=Di+Qi Ti: total kebutuhan air grid ke-i (m3/tahun), Di : kebutuhan air domestik untuk grid ke-i (m3/tahun), dan Qi : jumlah penggunaan air untuk tutupan/guna lahan dalam setahun untuk grid ke-i (m3/tahun). Penentuan status daya dukung lingkungan hidup berdasarkan jasa ekosistem pangan dan air Penentuan status DDLH dilakukan melalui perhitungan ambang batas penduduk. Ambang batas penduduk diperoleh melalui pembagian ketersedian dengan kebutuhan energi bahan pangan per kapita per tahun. Ambang batas DDLH dinyatakan dalam bentuk jumlah penduduk dan ditentukan melalui pendekatan perbandingan ketersediaan terhadap kebutuhan. Hal ini diturunkan dari pemahaman bahwa ambang batas DDLH adalah ketika selisih bernilai nol, atau saat ketersediaan sama dengan kebutuhan. Nilai ambang batas DDLH suatu kabupaten/kota merupakan total dari nilai ambang batas semua grid masing-masing kabupaten/kota. Persamaan untuk menentukan ambang batas DDLH berdasarkan jasa ekosistem penyedia bahan pangan tiap grid adalah sebagai berikut (Norvyani dan Taradini, 2016): TPij= KHij AKE x 365 dengan, TPij : ambang batas DDLH untuk jasa ekosistem penyedia bahan pangan di grid ke- i kabupaten/kota j (kapita), KHij : energi bahan pangan pada grid i kabupaten/kota j (kkal), dan AKE : AKE per kapita (kkal). Sementara itu, ambang batas DDLH berdasarkan jasa ekosistem penyedia air tiap grid dihitung melalui persamaan berikut (Norvyani dan Taradini, 2016): TAij= Wij-Qij KHL dengan,



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -39



TAij : ambang batas DDLH untuk jasa ekosistem penyedia bahan pangan di grid ke-i WAS j (kapita), Wij : ketersediaan air pada grid i WAS j (m3/tahun), Qij : jumlah penggunaan air untuk tutupan/guna lahan dalam setahun untuk grid ke-i WAS j (m3/tahun), dan KHL : kebutuhan air untuk hidup layak (m3/kapita/tahun). Status DDLH untuk tiap kabupaten/kota adalah total dari nilai status DDLH semua grid dari masing-masing kabupaten/kota. Status DDLH tiap grid per kabupaten/kota, ditentukan oleh selisih antara ambang batas jumlah penduduk dengan jumlah penduduk pada grid kabupaten/kota yang sama saat ini. Persamaan untuk menentukan status DDLH per grid adalah sebagai berikut (Norvyani dan Taradini, 2016): Sij= Tij - Pij dengan, Sij : nilai status ambang batas DDLH grid ke-i kabupaten/kota j (kapita), Tij : ambang batas DDLH untuk jasa ekosistem di grid ke-i kabupaten/kota j (kapita), Pij : jumlah penduduk grid ke-i di kabupaten/kota j (kapita). Status DDLH ditentukan berdasarkan nilai status ambang batas yang diperoleh dari persamaan diatas. Status ambang batas yang bernilai negatif menunjukkan daya dukung lingkungan hidup di grid tersebut telah melampaui ambang batasnya, dan status ambang batas yang bernilai positif menunjukkan grid tersebut masih mendukung kebutuhan pangan ataupun air di wilayah grid tersebut. Untuk memperoleh status per ekoregion, dilakukan agregasi grid-grid dari ekoregion yang bersangkutan. 4. Efisiensi Pemanfaatan Sumber Daya Alam Kajian ini mengukur tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat dijamin keberlanjutannya dengan pendekatan ekonomi/valuasi lingkungan. Secara harfiah efisien adalah penggunaan sumberdaya secara minimun guna pencapaian hasil yang optimum. Proses pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan prinsip ekoefisiensi artinya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak merusak atau mengganggu



keseimbangan



ekosistem



yang



dilakukan



secara



efisien



serta



mempertimbangkan kelestarian sumber daya alam tersebut.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -40



Eko-efisiensi dapat diartikan sebagai suatu strategi yang menghasilkan suatu produk dengan kinerja yang lebih baik, dengan menggunakan sedikit energi dan sumber daya alam yang diambil. Eko-efisiensi merupkan kombinasi efisiensi ekonomi dan efisiensi ekologi, dan pada dasarnya “doing more with less”, artinya memproduksi lebih banyak barang dan jasa dengan lebih sedikit energi dan sumber daya alam (Environment Australia, 1999). Sehingga dapat disimpulkan bahwa eko-efisiensi adalah konsep gabungan antara konsep efisiensi ekonomi dan efisiensi ekologi, dimana penggunaan Sumber Daya Alam seminimal mungkin untuk hasil yang maksimal dan ekologi tetap terjaga keseimbanganya. Berdasarkan penjelasan diatas, prinsip eko-efisiensi menjadi penting menjadi bagian dalam proses perencanaan pembangunan suatu wilayah. Terutama dalam upaya mensinergikan dan mengintegrasikan suatu kebijakan. Di dalam pemanfaatan jasa lingkungan, pengelola diharuskan untuk mengintegrasikan biaya-biaya lingkungan di dalam perhitungan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya, suatu proses yang diistilahkan sebagai internalisasi dari eksternalitas. Hal ini berdampak pada efisiensi pemanfaatan lingkungan, yaitu suatu proses di mana suatu organisasi mengoptimalkan penggunaan sumberdaya dan meminimalisir pengeluaran limbah untuk memelihara integritas ekosistem. Pemanfaatan lingkungan yang efisien mengoptimalkan berbagai nilai jasa lingkungan dengan memastikan bahwa trade-off1 antara satu jasa lingkungan dan jasa lingkungan lainnya dapat dikompensasi dengan baik. Salah satu pendekatan untuk menghitung nilai lingkungan adalah melalui pendekatan valuasi ekosistem di dalam kerangka Total Economic Value (TEV). TEV adalah potensi nilai total dari suatu ekosistem dengan memperhitungkan berbagai bentuk pemanfaatan dan keberadaan dari ekosistem tersebut. TEV secara umum dibagi ke dalam dua kategori, yaitu use value (nilai guna) dan non-use value. Nilai guna dapat bersifat langsung (direct), seperti nilai kayu dari suatu hutan, atau tidak langsung (indirect), seperti jasa penyediaan air. Nilai pilihan (option value) merupakan nilai guna yang berhubungan dengan kegunaan suatu ekosistem di masa depan. Non-use value menunjukkan nilai dari suatu ekosistem yang tidak dimanfaatkan oleh manusia, yang di antaranya meliputi existence value (nilai dari ekosistem atas dasar keberadaannya saja) dan bequest value (nilai dari ekosistem sebagai bentuk warisan untuk generasi yang akan datang). Nilai bukan guna sering disebut sebagai nilai eksistensi atau nilai intrinsik, nilai ini diperoleh dari kesenangan murni terhadap MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -41



keberadaan suatu barang tidak berhubungan dengan bermanfaat atau tidaknya barang tersebut.Gambar xx menunjukkan kerangka umum Total Economic Value. Di mana use value (baik direct maupun indirect) relatif lebih mudah untuk dihitung, sedangkan nonuse value lebih sulit karena tidak ada nilai rujukan di pasar. Salah satu cara untuk menghitung non-use value adalah menggunakan pendekatan Willingness-to-Pay (WTP). Pendekatan ini dapat digunakan untuk menghitung nilai dari satwa kunci seperti badak jawa, yang tidak memiliki nilai pasar sama sekali. Untuk ini, masyarakat diminta untuk menentukan seberapa besar mereka bersedia mengeluarkan uang untuk perlindungan dari badak jawa.



Gambar 4.1 Kerangka Total Economic Value (sumber: Grant et al., 2003) Metode Valuasi Ekosistem Pendekatan untuk menilai suatu ekosistem dapat dilakukan dengan dua cara, yaiitu pendekatan penilaian berbasis dolar (Dolar-Based Ecosystem Valuation Methods) dan penilaian non-moneter (Non-Dolar-Based Ecosystem Valuation Methods). Menurut King dan Mazzota (2004) pendekatan penilaian berbasis dolar terdiri dari 8 metode, yaitu sebagai berikut : -



Metode Harga Pasar (Market Price Method)



-



Mengukur nilai ekonomi untuk produk dan jasa ekosistem yang diperjualbelikan di pasar komersil.



-



Metode Produktivitas (Productivity Method)



-



Menaksir nilai ekonomi untuk produk atau jasa ekosistem yang berperan untuk produksi barang-barang secara komersial diperjualbelikan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -42



-



Metode Harga Hedonik (Hedonic Pricing Method)



Menaksir nilai ekonomi untuk produk atau jasa ekosistem yang secara langsung mempengaruhi harga pasar suatu barang. Menurut Djajadiningrat et al.(2014) metode ini dapat digunakan untuk memperkirakan biaya-biaya atau manfaat ekonomi yang behubungan dengan mutu lingkungan dan kenyamanan lingkungan Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) Menaksir nilai nilai ekonomi yang berhubungan dengan ekosistem atau lokasi yang digunakan untuk rekreasi. Diasumsikan bahwa nilai suatu lokasi dicerminkan dengan berapa banyak uang yang dikeluarkan orang untuk mengunjungi lokasi tersebut, sehingga kesediaan orang untuk membayar pada saat mengunjungi lokasi dapat diperkirakan berdasarkan banyaknya perjalanan dengan perjalanan yang berbeda (Djajadiningrat et al.(2014). Metode Menghindarkan Biaya Kerusakan (Damage Cost Avoided), Biaya Penempatan Kembali (Replecment Cost), dan Metode Biaya Pengganti (Substitute Cost Method) Menaksir nilai ekonomi ekosistem berdasarkan pada banyaknya biaya menghindarkan kerusakan sebagai akibat hilangnya jasa ekosistem, banyaknya biaya untuk mengganti jasa ekosistem, atau banyaknya biaya untuk menyediakan pengganti. Metode Penilaian Ketidaktentuan (Contingent Valuation Method) Merupakan suatu teknik ekonomi berdasarkan survey untuk penilaian sumber daya yang tidak ada pasarnya (non market) di ekosistem tertentu. Metode ini digunakan untuk menaksir nilai penggunaan tidak langsung ekosistem. Responden ditanya secara langsung tentang kesediaan untuk membayar jasa ekosistem spesifik berdasarkan pada skenario hipotesis. Metode Pilihan Ketidaktentuan (Contingent Choice Method) Menaksir nilai-nilai ekonomi untuk ekosistem atau jasa ekosistem. Metode ini berdasarkan pada hasil wawancara dengan reponden tentang jumlah harga yang responden berikan untuk menghargai suatu ekosistem yang sudah ditetapkan atau untuk menghargai karakteristik atau jasa ekosistem. Responden tidak secara langsung



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -43



diminta kesediaanya untuk membayar, tetapi nilai ekonomi ekosistem disimpulkan dari harga yang dikemukakan responden ketika diminta untuk menghargai ekosistem. Metode Perpindahan Manfaat (Benefit Transfer Method) Menaksir nilai nilai ekonomi dengan menggunakan hasil studi perkiraan manfaat suatu ekosistem yang telah dilakukan di suatu tempat atau permasalahan lain. 5. Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Perubahan iklim merupakan implikasi dari pemanasan global yang semakin nyata dirasakan oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak yang ditimbulkan pun sudah semakin terasa. Perubahan iklim telah berdampak pada semakin tingginya intensitas dan jenis bencana perubahan iklim yang terjadi seperti banjir, rob, kekeringan, angin puting beliung, ketidakpastian musim, penurunan produktivitas pertanian, serta wabah penyakit. Hal ini mengakibatkan besarnya kerugian yang dialami masyarakat di perkotaan baik secara material maupun immaterial. Maka, langkah antisipatif perlu dilakukan dari sekarang sebelum keadaan semakin memburuk. Maka dari itu, dibutuhkan suatu perencanaan ketahanan iklim yang dapat dilakukan melalui penyusunan Kajian Risiko Iklim serta Strategi Ketahanan Kota Di waktu yang sama, dunia sedang mengalami proses urbanisasi yang pesat. Hasil laporan dari World Bank menyatakan bahwa populasi perkotaan akan meningkat dari 3,5 miliar penduduk menjadi 5 miliar di tahun 2030, yang mencakup 2/3 dari total populasi dunia. Fenomena migrasi dari perdesaan ke perkotaan akan lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penduduk miskin perkotaan merupakan yang paling banyak tinggal di daerah rawan dan memiliki keterbatasan terhadap sumber daya dalam mengatasi bencana. Oleh karena itu, penduduk miskin perkotaan akan menjadi pihak yang paling rentan dan dipaksa untuk mampu beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Kerentanan sendiri didefinikan sebagai kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat meningkatkan resiko terhadap dampak bahaya (Herawati & Santoso, 2007). Adapun perubahan iklim adalah situasi iklim global yang mengalami perubahan akibat alam dan antropogenik (intervensi manusia).



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -44



Gejala perubahan iklim menurut indikator klimatis teridentifikasi dalam skala global, dan bisa jadi tidak teridentifikasi dalam skala lokal (Pawitan, 2010) 5.1



Risiko Lingkungan Resiko lingkungan dapat didefinisikan sebagai ancaman potensial ataupun



nyata terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem yang diakibatkan oleh emisi, limbah, ekstraksi sumber daya alam, dan berbagai bentuk lainnya sebagai akibat dari aktivitas manusia. Resiko lingkungan dilihat sebagai fungsi dari dua faktor, yaitu besar probabilitas (likelihood) dari eksposur stressor (penyebab tekanan) terhadap lingkungan dan dampak (consequences) dari tekanan tersebut. Resiko, dalam hal ini merupakan hasil kali antara probabilitas dan dampak (AS/NZS, 1998). Meskipun dampak pembangunan terhadap lingkungan telah diakui sejak lama, mengintegrasikan resiko lingkungan di dalam pembangunan masih merupakan pendekatan yang relatif baru. Di dalam memahami resiko lingkungan, penting untuk memahami hubungan-hubungan yang ada di ekosistem serta hubungan antara ekosistem dan sistem sosial, sehingga konsekuensi dari aktivitas pembangunan terhadap ekosistem dapat dianalisis dengan jelas, dan sebaliknya. Terdapat beberapa kerangka analisis resiko lingkungan, meskipun kerangka Driver - Pressure - State Impact - Response (DPSIR) merupakan yang cukup umum digunakan (European Environmental Agency, 1999). Di dalam kerangka DPSIR, aktivitas manusia dilihat sebagai pendorong (driver) terjadinya tekanan (pressure) terhadap ekosistem, yang mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan di ekosistem (state) yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan manusia (impact), untuk kemudian ditanggapi melalui berbagai strategi penanganan resiko (response). Kerangka DPSIR dapat dilihat dalam hubungan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5.1



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -45



Gambar 5.1 Kerangka DPSIR (Sumber: EEA, 1999) 5.2



Perubahan Iklim



Pemanasan global Pemanasan global merupakan peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi dari tahun ke tahun. Hal ini berdampak terhadap mencairnya es di kutub utara dan selatan yang menyebabkan tinggi permukaan laut meningkat sehingga akan menganggu keseimbangan ekosistem dan semua elemen kehidupan (Hairiah, Rahayu, Suprayogo, & Prayogo, 2016). Peningkatan jumlah gas rumah kaca (GRK) di atmosfer merupakan penyebab utama dari pemanasan global. Menumpuknya jumlah GRK di lapisan atmosfer mengakibatkan panas akan tersimpan di permukaan bumi yang menyebabkan suhu rata-rata bumi meningkat tiap tahunnya (UNFCCC, 2006). Ada tiga jenis GRK utama yang berkontribusi terhadap pemanasan global yaitu karbondioksida (CO2), methane (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Di Indonesia, emisi GRK berasal dari konversi lahan gambut dan alih fungsi hutan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya, industri, transportasi, pertanian, peternakan, penambangan, dan sebagainya (Hairiah, Rahayu, Suprayogo, & Prayogo, 2016). Berdasarkan hasil inventarisasi, GRK nasional menunjukkan tingkat emisi GRK di tahun 2016 menjadi 1.514.949,8 GgCO2. Hasil tersebut meningkat sebesar 507.219 GgCO2 dibandingkan dengan tingkat emisi tahun 2000 (KLHK, 2017). Untuk emisi GRK tahun 2016 di Indonesia pada masing-masing sektor adalah sebagai berikut: -



Energi, sebesar 618.581 GgCO2



-



Proses industrI dan penggunaan produk, sebesar 49.629 GgCO2



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -46



-



Pertanian, sebesar 117.100 GgCO2



-



Kehutanan dan kebakaran gambut sebesar 631.725 GgCO2



-



Limbah, sebesar 97.915



Kenaikan suhu yang terjadi di bumi berdampak besar bagi iklim dunia yang dikenal dengan istilah perubahan iklim. Perubahan iklim kini telah dilihat sebagai isu global yang mungkin menjadi ancaman manusia. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor p.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2018 perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Perubahan iklim dapat ditunjukkan oleh beberapa hal diantaranya peningkatan suhu rata-rata, perubahan rata-rata curah hujan, kenaikan suhu dan tinggi muka laut (TML), terjadinya pergeseran musim, dan sebagainya (Hairiah, Rahayu, Suprayogo, & Prayogo, 2016). Berikut merupakan contoh dampak dari perubahan iklim: -



Dampak dari peningkatan suhu bumi dapat meningkatkan konsumsi energi dan ancaman kelaparan akibat penurunan produksi tanaman, serta meningkatnya beberapa serangan wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare, dan gangguan pernafasan.



-



Dampak dari perubahan curah hujan dapat menyebabkan banjir dan longsor jika curah hujan meningkat di musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau mengalami kekeringan yang berkepanjangan.



-



Dampak dari kenaikan suhu dan TML diantaranya dapat merusak terumbu karang, berpengaruh terhadap pola migrasi ikan sehingga berdampak besar terhadap penghasilan nelayan, dan sebagainya.



Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan muka air laut, kebakaran lahan, dan gangguan di sektor pertanian yang menimbulkan ancaman ketahanan pangan nasional. Pada tahun 2014 diperoleh hasil bahwa dari total desa di Indonesia sebanyak 72,34% desa masuk ke dalam kelas kerentanan sedang (Gambar 5.2)



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -47



Gambar 5.2 Persentase dan jumlah desa berdasarkan kelas kerentanan perubahan iklim (Sumber: KLHK, 2017) Dalam rumusan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) yang wajib dilakukan oleh Pemerintah Daerah harus memuat tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim. Informasi kerentanan dan resiko perubahan iklim kini telah dapat didapatkan dari SIDIK hingga satuan unit desa di seluruh Indonesia yang dapat diakses secara online. Informasi kerentanan tersebut dapat dimanfaatkan untuk penyusunan rencana adaptasi serta pengurangan resiko dan dampak perubahan iklim. Sehingga dapat dikatakan bahwa data kerentanan terhadap perubahan iklim adalah penting dan strategis bagi perumusan kebijakan dan arah pembangunan yang tepat sasaran, mampu meningkatkan ketahanan dan terutama menurunkan kerentanan terhadap perubahan iklim itu sendiri (KLHK, 2017). Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan contoh Berdasarkan dampak perubahan iklim yang telah dijelaskan sebelumnya, maka upaya adaptasi dan mitigasi menjadi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan guna menghindari bencana dan kerugian yang lebih parah akibat terjadinya perubahan iklim. Mitigasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim (KLHK, 2017). Salah satu upaya mitigasi perubahan iklim adalah dengan menyerap CO2 dan menyimpannya dalam tanaman dan tanah baik dalam ekosistem hutan maupun pertanian dalam jangka waktu yang lama (Hairiah, Rahayu, Suprayogo, & Prayogo, 2016).



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -48



Adaptasi perubahan iklim merupakan penyesuaian secara alamiah maupun buatan manusia dalam merespon iklim aktual maupun perkiraan beserta dampaknya yang dapat menjadi ancaman maupun peluang (Mochamad, 2013). Berikut merupakan beberapa bentuk adaptasi perubahan iklim yaitu -



Adaptasi proaktif, yaitu adaptasi yang dilakukan sebelum dampak perubahan iklim teramati.



-



Adaptasi otonom, yaitu adaptasi spontan bukan untuk merespon perubahan iklim, melainkan karena didorong oleh perubahan system ekologis dan akibat kegiatan ekonomi manusia.



-



Adaptasi yang direncanakan, yaitu adaptasi yang dilakukan berdasarkan kebijakan yang sengaja dibuat untuk merespon perubahan tersebut.



-



Adaptasi privat, yaitu adaptasi yang diinisiasi dan dilakukan oleh individu, rumah tangga, atau pelaku usaha berdasarkan pertimbangan rasional dari kepentingan pribadi mereka



-



Adaptasi publik, yaitu adaptasi yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh seluruh level pemerintah, serta merupakan cerminan dari kebutuhan bersama



-



Adaptasi reaktif, yaitu adaptasi yang dilkaukan setelah dampak perubahan iklim terjadi atau teramati. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan



kebijakan mengenai pedoman penyusunan aksi adaptasi perubahan iklim yang tercantum pada peratuan menteri nomor P.33/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016. Peraturan tersebut bertujuan untuk memberikan pedoman bagi pemerintah dan pemerintah



daerah



dalam



menyusun



aksi



adaptasi



perubahan



iklim



dan



mengintegrasikan dalam rencana pembangunan suatu wilayah maupun sektor. Dalam peraturan ini dijelaskan secara lengkap mengenai tahapan penyusunan aksi adaptasi perubahan iklim yaitu: a. Identifikasi target cakupan wilayah/sektor spesifik dan masalah dampak perubahan iklim b. Penyusunan kajian kerentanan dan risiko iklim c. Penyusunan pilihan aksi adaptasi perubahan iklim d. Penetapan prioritas aksi adaptasi perubahan iklim



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -49



e. Pengintegrasian aksi adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan. Pada tahun 2018, KLHK juga telah mengeluarkan pedoman penentuan aksi mitigasi perubahan iklim. Ruang lingkup dari pedoman tersebut mencakup aksi mitigas yang berdampak langsung dan tidak langsung terhadap penurunan emisi yang disusun menurut beberapa komponen diantaranya: Aksi mitigasi merupakan bentuk aksi yang dilakukan pada kegiatan pembangunan berbagai sektor dalam mengurangi emisi GRK. Beberapa sektor tersebut meliputi energi, kehutanan, pertanian, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk (IPPU). Kriteria adalah kondisi yang ingin dicapai dari suatu aksi mitigasi peribahan iklim Indikator adalah komponen yang mengindikasikan pelaksanaan suatu aksi mitigasi yang ingin dicapai suatu kriteria. Bukti fisik indikator adalah data atau informasi yang diperlukan untuk memberikan bukti capaian indikator. Dalam pedoman aksi mitigasi tersebut juga mencantumkan tahapan proses dalam menentukan aksi mitigasi perubahan iklim adalah sebagai berikut: a) Menentukan kegiatan pembangunan ke dalam kategori sektor (energi, IPPU, limbah, atau lainnya). b) Memilah kegiatan pembangunan yang tergolong aksi mitigasi perubahan iklim yang berdampak langsung dan tidak langsung c) Memastikan kesesuaian antara kegiatan pembangunan dengan yang tercantum pada pedoman aksi mitigasi yang telah dikeluarkan oleh KLHK. d) Menentukan kriteria, indicator, dan ketersediaan bukti fisik indicator dari setiap kegiatan pembangunan Bagi kegiatan mitigasi perubahan iklim yang belum tercakup dalam pedoman tersebut, kementerian/lembaga menyusun komponen kegiatan mitigasi, kriteria, indicator, dan ketersediaan bukti fisik indicator sebagaimana yang dicontohkan dalam pedoman tersebut.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -50



Metodologi Dalam tujuan untuk menilai risiko, klariikasi mengenai konsep umum yang berhubungan dengan risiko iklim berikut ini dapat membantu untuk memahami dengan lebih baik terhadap konsep dan aplikasinya:



Gambar 5.3 Konsep Umum Kajian Risiko Iklim (ACCCRN, 2016) Secara komprehensif, pengembangan framework mengenai kajian risiko iklim (climate risk assessment) terbagi kedalam 4 tahapan. -



Analisis mengenai perubahan iklim atau analisis iklim kota; analisis ini menggambarkan fenomena perubahan iklim di kota.



-



Analisis bahaya dari dampak perubahan iklim yang dihadapi oleh masyarakat,



-



Analisis kerentanan kota,



-



Analisis risiko yang merupakan overlay dari hasil tahap kedua dan ketiga.



Penyusunan strategi dan aksi adaptasi untuk merespon dampak perubahan iklim yang terjadi dalam dokumen selanjutnya yaitu dokumen strategi ketahanan kota/city resilience strategy (CRS). Kajian risiko iklim dirancang untuk menganalisis dan membangun pemahaman mengenai kerentanan terhadap perubahan iklim guna mendukung dan memberi informasi dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di suatu kota. Tujuan utama dari pendekatan kajian risiko iklim adalah untuk menyediakan informasi mengenai proil, pola, dan perubahan risiko dengan tujuan untuk mendeinisikan prioritas, memilih alternatif strategi, atau memformulasikan respon strategi baru (IPCC, 2012). Kajian risiko iklim distrukturkan sebagai suatu proses identiikasi dan deskripsi yang terdiri dari dua komponen yaitu bahaya dan kerentanan. Proses ini dimulai dengan mengumpulkan dan menganalisis data untuk membentuk framework dan konteks penilaian (assessment), dan juga menilai kondisi kerentanan saat ini. Tahapan berikutnya adalah melihat kondisi di masa depan; seperti skenario/prediksi di masa MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -51



depan yang berhubungan dengan bagaimana kondisi kerentanan dan risiko iklim mungkin dapat berubah dari waktu ke waktu. Metodologi untuk menyusun penilaian ini disimpulkan dalam diagram berikut :



Gambar 5.4 Tahapan Menyusun Kajian Risiko Iklim (ACCRN,2016) Dengan penjelasan tahapan dalam menyusun kajian risiko iklim sebagai berikut (ACCCRN, 2016) Profil Kota Merupakan gambaran kondisi umum wilayah perkotaan yang dapat dideskripsikan berdasarkan gambaran kondisi fisik dan lingkungan perkotaan, kondisi sosial perkotaan, dan kondisi ekonomi perkotaan. Proil kota dapat diperoleh dari dokumendokumen perencanaan pembangunan kota maupun dokumen statistik perkotaan. Berikut ini merupakan informasi yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan profil kota Informasi umum Lengkapi informasi spesiik seperti koordinat kota, unit administratif, area, dan pemetaan dalam skala wilayah dan juga skala kota, sertakan tabel mengenai informasi dasar mengenai kota. Jelaskan pula mengenai kondisi politik/pemerintahan (seperti periode pemerintahan kota saat ini) dan batasan administratif kota yang lebih rinci (jumlah kecamatan, kelurahan, RW, RT, dll)



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -52



Aspek Fisik dan Lingkungan Meliputi kondisi fisik buatan dan fisik alam dari kota. Profil lingkungan mencakup deskripsi mengenai sungai utama, topografi, luasan ruang terbuka hijau, serta karakter fisik alam lainnya. Profil fisik buatan mencakup deskripsi mengenai pelayanan dasar yang terdapat di kota. Data-data infrastruktur dari PLN, PDAM dan Pekerjaan Umum, mendeskripsikan cakupan area yang dilayani oleh pelayanan dasar publik di kota. Informasi tersebut harus bisa mendeskripsikan secara numerik dan visual berapa banyak penduduk kota yang dapat mengakses pelayanan dasar tersebut dan juga sebaran geografis penduduk kota. Pelayanan publik meliputi akses terhadap sanitasi, air bersih, listrik, dan pengelolaan limbah padat. Informasi tersebut disertai dengan peta yang menggambarkan distribusi dari pelayanan dasar tersebut. Aspek sosial Meliputi kondisi demograi, pendidikan, dan kesehatan. Kondisi demograi memberikan gambaran mengenai populasi saat ini di kota. Jika memungkinkan, disediakan dalam bentuk tabel dan peta dari jumlah populasi dalam tingkat kelurahan/kecamatan dan dibuat pertumbuhan rata-rata penduduk dalam kurun waktu 20 tahun terakhir untuk diproyeksikan dalam 20 hingga 30 tahun yang akan datang. Akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga merupakan hal yang penting untuk mendeskripsikan akses terhadap



pelayanan



dasar.



Beberapa



data



yang



menarik



seperti



rata-rata



ketidakhadiran partisipasi sekolah, distribusi daerah yang terkena wabah penyakit, dan lokasi dari pusat-pusat pelayanan kesehatan dan pendidikan dapat ditampilkan jika tersedia. Aspek Ekonomi Meliputi kondisi ekonomi dan kemiskinan. Profil ekonomi kota menggambarkan sektorsektor ekonomi yang berbeda-beda yang berkontribusi terhadap ekonomi kota (dalam bentuk diagram lingkaran), dan juga mendeskripsikan sektor ekonomi yang paling berperan



besar



dalam



ekonomi



kota.



Data



yang



dapat



digunakan



untuk



mendeskripsikan kondisi tersebut adalah data PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto). Untuk tiga sektor ekonomi utama, jelaskan mengapa sektor tersebut berperan besar terhadap kota dan jelaskan pula kecenderungannya di masa lalu dan saat ini apakah meningkat atau menurun. Untuk profil kemiskinan, kumpulkan data mengenai



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -53



jumlah keluarga miskin di kota dan hubungkan data tersebut dengan jumlah keluarga total di kota untuk mendapatkan proporsi tingkat kemiskinannya. Jika tersedia informasi mengenai distribusi jumlah keluarga miskin, data tersebut harus dipetakan untuk menggambarkan konsentrasi daerah miskin. Jelaskan dimana saja daerah-daerah yang terdapat keluarga miskin di kota Contoh data profil kota yang dapat digunakan untuk menilai kerentanan kota diantaranya: -



Peta area kota dengan format dasar GIS (.shp atau yang lainnya)



-



Data Potensi Desa



-



Data lainnya:



-



Data Millennium Development Goals (MDG’s) kota. Target MDG’s tahun 2015 atau target Sustainable Development Goals (SDG’s) untuk setelah tahun 2015



-



Dokumen perencanaan yang berlaku di kota: RPJMD, RTRW, RPJPD, master plan, dll. Prioritaskan target dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan hal tersebut tidak tercapai



-



Data Ruang Terbuka Hijau



-



Data Provinsi dalam Angka dan data Kabupaten dalam Angka



-



Data jumlah pengguna PDAM, cakupan pelayanan (dalam beberapa tahun) dan rencana penambahan pengguna serta cakupan pelayanannya



-



Dan lain-lain



Fenomena Perubahan Iklim Merupakan analisis kondisi iklim perkotaan di masa kini dan masa yang akan datang untuk memprediksi bahaya yang akan terjadi jika kondisi iklim berubah. Kondisi iklim di masa yang akan datang diperoleh dengan melakukan proyeksi iklim. Kondisi iklim saat ini Keluaran dari analisis ini dapat berupa grafik yang menjelaskan rata-rata suhu, suhu maksimum, dan rentang suhu harian yang terjadi di perkotaan saat ini atau dalam kurun waktu tertentu (misalnya 10 tahun terakhir) berdasarkan data historis yang tersedia. Data-data yang dikumpulkan dapat diperoleh dari data sekunder yang terdapat dalam dokumen statistik kota maupun dari data-data atau dokumen BMKG.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -54



Beberapa data terkait iklim yang dapat menjelaskan kondisi iklim perkotaan yaitu data jumlah hari hujan per tahun, curah hujan per tahun dan suhu rata-rata per tahun. Proyeksi iklim Tahapan pertama adalah menganalisis kecenderungan kondisi iklim dalam skala makro: di tingkatan regional dan nasional. Kecenderungan perubahan iklim di tingkat regional untuk Indonesia mengacu pada wilayah Asia Tenggara. Sementara dalam konteks kota, maka iklim makro mengacu pada kondisi iklim tingkat nasional atau mengacu pada apa yang terjadi terhadap iklim di Indonesia. Penting untuk memeriksa ketersediaan sumber data karena kecenderungan perubahan iklim dapat berubah. Berikut ini beberapa kecenderungan kondisi iklim di tingkat regional berdasarkan data dari Laporan Penilaian ke-4 IPCC (2007): -



Terjadi peningkatan kejadian iklim ekstrim seperti gelombang panas dan curah hujan yang tinggi.



-



Terjadi peningkatan suhu rata-rata, yang dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah siang yang panas dan malam yang hangat dibandingkan siang dan malam yang dingin diantara tahun 1961 dan 1998.



-



Keanekaragaman hayati di tingkat regional terpapar oleh penambahan suhu rata-rata.



-



Keterpaparan terhadap ENSO (El Niño Southern Oscillation), atau dikenal dengan “El Nino” dan “La Nina”.



-



Di Indonesia, perubahan iklim diproyeksikan memberikan dampak:



-



Menghangatnya suhu udara yang terus meningkat dari 0.2 ke 0.3oCper dekade.



-



Adanya sedikit peningkatan curah hujan tahunan di sebagian besar pulau-pulau di Indonesia, terutama di bagian utara.



-



Terjadi penundaan pergantian musim tahunan hingga 30 hari. Oleh karena itu perlu untuk merubah fokus kecenderungan iklim ke tingkatan



kota, sehingga bisa menganalisis kecenderungan dan proyeksi iklim di kota. Proyeksi iklim dapat diperoleh dari data meteorologi untuk kota, seperti curah hujan dan pola perubahan suhu permukaan dalam 20 hingga 30 tahun terakhir, dan membandingkan data tersebut dengan model iklim, sehingga kita dapat melihat iklim kota di masa depan melalui data iklim global di masa depan (downscale). MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -55



Serta



sangat



penting



untuk



mendapatkan



data



historis.



Kasus-kasus



pengecualian jika tidak terdapat data historis di kota tersebut, dapat menggunakan proyeksi iklim tingkat nasional atau regional. Sebelum membuat proyeksi iklim, beberapa hal yang perlu untuk diketahui yaitu. a. Model iklim Model iklim merupakan gambaran dari kejadian iklim yang mencakup berbagai aspek dari terjadinya iklim tersebut, seperti curah hujan, temperatur, dsb. Model iklim yang sering digunakan untuk kajian perubahan iklim adalah GCM (Global Climate Model). Pada dokumen ini, model iklim didapat dari ClimeXP (www.climex.knmi.com). Model ini menjadi preferensi yang sering digunakan karena kemudahan akses untuk memperoleh hasil analisis model iklim yang dibutuhkan (tersedia secara online). Dengan adanya model iklim, kita dapat meramalkan kondisi iklim di masa depan berdasarkan skenario iklim yang kita pilih.



Skenario



tersebut



digunakan



untuk



menganalisis



bagaimana



kondisi/aktivitas kehidupan masa kini akan mempengaruhi emisi di masa depan b. Skenario Iklim – SRES (Special Report on Emissions Scenarios) SRES merupakan laporan khusus yang dikeluarkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) pada tahun 2001 untuk mengambarkan berbagai kemungkinan (skenario) perubahan tingkat emisi yang dapat terjadi di masa depan. Model-model sirkulasi global seperti GCM (Global Climate Model) digunakan untuk mengetahui kemungkinan perubahan iklim yang akan terjadi akibat adanya peningkatan emisi GRK sesuai dengan skenario yang disusun oleh IPCC. Dalam SRES, skenario emisi GRK dikelompokkan berdasarkan sistem pembangunan dan kerjasama yang dikembangkan oleh berbagai negara. Ada dua skenario sistem pembangunan yaitu A dan B. Skenario A lebih menitikberatkan pada pembangunan ekonomi, sedangkan skenario B lebih menitikberatkan pada kepentingan kondisi ekologi atau lingkungan. Kemudian pola kerjasama dikelompokan menjadi dua yaitu pola 1, kerjasama global berjalan dengan baik sehingga kesenjangan pembangunan antara negara baik dari sisi teknologi dan lain-lain tidak terlalu signiikan, sedangkan pola 2 kerjasama lebih bersifat regional. Pada pola 2 ini transfer teknologi, kerjasama ekonomi dan lainnya antara negara maju dan negara berkembang tidak berjalan baik.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -56



Jadi secara umum, skenario emisi dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu A1, A2, B1, dan B2 yang ditunjukkan seperti gambar. Scenario A1 dibagi menjadi tiga berdasarkan penggunaan teknologi dan bahan bakar fosil. Selain itu ada skenario emisi antara seperti skenario A1B, yaitu antara skenario A1 dan Skenario yaitu Antara skenario A1. Namun ada suatu keadaan khusus di mana suatu negara menitikberatkan pembangunan ekonominya, namun karena adanya alih teknologi yang baik dan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan (rendah emisi, dsb), skenario tersebut adalah skenario A1B. Maka, skenario yang digunakan untuk analisis dalam dokumen ini adalah skenario A1B, skenario A2, dan skenario B1.



Gambar 5.5 Skenario SRES (IPCC,2000) Tabel 5.1 Skenario dalam Proyeksi Iklim Kota



SRES belum mempertimbangkan kebijakan global untuk penurunan emisi gas rumah kaca. Maka dari itu, dalam IPCC 5th Assessment Report, dikeluarkan skenario baru, yaitu RCP (Representative Concentration Pathways). RCP merupakan skenario yang sudah mempertimbangkan target global agar perubahan iklim yang terjadi tidak melebihi suhu 2°C.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -57



Tahapan Proyeksi Iklim Penetapan Peluang Kejadian Iklim dari Pengolahan Data Historis Untuk mengetahui tinggi hujan yang dapat menimbulkan bencana, maka diperlukan informasi tentang kejadian bencana, baik waktu terjadi maupun intensitasnya. Dengan analisis statistik akan dapat ditetapkan pada kondisi iklim yang seperti apa bencana iklim biasanya terjadi. Misalkan diketahui bahwa hari-hari dimana banjir besar terjadi pada bulan dengan curah hujan wilayah di atas 300 mm. Apabila dari data seri 30 tahun kita mendapatkan hujan bulanan yang tingginya di atas 300 mm terjadi 3 kali, maka dapat dikatakan bahwa periode ulang terjadinya ialah sekali dalam 10 tahun atau peluangnya 0.1 (3/30). Dengan deinisi ini, apabila peluang terjadinya (P) suatu kejadian becana iklim 0.2, maka periode ulang dihitung dengan cara 1/P atu 1/0.2 = 5. Jadi artinya becana tersebut biasanya terjadi lima tahun sekali atau bisa juga disebut bencana iklim dengan siklus 5 tahunan (Tabel 2.32Untuk menentukan periode ulang atau peluang terjadinya kejadian iklim ekstrim yang dapat menimbulkan bencana, diperlukan data historis yang panjang. Semakin panjang rentang data historis maka akan semakin handal hasil analisis yang dihasilkan. Menurut WMO (World Meteorological Organization), panjang data ideal untuk analisis peluang ialah 30 tahun. Tabel 5.2 Hubungan Nilai Peluang dan Periode Ulang Kejadian Iklim



Dalam kajian ini, analisis penetapan tinggi hujan yang dapat menimbulkan bencana tidak dilakukan. Namun digunakan asumsi, bahwa tinggi hujan yang periode ulang 5 dan 10 tahun sekali akan menimbulkan bencana iklim sedang dan besar. Untuk mendapatkan tinggi hujan dengan peluang kejadian seperti Tabel di atas, dilakukan dengan cara mengurutkan data historis dari nilai yang terbesar sampai nilai terkecil. Tinggi hujan terendah dengan peluang ulang kejadian sekali lima tahun (20%) akan berada pada urutan data yang ke 0,2 x 30 = 6 dari nilai terbesar, sedangkan yang periode ulang kejadian sekali 10 tahun akan berada pada urutan data ke 0,1 x 30 = 3



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -58



dari nilai terbesar. Karena data diurut dari terbesar sampai terkecil, maka data tinggi hujan ini merupakan tinggi hujan yang dapat menimbulkan banjir sedang dan besar. Untuk mendapatkan tinggi hujan yang menimbulkan bencana kekeringan, maka peluang yang digunakan ialah nilai peluang sebaliknya yaitu 1,0 – 0,2 = 0,8 dan 1,0 – 0,1 = 0,9. Artinya, tinggi hujan yangakan menimbulkan bencana kekeringan sedang dan berat akan berada pada urutan data ke 0,8 x 30 = 24 dan 0,9 x 30 = 27 dari yang terbesar (dari atas). Nilai hujan yang diperoleh tersebut dapat didefinisikan sebagai tinggi hujan batas kritis yang berpotensi menimbulkan bencana iklim. Perhitungan peluang kejadian iklim ekstrim dari data proyeksi (KMNI-GCM). Untuk mendapatkan peluang kejadian bencana masa depan, diperlukan data iklim proyeksi yang dapat diperoleh dari model-model iklim yang dijalankan dengan menggunakan berbagai skenario emisi yang dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Dalam kajian ini digunakan skenario emisi A1B, B1 dan A2 yang merepresentasikan skenario emisi sedang, rendah dan tinggi. Data proyeksi iklim dari ke tiga skenario diperoleh dari situs www.climexp.knmi.nl. Data yang tersedia di situs ialah data proyeksi tahun 2011 sampai 2050 (data 40 tahun). Misalkan dari hasil analisis kejadian iklim ekstrim dari data historis, tinggi hujan dengan peluang 0,2 ialah 200 mm. Dengan menggunakan data iklim proyeksi hasil download, ditetapkan besar peluang terjadinya kejadian iklim ekstrim. Untuk analisis ini periode masa depan yang dianalisis ialah untukperiode 2011-2030 dan 2031-2050. Analisis dilakukan dengan cara mengurutkan kembali data proyeksi iklim dari nilai terbesar sampai terkecil. Dari urutan data tersebut, tentukan pada urutan ke berapa tinggi hujan dengan nilai minimal 200 mm. Apabila berada pada urutan ke 5, maka artinya peluang terjadinya ialah 5/20 = 0,4. Dengan demikian pada masa depan peluang terjadinya hujan yang melewati 200 mm meningkat dari 0,2 menjadi 0,4. Dengan kata lain, frekuensi terjadinya hujan dengan tinggi hujan minimal 200 mm menjadi lebih sering, yaitu dari frekuensi lima tahun sekali menjadi 2-3 tahun sekali. Tren kejadian bencana : Membandingkan hasil pengolahan data observasi dan proyeksi Untuk menilai apakah frekuensi kejadian iklim ekstrim meningkat atau menurun di masa depan, kita tidak bisa hanya mengandalkan hasil dari satu model. Dibutuhkan banyak model karena setiap model memiliki ketidakpastian (tidak pasti benar). Apabila digunakan banyak model dan sebagian besar dari model menyatakan MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -59



bahwa peluang kejadian bencana meningkat di masa depan, maka semakin besar tingkat kepercayaan bahwa hal itu akan terjadi. Misalkan kita menggunakan 10 model, dan 7 model mengatakan bahwa peluang terjadinya bencana iklim meningkat, maka tingkat kepastian bahwa hal itu akan terjadi tinggi yaitu sekitar 7/10 x 100% = 70%. Contoh analisis tren kejadian bencana akibat perubahan iklim disajikan pada Tabel. Langkah terakhir adalah dengan menghitung peluang terjadinya bencana. Peluang terjadinya bencana dapat dihitung dengan membagi jumlah model yang memiliki tren kejadian bencana positif dengan total jumlah model yang digunakan untuk setiap skenario. Tabel 5.3 Contoh Tampilan Hasil Pengolahan Data per Skenario



Menghitung peluang terjadinya iklim ekstrim Berdasarkan data hasil analisis tren kejadian bencana (Tabel), ditentukan dari hasil perhitunganpeluang kejadian iklim ekstrim di atas, maka hasilnya dapat dikategorikan dengan melihat matriks berikut Tabel 5.4 Matriks Peluang Terjadinya Iklim Ekstrim



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -60



5.3



Analisis Bahaya



Pada tahap ini mengidentiikasi bahaya iklim (langsung maupun tidak langsung) yang terjadi di perkotaan berdasarkan karakter, besaran, dan dampaknya di masa kini dan masa yang akan datang dengan mengacu pada historis terjadinya bencana. Untuk melakukan analisis bahaya dalam kajian risiko perubahan iklim ada dua opsi. Opsi pertama untuk perumusan bahaya adalah dengan menggunakan data sekunder peta bencana dari instansi yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan peta tersebut; yang penyusunannya menggunakan proses dan prosedur tersendiri berdasarkan kriteria dan parameter berbeda untuk tiap bahaya bencana. Apabila opsi pertama tidak tersedia maka opsi kedua adalah dengan melakukan analisis bahaya secara kualitatif dengan mengumpulkan data primer. Tahapan Analisis Bahaya Seperti yang disebutkan sebelumnya. Langkah ini dilakukan jika opsi pertama (ketersediaan peta bencana) sebelumnya tidak ada. Analisis bahaya kualitatif mengacu pada data historis terjadinya bahaya atau berdasarkan hasil survey primer dengan masyarakat setempat. Keluaran dari analisis bahaya kualitatif pada dokumen ini adalah tingkat bahaya gabungan yang didapat dari matriks bahaya per bencana untuk tiap kelurahan. Berikut merupakan langkah-langkah untuk melakukan analisis bahaya secara kualitatif: Identifikasi Bahaya Identiikasi bahaya iklim yang pernah terjadi pada kota dalam 20 tahun terakhir. Tujuan dari tahapan pertama ini adalah untuk mengungkapkan peristiwa bahaya iklim yang pernah terjadi di kota, untuk digunakan sebagai kemungkinan terjadinya bahaya tersebut di masa datang. Pengumpulan data dapat melalui kajian historis dokumen (laporan dokumen pemerintah, liputan media), FGD, wawancara, atau kuesioner. Untuk menampilkan hasilnya, buatlah dalam bentuk tabel yang mendata bahaya- bahaya yang pernah terjadi, area mana saja yang terdampak, penduduk/komunitas mana yang terdampak (kelompok lansia, etnis minoritas, anak-anak, dll) beserta populasi terdampak, bagaimana cara mereka terdampak, kurun waktu terjadinya, dampaknya terhadap sistem perkotaan. Sebaiknya mencantumkan informasi sumber atau stakeholder yang mengusulkan bahaya yang diidentfiikasi agar mempermudah menindaklanjuti pengumpulan informasi atau klarifikasi mengenai bahaya tersebut MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -61



Matriks Bahaya : Kemungkinan terjadinya dan Konsekuensi yang ditimbulkan Setelah mendapatkan deskripsi mengenai bahaya di setiap kelurahan (atau menyesuaikan batasan administrasi yang disepakati), kemudian kita dapat menentukan tingkatan dari setiap bahaya dengan metode matriks. Matriks bahaya dibentuk dari dua komponen yaitu (1) kemungkinan terjadinya bahaya; dan (2) konsekuensi yang ditimbulkan dengan skala sesuai kebutuhan. Berikut ini merupakan formula untuk menentukan skala konsekuensi, skala kemungkinan, dan tingkatan bahaya. Formula dapat dimodiikasi oleh tim kajian risiko iklim bergantung pada jenis-jenis bahayanya. Skala Kemungkinan Merupakan peluang terjadinya suatu bahaya akibat perubahan iklim dengan menimbang perkiraan perubahan variabel iklim terjadi. Tabel 5.5 Skala Kemungkinan Bahaya



Skala Konsekuensi Konsekuensi yang dimaksud adalah besarnya kerusakan yang disebabkan suatu kejadian (bahaya, bencana dan non-bencana) akibat perubahan iklim terhadap kota, khususnya terhadap kapasitas adaptif pemerintah kota dalam menghadapi perubahan iklim. Skala konsekuensi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tidak nyata, menengah, luar biasa (katastropik). Tabel 5.6 Penentuan Skala Konsekuensi Bahaya



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -62



Penentuan Tingkat Bahaya Dengan memperhatikan hasil dari skala kemungkinan dan skala konsekuensi maka dapat diketahui seberapa besar ancaman suatu bencana terhadap kota. Kajian risiko untuk dampak perubahan iklim akan menggunakan metode kualitatif dengan alat berupa matriks bahaya; dimana tingkat bahaya merupakan kombinasi antara tingkat kemungkinan dan konsekuensi dengan dasar penilaian seperti tercantum dalam matriks berikut. Tabel 5.7 Matriks Penentuan Tingkat Bahaya



Skor Bahaya : Konversi tingkatan bahaya ke dalam Skoring Skor bahaya dinilai berdasarkan kategori bahaya yang didapat dari matriks bahaya. Tiap kelurahan/wilayah akan memiliki beberapa bahaya dengan kategori bahaya yang berbeda-beda. Kategori tersebut perlu dikonversi menjadi suatu nilai untuk proses selanjutnya. Nilai yang ditentukan untuk tiap kategori adalah sebagai berikut: (SB) Sangat Bahaya = 5; (B) Bahaya = 4; (AB) Agak Bahaya = 3; (KB) Kurang Bahaya = 2; (TB) Tidak Bahaya = 1. Buatlah tabel dengan kolom pertama merupakan nama Kelurahan/wilayah dan kolom lainnya diisi dengan jenis-jenis bahaya atau bencana yang terjadi di kota. Tabel tersebut kemudian diisi dengan skor dari 1 – 5 (mengacu pada nilai yang disebutkan di atas) untuk setiap bahaya dari setiap kelurahan. Jika dijumlahkan, maka akan terlihat kelurahan mana yang paling terpapar dari bahaya. Tim kota juga dapat memberikan pembobotan terhadap setiap bahaya sebelum skor total dijumlahkan. Jika tim kota ingin memprioritaskan bahaya tertentu, contohnya banjir karena lebih memberikan dampak yang besar dibanding bahaya lainnya, maka bahaya banjir dikalikan dengan bobot yang diberikan lebih besar dibandingkan bobot dari bahaya lainnya.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -63



Tabel 5.8 Contoh Skoring Bahaya Kelurahan



Banjir



Kekeringan



Longsor



Jumlah Skoring



Kebon Jeruk



1



2



4



7



Arjasari



2



4



2



8



Campaka



5



3



1



9



Tingkat bahaya gabungan Tingkat bahaya gabungan dihitung dari total skor bahaya-bahaya untuk tiap kelurahan/ wilayah. Berdasarkan total nilai tersebut pada akhirnya dilakukan kategorisasi tingkat bahaya gabungan. Kategorisasi tingkat bahaya gabungan merujuk pada rentang yang dibagi menjadi lima kategori. Analis Kerentanan Merupakan gambaran kondisi internal perkotaan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Penilaian kerentanan dilakukan menggunakan rumusan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) bahwa kerentanan merupakan fungsi dari singkapan (Exposure), sensitivitas (Sensitivity) dan kapasitas adaptif (Adaptive Capacity). Singkapan merupakan derajat (seberapa jauh) suatu sistem (sosial dan ekosistem) secara alamiah rentan terhadap perubahan iklim. Sensitivitas merupakan tingkat suatu sistem terkena dampak sebagai akibat dari semua elemen perubahan iklim, termasuk karakteristik iklim rata - rata, variabilitas iklim, dan frekuensi serta besaran ekstrim. Kapasitas adaptif merupakan kemampuan satu sistem untuk menanggulangi konsekuensi dari perubahan atau menyesuaikan diri pada perubahan iklim, mengurangi potensi kerusakan, atau mengambil keuntungan dari perubahan iklim tersebut. Tahapan Analisis Kerentanan Identifikasi dan Kategorisasi Indikator Untuk melihat tingkat kerentanan suatu kota diperlukan data-data kondisi sosialbiofisik yang mewakili keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi kota tersebut. Indikator dipilih dengan mempertimbangkan ketersediaan, kontinuitas, dan relevansi dari datanya dalam mendeskripsikan tingkat ketiga komponen kerentanan di atas. MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -64



Indikator pada kajian kerentanan kota dapat ditentukan berdasarkan justifikasi para ahli yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kota. Indikator juga harus merupakan data yang dinamis (time series), sehingga dapat diukur perubahannya dari waktu ke waktu terlebih dibutuhkan saat meninjau ulang atau memperbaharui kajian kerentanan di masa depan. Seperti yang sempat disebutkan sebelumnya, data-data yang dibutuhkan dapat diperoleh dari instansi-instansi pemerintah atau dari dokumen potensi desa yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Semua data yang telah diperoleh digunakan sebagai masukan untuk menentukan indikator kota. Beberapa contoh dari indikator diantaranya seperti jumlah populasi, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan kapasitas pendidikan. Pengkategorisasian



indikator-indikator



akan



menyederhanakan



proses



penghitungan. Komponen keterpaparan dan sensitiitas berkaitan dengan tingkat kerentanan; semakin tinggi tingkat kedua komponen ini, maka semakin tinggi pula tingkat kerentanannya. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat kapasitas adaptif maka semakin rendah tingkat kerentanannya. Dalam mendefinisikan setiap indikator termasuk ke dalam komponen keterpaparan, sensitifitas, atau kapasitas adaptif, bergantung pada karakteristik dari indikator tersebut di kota anda. Tidak ada aturan baku untuk mengidentifikasi indikator termasuk ke dalam komponen keterpaparan, sensitiitas, atau kapasitas adaptif, karena setiap indikator dapat diinterpretasikan berbeda dalam kota yang berbeda. Pengolahan Data Terdapat berbagai cara untuk pengolahan data yang digunakan sebagai indikator karena bergantung dari jenis data yang tersedia. Terdapat dua metode yang berbeda untuk mengolah data yaitu menghitung nilai rasio dan memberikan skoring; (1) Menghitung nilai rasio untuk indikator, dengan membagi nilai dari indikator dengan jumlah total nilainya. Sebagai contoh, untuk menemukan nilai rasio dari keluarga miskin dihitung dengan cara jumlah keluarga miskin dibagi jumlah keluarga keseluruhan. Nilai rasionya berkisar dalam rentang 0 – 1; (2) Memberi skor untuk indikator, gunakan skor 1 untuk nilai tertinggi dan 0 untuk nilai terendah.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -65



Sebagai contoh, jika indikator yang digunakan adalah kondisi permukaan jalan, berikan skor 1 untuk jalan dengan kualitas terbaik, aspal = 1, semen = 0.75, dan tanah = 0.5. Jika di suatu daerah didominasi oleh jalan tanah, maka nilai dari indikator permukaan jalan di daerah tersebut bernilai 0.5. Normalisasi Setiap indikator perlu untuk dinormalisasi jika nilai rasionya lebih besar dari 1 dan lebih rendah dari 0. Hal ini diperlukan agar dapat dibandingkan dengan indikator lainnya. Normalisasi perlu dilakukan sebelum tahapan pembobotan. Untuk memperoleh data yang telah dinormalisasi, kita harus membagi setiap data yang terdapat dalam satu indikator dengan nilai maksimum dari indikator tersebut. Pembobotan Setelah menyusun indikator-indikator yang telah dinormalisasikan, diperlukan proses pembobotan untuk membandingkan satu indikator dengan indikator lainnya. Setiap kota mungkin dapat memberikan pembobotan yang berbeda-beda karena memiliki prioritas yang berbeda pula. Sebagai contoh, sektor pertanian untuk suatu kota lebih rendah prioritasnya dibandingkan sektor penyediaan air sehingga memiliki nilai pembobotan yang lebih rendah. Hal ini mungkin dapat berbeda dengan kota lain. Jumlah dari total seluruh pembobotan dalam seluruh indikator harus sama dengan 1 (satu). Terdapat beberapa cara untuk menentukan pembobotan dari setiap indikator tersebut diantaranya; (1) Expert judgement, keputusan/saran dari tenaga ahli (orang yang paling memahami kondisi kota) atau; (2) Metode Rangking, keputusan pembobotan indikator ditentukan berdasarkan ketersediaan data, kondisi masa lalu dan proyeksi masa depan tentang kejadian bahaya. Nilai indikator yang sudah dikalikan dengan nilai pembobotannya disebut dengan indikator yang dibobotkan Jumlah dari indikator yang sudah dinormalisasi dan dibobotkan akan menjadi Indeks Keterpaparan dan Sensitiitas (IKS) dan Indeks Kapasitas Adaptif (IKA) Penentuan Kuadran Setelah melakukan perhitungan indikator untuk masing-masing Indeks Keterpaparan dan Sensitiitas (IKS) dan Indeks Kapasitas Adaptif (IKA), maka akan diperoleh nilai IKS dan IKA untuk masing-masing kelurahan (menyesuaikan dengan tingkat administrasi yang disepakati). Nilai IKS dan IKA dikalikan dengan bobot masing-masing indikator dan dinormalisasi untuk mendapatkan indeks IKS dan IKA MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -66



pada rentang 0 – 1. Setelah itu, kedua indeks dikombinasikan untuk menentukan posisi kelurahan dalam kuadran mengikuti ketentuan sebagai berikut. Tabel 5.9 Kategori Tingkat Kerentanan berdasarkan Nilai IKS dan IKA (CCROM,2008)



Anomali ialah deviasi dari nilai rata-rata. Nilai rata adalah 0,5. Misalnya nilai IKS sebesar 0,1 untuk menghitung Ano IKS adalah 0,1 – 0,5 ; maka nilai Ano IKS adalah 0,4. Kuadran 1 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas rendah; kapasitas adaptasi tinggi. Kuadran 2 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas tinggi; kapasitas adaptasi tinggi. Kuadran 3 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas; kapasitas adaptasi menengah. Kuadran 4 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas rendah; kapasitas adaptasi rendah. Kuadran 5 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas tinggi; kapasitas adaptasi rendah.



Gambar 5.6 Posisi Kuadran Tingkat Kerentanan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -67



Analisis Risiko Risiko merupakan hasil overlay antara bahaya dan kerentanan (Affeltranger et al., 2006). Maka, pada tahap ini dilakukan overlay dari hasil analisis pada langkah C dan langkah D. Kerangka kajian risiko menurut Wisner (2004) dapat dinotasikan sebagai berikut (Jones et al., 2004).



Risiko merupakan produk dari tingkat ancaman/bahaya (H) dan kerentanan (V). Analisis ini diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat risiko bagi masing-masing sektor rentan, kemungkinan risiko tersebut terjadi, dan seberapa besar dampaknya terhadap sistem kota



Gambar 5.7 Konsep Risiko Iklim Analisis Risiko Iklim saat ini Untuk memperoleh analisis risiko iklim saat ini, tidak perlu melakukan pengumpulan data lagi, karena analisisnya hanya menggunakan keluaran yang sudah ada, yaitu dari yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis risiko ini merupakan overlay antara analisis bahaya dan kerentanan. Metode yang dilakukan untuk melakukan overlay pada dokumen ini ialah metode matriks risiko. Berikut merupakan matriks yang digunakan untuk melakukan overlay.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -68



Tabel 5.10 Matriks Penentuan Tingkat Risiko



Dengan, kategori risiko yaitu SST = Sangat Sangat Tinggi; ST = Sangat Tinggi; T = Tinggi; S = Sedang; R = Rendah; SR = Sangat Rendah; SSR = Sangat Sangat Rendah Kajian risiko kota perubahan iklim juga harus disinkronkan dengan penanggulangan bencana dalam bingkai adaptasi perubahan iklim. Di sini dibutuhkan adanya pemahaman yang utuh antara kedua hal tersebut untuk mengidentiikasi praktik pengurangan risiko dan dampak bencana dalam kerangka adaptasi perubahan iklim. Hal tersebut merupakan hal yang coba disampaikan juga oleh IPCC (2012) dalam dokumen special report. Analisis Risiko Iklim Di Masa Depan Analisis risiko dibentuk dari dua komponen, kerentanan dan bahaya di masa depan. Hasil dari analisis ini adalah untuk menggambarkan risiko iklim di masa depan dalam skala kota. Menilai Kerentanan di Masa Depan Langkah-langkah untuk menghitung kerentanan di masa mendatang sama dengan menghitung kerentanan saat ini, namun data yang digunakan haruslah data yang diproyeksikan untuk tahun tertentu di masa mendatang yang telah ditentukan. Misalnya ingin menganalisis untuk tahun 2020, maka data populasi diproyeksikan untuk tahun tersebut, begitu juga dengan jumlah fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Data-data proyeksi ini dapat dilakukan oleh tim sendiri, ataupun bisa mengambil data dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Namun, jika kesulitan untuk memproyeksikan data dan terpaksa, maka kita dapat menggunakan data saat ini dengan menyepakati asumsi bahwa tidak ada perubahan yang terjadi di kota.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -69



Menilai Bahaya di Masa Depan Perhitungan bahaya di masa mendatang cukup rumit. Pada bagian ini kita akan menggunakan hasil dari bagian sebelumnya, yang merupakan probabilitas iklim yang ekstrim. Probabilitas iklim yang ekstrim membantu kita untuk memprediksi bahaya banjir dan kekeringan di masa depan dalam skala kota. Untuk bahaya lain, berbagai metode lain dapat digunakan; contoh adalah pemodelan untuk penyakit tular vektor dengan mempertimbangkan perubahan iklim. Akan tetapi kekurangan untuk bagian ini, kita tidak bisa membuat peta bahaya masa depan per kelurahan/kecamatan, karena semua hasil analisis dalam skala kota. Contoh Penerapan 1. Analisis Kerentanan untuk Ekosistem Pegunungan a. Singkapan Singkapan diukur dengan analisis kausalitas antara variable iklim (suhu dan curah hujan) dengan kejadian bencana klimatis (climatic hazard) yang berhubungan dengan kehidupan manusia menurut EEPSEA and IDRC (2009) yang relevan di ekosistem. Untuk ekosistem pegunungan, bencana alam yang diukur adalah longsor. Penilaian tingkat eksposur potensi longsor dilakukan menurut pendekatan Suranto (2008) mengikuti Tabel di bawah ini : Tabel 5.11 Variabel Penilaian Eksposur Longsor No



Variabel



1



Kelerangan:



2



Penilaian



Potensi gerakan tanah



0–15%



Skor 1



Rendah – sedang



15 – 25%



Skor 2



Sedang- tinggi



>25%



Skor 3



Tinggi



Skor 2



Sedang



Skor 3



Sedang - tinggi



< 1.000 mm/tahun



Skor 1



Rendah



1.000 – 4.000 mm/tahun



Skor 2



Sedang



4.000 – 6.000 mm/tahun



Skor 3



Tinggi



Batuan / tanah penyusun: a. Endapan lahar gunung berapi b. Batuan gunung



3



Curah hujan:



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -70



Sensitivitas Sensitivitas dianalisis dengan metode scoring. Aspek sensitivitas yang dianalisis meliputi aspek sosial, ekonomi, infrastruktur dan ekologi (Benson & Twig, 2007 dalam Lassa & Nakmofa, 2007)dengan melakukan pengembangan kriteria dan indikator sebagaimana disajikan pada Tabel berikut Tabel 5.12 Pengukuran Sensitivitas Terhadap Perubahan Iklim Aspek



Kriteria



Indikator



Cara



Penilaian



pengukuran Sosial



Tingkat pendidikan



Pendidikan formal



Data BPS; interview



5 : mayoritas tdk sekolah 4: mayoritas SD 3: mayoritas SLTP 2 : mayoritas SLTA 1 : mayoritas PT



Aksesibilitas



Kendaraan, jarak, waktu tempuh, sarana transportasi



Kuisioner melalui interview



5 : tidak bisa jalan darat 4 : jalan tanah > 75% terisolasi 3 : jalan tanah > 75% 2 : jalan aspal 50% 1 : jalan aspal > 75%



Kelembagaan



Ekonomi



-



Aktivitas lembaga Formal Aktivitas lembaga non formal Tupoksi/peran (ekonomi/sosial/su mber daya alam) Jumlah anggota



Kuisioner melalui interview



5 : tidak ada kelembagaan 4 : ada tapi tidak aktif 3 : salah satu aktif 2 : keduanya aktif, satu dominan 1 : keduanya aktif, harmonis



Sumber pendapatan



Sumber pendapatan berasal dari satu atau beberapa jenis sumber



Data BPS; Interview



5 : sumber tunggal 4 : sumber ganda 3 : 3 sumber 2 : 4 sumber 1 : >4 sumber



Mata Penceharian



Mata penceharian utama dan ketergantungan terhadap sumber daya alam



Kuisioner melalui interview



5 : on farm>80% 4 : on farm 60- 80% 3 : on farm 40-60%



Ketersediaan, jumlah dan fungsi bangunan penahan longsor (sumur resapan dan irigasi, dll) dan/atau bencana lain



Kuisioner melalui interview



2 : on farm 20-40% 1 : on farm 80% 4 : di dekat tebing 60-80% 3 : di dekat tebing 40-60% 2 : di dekattebing 20-40% 1 : di dekattebing 80% 4 : labil 60- 80% 3 : labil 40- 60% 2 : labil 20- 40% 1 : labil 3 = tinggi/melimpah (Shannon-Wiener, 1964). Fauna Terestrial Metode yang digunakan dalam pengumpulan data fauna terestrial adalah dengan cara pengamatan langsung (survei) lapangan dan wawancara dengan penduduk setempat. Pengumpulan data dengan pengamatan langsung dilakukan dengan observasi dan penangkapan. Avifauna Metode Pengambilan Data Studi avifauna (burung), dilakukan dengan menggunakan kombinasi metode transek dan point count, mistnetting serta spotlighting. -



Transek



Pengumpulan data avifauna dengan metode transek dilakukan setiap hari pada pagi hari mulai pukul 05.30 sampai pukul 11.00, dan sore hari mulai pukul 15.00 hingga pukul 18.00. Transek dilakukan dengan berjalan kaki dengan kecepatan kira-kira 2 km/jam dan mencatat semua jenis avifauna baik yang terlihat maupun yang terdengar. Berdasarkan proporsi luas wilayah yang di amati dan juga ketersediaan waktu pengamatan, jumlah dan lokasi transek untuk pengumpulan data avifauna adalah sama dengan jumlah transek untuk pengumpulan data flora terestrial. -



Point Count



Point count dilakukan di setiap transek dengan jumlah titik yang disesuaikan dengan setiap transeknya. Jarak antar titik sekitar 150 meter, hal ini dimaksudkan untuk menghindari penghitungan ganda pada individu jenis yang sama. Waktu pengamatan



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -77



pada setiap titik adalah selama 20 menit. Pada setiap titik dicatat, jenis dan jumlah avifauna baik yang terlihat maupun yang terdengar. -



Mistnetting



Mistnetting dilakukan untuk menangkap jenis-jenis avifauna terutama avifauna yang termasuk jenis “cryptic species”. Spesifikasi mistnet adalah: matajala 30 mm yang terbuat dari benang nilon, panjang 8 m, tinggi ±3 m dan jumlah kantung sebanyak 5 buah. Mistnet dipasang selama kurang lebih 12 jam mulai pukul 06.00 hingga sore hari pukul 18.00 dan diperiksa setiap dua jam. Mistnet dipasang hingga permukaan tanah, kira-kira 30 cm jarak dari permukaan tanah. Avifauna yang tertangkap dalam mistnet kemudian diekstraksi, diidentifikasi, didokumentasikan kemudian dilepaskan kembali di sekitar lokasi dimana jenis tersebut tertangkap. -



Spotlighting



Spotlighting dilakukan untuk menginventarisasi jenis-jenis avifauna nocturnal. Pengamatan dilakukan bersamaan dengan pengamatan herpetofauna Analisis Data Untuk mengetahui nilai indeks keanekaan, kesamaan dan kelimpahan jenis fauna terestrial (khususnya avifauna) dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus: Indeks Keanekaan Jenis:



Dihitung menurut rumus Shannon-Wiener (1949 dalam Odum,1995) H’ = - ∑ (ni/N) ln (ni/N)



(42)



Dimana :



H’=Indeks Keanekaan Shannon – Wiener Ni =Jumlah individu setiap jenis burung N =Jumlah individu seluruh jenis burung Indeks Kesamaan Jenis:



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -78



Untuk mengetahui nilai kesamaan jenis burung pada setiap lokasi digunakan penghitungan indeks kesamaan jenis menurut rumus dari Sorenson (1948 dalam Odum 1995), yaitu: S = 2C/(A+B) Dimana : S =Indeks kesamaan = Jumlah jenis yang terdapat pada komunitas A = Jumlah jenis yang terdapat pada komunitas B = Jumlah jenis yang terdapat pada kedua komunitas Kelimpahan Jenis: Untuk mengetahui kelimpahan relatif dihitung dengan rumus: KM suatujenis KR =



KM seluruh jenis



×100%



Nilai KR setiap jenis burung dapat menyatakan perbandingan dominansi suatu jenis burung terhadap jenis burung lainnya. Dominansi jenis burung selanjutnya diklasifikasikan menjadi tiga kelompok mengikuti pengelompokkan oleh Jorgensen (1974), yaitu tidak dominan (KR 0% – 2%), sub dominan (KR 2% – 5%) dan dominan (KR >5%). Analisis data juga dilakukan untuk mengetahui keberadaan jenis-jenis satwa liar baik yang bersifat ekonomis, endemis, langka, maupun dilindungi berdasarkan peraturan dan perundang-undangan di Indonesia, dan peraturan/konvensi internasional seperti CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) atau Konvensi Internasional yang mengatur perdagangan antar negara spesiesspesies satwa dan tumbuhan liar yang terancam punah serta berdasarkan Redlist IUCN (International Union Conservation Nature). Mammalia Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data primer mammalia dilakukan dengan observasi lapangan dengan cara penjelajahan. Setiap temuan baik langsung maupun tidak langsung (jejak, MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -79



kotoran, suara, bulu atau rambut, bekas cakaran, sarang) dicatat jenisnya. Untuk pengumpulan data jenis mammalia kecil,selain dengan observasi langsung juga dilakukan penangkapan dengan menggunakan Collapsible Sherman Trap dan Collapsible Wire Trap. Ukuran Sherman Trap yang digunakan berdimensi panjang 30 cm, lebar 10 cm dan tinggi 12 cm. Sedangkan Wire Trap berdimensi panjang 30 cm, lebar 20 cm dan tinggi 15 cm. Jumlah perangkap Sherman Trap dan Wire Trap masing-masing sekitar 20 buah. Perangkap diletakan di atas permukaan tanah dengan jarak masing-masing sekitar 5 m. Pemasangan perangkap dilakukan di setiap lokasi studi selama 1-2 hari Analisis Data Untuk mengetahui nama jenis mammalia yang ditemukan, dilakukan identifikasi dengan mengacu kepada referensi berikut : Payne, Francis, Phillips, dan Kartikasari (2000) dengan judul buku : Panduan Lapangan Mamalia Di Kalimantan, Sabah, Sarawak Dan Brunei Darussalam. Selain itu menggunakan Charles M. Francis dengan judul buku : A Photographic Guide to Mammals of South-East Asia: Including Thailand, Malaysia, Singapore, Myanmar, Laos, Vietnam, Cambodia, Java, Sumatra, Bali and Borneo Herpetofauna Metode Pengumpulan Data Pengambilan data herpertofauna berupa observasi di lapangan dengan menggunakan metode modifikasi dari metode Visual Encounter Survey (VES) dengan metode Recce Walks (Doan, 2003). Metode VES mencakup Line Transect dan Night Stream. Jalur yang digunakan untuk pengambilan data adalah jalur-jalur bekas aktivitas manusia, jalan setapak, sungai, danau, kolam, kanal, dan genangan air. VES Line Transect dilakukan pada pukul 06.00 hingga 11.00 dan VES Night Stream dilakukan dari pukul 17.00 hingga 21.00. Hasil observasi dicatat jenis dan jumlah individunya. Lakukan dokumentasi untuk keperluan identifikasi di laboratorium. Proses identifikasi menggunakan berbagai referensi dari Inger and Stuebing (1997), Cox van Dijk, Nabithabatha, and Thirakupt (1998), Stuebing and Inger (1999), Iskandar (2000), Das (2004), Das (2007), Das (2010), Kusrini (2013).



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -80



Analisis Data Analisis data dilakukan setelah proses identifikasi jenis selesai. Hasil dari analisis data berupa indeks yang menunjukan nilai kesamaan jenis antar lokasi, keanekaragaman, dan kerataan komunitas. Berikut adalah indeks-indeks tersebut: Indeks Kesamaan Sorensen antar lokasi (Magurran, 1988. Indeks ini digunakan untuk membandingkan tingkat kesamaan jenis yang menyusun suatu komunitas dengan komunitas lainnya. 2j



Cs = ( a + b



)



Keterangan: Cs = Indeks Kesamaan = jumlah jenis di lokasi a = jumlah jenis di lokasi b j = jumlah jenis yang sama pada dua lokasi Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Odum, 1993) Indeks ini digunakan untuk menghitung keanekaan jenis dengan menggunakan indeks heterogenistas dari Shannon Wiener dengan rumus sebagai berikut : H′=∑



ni N



Ln



ni N



Keterangan: H’ = Indeks Heterogenitas Shannon-Wiener pi = ni/N ni = jumlah individu jenis ke-i = jumlah seluruh individu N ikan Indeks Kerataan Komunitas Pielou Indeks ini menyatakan kerataan penyebaran individu dari jenis yang ditemukan. Nilai indeks ini berkisar 0-1 yang menunjukan nilai semakin tinggi maka semakin merata penyebaran individu setiap jenisnya (Odum, 1993). MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -81



H' J'= Ln



S



Keterangan: J’= Indeks Kerataan Komunitas H’ = Indeks Heterogenitas Shannon-Wiener S= Jumlah jenis Analisis data juga dilakukan untuk mengetahui keberadaan jenis-jenis satwa liar baik yang bersifat ekonomis, endemis, langka, maupun dilindungi berdasarkan peraturan dan perundang-undangan di Indonesia dan konvensi internasional seperti CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) atau Konvensi Internasional yang mengatur perdagangan antar negara spesies-spesies satwa dan tumbuhan liar yang terancam punah serta berdasarkan Redlist IUCN (International Union Conservation Nature).



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -82



DAFTAR PUSTAKA Alfiani Dena. 2011. Karakteristik Lokal Sebagai Studi Tentang Keberlanjutan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Di Daerah Perkotaan. Jakarta: Universitas Indonesia. Babaie-Kafaky, A. Mataji N.A. Sani. 2009. Ecological Capability Assessment for Multiple-Use in Forest Are Using GIS-Based Multiple Criteria Decision Making approach. Tehran, Iran. Department of Forestry, Science and Research Branch, Islamic Azad University. American Journal of Enviromental Sciences vol.5 pgs. 714-712. BAPPENAS, 2016. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 20152020. Jakarta:Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. Barbier, E.B. 1991. The economic value of ecosystems 2 _ Tropical forests. LEEC Gatekeeper Series 91-01. London, London Environmental Economics Centre. Barbour, M., Burk, J.H., Pitts, W.D., Gilliam, F.S., Schwartz, M.W. (1998). Terrestrial Plant Ecology.Benjamin Cummings. Begon, M., Towsend, C.R. & Harper, J.L., (2006). Ecology: From individual to ecosystems. Fourth Edition ed. Oxford: Blackwell Publishing. Benson C, J Twigg and T Rossetto. 2007. Perangkat untuk Mengarusutamakan Pengurangan Resiko Bencana : Catatan Panduan Bagi Lembaga-Lembaga yang Bergerak dalam Bidang Pembangunan. Provention Consortium. Switzerland Betts, C.P., Choquette, W.H., Haughton, J.G., Knoop, S.L., McClintock, R., Nuckolls, R.T. et al. (2002). Physical security assessment for Department of Veterans Affairs Facilities: recommendations of the National Institute of Building Sciences Task Group. Washington, DC: Department of Veterans Affairs. Bintarto, R., Hadisumarno Surastopo. 1977. Geografi Kota. Yogyakarta: UP Spring. Bishop, J.T. 1999. Valuing Forests : A Review of Methods and Applications in Developing Countries. International Institute for Environment and Development. London Burkhard, B., Kandziora, M., Hou, Y., Muller, F., 2014. Ecosystem service potentials, flows and demands–concepts for spatial localisation, indication and quantification. Landsc. Online 32, 1–32



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -83



Casal-Campos A., Fu Guangtao, Butler, D. And Moore, A. 2015. An Integrated Enviromental Assessment of Green and Gray Infrarastructure Strategies for Robust Decision Making. Enviromental Science Thecnology, pages 83078314. Cox, M.J., Dijk, P.P. van, Nabhitabhata, J. & K. Thirakupt. 1998. A Photographic Guide to Snakes and Other Reptiles of Thailand and Southeast Asia. Asia Books, Co. Ltd., Bangkok. 144pp. Dai, A., 2011: Characteristics and trends in various forms of the Palmer Drought Severity Index during 1900–2008. J. Geophys. Res., 116. Das, I. (2004): A Pocket Guide. Lizards of Borneo. Natural History Publications (Borneo) Sdn Bhd., Kota Kinabalu. Das, I. (2007). A Pocket Guide: Amphibians and Reptiles of Brunei. Natural History Publications (Borneo) Sdn. Bhd., Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Das, I. (2010): A Field Guide to the Reptiles of South-East Asia.New Holland Publishers (UK) Ltd., London. Djajadiningrat, dkk. 2014. “ Green Economy ”, Rekayasa Sains , Bandung Doan, T.M. (2003). Which methods are most effective for surveying rain forest herpetofauna? Journal of Herpetology 37:72–81. Eckart, K., McPhee, Z., dan Bolisetti, T. 2017. Performance and implementation of low impact development. Science of The Total Environment, Vol. 607-608, Pages 413-432. Francis, C.M. (2001). A Photographic Guide to Mammals of South-East Asia: Including Thailand, Malaysia, Singapore, Myanmar, Laos, Vietnam, Cambodia, Java, Sumatra, Bali and Borneo. Sanibel Island: Ralph Curtis Books. Grant, S. M., Hill, S. L., Trathan, P. N., & Murphy, E. J. (2013). Ecosystem services of the Southern Ocean: trade-offs in decision-making. Antarctic science, 25(5), 603-617. Groffman, P., et al. 2006. Ecological thresholds: the key to successful environmental management or an important concept with no practical application? Ecosystems 9:1–13. Gonzales, P. dan Ajami, N., K. 2007. An integrative regional resilience framework for the changing urban water paradigm. Sustainable Cities anda Society vol.30, pages 128-138



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -84



Hairiah, K., Rahayu, S., Suprayogo, D., & Prayogo, C. (2016). Perubahan Iklim: sebab dan dampaknya terhadap kehidupan. Bahan Ajar 1. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Sooutheast Asia Regional Program dan Universitas Brawijaya. Hardinsyah, Irawati, A, Kartono, D, Prihartini S, Linorita I, Amilia L, Fermanda M, Adyas EE, Yudianti D, Kusrto CM dan Heryanto Y. ( 2012). Pola Konsumsi Pangan dan Gizi Penduduk Indonesia. Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB dan Badan Litbangkes Kemenkes RI. Bogor. Herawaty , H dan H Santoso. 2007. Pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim ke dalam agenda pembangunan: tantangan kebijakan dan pembangunan. Adaptasi terhadap 16 bahaya gerakan tanah di masa yang akan dating akibat pengaruh perubahan iklim. Laporan pertemuan dialog pertama gerakan tanah dan perubahan iklim. Bogor, tanggal 7-8 Desember 2006. Cifor. Bogor, Indonesia Indonesian Biodiversity Strategy Action and Plan 2015 – 2020 Bappenas 2016. Inger, R.F.; Stuebing,R.B.(1997). A Field Guide to the Frogs of Borneo. Natural History Publications. Kota Kinabalu. Iskandar, D.T. 2000. Turtles and Crocodiles of Insular Southeast Asia and New Guinea. Bandung, Palmedia – ITB, 224 pp. Jorgensen, 0. H. (1974). Results of IPA-censuses on Danish farmland. Acta Ornithol. 14: 310-321. King, D.M. dan Mazzota, M. (2004). Ecosystem Valuation, Maryland. Klingebiel, A.A. & P.H. Montgomery. 1961. Land Capability Classification. Agricultural Handbook No. 210. USDA Soil Conservation Service. Washington, DC. Kottelat, M and A.J. Whitten. 1996. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi: Addition and correction. 1996. Periplus Editions Limited. Kurnianto, S., Warren, M., Talbot, J., Kauffman, J.B., Murdiyarso, D. & Frolking, S. (2015). Carbon accumulation of tropical peatlands over millennia: A modeling approach. Global Change Biology, 21(1): 431-444. KLHK. (2017). Laporan Investasi GRK dan monitoring, pelaporan dan verigikasi 2017. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemgendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -85



KLHK. (2017). Road Map. Program Kampung Iklim (PROKLIM). Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. KLHK. (2017). SIDIK. Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan Perubahan Iklim. Jakarta: Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. KLHK (2018). Pedoman Penentuan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kusrini, M.D. (2013). Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati. Lahr, J dan Kooistra, L. 2010. Enviromental Risk Mapping of poluttants: State of the art and communication aspects. Science of the Total Enviroment. Issue 18, pages 3899 – 3907. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey: Princeton University Press. Malczeewski, J. 2006. Ordered Weighted averaging with fuzzy quantifiers : GISbased multicriteria evaluation for land-use suitability analysis. Elsevier, International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, vol.8, Issue 4, pages 270-277. MEA, 2005. Ecosystems and Human Well-being: Biodiversity Synthesis. A Report of the Millenium Ecosystem Assessment ed. Washington DC: World Resources Institute. Millenium Ecosystem Assessment 2005 ,Ecosystem and Human Well being : synthesis. Island Press Washington DC. Molles, M.C., 2010. Ecology : Concepts and applications. Fifth Edition ed. New York: Mc Graw Hill. Montagnini, F. & Jordan, C.F., 2005. Tropical forest ecology: The basis for conservation and management. Berlin: Spinger. Mochamad, A. (2013). Merespon Ancaman Perubahan Iklim: Adaptasi Sebuah Pilihan yangMendesak dan Prioritas. Jakarta: https://www.apikindonesia.or.id/wp-content/uploads/2019/01/BukuAdaptasi-Perubahan-Iklim-Sebuah-Pilihan-yang-Mendesak-danPrioritas.pdf. Muta’ali. L, Daya Dukung Lingkungan Untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah. Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2012



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -86



Odum W, Odum E, Odum H. (1995). Nature’s pulsing paradigm. Estuaries 1995; 18: 547–555. Odum, E.P.; Barret, G.W. (1993). Fundamentals of Ecology. Boston, U.S. : Cengage Learning. Pawitan H. 2010. Arti Perubahan Iklim Global dan Pengaruhnya dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia. Makalah pada Ekspose Hasil Litbang Balai Penelitian Kehutanan Solo dengan tema Pengelolaan DAS dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia, di Surakarta pada tanggal 28 September 2010. Payne, J.; Francis, C.M.; Phillips, K.; dan Kartikasari, S.N. (2000). Panduan Lapangan Mamalia Di Kalimantan, Sabah, Sarawak Dan Brunei Darussalam. WCS Indonesia Program, The Sabah Society, dan WWF Malaysia, Kuala Lumpur. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 33/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor P.7/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2018 tentang Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim. Phua, M., and Minowa, M. 2005. A GIS-based multi-criteria decision making approach to forest conservation planning at a landscape scale: a case study in the Kinabalu Area, Sabah, Malaysia. Elsevier, Landscape and Urban Planning, vol.71, issue 2-4, pages 207-222. Poggio, L., Vrscaj, B., Hepperle, E., Schulin, R., & Marsan, F. A. (2008). Introducing a method of human health risk evaluation for planning and soil quality management of heavy metal-polluted soils—An example from Grugliasco (Italy). Landscape and Urban Planning, 88(2-4), 64–72. PPPES, 2016. Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup Ekoregion Sumatera Berbasis Jasa Ekosistem. Pekanbaru: Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera. Pramesty, Anggun R., Nirmala, A., dan Aspan, A.,. (2013): Perhitungan Daya Dukung Lingkungan Berdasarkan Ketersediaan Air dan Produktivitas Lahan Di Kecamatan Tujuh Belas Kabupaten Bengkayang, Jurnal Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, UniversitasTanjungpura(http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmtluntan/ article/viewFile/7660/ 7767).



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -87



MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS



VIII -88