15 0 624 KB
Bagian Ilmu Obstetri dan Gynecologi RSUD Undata Palu Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako
REFLEKSI KASUS OBSTETRI DAN GYNECOLOGI “HIPERPLASIA ENDOMETRIUM”
Disusun Oleh : Diah Irfaini Zulhij N111 17 112
Pembimbing Klinik : dr. Heryani H.S Parewasi, Sp.OG., M.Kes
DI BUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2019
BAB I PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan yang berlebih dari kelenjar, dan stroma disertai pembentukan vaskularisasi dan infiltrasi limfosit pada endometrium. Pertumbuhan ini dapat mengenai sebagian atau seluruh lapisan endometrium. Angka kejadian hiperplasia endometrium ini sangat bervariasi. Umumnya hiperplasia endometrium dikaitkan dengan perdarahan uterus disfungsi yang seringkali terjadi pada masa perimenopause, walaupun dapat terjadi pada masa reproduktif, pascamenars ataupun pascamenopause.1 The American Cancer Society (ACS) memperkirakan ada 40.100 kasus baru dari kanker rahim yang didiagnosis pada tahun 2003, dimana 95 % berasal dari endometrium. Sistem klasifikasi dari hiperplasia endometrium sudah dibuat berdasarkan kompleksitas dari kalenjar endometrium dan sel-sel atipik pada pemeriksaan sitologi. Hiperplasia atipikal sangat terkait dengan progresifitas menjadi karsinoma endometrium. Progresifitas dari hiperplasia endometrium, menjadi kondisi patologis yang lebih agresif sangat terkait dengan diagnosis awal pada endometrium.1 Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna, merupakan kelainan jinak uterus yang ditandai oleh adanya komponen epitel dan
stroma
jaringan
endometrium
fungsional
di
miometrium.Istilah
adenomiosis diperkenalkan pertama kali oleh Frankl (1925) dua tahun sebelum istilah endometriosis diperkenalkan oleh Sampson3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.
Hiperplasia Endometrium 2.1
Defenisi
Gambar 1. Hiperplasia endometrium3 Hiperplasia endometrium didefiniskan sebagai proliferasi dari kelenjar endometrium dengan bentuk dan ukuran yang ireguler dengan peningkatan pada rasio kalenjar/stroma. Hiperplasia endometrium lebih jauh diklasifikasikan menjadi hiperplasia sederhana dan kompleks berdasarkan kompleksitas dan kerumunan dari struktur kalenjar.3,4
2.2
Anatomi dan Fisiologi Endometrium
Gambar 2. Anatomi endometrium6
Uterus adalah organ muscular yang berbentuk buah pir yang terletak di dalam pelvis dengan kandung kemih di anterior dan rectum di posterior. Uterus biasanya terbagi menjadi korpus dan serviks. Korpus dilapisi oleh endometrium dengan ketebalan bervariasi sesuai usia dan tahap siklus menstruasi. Endometrium tersusun oleh kelenjar-kelenjar endometrium dan sel-sel stroma mesenkim, yang keduanya sangat sensitive terhadap kerja hormone seks wanita. Hormon yang ada di tubuh wanita yaitu estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium, dimana estrogen merangsang pertumbuhan dan progesterone mempertahankannya.5 Pada ostium uteri internum, endometrium bersambungan dengan kanalis endoserviks, menjadi epitel skuamosa berlapis Endometrium adalah lapisan terdalam pada rahim dan tempat menempelnya ovum yang telah dibuahi. Di dalam lapisan Endometrium terdapat pembuluh darah yang berguna untuk menyalurkan zat makanan ke lapisan ini. Saat ovum yang telah dibuahi (yang biasa disebut fertilisasi) menempel di lapisan endometrium (implantasi), maka ovum akan terhubung dengan badan induk dengan plasenta yang berhubung dengan tali pusat pada bayi.5,6,7 Lapisan ini tumbuh dan menebal setiap bulannya dalam rangka mempersiapkan diri terhadap terjadinya kehamilan,agar hasil konsepsi bisa tertanam.
Pada
suatu
fase
dimana ovum
tidak
dibuahi
oleh sperma, maka korpus luteum akan berhenti memproduksi hormon progesteron dan berubah menjadi korpus albikan yang menghasilkan sedikit hormon diikuti meluruhnya lapisan endometrium yang telah menebal, karena hormon estrogen dan progesteron telah berhenti diproduksi. Pada fase ini, biasa disebut menstruasi atau peluruhan dinding rahim.5,6,7
1. Siklus endometrium normal Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, epitel mukosa pada endometrium mengalami siklus perubahan yang berkaitan dengan
aktivitas ovarium. Perubahan ini dapat dibagi menjadi 4 fase endometrium, yakni a. Fase Menstruasi (Deskuamasi) Fase ini berlangsung 3-4 hari. Pada
fase ini terjadi pelepasan endometrium dari dinding uterus yakni selsel epitel dan stroma yang mengalami disintergrasi dan otolisis dengan stratum basale yang masih utuh disertai darah dari vena dan arteri yang mengalami aglutinasi dan hemolisis serta sekret dari uterus, serviks dan kalenjar-kalenjar vulva.7,8 b. Fase Pasca Haid (Regenerasi) Fase ini berlangsung ± 4 hari (hari 1-4
siklus
haid).
endometrium
Terjadi yang
regenerasi
luruh.
epitel
Regenerasi
mengganti ini
sel
membuat
epitel lapisan
endometrium setebal ± 0,5 mm.7,8 c. Fase Intermenstrum (Proliferasi) Pada fase ini endometrium menebal
hingga ± 3,5 mm. berlangsung selama ± 10 hari (hari ke 5-14 siklus haid) 1. Fase proliferasi dini (early proliferation phase) Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 5-7). Pada fase ini terdapat regenerasi kelenjar dari mulut kelenjar dengan epitel permukaan yang tipis. Bentuk kelenjar khas fase proliferasi yakni lurus, pendek dan sempit dan mengalami mitosis.7,8 2. Fase proliferasi madya (midproliferation phase) Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 8-10). Fase ini merupakan bentuk transisi dan dapat dikenal dari epitel permukaan yang berbentuk torak dan tinggi. Kelenjar berlekuk-lekuk dan bervariasi. Sejumlah stroma mengalami edema. Tampak banyak mitosis dengan inti berbentuk telanjang (nake nucleus).7,8 3. Fase proliferasi akhir (late proliferation phase) Fase ini berlangsung selama ± 4 hari. Fase ini dapat dikenali dari permukaan kelenjar yang tidak rata dengan banyak mitosis. Inti
epitel kelenjar membentuk pseudostratifikasi. Stroma semakin tumbuh aktif dan padat.7,8 d. Fase Pra Haid (Sekresi) Fase ini berlangsung sejak hari setelah ovulasi
yakni hari ke 14 sampai hari ke 28. Pada fase ini ketebalan endometrium masih sama, namun yang berbeda adalah bentuk kelenjar yang berubah menjadi berlekuk-lekuk,
panjang dan
mengeluarkan getah yang semakin nyata. Dalam endometrium telah tersimpan glikogen dan kapur yang kelak diperlukan sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang, tujuan perubahan ini adalah untuk mempersiapkan endometrium untuk menerima telur yang dibuahi. Fase ini terbagi menjadi dua, yakni 1. Fase sekresi dini Dalam fase ini endometrium lebih tipis dari sebelumnya karena kehilangan cairan. Pada saat ini, endometrium dapat dibedakan menjadi beberapa lapisan yakni a. Stratum basale yakni lapisan endometrium bagian dalam yang berbatasan dengan miometrium. Lapisan ini tidak aktif, kecuali mitosis pada kelenjar b. Stratum spongiosum yaitu lapisan tengah berbentuk anyaman seperti spons. Ini disebabkan oleh banyaknya kelenjar yang melebar, berkelokkelok dan hanya sedikit stroma di antaranya c. Stratum kompaktum yaitu lapisan atas yang padat. Saluran-saluran kelenjar sempit, lumennya berisi sekret dan stromanya edema e. Fase sekresi lanjut Endometrium pada fase ini tebalnya 5-6 mm. dalam
fase ini terdapat peningkatan dari fase sekresi dini, dengan endometrium sangat banyak mengandung pembuluh darah yang berkelok-kelok dan kaya akan glikogen. Fase ini sangat ideal untuk nutrisi dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel-sel stroma bertambah.
Sel stroma ini akan berubah menjadi sel desidua jika terjadi pembuahan.7,8
2.3
Etiologi Hiperplasia endometrium adalah hasil dari stimulasi estrogen secara kontinyu tanpa dihambat oleh progesteron. Sumber estrogen dapat berasal dari endogen maupun eksogen. Estrogen endogen dapat menyebabkan anovulasi kronik yang berhubungan dengan polycystic ovary syndrome (PCOS) atau perimenopause. Obesitas juga tidak menghambat paparan estrogen berkaitan dengan kadar estradiol yang tinggi secara kronis, hasil dari
aromatisasi
androgen
dalam
jaringan
lemak
dan
konversi
androstenedione ke estrone. Hiperplasia endometrium dan kanker endometrium juga dapat berasal dari tumor ovarium yang mensekresikan estradiol seperti tumor sel granulosa7. Eksogen estrogen tanpa progesteron juga berhubungan dengan peningkatan resiko hiperplasia endometrium dan adenocarcinoma. Tamoxifen, dengan efek estrogeniknya pada endometrium, meningkatan resiko hiperplasia endometrium dan kanker endometrium. Resiko progresi ke arah kanker berhubungan dengan peningkatan durasi pemakaian8. Mekanisme pasti bagaimana peran estrogen dalam transformasi dari endometrium normal ke hiperplasia dan kanker tidak diketahui. Perubahan genetik diketahui berhubungan dengan hiperplasia dan tipe I kanker endometrium. Lesi dengan hiperplasia berhubungan dengan instabilitas mikrosatelit dan defek pada gen DNA perbaikan. Mutasi PTEN tumor suppressor gene juga ditemukan pada 55% kasus hiperplasia dan 83% kasus hiperplasia yang berprogresi ke arah kanker endometrium8.
2.4
Patogenesis Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari onkogen bcl-2 sepanjang fase proliferasi.Bcl-2 merupakan onkogen yang terletak pada kromosom 18 yang pertama kali dikenali pada limfoma folikuler,tetapi telah dilaporkan juga terdapat pada neoplasma lainnya. Apoptosis seluler secara parsial dihambat oleh ekspresi gen bcl-2 yang menyebabkan sel bertahan lebih lama. Ekspresi dari gen bcl-2 tampaknya sebagian diregulasi oleh faktor hormonal dan ekspresinya menurun dengan signifikan pada fase sekresi siklus menstruasi. Kemunduran ekspresi dari gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran selapoptosis pada endometrium yang dilihat dengan mikroskop elektron selamafase sekresi siklus menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi normal endometrium sedang dalam penelitian tentang bagaimana perannya dalam terjadinya hiperplasia endometrium. Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada hiperplasia endometrium tetapi terbatas hanya pada tipe simpleks. Secara mengejutkan, ekspresi gen ini justru menurun pada hiperplasia atipikal dan karsinoma endometrium. Peran dari gen Fas/FasL juga telah diteliti akhit-akhir ini tentang kaitannya denga pembentukan hiperplasia endometrium. Fas merupakan anggota dari keluarga tumor necrosis factor (TNF)/ Nerve
Growth Factor (NGF) yang berikatan dengan FasL (Fas Ligand ) dan menginisisasi apoptosis. Ekpresi genFas dan FasL meningkat pada sampel endometrium setelah terapi progesteron. Interaksi antara ekspresi Fas dan bcl-2dapat dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2 menurun saat terdapat progesteron intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas justru meningkat. Studi diatas telah memberikan tambahan wawasan tentang perubahan molekuler yang kemudian berkembang secara klinis menjadi hiperplasia endometrium. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi peranbcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis molekular terbentuknya hiperplasia endometrium dan karsinoma endometrium.9,10
Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperestrinisme atau adanya stimulasi unoppesd estrogen (estrogen tanpa pendamping progesteron / estrogen tanpa hambatan). Kadar estrogen yang tinggi ini menghambat produksi Gonadotrpin
(feedback mechanism). Akibatnya
rangsangan terhadap pertumbuhan folikel berkurang, kemudian terjadi regresi dan diikuti perdarahan.9,10 Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar sehingga terjadi penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum sehingga estrogen tidak diimbangi oleh progesteron. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya stimulasi hormon estrogen terhadap kelenjar maupun stroma endometrium tanpa ada hambatan dari progesteron yang menyebabkan proliferasi
berlebih dan terjadinya hiperplasia pada
endometrium. Juga terjadi pada wanita usia menopause dimana sering kali mendapatkan terapi hormon penganti yaitu progesteron dan estrogen, maupun estrogen saja. Estrogen tanpa pendamping progesterone (unopposed estrogen)
akan menyebabkan penebalan endometrium.
Peningkatan estrogen juga dipicu oleh adanya kista ovarium serta pada wanita dengan berat badan berlebih.8,9
2.5
Faktor Resiko Faktor resiko Hiperplasia endometrium sama seperti pada kasus kanker endometrium, yang paling penting diantaranya adalah peningkatan Body Mass Index (BMI) dan nulipara. Faktor resiko yang lain yaitu anovulasi yang bersifat kronik, late onset of menopouse¸ dan diabetes. Secara teoritis kebanyakan dari kondisi tersebut dihubungkan dengan peningkatan sirkulasi estrogen yang relatif dari progesteron. Dukungan yang lebih kuat dihubungakan dengan unopposed terapi estrogen dalam perkembangan hiperplasia endometrium dan karsinoma endometrium.
Beberapa faktor resiko dari Hiperplasia endomtrium adalah sebagai berikut2,10 : 1. Obesitas 2. Chonik anovulatin dan PCOS 3. Nulipara dan infertil 4. Terapi estrogen 5. Selektif Estrogen-Receptor Modulator (SERMs) 6. Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer (HNPCC) 7. Diabetes
2.6
Klasifikasi Hiperplasia Endometrium Adapun klasifikasi dari hiperplasia endometrium adaah sebagai beriukut 1. Simple hyperplasia - Peningkatan jumlah glandula tetapi struktur glandula masih reguler 2. Complex hyperplasia - Glandula ireguler dan banyak 3. Simple hyperplasia dengan atypia - Simple hyperplasia dengan adanya cytologic atypia (nukleoli menonjol dan nuklear pleomorfik) 4. Complex hyperplasia with atypia - Complex hyperplasia dengan cytologic atypia Baru-baru ini, istilah endometrium intraepithelial neoplasia (EIN) telah diperkenalkan untuk membedakan lebih akurat dua kategori hiperplasia klinis yang sangat berbeda: 1. Endometrium poliklonal yang normal secara difus berespon terhadap lingkungan hormonal yang abnormal, dan 2. Lesi monoklonal intrinsik proliferatif yang muncul secara fokal dan memberi peningkatan risiko adenocarcinoma. Nomenklatur ini menekankan potensi ganas prekanker endometrium, sesuai dengan preseden serupa di leher rahim, vagina, dan vulva.
Dengan sistem ini, anovulasi nonatypical atau endometrium yang terpajan estrogen berkepanjangan umumnya ditetapkan sebagai hiperplasia
endometrium.
Sebaliknya,
endometrium
neoplasia
intraepithelial digunakan untuk endometrium yang premalignant dengan kombinasi tiga fitur morfometrik, yaitu volume yang glandular, kompleksitas arsitektur, dan kelainan sitologi. Ssistem klasifikasi EIN adalah cara yang lebih akurat dan dapat memprediksi perkembangan kanker, tetapi belum dilaksanakan secara universal.13 Berdasarkan Revisi terbaru Tahun 2014 klasifikasi WHO. Hiperplasia
endometrium
dibedakan
menjadi
dua
kelompok
didasarkan pada ada atau tidak adanya sitologi atypia , yaitu hiperplasia tanpa atypia dan hiperplasia atipikal ; kompleksitas arsitektur tidak lagi merupakan bagian dari klasifikasi . Diagnosis dari EIN dalam klasifikasi WHO baru dianggap digantikan dengan hiperplasia
atipikal
.Tujuan
pembaruan
klasifikasi
hiperplasia
endometrium berdasarkan WHO 2014 menjadi dasar rekomendasi meskipun WHO Nomenklatur mengkategorikan morfologi hiperplasia yang sederhana atau kompleks.13 Hiperplasia endometrium terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi padapemeriksaan patologi anatomi, yakni : 1. Hiperplasia non-atipikal sederhana Disebut sebagai hiperplasia kistik atau ringan. Terdapat proliferasi jinak dari kalenjarendometrium yang berbentuk ireguler dan juga berdilatasi disertai , tetapi tidak menggambarkan adanya tumpukan sel yang saling tumpang tindih atausel yang atipik 2. Hiperplasia endometrium)
atipikal
Kompleks
Terdapat
(neoplasia
proliferasi
dari
intraepitelial kalenjar
endometriumdengan tepiyang ireguler, arsitektur yang kompleks dan sel yangtumpang tindih tetapi tidak terdapat sel yang atipik.
Terjadi peningkatan jumlah dan ukuran endometrium sehingga kelenjar menjadi berdesak-desakan, membesar dan berbentuk irreguler.
Bentuk
irreguler
ini
adalah
manifestasi
utama
meninkatnya stratifikasi sel dan pembesaran nukleus serta mungkin meperlihatkan kompleksitas epitel permukaan yang permukaannya menjadi berlekuk-lekuk atau bertumpuk-tumpuk. Gambaran mitotik sering ditemukan, pada bentuk yang paling parah, atipia sitologik dan arsitekturnya dapat sangat mirip dengan adenokarsinoma, dan untuk membedakan hiperplasia atipikal dengan kanker secara pasti harus dilakukan histerektomi. 3. Atipikal : Terdapat derajat yang berbeda dari nukleus yang atipik dankehilangan polaritasnya.
2.7
Manifestasi Klinis Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering muncul pada hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari penggunaan eksogen atau siklus anovulatori menghasilkan hiperplasia endometrium dengan perdarahan yang banyak. Pasien yang lebih muda pada usia produktif biasanya muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS). PCOS menghasilkan stimulasi estrogen yaang tidak terlawan secara sekunder ke siklus anovulatori. Pada pasien yang lebih muda dapat juga terdapat peningkatan estrogen secara sekunder dari konversi perifer dari androstenedione pada jaringan adiposa (pasien yang obesitas)atau tumor ovarium yang mensekresikan estrogen (pada granulosa cell tumors dan ovarian thecomas). Konversi perifer dari androgen menjadi estrogen pada tumor yang mensekresikan androgen pada cortex adrenalis merupakan etiologi yang jarang dari hiperplasia endometrium. Pada pasien menopause dengan hiperplasia endometrium hampir selalu datang dengan perdarahan
pervaginam. Meskipun karsinoma harus dipertimbangkan pada usia ini, atropi endometrium merupakan penyebab yang sering dari perdarahan pada wanita menopause. Dalam penelitian dengan 226 wanita dengan perdarahan post menopause, 7 % ditemukan dengan karsinoma,56 % dengan atrofi dan 15 % dengan beberapa bentuk hiperplasia. Hiperplasiadan karsinoma secara khusus memiliki gejala perdarahan pervaginam yang berat sedangkan pasien dengan atrofi biasanya hanya muncul bercak-bercak perdarahan. Pap Smear yang spesifik menemukan peningkatan kemungkinan deteksi kelainan pada endometrium. Resiko dari karsinoma endometrium pada wanitapost menopause dengan perdarahan uterus abnormal meningkat 3-4 lipat saat Pap Smear menunjukkan histiosit yang mengandung sel inflamasi akut yang difagosit atau sel endometrium yang normal. Biarpun begitu, penemuan yangtidak sengaja dari histiosit pada wanita post menopause tanpa gejala tidak memiliki kaitan dengan peningkatan resiko hiperplasia endometrium ataupun karsinoma endometrium.9,10 Usia memiliki efek yang signifikan untuk menindak lanjuti kelainan pada AGC pap smear. Pada studi retrospektif pada 281 wanita dengan AGC pap smear, 90 wanita (32%) memiliki kelainan signifikan yang membutuhkan intervensi. Pada pasien dengan usia < 50 tahun, hanya 7 pasien (5%) memiliki lesi non skuamosa sedangkan 19 pasien (15%) yang berusia > 50 tahun memiliki lesi non skuamosa. Pasien diatas 50 tahun dengan AGC pap smear memiliki kemungkinan 13 kali lipat menderita kanker rahim dibandingkan wanita yang berusia kurang dari 50 tahun.
2.8
Diagnosis Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh wanita dengan hiperplasia endometrium. Wanita dengan perdarahan
post
menopause,
15%
persen
ditemukan
hiperplasia
endometrium dan 10% ditemukan karsinoma endometrium. Penemuan penebalan dinding uterus secara tidak sengaja dengan USG harus diperiksa lebih lanjut untuk mendiagnosis hiperplasia endometrium. Pada sebuah penelitian dengan 460wanita usia ≤ 40 tahun dengan perdarahan uterus abnormal, didapatkan hanya 6 wanita (1,3%) yang mengalami hiperplasia endometrium. Tidak ada kasus hipeplasia atipikal yang ditemukan pada kelompok wanita ini. Walaupun begitu, wanita dibawah usia 40 tahun yang memiliki faktor predisposisi seperti obesitas dan PCOS harus dievaluasi secara menyeluruh, biasanya dengan USG dan terkadang dengan biopsi endometrium. Pada penelitian 36 wanita denganPCOS, ketebalan endometrium kurang dari 7 mm dan interval antar menstruasi kurang dari 3 bulan hanya terkait dengan proliferasi endometrium dan tidak ditemukan adanya hiperplasia endometrium. Banyak modalitas diagnostik yang telah diteliti untuk mendiagnosis secara optimal penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal dan untuk mengidentifikasi apakah pada pasien tersebut memiliki resiko untuk terjadinya hiperplasia atau karsinoma.3,4,5 Pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan untuk
menegakkan
diagnosa hyperplasia endometrium dengan cara USG, Dilatasi dan Kuretase, lakukan pemeriksaan
Hysteroscopy
dan dilakukan juga
pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. Secara mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns.10
1. Ultrasonografi USG menggunakan gelombang suara untuk mendapatkangambaran dari lapisan rahim. Hal ini membantu untuk menentukanketebalan rahim. USG transvaginal merupakan prosedur diagnosis yangnon invasif
dan
relatif
murah
untuk
mendeteksi
kelainan
padaendometrium. Walaupun begitu, pada wanita postmenopause,
efikasi alatini sebagai pendeteksi hiperplasia endometrium ataupun karsinoma tidak diketahui. Pada percobaan PEPI (Postmenopausal Estrogen/ProgestinIntervensions),
dengan
batas
ketebalan
endometrium 5 mm didaptkanpositive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV),sensitifitas, dan spesifisitas untuk hiperplasia endometrium atau karsinomaadalah 9%, 99%, 90%, 48%.USG dapat digunakan sebagai panduan untuk menentukan jikawanita
mengalami
perdarahan
post
menopause
(PMB)
membutuhkan tesdiagnostik yang lebih spesifik lagi (seperti pipelle EMB atau kuret) untuk menentukan adanya hiperplasia atau karsinoma endometrium. Pada 339wanita dengan PMB, tidak ada wanita dengan ketebalan endometrium ≤ 4 mm yang berkembang menjadi karsinoma endometrium selama 10 tahun. Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada pemeriksaan ultrasonografi transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat keadaan dinding cavum uteri secara lebih baik maka dapat dilakukan pemeriksaan hysterosonografi dengan memasukkan cairan kedalam uterus.9,10
2. Pipelle endometrial biopsy Pengambilan sampel endometrium dengan pipelle merupakan cara yangektif dan relatif tidak mahal untuk mengambil jaringan untuk diagnosishistologi pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal. Pada penelitianprospektif, acak untuk membandingkan antara pipelle (n = 149) dan kuret(n = 126) pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal, sampel jaringan yang kurang hanya 12,8% dan 9,5%. Perbedaan ini tidak 30 signifikan (P5mm) atau wanita dengan perdarahan persisten yangtidak bisa dijelaskan membutuhkan biopsi endometrium. Diagnosishiperplasia atau karsinoma endometrium pada pemeriksaan biopsienometrium harus dievaluasi dengan DC untuk memperoleh spesimen yang lebih luas Pada sebagian besar kasus , terapi hiperplasia endometrium atipik dilakukan dengan memberikan hormon progesteron. Dengan pemberianprogesteron,
endometrium
dapat
luruh
dan
mencegahpertumbuhan kembali.Kadang kadang disertai dengan perdarahan per vaginam. Besarnya dosis danlamanya pemberian progesteron ditentukan secara individual. Setelah terapi ,dilakukan biopsi
ulang
untuk
melihat
efek
terapi.
Umumnya
jenis
progesteronyang diberikan adalah Medroxyprogetseron acetate (MPA) 10 mg per hariselama 10 hari setiap bulannya dan diberikana selama 3 bulan berturut turut.Pada pasien hiperplasia komplek harus dilakukan evaluasi dengan D & Cfraksional dan terapi diberikan dengan progestin setiap hari selama 6bulan.Pada pasien hiperplasia komplek dan atipik sebaiknya dilakukan histerektomi kecuali
bila pasien masih menghendaki anak.Pada pasien dengantumor penghasil estrogen harus dilakukan ekstirpasi.
2.9
Diagnosis banding Hiperplasia mempunyai gejala perdarahan abnormal oleh sebab itu dapat dipikirkan kemungkinan: 1. Karsinoma endometrium 2. Abortus inkomplit 3. Leiomioma 4. Polip endometrium
2.10 Penatalaksanaan Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut: 1. Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan 2. Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa terjadi, di antaranya mual, muntah, pusing, dan sebagainya. Rata-rata dengan pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial tanpa atipik, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipik. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40 mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk pasien dengan
hiperplasia atipikal atau kompleks Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan 3. Jika pengobatan hormonal yang dijalani tak juga menghasilkan perbaikan, biasanya akan diganti dengan obat-obatan lain. Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid kembali normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan diri untuk kembali menjalani kehamilan. Namun alangkah baiknya jika terlebih dahulu memeriksakan diri pada dokter. Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi endometrium, apakah salurannya baik, apakah memiliki sel telur dan sebagainya. Histerektomi Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi perdarahan uterus abnormal. Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan Rahim dan ini terkait dengan angka kepuasan pasien dengan terapi ini. untuk wanita yang cukup memiliki anak dan sudah mencoba terapi konservatif dengan hasil yang tidak memuaskan, histerektomi merupakan pilihan yang terbaik. Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang sering terjadi, maka dari itu akan lebih baik jika bisa dilakukan pencegahan yang efektif.
ALGORITMA PENATALAKSANAAN HIPERPLASIA ENDOMETRIUM
Endometrial Hyperplasia tanpa atipia (EH) Observasi Faktor resiko LNG-IU (First line), Oral progesteron (Second Line)
Atipia hyperplasia (AH)
Diperlukan kesuburan atau kontraindikasi pembedahan Diperlukan Biopsi endometrial (EB) pada : EH 6 bulan dan AH 3 bulan
Regresi
Review terapiLNG-IUSContinue selama 5 tahun Oral progesteron-stop setelah 6 bulan Total histerektomi ± BSO jika terus menerus AUB
Menyusun Follow up (medical management) EH : BMI >35 : ≥ Berurutan negativ EBs selama interval 6 bulan dengan discharge BMI ≥35 atau diterapi dengan oral progesteron : ≥ 2 negativ secara berurutan EBs selama interval 6 bulan sesudah tahunan review EB AH : ≥ 2 negatif EBs berurutan dengan interval selama 3 bulan, sesudah 6-12 bulan review EB RELAPS
Sarankan untuk Histerektomi total ± BSO
Persisten
Review terapi EH : mulai terapi medik jika observasi gagal Beritahu untuk Histerektomi total ± BSO jika menetap setelah 12 bulan terapi medikal AH : Beritahu untuk Histerektomi total ± BSO
Histerektomi total ± BSO
Progresif
Review terapi AH : Histerektomi total ± BSO EH : atur menurut lokal cancer guidline
Menyusun Follow up Bukan EC : review selama 6 bulan dan discharge EC : Tatalksana menurut Lokal guidline cancer
Keterangan AH : atipical hiperplasia AUB : Abnormal Uterine Bleeding BMI : Body Mass Index BSO : Bilateral Salpingooophorectomy EB : Endometrial biopsy EC : Endometrial cancer
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi. Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien dengan hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga mengalami karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5% diantaranya yang juga memiliki karsinoma endometrial.
2.11 Pencegahan Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti : 1. Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding rahim. 2. Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar menstruasi apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak ataupun tak kunjung haid dalam jangka waktu lama. 3. Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium. 4. Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.
5. Mengubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.
BAB III LAPORAN KASUS
Tanggal Pemeriksaan
: 29 Mei 2019
Ruangan
: Matahari RSUD Undata
I. IDENTITAS Nama
: Ny. H
Umur
: 34 tahun
Alamat
: Jl. Juanda
Pekerjaan
: IRT
Agama
: Islam
Pendidikan : SMA
II. ANAMNESIS A. Keluhan Utama : Haid tidak berhenti
B. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien masuk dengan keluhan haid tidak berhenti yang dirasakan sejak 32 hari sebelum masuk rumah sakit, sempat berhenti ketika minum obat dari dokter puskesmas (Asam Traneksamat) namun kembali berdarah, darah yang keluar berwarna merah kehitaman terdapat gumpalan. Perdarahan yang terjadi sebanyak 2-3 kali mengganti pembalut perhari. Keluhan disertai dengan keram perut bagian bawah, lemas dan pusing. Pasien mengaku siklus haid tidak teratur beberapa bulan sebelumnya. Mual muntah disangkal, sakit kepala disangkal, riwayat terbentur disangkal, demam (-), BAK dan BAB biasa.
C. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien mengaku tidak pernah memiliki keluhan yang serupa sebelumnya. Riwayat asma (-), diabetes mellitus (-), hipertensi (-).
D. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan serupa, riwayat asma, diabetes mellitus, penyakit jantung, hipertensi, hepatitis disangkal.
E. Riwayat Menstruasi : Menarche
: 10 tahun
Siklus
: tidak teratur
Lama Haid
: 7 hari
Banyak
: 2-3 kali ganti pembalut
F. Riwayat Perkawinan : Menikah 1 kali, usia pernikahan ±13 tahun
G. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran : No.
Hamil ke
Tahun
J
Umur
Jenis
Persalinan K Kehamilan Persalinan
Penolong
Hidup / Mati
1.
1
2007
L
Aterm
Normal
Bidan
Hidup
2.
2
2015
L
Aterm
Normal
Bidan
Hidup
3.
3
2016
L
Aterm
SC
Dokter
Hidup
H. Riwayat Kontrasepsi (Keluarga Berencana) KB dengan Tubektomi sejak tahun 2016.
I. Riwayat Operasi Riwayat SC 1x
III. PEMERIKSAAN FISIK KU
: Sedang
Kesadaran
: Composmentis
BB
: 80 Kg
TB
: 160 cm
IMT
: 31.2 (Obesitas)
Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi
: 82x/menit
Respirasi
: 20x/menit
Suhu
: 36,6OC
Kepala – Leher : Konjungtiva anemis, sclera tidak ikterus, tidak terjadi pembesaran KGB dan kelenjar tiroid.
Thorax : I : Pergerakan thoraks simetris P : Vocal premitus simetris P : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada area jantung, batas jantung dalam batas normal. A: Bunyi pernapasan vesicular, Bunyi jantung I/II murni Regular. Abdomen : I : Tampak cembung kesan lemas A: Peristaltik usus (Kesan normal) P : Timpani pada empat kuadran bawah P : Nyeri tekan abdomen negatif, massa teraba negative
Ekstremitas : Akral hangat kedua ekstremitas, edema negatif
Pemeriksaan Ginekologi : Pemeriksaan Luar : Inspeksi
: Perut tampak cembung, tidak tambak sikatrik, tidak tampak tanda radang, tidak tampak striae gravidarum, perdarahan flekflek positif.
Palpasi
: TFU tidak teraba
Inspekulo
: Vulva uretra dan vagina tidak ada kelainan, permukaan portio licin, ostium uteri externa tertutup.
Pemeriksaan Dalam : Flour albus
: tidak ada
Vulva
: tidak ada kelainan, dinding vagina licin
Portio
: teraba lunak, ostium uteri externa tertutup, nyeri tekan negatif
Corpus Uteri : Tidak teraba massa Cavum douglas: tidak menonjol Adneksa Parametrium : Kanan : tidak teraba massa Kiri
: tidak teraba massa
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah Lengkap WBC
: 9 x 103/mm3
HGB
: 9,5 gr/dL
HCT
: 27,3%
PLT
: 400 x 103/mm3
RBC
: 3,6 x 106/mm3
HbSAg
: Non Reaktif
Anti HIV : Non Reaktif Urine Hcg Test : Negatif Pemeriksaan Ultrasonografi
Hasil USG : Kesan : Hiperplasia Endometrium
V. RESUME Pasien masuk dengan keluhan haid tidak berhenti yang dirasakan sejak 32 hari yang lalu, sempat berhenti ketika minum obat dari dokter puskesmas (asam traneksamat) namun kembali berdarah, darah yang keluar berwarna merah kehitaman terdapat gumpalan. Perdarahan yang terjadi sebanyak 2-3 kali ganti pembalut dalam sehari. Keluhan disertai dengan keram perut bagian bawah, lemas dan pusing. Pasien mengaku siklus haid tidak teratur beberapa bulan ini. Riwayat menstruasi pasien menarche usia 10 tahun, siklus haid tidak teratur dengan lama haid 4-8 hari. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran composmentis. Dari tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 110/70
mmHg, Nadi 82x/menit, respirasi 20x/menit dan suhu tubuh 36,6OC, IMT 31,2. Pemeriksaan ginekologi didapatkan masih dalam batas normal dan tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan WBC : 9 x 103/mm3, HB : 9,5 gr/dL, HCT : 27,3 %, PLT : 400 x 103/mm3, RBC : 3,6 x 106/mm3, HbsAg : non reaktif, Anti HIV : non reaktif, Pemeriksaan urine Hcg Test : negatif dan pemeriksaan ultrasonografi kesan hiperplasia endometrium.
VI. DIAGNOSIS Hiperplasia Endometrium
VII. PENATALAKSANAAN Pasang IVFD RL 20 tpm Inj asam traneksamat 500 mg/5 ml/8 jam/IV Injeksi ranitidin 1 amp/8 jam/IV Injeksi Ketorolac 1 amp/8 jam/IV Tablet Norethisteron 5 mg 2x1
Follow Up Hari 1 (21 Mei 2019) S
: Perdaraham per vaginam (+), nyeri perut bagian bawah (+), mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri kepala (-), BAK dan BAB biasa.
O
: Keadaan Umum : Sakit sedang Konjungtiva : Anemis TD : 120/70 mmHg N
: 78x/menit
R
: 20x/menit
S
: 36,70C
A
: Hiperplasia Endometrium
P
: IVFD RL 20 tpm
Injeksi Asam Traneksamat 500 mg/5 ml/8 jam/IV Injeksi Ranitidin 1 amp/8 jam/IV Injeksi Ketorolac 1 amp/8 jam/IV Tablet Norethisteron 5 mg 2x1
Follow Up Hari 2 (22 Mei 2019) S
: Perdarahan Per Vaginam (+), nyeri perut bagian bawah (+), pusing, BAB dan BAK biasa.
O
: Keadaan Umum : Sakit sedang Konjungtiva : Anemis TD : 110/70 mmHg N
: 79x/menit
R
: 20x/menit
S
: 36.7oC
A
: Hiperplasia Endometrium
P
: IVFD RL 20 Tpm Injeksi Asam Traneksamat 500 mg/5 ml/8 jam/IV Tablet Norethisteron 5 mg 2x1 Rencana Kuretase
Follow Up Hari 3 (23 Mei 2019) S
: Perdarahan per vaginam minimal, nyeri perut (+), BAB dan BAK biasa.
O
: Keadaan Umum : Sedang Konjungtiva : tidak anemis TD : 110/80 mmHg
A
N
: 86x/menit
R
: 18x/menit
S
: 36,6oC
: Hiperplasia endometrium
P
: Kuretase IVFD RL 20 Tpm Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 j/IV Injeksi Ranitidin 1 amp/8 jam/IV Injeksi Ketorolac 1 amp/8 jam/IV
Laporan Operasi : 1. Pasien diposisikan secara litotomi dibawah pengaruh anastesi 2. Desinfeksi daerah kerja menggunakan kasa steril dan betadine 3. Memasang duk steril untuk batasi area kerja 4. Memasang speculum anterior dan posterior pada mulut rahim 5. Menjepit serviks dengan tenaculum pada arah jam 11 6. Melepaskan speculum anterior dengan sonde 7. Mengukur panjang uterus dengan sonde 8. Melakukan kuretase dan didapatkan jaringan endometrium ± 10 ml 9. Melepas tenaculum dan speculum posterior 10. Membersihkan area kerja dengan kasa steril dan betadine 11. Memasang tampan vagina 1 buah 12. Membersihkan area luar vagina 13. Operasi selesai.
Follow Up Hari 4 (24 Mei 2019) S
: Nyeri perut berkurang, tidak ada perdarahan per vaginam, BAB dan BAK biasa.
O
: Keadaan Umum : Sedang Kesadaran : Composmentis TD : 110/80 mmHg N : 79x/menit R : 20x/menit S : 36.6oC
A
: Post Kuretase H1 a/i Hiperplasia Endometrium
P
: AFF infus, pasien di bolehkan pulang Terapi oral : Asam Mefenamat 500 mg 3x1 Metylergometrine 0,125 mg 3x1 Cefadroxil 500 mg 2x1 Kontrol Poli KIA
BAB IV PEMBAHASAN
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, pemeriksa dapat meninjau hal-hal yang menjadi faktor resiko terjadinya hiperplasia endometrium yang diperoleh pada riwayat penyakit sekarang atau riwayat penyakit terdahulu. Keluhan haid tidak berhenti yang dirasakan sejak 32 hari yang lalu, sempat berhenti ketika minum obat dari dokter puskesmas (Asam traneksamat) namun kembali berdarah, darah yang keluar berwarna merah kehitaman terdapat gumpalan. Perdarahan yang terjadi sebanyak 2-3 pembalut perhari. Keluhan disertai dengan keram perut bagian bawah, lemas dan pusing. Pasien mengaku siklus haid tidak teratur dengan lama haid 4-8 hari. Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering muncul pada hiperplasia endometrium. Pasien yang lebih muda pada usia produktif biasanya muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat Policystic Ovarium Syndrome (POCS). Hiperplasia Endometrium seringkali terjadi pada sejumlah wanita yang memiliki resiko tinggi sekitar usia menopause, didahului dengan terlambat haid atau amenorea, Obesitas (konversi perifer androgen menjadi estrogen dalam jaringan lemak), penderita diabetes mellitus. Sehingga dari kasus ini memungkinkan faktor resiko yang lebih mendekati adalah obesitas. Pada pemeriksaan fisik secara generalisata dan ginekologi pada pasien didapatkan masih dalam batas normal. Dari anamnesis gejala ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang mengarah pada suatu hiperplasia endometrium diperkuat dengan hasil USG pada pasien ini ditemukan endometrial line intak dan menebal ukuran 2,9 cm. Dan pada pasien ini telah dilakukan kuretase. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis hiperplasia endometrium dengan cara USG, kuretase, melakukan pemeriksaan Hysteroscopy dan dilakukan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA.
Penanganan secara medikamentosa pada pasien ini berupa pemberian injeksi Asam Traneksamat 500 mg per 8 jam secara intravena yang merupakan obat anti fibrinolitik dimana obat ini berfungsi untuk mencegah dan mengurangi perdarahan. Pasien juga mendapat injeksi antibiotik ceftriaxone 1 gr per 12 jam secara intravena. Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan sefalosporin yang efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Pemberian antibiotika pada pasien ini bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi secara ascending menuju uterus karena adanya erosi pada jaringan uterus. Pasien juga mendapatkan injeksi ketorolac 30 mg per 8 jam secara intravena. Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi penggunaan ketorolac adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal selama 5 hari. Ketorolac selain digunakan sebagai anti inflamasi juga memiliki efek anelgesik dimana pada pasien dibutuhkan untuk meredakan nyeri perut bawah. Namun penggunaan ketorolac dapat menimbulkan efek samping berupa ulcer, perdarahan pada gaster karena meningkatkan produksi asam lambung. Oleh karena itu, pasien diberikan injeksi ranitidine 50 mg per 8 jam secara intravena yang memiliki efek menurunkan produksi asam lambung. Pasien juga diberikan obat oral berupa norelut 5 mg 2x1, dimana norelut merupakan obat dengan kandungan Norethisterone yang merupakan jenis progesterone sintesis yang berfungsi untuk mengatasi perdarahan abnormal akibat ketidakseimbangan hormone dan juga dapat digunakan untuk mengatur siklus haid. Prognosis pada hiperplasia atipikal umumnya akan mengalami regresi dengan terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipia. Pada kasus ini prognosis pasien adalah malam karena tingkat kekambuhannya lebih tinggi dan memiliki resiko perkembangan menuju ke kanker endometrium hingga 50% jika tidak menjalani histerektomi total.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amran R. Pemeriksaan Histopatologi Kuretase Endometrium dan Sikatan Endometrium pada Wanita Usia lebih dari 40 tahun dengan Perdarahan Uterus Abnormal. Palembang : Unsri Press;2013. P.3-4. 2. Sastrawinata U, Suryawan A, Indahwati D. Hubungan Kerapatan Reseptor Hormon Estrogen pada Wanita Perimenopause terhadap Kejadian Tipe Hiperplasia Endometrium. Artikel Penelitian Bagian Obstetric dan Ginekologi. 2009;6(2):1-2. 3. Sofoewan MS. Endometrium dan Desidua. Dalam : Saifudin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka; 2016.p.847-849. 4. Sobezuk A, Sobezuk K. New Classification System of Endometrial Hyperplasia WHO 2014 and its Cinica Implications. Menopause Review.2017;16(3):110. 5. Rai R, Dwivedi A, Menbrook Dm, Kim JJ, Chandra V. Therapeutic Options For Management Of Endometrial Hyperplasia. Journal Of Gynecologic Oncology. 2016;27(18):1-25. 6. Huh WK, Rivlin ME, Talavera F, Wilcox N, Chiang WJ. Premalignant Lesion Of the Endometrium. Medscape.2018:1-6. 7. Tidy JA, Perunovic B, Pamer JE. Endometrial Hyperplasia. The Obstetrician Gynecologist. 2008;10:211-214. 8. Duncan T, Naeem S. Management Of Endometrial Hyperplasia. Norfolk and Norwich university hospital.2016.