Alih Fungsi Lahan Dan Dampaknya Bagi Produktivitas Pertanian [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ALIH FUNGSI LAHAN DAN DAMPAKNYA BAGI PRODUKTIVITAS PERTANIAN DI KOTA TEGAL (Studi Komparasi Alih Fungsi Lahan Pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Tegal Tahun 2004-2014 DAN 2011-2030) Denmas Setyaki



PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangannya terhadap PDB, penyedia lapangan kerja dan penyediaan pangan dalam negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara telah menjadi negara industri. Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi lahan pertanian. Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasa warsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat. Namun demikian, implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang terbatas; (iii) Kendala konsistensi perencanaan (Nasoetion, 2003). Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi disisi lain kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan lahan pertanian. Yang kedua, cakupan kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan/badan hukum yang akan menggunakan tanah dan akan merubah tanah pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan secara individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut. Padahal perubahan fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Kendala konsistensi perencanaan disebabkan karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilanjutkan dengan mekanisme pemberian ijin lokasi adalah instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya konversi lahan sawah beririgasi teknis. Dalam kenyataannya banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian. Dari data Direktorat Penata gunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional menunjukkan seandainya arahan RTRW yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6 %) yang dapat dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4 %) terancam teralih fungsikan ke penggunaan lain (Winoto, 2005). Data terakhir dari Direktorat Pengelolaan



Lahan, Departemen Pertanian (2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah terkonversi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Jawa. Kelemahan lain dalam peraturan perundangan yang ada yaitu : (i) Objek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku; (ii) Peraturanyang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; (iii) Jika terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena ijin konversi adalah keputusan kolektif berbagai instansi. (Simatupang dan Irawan, 2002). Selain itu dua faktor strategis lain adalah pertama, yang sifatnya fundamental adalah petani sebagai pemilik lahan dan pemain dalam kelembagaan lokal belum banyak dilibatkan secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian alih fungsi. Kedua, belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi, serta pengembangan kompetensi lembaga-lembaga formal dalam menangani alih fungsi lahan pertanian. Beberapa kelemahan dan keterbatasan tersebut di atas telah menyebabkan instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selama ini telah disusun tidak dapat menyentuh secara langsung simpul-simpul kritis yang terjadi di lapangan. Dalam beberapa hal alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lainnya bersifat dilematis. Pertambahan penduduk dan pertumbuhan kegiatan ekonomi yang pesat di beberapa wilayah memerlukan jumlah lahan non pertanian yang mencukupi. Namun demikian, pertambahan jumlah penduduk juga memerlukan supply bahan pangan yang lebih besar, yang berarti lahan pertanian juga lebih luas, sementara total luas lahan yang ada berjumlah tetap. Sebagai akibatnya telah terjadi persaingan yang ketat dalam pemanfaatan lahan yang berakibat pada meningkatnya nilai lahan (land rent) maka penggunaan lahan untuk pertanian akan selalu dikalahkan oleh peruntukan lain seperti industri dan perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Meskipun nilai intrinsik dari lahan pertanian, terutama sawah, jauh lebih tinggi dari nilai pasarnya (Pakpahan et. al. 2005, Sumaryanto dan Sudaryanto, 2005) namun nilai-nilai tersebut belum tercipta ‘pasarannya’ sehingga pemilik lahan/petani belum memperoleh nilai finansialnya. Di sisi internal sektor pertanian, berbagai karakteristik dari usah atani sendiri belum sepenuhnya mendukung ke arah pelaksanaan pelestarian lahan pertanian yang ada. Sempitnya rata-rata luas lahan yang diusahakan petani karena proses fragmentasi yang disebabkan sistem waris pecah-bagi makin memarjinalkan kegiatan usahatani. Sempitnya lahan berakibat pada tidak tercukupinya hasil kegiatan usaha pertanian untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi mencukupi mendorong penerapan teknologi baru untuk peningkatan produktivitas. Yang terjadi kemudian bukan modernisasi (penerapan teknologi yang up to date) tapi penjualan lahan pertanian untuk penggunaan lainnya (alih fungsi lahan pertanian). Hal lain yang memperparah adalah dengan adanya desentralisasi maka daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan pertumbuhan untuk pendapatan daerah yang lebih besar. Yang terjadi kemudian adalah daerah mengutamakan pengembangan sarana dan prasarana fisik yang juga berakibat pada penggunaan lahan sawah secara langsung atau peningkatan nilai lahan karena penawaran yang lebih baik. Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukan oleh besarnya tingkat



pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, seiring dengan semakin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk baik secara alami maupun migrasi, dan beragamnya tuntutan kebutuhan akan sarana dan prasarana. Disisi lain luas lahan dan potensi lahan adalah tetap (statis) yang dibatasi oleh wilayah kepemilikan baik secara administratif maupun fungsional, yang sebenarnya tidak semua bagian wilayah tersebut dapat dimanfaatkan secara ideal sebagai lahan terbangun. Intervensi penggunaan lahan kawasan pada kawasan lain yang dilakukan tanpa pertimbangan atau perencanaan yang baik akan mengganggu atau mengurangi keseimbangan kegiatan sektor-sektor pembangunan secara keseluruhan. Keterbatasan luas lahan yang ada di kota menyebabkan kota akan mengalami perkembangan ke daerah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota merupakan daerah yang mengalami dinamika dalam perkembangannya, terutama dinamika dalam penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman dan menampung fungsi-fungsi atau prasarana kegiatan yang ada. Pada dasarnya, perkembangan fisik kota mengandung dua macam konsekuensi, yaitu adanya intensifikasi penggunaan tanah dalam kota dan ekstensifikasi penggunaan lahan ke pinggiran kota (Sujarto, 1976). Laju perkembangan fisik kota yang terjadi saat ini, sangat dipengaruhi oleh laju perkembangan kota yang mengalami proses pergeseran penggunaan lahan dari pusat ke pinggiran. Hal tersebut timbul sebagai akibat dari keterbatasan lahan dan tingkat kompetisi penggunaan lahan di pusat kota. Sehingga mengakibatkan bergesernya penggunaan lahan permukiman ke daerah pinggiran. Keterbatasan lahan di kota Tegal dan pertambahan penduduk yang sangat pesat serta adanya konsep pengembangan kota mengakibatkan wilayah mengalami perluasan dan melebar serta mendesak daerah perdesaan di pinggiran kota untuk pemukiman maupun industri. Dengan segala permasalahan-permasalahan diatas terutama menyangkut konversi penggunaan lahan maka sangat perlu untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi dalam pengendalian konversi lahan pertanian (sawah), menganalisis efektivitas pengendalian yang telah dilakukan, mengkaji sistem pengendalian alih fungsi lahan yang bisa dilaksanakan secara efektif, dan merumuskan strategi pengendalian yang efektif. PEMBAHASAN A. Karakteristik Wilayah Kota Tegal MEMILIKI LUAS DARATAN ± 39,68 km TERDIRI DARI 4 KECAMATAN, 27 KELURAHAN LETAK ASTRONOMIS :1090 08’ – 1090 10’ BT, 060 50’ – 060 53’ LS BATAS - BATAS WILAYAH : SEBELAH UTARA : LAUT JAWA SEBELAH TIMUR : KABUPATEN TEGAL SEBELAH SELATAN : KABUPATEN TEGAL SEBELAH BARAT : KABUPATEN BREBES 1. Topografi Arah kemirigan topografi adalah dari selatan ke utara, dimana elevasi muka tanah di kaki tanggul dengan sungai tersebut berkisar antara 1 sampai 2 meter. Keadaan tanah yang datar ini menyebabkan Kota Tegal berdiri di atas daerah endapan yang berasal dari pegunungan di sebelah selatan kota. Adapun di luar Kota Tegal di bagian selatan kota terdapat daerah Ajibarang yang relatif tinggi dan Adiwerna yang diapit oleh ke dua sungai besar, yaitu Sungai Gangsa dan Ketiwon. Kedua kawasan ini merupakan permukiman perkotaan dengan kepadatan sedang (dengan penutupan lahan maksimum 35%).



2. Jenis Tanah Jenis-jenis tanah yang terdapat di wilayah Kota Tegal dan sekitarnya meliputi tanah alluvial, latosol dan litasol. Tanah alluvial, yaitu yang tanah beraneka sifatnya, berwarna kelabu, cokelat atau hitam, produktivitasnya rendah sampai tinggi dan bisa digunakan untuk tanah pertanian utama dan permukiman. 3. Hidrologi Wilayah Kota Tegal termasuk Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali – Comal yaitu sub SWS Gung, Kemiri, Sibelis dan Gangsa. Karena hulu dari keempat sungai tersebut berada di wilayah Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes, sehingga kebijaksanaan pembangunan menyangkut wilayah sungainya adalah mengikuti kebijaksanaan SWS untuk keempat wilayah, yaitu Kabupaten Brebes, Pemalang, Kota Tegal dan Kabupaten Tegal yang termasuk dalam wilayah kerja SWS Pemali-Comal. 4. Geologi Tata Lingkungan Dari hasil penelitian bahwa di Kota Tegal, struktur tanah pada umumnya terdiri atas tanah jenis aluvial hydromof yang berasal dari endapan tanah liat bercampur dengan pasir, dengan demikian sifat tanahnya agak sulit untuk diresapi air. Daerah sepanjang sungai Gangsa merupakan tambak, struktur tanahnya terdiri atas jenis agronosal dan humus. 5. Kemampuan Lahan Berdasarkan deskripsi rona wilayah kondisi fisik dasar Kota Tegal dapat diungkapkan sifatsifat dan penggunaan dari jenis tanahnya. Berdasarkan jenis tanah yang ada didapat bahwa daerah Kota Tegal sesuai sebagai kawasan budidaya yaitu untuk lahan pertanian maupun permukiman. B. Kondisi Lahan Pertanian Pada Rencana Tata Ruang Dan Wilayah (RTRW) Kota Tegal tahun 2011-2030 Berdasarkan rencana perwilayahan Provinsi Jawa Tengah, BREGASMALANG yang terdiri dari Kabupaten Brebes, Kota Tegal, Kabupaten Tegal (Slawi) dan Kabupaten Pemalang merupakan wilayah dengan fungsi pengembangan sebagai pusat pelayanan lokal, provinsi dan nasional. Begitu pula menurut RTR Kawasan BREGAS, Kota Tegal termasuk Kota Orde I, yaitu sebagai pusat kegiatan wilayah dengan fungsi perdagangan, jasa, industri, maritim dan perikanan. Selain itu, dalam pengembangan struktur ruang, Kota Tegal merupakan daerah pengembangan wilayah bagian utara. Hal tersebut dikarenakan Kota Tegal berada di jalur utama transportasi Pantura Jawa Tengah, memiliki akses perekonomian yang sangat kuat ke arah Jawa Barat – Jakarta dan ke arah Semarang (Ibukota Provinsi Jawa Tengah). Salah satu yang berdampak pada alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian adalah kebutuhan akan kawasan budi daya di Kota Tegal. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Kawasa budidaya tersebut meliputi : 1. Permukiman Program pengembangan perumahan dan permukiman diarahkan dua program pokok, yaitu penyediaan perumahan dan perbaikan lingkungan perumahan. Pengembangan kawasan permukiman dan perumahan dilakukan berdasarkan pola sistem unit lingkungan. Rencana



pengembangan kawasan permukiman berkepadatan tinggi diarahkan di sekitar pusat kota di wilayah kota lama, hal ini disesuaikan dengan kecenderungan perkembangannya. Untuk permukiman dengan kepadatan sedang dan rendah diarahkan pada daerah pengembangan. Arahan pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Tegal antar lain menekankan pembangunan perumahan bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, namun juga bertujuan untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan manusia di dalamnya. Hal ini mengandung maksud bahwa arah pembangunannya mencakup tidak hanya pengadaan rumah, tetapi juga melengkapinya dengan sarana dan prasarananya, seperti fasilitas pendidikan, peribadatan, tempat perbelanjaan, fasilitas kesehatan, perkantoran, tempat olahraga dan rekreasi, prasarana air bersih, telepon serta sistem pembuangan sampah dan limbah. Area pengembangan perumahan dikelompokan dalam tiga lingkungan dilihat dari tingkat kepadatannya, yaitu : •















Lingkungan perumahan kepadatan tinggi, dengan jumlah penduduk ±150 jiwa/Ha, atau kepadatan bangunan ±30 rumah/ Ha. Lingkungan ini menempati area-area pusat kota dan di pusat-pusat kegiatan ekonomi. Lingkungan perumahan kepadatan sedang, dengan jumlah penduduk ±100 jiwa/ Ha, atau kepadatan bangunan ±20 rumah/ Ha. Lingkungan ini menempati area-area peralihan antara lingkungan padat dengan lingkungan kepadatan rendah. Lingkungan perumahan kepadatan rendah, dengan jumlah penduduk