Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusi 1.



Pengertian dan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif



Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa: sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa: pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya. Sedangkan menurut Sopan & Shevin (1995) Inklusi didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan luar biasa untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang mensyaratkan agar semua anak yang memiliki kebutuhan khusus belajar bersama-sama seyogyanya di kelas yang sama di sekolah sekolah tersebut. Kemudian dalam Pernyataan lain Berns dallam Groce (1998:23) Sekolah Inklusi dipandang sebagai sekolah yang menyediakan layanan belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersamasama dengan anak normal dalam komunitas sekolah. Selain itu sekolah inklusi merupakan tempat bagi setiap anak untuk dapat diterima menjadi bagian dari kelas, dapat mengakomodir dan merespon keberagaman melalui kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak dan bermitra dengan masyarakat Dalam Permendiknas itu juga disebutkan Tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah : memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di



dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Penyelenggaraan Pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang masih mengundang kontroversi (Sunardi, 1997). Namun praktek sekolah inklusif memiliki berbagai manfaat. Misalnya adanya sikap positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitif, memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan individual. Selain itu, anak berkelainan belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka dimasukkan dalam sekolah umum. Dan dengan sekolah inklusi, anak terhindar dari dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain kecenderungan pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupan nyata, label “cacat” yang memberi stigma pada anak dari sekolah segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan untuk saling bekerjasama, dan menghargai perbedaan. Manfaat sekolah inklusi bukan hanya dirasakan oleh si anak, namun berdampak pula bagi masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah sekolah inklusi mengajarkan nilai sosial berupa kesetaraan. Berdasarkan pengalaman dari sekolah segregasi, anak berkelainan disorot sebagai ancaman bagi masyarakat, maka dari itu harus dipisahkan, dan dikontrol oleh sekolah, bukan dibantu. Selain belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di kelas segregasi menunjukkan hasil yang lebih positif, biaya penyelenggaraan sekolah segregasi relatif lebih mahal dari pada sekolah umum. Lagipula, banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat, sehingga menjadikan pendidikan inklusi sebagai jawaban kontemporer bagi anak-anak berkelainan dan berkebutuhan khusus. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun demikian. karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak. Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih, penempatan anak luar biasa di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut: Kelas reguler (inklusi penuh) Kelas reguler dengan cluster Kelas reguler dengan pull out Kelas reguler dengan cluster dan pull out Kelas khusus dengan berhagai pengintegrasian



Kelas khusus penuh. Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam strategi, kegiatan media, dan metoda. Beberapa kegiatan belajar mungkin dilakukan berdasarkan literatur-literatur tertentu, sementara yang lainnya belajar yang sama akan lebih efektif apabila melalui observasi dan eksperimen. Beberapa anak memerlukan alat bantu tulis untuk mengingat sesuatu, mungkin yang lainnya cukup dengan hanya mendengarkan. Beberapa sisa mungkin memerlukan kertas dari pensil untuk mengingat suatu hubungan tertentu. sementara beberapa sisa lainnya cukup mengingat dengan hanya melihat saja. Beberapa sisa mungkin lebih senang belajar secara individual, sedangkan yang lainnya lebih senang secara berkelompok, Hilda Taba mengemukakan, bahwa berbedanya kebutuhan individu berbeda pula di dalam teknik belajar dalam upaya mengembangkan dirinya. Dewasa ini isitilah strategi belajar banyak dipergunakan di dalam teori kognitif dan penelitian. Hal itu berhubungan dengan strategi individu dalam hal pemusatan perhatian, pemecahan masalah, mengingat dan mengawasi proses belajar dan pemecahan masalah.



2.



Landasan Penyelanggaraan Pendidikan Inklusif



a.



LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN INKLUSIF







Pancasila



• Bhinneka Tunggal Ika sebagai pengakuan kebhinnekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal sebagai khalifah Tuhan di muka bumi untuk membangun kehidupan bersama (live together) yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian (improving the quality of worship) kepada Tuhan Yang Maha Esa • Agama, dimana ditegaskan bahwa (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2)kemuliaan seseorang di hadapan Allah bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri, (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silahturahmi. • Dalam pandangan universal HAM menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan. • Pendidikan inklusi merupakan implementasi pendidikan berwawasan multicultural yang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis. b.



LANDASAN YURIDIS PENDIDIKAN INKLUSIF



1. UUD 1945 (amandemen) Pasal 31 ·



ayat (1) : “Setiap warga negara berhak mendapatpendidikan”



· ayat (2) : “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” 2. UU No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional : Pasal 3 · Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pasal 5 · Ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu · Ayat (2) : Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus · Ayat (3) : Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus · Ayat (4) : Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal 32 · ayat (1) : Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. · ayat (2): Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. 3. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 48 · Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Pasal 49



· Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.



c.



LANDASAN PEDAGOGIS PENDIDIKAN INKLUSIF



Dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, berisi bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlaq mulia, sehat,cakap, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Sehingga dengan adanya pendidikan, para peserta didik yang mengalami kelainan/berkelainan dapat dibentuk menjadi seorang warga yang demokratis dan bertanggungjawab, yang mampu menjadi seorang individu yang mampu menghargai suatu perbedaandan dapat berpartisipasi di lingkungan masyarakat. Pendidikan inklusi sesungguhnya bersifat fleksibel karena harus dikorelasikan dengan suatu keadaan.



Dalam PERMENDIKNAS RI No. 70 tahun 2009 Pasal 1 Pendidikan Inklusif didefinisikan “sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”. d.



LANDASAN EMPIRIS PENDIDIKAN INKLUSIF



Dalam suatu penelitian di Negara-negara barat sejak tahun 1980-an, menunjukkan suatu hasil yaitu klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas maupun tempat khusus merupakan hal yang tidak efektif dan cenderung lebih diskriminatif. Beberapa pakar bahlkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995) Prisioner (2003) yang melakukan survey pada kepala sekolah tentang sikap mereka terhadap pendidikan inklusif menemukan bahwa hanya satu dari lima kepala seklah tersebut memiliki sikap yang positif terhadap penerapan pendidikan inklusif. Lebih lanjut, dalam kelas yang dipimpin oleh kepala yang memiliki sikap positif tersebut, siswa lebih mungkin dididik denagn cara yang sedikit tidak dibenarkan dalam proses pembelajaran.



Pada kenyataannya Pendidikan inklusi yang menghargai semua siswa dengan keunikan mereka masingmasing masih belum banyak dipahami dan dijalankan oleh pemerintah maupun sekolah. Kendalanya



karena sistem pendidikan Indonesia masih mengedepankan penyeragaman untuk bisa memenuhi target kurikulum daripada penyesuaian dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik.



3.



Keutamaan dan Sisi Positif Pendidikan Inklusif



Ada beberapa alas an mengapa pendidikan inklusif harus diimplementasikan, antara lain: · Semua anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh suatu pendidikan yang bermutu dan tidak didiskriminasikan. · Semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat suatu kelainan maupun kecacatan. ·



Perbedaan merupakan suatu penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak.



· Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespon dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda. Sisi positif dalam implementasi pendidikan inklusif, antara lain: ·



Membangun kesadaran



·



Menghilangkan sikap diskriminatif



· Member kesempatan pada semua anak dan mengidentifikasi alas an mengapa mereka tidak bersekolah. ·



Memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan setempat.