Asuhan Kepenataan Anestesi App [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Eva
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA Ny. A DENGAN APENDICTOMY TEKNIK ANESTESI RA-SAB DI RSUD TGK. ABDULLAH SYAFI’I KABUPATEN PIDIE PROVINSI ACEH APENDISITIS



Disusun Oleh : FADLILLAH Mengetahui, Dosen Pembimbing



( Dwi Novitasari, S.Kep., Ns., M.Sc)



Pembimbing Klinik



(dr. Muhammad Asyraf, Sp.An)



PROGRAM STUDI SERJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA 2022



LAPORAN PENDAHULUAN



A. KONSEP TEORI PENYAKIT



1.



Definisi Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atu umbai cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Infeksi ini biasanya mengakibatkan peradangan akut sehingga memerluka tindakan bedah segera untuk memecahkan komplikasi yang umumnya berbahaya. (Nurarif, Amin Huda& Kusuma Hardi, 2015). Apendisitis adalah peradangan pada Apendiks yang berbahaya jika tidak ditangani dengan segera di mana terjadi infeksi berat yang bisa menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams & Wilkins, 2011). Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakanpenyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2001).



Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi. 2.



Etiologi Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi yaitu: a. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena: 1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak; 2) Adanya faekolit dalam lumen appendiks; 3) Adanya benda asing seperti biji-bijian; 4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya. b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus. c. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut. d. Tergantung pada bentuk apendiks: 1) Appendik yang terlalu panjang; 2) Massa appendiks yang pendek; 3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks; 4) Kelainan katup di pangkal appendiks. (Nuzulul, 2009)



3. Tanda dan Gejala Gejala



awal



yang



khas,



yang



merupakan



gejala



klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih



tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius. Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut: a.



Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.



b.



Bila apendiks terletak di rongga pelvis



c.



Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).



d.



Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat



terjadi



peningkatan



frekuensi



kemih,



karena



rangsangandindingnya. Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas. a.



Pada anak-anak



Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan



letargik.



Karena



ketidakjelasan



gejala



ini,



sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. b.



Pada orang tua berusia lanjut Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.



c.



Pada wanita Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses



ovulasi,



menstruasi),



radang



panggul,



atau



penyakit



kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejalaapendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. 4. Pemeriksaan Diagnostik/Pemeriksaan Penunjang Terkait a. Laboratorium Terdiri



dari



pemeriksaan



darah



lengkap



dan C-reactive



protein (CRP).Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%. b. Radiologi



Terdiri



dari



pemeriksaan



ultrasonografi



(USG)



dan Computed



Tomography Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%. c. Analisa



urin



bertujuan



untuk



mendiagnosa



batu



ureter



dan



kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah. d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas. e. Serum Beta



Human



Chorionic



Gonadotrophin



(B-HCG) untuk



memeriksa adanya kemungkinan kehamilan. f. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan. 5. Penatalaksanaan Medis a. Penatalaksanaan Terapi Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik. b. Penatalaksanaan Operatif Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik



dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).



B. PERTIMBANGAN ANESTESI 1. Definisi Anestesi Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk



menciptakan



kondisi



optimal



bagi



pelaksanaan



pembedahan(Sabiston, 2011). Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa



nyeri



disatu



bagian



tubuh



saja



tanpa



menghilangnya



kesadaran(Sjamsuhidajat & De Jong, 2012). Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh(Morgan, 2011). Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan bahwa Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat pembedahan atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit dengan cara trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi. 2. Jenis Anestesi a. General Anestesi Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh. Anestesi umum dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau melalui inhalasi(Royal College of Physicians (UK), 2011). Anestesi umum meliputi:



1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi (VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia) 2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena (TIVA=Total Intravenous Anesthesia) Anestesi umum merupakan suatu cara menghilangkan seluruh sensasi dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh.Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas. b. Regional Anestesi 1) Pengertian Anestesi Spinal Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang intratekal, secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar region lumbal di bawah level L1/2 dimana medulla spinalis berakhir(Keat, dkk, 2013). Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada pasien yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses konduktifitas pada ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh tertentu. (Rochimah, dkk, 2011) 2) Tujuan Anestesi Spinal Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi spinal dapat digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri akut maupun kronik. 3) Kontraindikasi Anestesi Spinal Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional yang luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi hipovolemia yang belum terkontrol karena dapat mengakibatkan hipotensi berat. Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010, ialah : a) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup;



b) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera; c) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung pada besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang digunakan. 4) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal yang utama digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1 jam, dan bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam (Reeder, S., 2011). 3. Teknik Anestesi Sebelum memilih teknik anestesi yang digunakan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya keselamatan pasien,kenyamanan pasien serta kemampuan operator di dalam melakukan operasi pada penggunaan anestesi tersebut. Terdapat dua kategori umum anestesi diantaranya Generał Anesthesia (GA) dan Regional Anesthesia (RA) dimana pada RA termasuk dua teknik yakni teknik spinal dan teknik epidural. Teknik anestesi dengan GA biasanya digunakan untuk operasi yang emergensi dimana tindakan tersebut memerlukan anestesi segera dan secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga diperlukan apabila terdapat kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya terdapat peningkatan pada tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi di sekitar vertebra. Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan menggunakan teknik RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik anestesi RA apabila waktu bukan merupakan suatu prioritas. Penggunaan RA spinal lebih disarankan untuk digunakan dibandingkan dengan teknik GA pada sebagian kasus Apendisitis. Salah satu alasan utama pemilihan teknik anestesi RA dibandingkan dengan GA adalah



adanya resiko gagalnya intubasi trakea serta aspirasi dari isi lambung pada teknik anestesi GA. Beberapahal yang harusdiperhatikanuntukteknik spinal anestesi, yaitu: a.



Pre Block Preparations Induksi



spinal



anestesia



seringkali



menimbulkan



perubahan



hemodinamik, oleh karenaitupasien harus dimonitorsecara kontinyu, obat-obat resusitasi dan peralatan harus dapat disediakan dengan segera.Sedasi (analgetik dan anxiolitik) seringkali diberikan sebelum melakukan anestesi spinal untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan kecemasan. Penting untuk mengingat bahwa tidak semua spinal anestesia sukses dan spinal anestesia itu sendiri bisa mengakibatkan gangguan respirasi.Sehingga, setiap anestesia spinal potensial memerlukan perubahan yang cepat ke general anestesia.Obat-obat dan peralatan untuk airway management yang tepat harus bisa disediakan dengan cepat. b.



Patient Positioning Lateral dekubitus, duduk dan prone posisi, semuanya dapat digunakan untuk melakukan anestesia spinal. Tiap posisi memiliki kelebihan dan kekurangan. Lateral dekubitus adalah posisi yang paling sering dipakai. Pasien biasanya merasa nyaman dengan posisi ini dan lebih sedikit



menelungkup



dalam



bergerak,



dibandingkan



posisi



duduk.Sinkop lebih jarang terjadi daripada posisi duduk.Pasien diposisikan pada pinggir meja operasi dengan pinggul dan bahu diposisikan vertikal. Posisi duduk, rutin dipilih oleh beberapa praktisi dan seringkali dipilih saat dilakukan pada pasien obese.Pada populasi obese, palpasi dimidline



processus



spinosus



seringkali



sulit



/



tidak



memungkinkan.Pada kasus ini, posisi midline dapat diperkirakan dengan menghubungkan garis imaginer antara vertebra cervical yang paling menonjol (C7) dan cekungan intergluteal dan hal ini lebih mudah dilakukan saat pasien duduk.



Posisi telungkup kadangkala dipilih untuk melakukan spinal anestesia pada pasien yang akan dilakukan anal surgery dengan posis jackknife. Pasien diposisikan sesuai pembedahan lalu dilakukan lumbal punksi. Anestesi lokal hipobarik dipergunakan untuk membatasi efek anestesi pada dermatom sakral dan lumbal bawah. c.



Puncture Site Punksi dura biasanya dilakukan dibawah L2 untuk menghindari spinal cord yang berakhir pada L1-L2.Meskipun terdapat variasi dari masing-masing individu, sebuah garis yang melalui Krista iliaca biasanya akan melalui ruang diantara L4-L5. Teknik aseptik sangatpenting, termasuk melapisi regio lumbal dengan iodine dan atau larutan alkohol dan memakai penutup steril.



d.



Midline Atau Paramedian Approach Dua pendekatan ke ruang subarachnoid seringkali dipakai yaitu midline dan paramedian.Keduanya simpel dan efektif.Praktisi harus familiar dengan kedua pendekatan ini, sehingga mereka memiliki teknik alternatif pada saat pendekatan pertama gagal dilakukan.



4. Rumatan Anestesi a. Regional Anestesi 1) Oksigen nasal 2 Liter/menit; 2) Obat Analgetik; 3) Obat Hipnotik Sedatif; 4) Obat Antiemetik; 5) ObatVasokonstriktor. b. General Anestesi 1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi (VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia); 2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena (TIVA=Total Intravenous Anesthesia);



3) Obat Pelumpuh Otot; 4) Obat Analgetik; 5) Obat Hipnotik Sedatif; 6) ObatAntiemetik.



5. Risiko Menurut Latief (2018), beberapa risiko yang mungkin terjadi pada pasien apendiktomi dengan anestesi spinal adalah : a.



Reaksi alergi;



b.



Sakit kepala yang parah (PDPH);



c.



Hipotensi berat akibat blok simpatis, terjadi ‘venous pooling’;



d.



Bradikardi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas;



e.



Trauma pembuluh darah;



f.



Mual muntah;



g.



Blok spinal tinggi atau spinal total.



C. WEB OF CAUTION (WOC) APENDISITIS AKUT



ETIOLOGI Obsruksi lumen, Infeksi kuman dari colon, Jenis kelamin, Bentuk apendiks TANDA DAN GEJALA 1. 2. 3. 4.



Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan Mual dan muntah Nyeri tekan local pada titik Mc. Burney Konstipasi



TINDAKAN PEMBEDAHAN APENDIKTOMI



ANESTESI GA/RA MASALAH KESEHATAN YANG SERING MUNCUL



INTRA ANESTESI



PRE ANESTESI 1. 2. 3.



Cemas / Ansietas Nyeri Akut Risiko Cedera Anestesi



1. 2. 3. 4.



Risiko cedera trauma pembedahan RK Disfungsi Respirasi RK Disfungsi Kardiovaskuler RK Disfungsi Termoregulasi



POST ANESTESI 1. 2.



Risiko Jatuh Nyeri Pasca Operasi



D. TINJAUAN TEORI ASKAN 1. Pengkajian Pengkajian merupakan dasar proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang penderita agar dapat mengidentifikasi kebebutuhan serta masalahnya. Data pengkajian yang secara umum ditemukan pada pasien apendiktomi dengan regional anestesi meliputi: a.



Data Subjektif 1) Pasien mengeluh nyeri pada bagian perut bawah sebelah kanan 2) Pasien mengatakan takut di operasi 3) Pasien merasa tidak dapat rileks 4) Pasien mengatakan belum pernah menjalani operasi 5) Pasien mengeluh mual dan pusing 6) Pasien mengatakan pusing 7) Pasien merasa badan lemas 8) Pasien mengatakan demam 9) Pasien mengeluh mules dan diare 10) Pasien mengatakan kaki sulit digerakkan



b.



Data obyektif 1) Pasien tampak gelisah 2) Skala nyeri sedang sampai berat 3) Wajah pasien tampak grimace 4) Mukosa bibir kering dan pucat 5) Akral teraba dingin 6) CRT >3 detik



7) Tekanandarahpasiendibawahbatas normal 8) Denyutnadilemah dan tidakteratur 9) Pasientampaklemah 10) Suhutubuh>38,5oC 11) Bromage score >1



2. Masalah Kesehatan Anestesi Masalah kesehatan anestesi yang secara umum sering muncul pada pasien apendiktomi dengan spinal anestesi meliputi: Pre Anestesi : a. Nyeri akut b. Risiko cedera anestesi c. Cemas / ansietas Intra Anestesi: a.



Risiko cedera trauma pembedahan



b.



RK disfungsi respirasi



c.



RK disfungsi kardiovaskuler



d.



RK disfungsi termoregulasi



Post Anestesi: a.



Risiko jatuh



b.



Nyeri pasca operasi



3. Perencanaan Intervensi Pre Anestesi: a.



Nyeri Akut 1) Tujuan



Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi Diharapkan nyeri teratasi. 2) Kriteria Hasil : a) Pasien mangatakan nyeri berkurang atau hilang b) Pasien tampak tenang c) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60100 x/mnt R : 16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC) d) Skala nyeri 0-3 3) Rencana Intervensi: a) Observasi tanda-tanda vital b) Lakukan pengkajian PQRST c) Anjurkan pasien mengatur napas d) Ajarkan teknik distraksi relaksasi e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik b.



Risiko Cedera Anestesi 1) Tujuan Setelah diberikan asuhan keperawatan anestesi diharapkan tidak terjadi cidera anestesi. 2) Kriteria Hasil : a) Pasien siap untuk dilakukan tindakan anestesi b) Pemilihan teknik anestesi yang tepat sesuai kondisi pasien 3) Rencana Intervensi : a) Lakukan persiapan sebelum pembedahan b) Kaji status nutrisi pasien (menimbang BB) c) Anjurkan pasien untuk berpuasa d) Anjurkan pasien untuk mengosongkan kandung kemih sebelum operasi e) Lakukan balance cairan f) Lepaskan aksesoris g) Lakukan latihan praanestesi h) Pantau penyulit yang akan terjadi



i) Tetapkan criteria mallampati j) Tentukan status fisik menurut ASA k) Kolaborasi dalam pemberian obat premedikasi l) Kolaborasi penetapan teknik anestesi m) Lakukan informed consent



c.



Cemas / Ansietas 1) Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan ansietas (kecemasan) teratasi 2) Kriteria Hasil : a) Pasien bersedia menjalani operasi b) Pasien tampak tenang dan tidak gelisah c) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60100 x/mnt R : 16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC) 3) Recana Intervensi: a) Lakukan kunjungan praoperasi b) Bantu pasien mengekspresikan perasaan c) Berikan dukungan pada pasien d) Jelaskan tentang prosedur pembedahan dan anestesi e) Jelaskan tentang Latihan aktivitas pascaoperasi f) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian premedikasi



Intra Anestesi: a.



Risiko Cedera Trauma Pembedahan 1) Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak terjadi cedera trauma pembedahan. 2) Kriteria Hasil :



a) Tidak ada tanda tanda-tanda trauma pembedahan b) Pasientampakrileksselamaoperasiberlangsung c) TTV dalambatas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60100 x/mnt R : 16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC) d) Saturasi oksigen>95% e) Pasien telah teranestesi, relaksasi otot cukup, dan tidak menunjukkan respon nyeri f) Tidak adanya komplikasi anestesi selama operasi berlangsung 3) Rencana Intervensi : a) Siapkan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan perencanaan teknik anestesi b) Bantu pelaksanaan anestesi (spinal anestesi) sesuai dengan program kolaboratif spesialis anestesi c) Bantu pemasangan alat monitoring non invasif d) Monitoring perianestesi e) Atasi penyulit yang timbul f) Lakukan pemeliharaan jalan napas g) Lakukan pemasangan alat ventilaasi mekanik h) Lakukan pengakhiran tindaka anestesi b.



RK Disfungsi Respirasi 1) Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak terjadi disfungsi respirasi. 2) Kriteria Hasil : a) Tidak terjadi high spinal b) Pasien dapat bernapas dengan rileks c) RR normal : 16-20 x/menit d) SaO2 normal : 95-100% 3) Rencana Intervensi : a) Monitoring TTV b) Monitoring saturasi oksigen



c) Atur posisi pasien d) Berikan oksigen e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemasangan alat ventilasi mekanik



c.



RK Disfungsi Kardiovaskuler 1) Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak terjadi disfungsi kardiovaskuler. 2) Kriteria Hasil a) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60100 x/mnt R : 16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC) b) CM = CK c) Tidak terjadi edema/asites d) Tidak terjadi sianosis e) Tidak ada edema paru 3) RencanaIntervensi a) Observasi TTV b) Observasi kesadaran c) Monitoring cairanmasuk dan cairankeluar d) Monitoring efekobatanestesi e) Kolaborasi



dengan



dokter



anestesi



dalam



tindakan



perioperative maintenance cairan intravena dan vasopressor d.



RK Disfungsi Termoregulasi 1) Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak terjadi disfungsi termoregulasi. 2) Kriteria Hasil :



a) Akral hangat b) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5oC) c) CRT