Interpretasi Dan Penalaran Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama NIM Matkul Tugas 1



: : :



ANDINI PUTRI 041540146 HKUM4401 Interpretasi dan Penalaran Hukum



Soal Kasus: Sesat Pikir Melawan Berpikir Benar dalam Aplikasi Hermenautika Sebagian sarjana hukum itu menafsirkan tulisan hukumnya adalah dilakukan secara metodologis, sembari melengkapinya dengan landasan filosofisnya dengan merujuk pada hermeneutika “hukumnya Hans-Georg Gadamer” (Gadamer, Hans-Georg. 2004). Namun Hermeneutika HansGeorg Gadamer ini adalah hermeneutika filosofis yang dapat diaplikasikan dalam bidang hukum, teologi dan filologi. Sehingga, hermeneutika ini bekerjanya bersifat umum dalam tataran ontologis. Padahal pemahaman yang demikian ini bukan merupakan ranah utama dalam ilmu hukum, karena penafsiran dalam ilmu hukum itu lebih berkarakter epistemologis atau sebut saja metodologis, yang dianggap keliru oleh pandangan Gadamer itu. Pandangan yang hanya ontologis ataupun epistemologis bisa secara potensial membuat sesat pikir mengenai pemanfaatan hermeneutika hukum. Hans George Gadamer (1965) menyebutkan bahwa ilmu hukum satu lembaran hermeneutik yang diaplikasikan pada aspek hukum di kehidupan bermasyarakat. Hermeneutika adalah aliran kefilsafatan dalam pemahaman teks atau hal tertentu. Diawali mitos Yunani hermeneutika (Hermes) adalah menjembatani kesenjangan antara “bahasa dewa dengan bahasa manusia” yaitu “hermeneuin” yaitu menafsirkan atau menginterpretasikan. Dalam perjalanan waktu faham hermeneutic membuahkan banyak aliran dan metodologi. Saat ini penggunaan hermeneutika begitu luas dan sering dipergunakan, yang menunujukkan urgensinya untuk dibutuhkan . Di Indonesia para ahli hukum maupun para pihak di dunia peradilan, meraka makin melihat urgensi penggunaan metode hermeneutika yang filosofis daripada menafsirkan teks gramatikal untuk memahami hukum. Problema hukum begitu kompleks, penafsiran hukum merupakan bagian problematika yang selalu hadir di dunia peradilan ataupun kajian positivisme hukum, yang harus diselesaikan dengan benar dan baik berdasarkan asas-asas legalitas dan legitimasi secara bersamaan. Karena penafsiran yang memenuhi unsur-unsur ‘legalitas’ belum tentu memenuhi unsur-unsur ‘legitimasi’. Demikian pula sebaliknya kecukupan penafsiran yang mencukupi unsur-unsur ‘legitimasi’ belum tentu memenuhi unsur-unsur ‘legalitas’. Pertanyaan Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam Soal ini. Sehingga anda-pun dapat berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis kasusnya tersebut.



SOAL 1. Nilai 35 1. Lakukan analisa alasan pemanfaatan hermeneutika berdasarkan urgensinya sebagai metode interpretasi hukum dalam konteks koherensi interpretasi hukum dalam dunia peradilan dan kajian positivisme hukum. (Max 500 kata) Jawaban : Hermeneutika sebagai metode filologis yang lahir dan berkembang sejak abad 18 memperluas lingkup hermeneutika dengan menginterpretasi Bibel dan teks-teks lain di luar Bibel. Metode hermeneutika filologis adalah metode kritik historis.6 Tugas hermeneutika adalah ‘menerobos’ masuk ke dalam teks guna mengungkapkan spirit (Geist) dan pesan-pesan kebenaran moral para penulis teks-teks tersebut (termasuk Bibel) dan menerjemahkan serta mengungkapkannya ke dalam istilah yang dapat dipahami dan diterima oleh pikiran yang tercerahkan.7 Dengan tugas seperti ini, kegiatan penafsiran perlahan-lahan mengubah hermeneutika dari yang bernuansa Bibel ke hermeneutika sebagai metode atau kaidah-kaidah umum tentang interpretasi. Hermeneutika sebagai ilmu pemahamahan linguistik, mulai dikembangkan oleh filsuf hermeneutis Schleiermacher. Di tangan Schleiermacher, hermeneutika menjadi “seni” dan “ilmu” pemahaman. Ia ingin melampaui hermeneutika sebaga kaidah atau metode interpretasi ke hermeneutika sebagai “kondisi pemahaman”. Interpretasi bagi Schleiermacher merupakan sebuah peristiwa dialog umum dalam setiap pemahaman terhadap teks. Prinsip-prinsip dasar pemahaman sama bagi semua ragam pemahaman (tidak hanya biblis atau filologis). Konsep hermeneutika seperti ini berkembang subur dalam diskusi-diskusi hermeneutika sampai sekarang. Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi Geiseswissenschaften(ilmuilmu kemanusiaan) mulai berkembang secara intensif sejak abad 19 melalui pemikiran Wilhelm Dilthey. Menurut Dilthey, ilmu-ilmu kemanusiaan membutuhkan pemahaman yang bebeda dari pemahaman terhadap peristiwa atau gejalagejala alam. Ilmu-ilmu kemanusiaan seperti seni, sastra, pertunjukkan, tulisan, antropologi, psikologi, sejarah, politik, hukum. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi untuk menemukan makna dikembangkan lebih lanjut oleh Paul Ricoeur. Dalam bukunya De I’intretation (1965), Ricoeur mengembalikan hermeneutika pada teori tentang kaidahkaidah interpretasi (termasuk eksegesis). Menurut Ricoeur, teks-teks (Bible, karya sastra, buku, mimpi, mitos, simbolsimbol, termasuk hukum) merupakan kumpulan tanda-tanda yang maknanya masih tersembunyi sehingga harus diinterpretasikan atau diungkapkan. Teks-teks merupakan sebuah simbol yang perlu ‘dibongkar’ untuk menyibak maknanya. Filsuf semacam Marx, Nietzsche, dan Freud merupakan pemikir lain yang juga mendengungkan demistifikasi hermeneutik.



SOAL 2 Nilai 35 2. Hubungkan dalam satu mata rantai perkembangan aliran hermeneutika dengan ciri khas penggunaan metodologi ilmu hukumnya sesuai periode waktunya (Max 500 kata). Jawaban : Secara etimologis, kata hermeneutika (Inggris hermenutics) berasal dari kata kerja Yunani hermēneuein yang berarti “menafsirkan” dan kata benda hermēneia yang berarti “interpretasi” atau “penafsiran.”1Tetapi kedua kata tersebut pun memiliki pengertian: ‘menerjemahkan’ dan ‘bertindak sebagai penafsir’2 . Palmer lebih jauh menunjukkan tiga makna dasar istilah hermēneuein dan hermēneia yakni: (1) mengungkapkan dengan katakata, “to say”; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti menterjemahkan bahasa asing3 . Ketiga makna istilah ini dapat dipadatkan dengan kata “menginterpretasi” (“to interpret”). Interpretasi melibatkan: pemahaman dan penjelasan yang masuk akal, pengucapan dengan kata-kata sehingga dapat dipahami, dan penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain. Hermeneutika sebagai metode filologis yang lahir dan berkembang sejak abad 18 memperluas lingkup hermeneutika dengan menginterpretasi Bibel dan teks-teks lain di luar Bibel. Metode hermeneutika filologis adalah metode kritik historis.6 Tugas hermeneutika adalah ‘menerobos’ masuk ke dalam teks guna mengungkapkan spirit (Geist) dan pesan-pesan kebenaran moral para penulis teks-teks tersebut (termasuk Bibel) dan menerjemahkan serta mengungkapkannya ke dalam istilah yang dapat dipahami dan diterima oleh pikiran yang tercerahkan.7 Dengan tugas seperti ini, kegiatan penafsiran perlahan-lahan mengubah hermeneutika dari yang bernuansa Bibel ke hermeneutika sebagai metode atau kaidah-kaidah umum tentang interpretasi. Hermeneutika sebagai ilmu pemahamahan linguistik, mulai dikembangkan oleh filsuf hermeneutis Schleiermacher. Di tangan Schleiermacher, hermeneutika menjadi “seni” dan “ilmu” pemahaman. Ia ingin melampaui hermeneutika sebaga kaidah atau metode interpretasi ke hermeneutika sebagai “kondisi pemahaman”. Interpretasi bagi Schleiermacher merupakan sebuah peristiwa dialog umum dalam setiap pemahaman terhadap teks. Prinsip-prinsip dasar pemahaman sama bagi semua ragam pemahaman (tidak hanya biblis atau filologis). Konsep hermeneutika seperti ini berkembang subur dalam diskusi-diskusi hermeneutika sampai sekarang. Pendekatan humanistik dalam teori hermeneutika yang dikembangkan oleh Dilthey diteruskan secara lebih radikal dalam pemikiran kaum fenomenolog dan eksistensial. Sejak Edmund Husserl dan terutama Martin Heidegger, hermeneutika menjadi studi terhadap cara mengadanya manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Bagi Heidegger, manusia adalah makhluk yang mengada “di sana”, “Dasein”, mengada dalam ruang dan waktu, mengada secara temporal, dan mengada bersama “ada-ada lain”. Dalam karya terbesarnya Being and Time (1927), Heidegger menyebut hermeneutikanya sebagai “hermeneutika Dasein” (hermeneutika tentang mengada di sana-nya manusia). Dengan hermeneutika Dasein, yang dimaksud dan diupayakan bukanlah hermeneutika sebagai ilmu tentang metode, kaidah, atau prinsip-prinsip interpretasi melainkan sebuah pemahaman dan penjelasan fenomenologis tentang keberadaan manusia itu sendiri.



SOAL 3 Nilai 30 3. Simpulkan arti dan makna hermeneutika hukum dengan menggunakan kata-kata kunci dari berbagai berbagai aliran dan definisi yang dikenal ( Max 500 kata). Jawaban : Salah seorang sastrawan sekaligus akademisi di Indonesia yang mengkritisi pandangan etnosentrik dan hegemonik ilmu-ilmu positivistik dan rasionalistik adalah Abdul Hadi W.M. Dia menyatakan bahwa “Di bawah pengaruh kuat teori-teori neopositivisme dan juga belakangan sebagai dampak dari pandangan negatif posmodernisme, teks-teks klasik itu dianggap kurang relevan karena merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan semangat zaman baru. Apalagi teks-teks Asia yang lahir di luar tradisi Aufklaerung (pencerahan) dan neopositivisme. Namun, dengan bangunnya kembali hermeneutika dari mati surinya yang cukup lama, bangkit kembali minat dan semangat untuk meneliti teks-teks yang memiliki signifikansi tersendiri dalam sejarah peradaban manusia” (2014: 2). Selanjutnya, Abdul Hadi W.M. (2014: 11—12) menjelaskan bahwa neopositivisme adalah aliran filsafat keilmuan yang lahir pada abad ke-19 sebagai kelanjutan dari aliran positivisme yang diasaskan oleh August Comte lebih kurang setengah abad sebelumnya. Aliran pemikiran yang dominan pada abad ke-20 ini berakar pada rasionalisme Cartesian, saintisme Newtonian, dan empirisme abad ke-18, serta semangat abad pencerahan (aufklaerung). Narasi besar yang dibawakannya ialah pembebasan manusia dari belenggu mitologi dan agama. Rasionalisme berpendirian bahwa satu-satunya subjek yang berpikir di alam semesta dan mampu bebas dari arahan Tuhan ialah manusia. Di sisi lain, saintisme meneruskan proyeksi rasionalisme Cartesian seraya meramunya dengan konsep fisika Isaac Newton yang memandang alam sebagai tatanan sempurna dengan hukumhukum dan aturan yang pasti serta tidak bisa diubah. Positivisme menerima pandangan rasionalisme dan pandangan Immanuel Kant tentang keunggulan akal rasional dan penalaran kritis serta pandangan empirisme tentang persepsi indra, tetapi menolak pendirian Immanuel Kant mengenai subjek transendental. Berdasarkan pandangan tersebut, August Comte berpendirian bahwa penelitian atas kegiatan jiwa dan kehidupan spiritual manusia merupakan kerja yang sia-sia. Tentang positivisme dan neopositivisme, Abdul Hadi W.M. merumuskan pokok-pokok pendiriannya sebagai berikut.



Pertama, Tuhan atau Realitas Hakiki itu tidak ada, setidak-tidaknya keberadaannya itu disangsikan. Kedua, alam semesta bergerak secara mekanistik, teratur, dan dengan hukumnya sendiri. Kehidupan manusia juga demikian. Yang menggerakkan ialah ketentuan-ketentuan masyarakat yang hadir sebagai hukum besi yang tidak terelakkan berupa norma-norma, pandangan hidup yang telah terkemas rapi, nilai-nilai yang tumbuh secara alami, dan lain sebagainya. Dalam estetika atau sastra, ia berupa norma-norma sastra, konvensi estetik, kode budaya, selera (taste), dan lain sebagainya. Ketiga, akal pikiran dan pengalaman empiris diyakini dapat membantu manusia memahami gejalagejala kehidupan dalam alam, masyarakat, dan teks (Md. Salleh Yaapar, 2002; Hadi W.M., 2014: 13). Berbeda dengan pandangan etnosentrik dan hegemonik ilmu-ilmu positivistik dan rasionalistik sebagaimana diungkapkan Abdul Hadi W.M. (2014: 3), para sarjana hermeneutika memandang bahwa kebenaran dapat dicapai oleh manusia di mana pun. Menurut mereka, di luar tradisi pemikiran Barat terdapat pula tradisi-tradisi besar pemikiran lain yang tidak kalah luas cakrawalanya dibandingkan cakrawala pemikiran Barat. Di samping itu, kita juga menyadari kenyataan bahwa kebenaran tidak dapat dimonopoli selamanya oleh tradisi pemikiran tertentu yang berkembang di suatu wilayah yang diaku sebagai tempat kelahiran pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan, yaitu Barat. Bangunnya kembali hermeneutika memberikan petunjuk bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat modern yang berasaskan empirisme dan rasionalisme mengandung banyak kelemahan. Hal itu khususnya dalam memberikan pemahaman yang benar tentang kebenaran yang terdapat dalam segala sesuatu, termasuk kearifan dan teks-teks yang berasal dari bagian dunia mana pun. Di Cina hermeneutika telah muncul pada sekitar abad ke-5 s.d. ke-3 SM, bersamaan dengan munculnya para filsuf yang juga ahli hermeneutika, seperti Lao Tze, Kon Fu Tze, Meng Tze, dan Chuang Tze. Pemikiran mereka tumbuh dan berkembang menjadi bentukbentuk kearifan yang lahir dari proses hermeneutika tertentu. Di India tradisi hermeneutika sudah dikenal sejak abad ke-8 SM dalam kegiatan penafsiran terhadap Kitab Veda dan Brahmakandha sampai munculnya aliran-aliran filsafat Hindu, seperti Samkhya, Mimamsaka, dan Vedanda. Kitab karangan Nirukta, penulis abad ke-8 SM, merupakan bukti bahwa benih-benih hermeneutika telah berkembang beberapa abad sebelum lahirnya hermeneutika klasik Yunani. Bahkan, penerapannya sebagai bentuk



hermeneutika estetik dan sastra telah tampak sejak abad ke-1 M dengan munculnya kitab Natyasastra karya Bharata. Padahal, di Eropa hingga abad ke-18 M hermeneutika cuma berkutat sebagai teori penafsiran teks kitab keagamaan (Hadi W.M., 2014: 4).