Laporan Kasus Sinusitis Maksilaris [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS Sinusitis Maksilaris



Disusun Oleh : Muhammad Siswo Prabowo Muhammad Andian Ikbar Nanda Rizki Triutami



1102016140 1102016131 1102015157



Pembimbing : dr. Erlina Julianti, Sp.THT-KL, M.Kes



KEPANITERAAN KLINIK TELINGA HIDUNG TENGGOROK RSUD KABUPATEN BEKASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 11 OKTOBER – 30 OKTOBER 2021



BAB I STATUS PASIEN



I.



II.



IDENTITAS PASIEN Nama



: Ny. T



Usia



: 67 Tahun



Alamat



: Setiamekar, Tambun Selatan



Jenis Kelamin



: Perempuan



Status Pernikahan



: Menikah



Pekerjaan



: Ibu rumah tangga



Tanggal Pemeriksaan



: 14 Oktober 2021



ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 14 Oktober 2021 pukul 10:30 WIB di Poliklinik THT RSUD Kabupaten Bekasi. A. Keluhan Utama Nyeri daerah dahi, sekitar mata dan pipi B. Keluhan Tambahan Hidung tersumbat C. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poli THT RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan nyeri daerah dahi, sekitar mata dan pipi bagian kiri sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan terus-menerus dan tidak kunjung membaik. Pasien juga mengeluhkan adanya cairan yang tersumbat di hidung, namun kadang cairan keluar saat pasien menunduk. Cairan tersebut dirasakan berbau. Keluhan hilang penciuman disangkal. Pasien mengaku terdapat gigi geraham bagian kiri atas patah saat makan sekitar 2,5 bulan SMRS. Pasien memiliki riwayat bersin-bersin jika terkena debu. Keluhan seperti batuk dan demam disangkal oleh pasien. D. Riwayat Penyakit Dahulu 



Riwayat keluhan serupa



: disangkal



2







Riwayat Hipertensi



:



ada,



terkontrol



dengan



konsumsi Amlodipine 10 mg tiap hari 



Diabetes Mellitus



: disangkal



E. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa yang dialami oleh pasien F. Riwayat Pengobatan Pasien belum melakukan pengobatan G. Riwayat Alergi Pasien mempunyai riwayat alergi debu.



III.



PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum



: baik



Kesadaran



: composmentis



Tanda Vital 



Tekanan Darah



: 125/90 mmHg







Nadi



: 86 kali/menit







Respirasi



: 22 kali/menit







Suhu



: 36,5°C







SpO2



: 99 %



Status Generalis Kepala



: normocephal



Mata



: pupil bulat, isokor, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RCL/RCTL (+/+)



Leher



: trakea ditengah, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)



Thorax 



Pulmo : suara nafas vesikuler simetris, rhonki (-/-), wheezing (-/-)







Jantung : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)



Abdomen : bising usus (+) normal, nyeri tekan (-) Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik



3



IV.



STATUS LOKALIS TELINGA Bagian



Preaurikula



Aurikula



Retroaurikula



Canalis Acusticus Externus



Kelainan



Auricula Dextra



Sinistra



Kelainan Kongenital



Tidak ada



Tidak ada



Radang Tumor



Tidak ada



Tidak ada



Trauma



Tidak ada



Tidak ada



Nyeri Tekan



Tidak ada



Tidak ada



Kelainan Kongenital



Tidak ada



Tidak ada



Radang Tumor



Tidak ada



Tidak ada



Trauma



Tidak ada



Tidak ada



Nyeri Tekan



Tidak ada



Tidak ada



Edema



Tidak ada



Tidak ada



Hiperemis



Tidak ada



Tidak ada



Nyeri Tekan



Tidak ada



Tidak ada



Sikatrik



Tidak ada



Tidak ada



Fistula



Tidak ada



Tidak ada



Fluktuasi



Tidak ada



Tidak ada



Kelainan Kongenital



Tidak ada



Tidak ada



Kulit



Hiperemis (-)



Hiperemis (-)



Sekret



Tidak ada



Tidak ada



Serumen



Tidak ada



Tidak ada



Edema



Tidak ada



Tidak ada



Jaringan Granulasi



Tidak ada



Tidak ada



4



Membran Timpani



Kolestatoma



Tidak ada



Tidak ada



Bentuk



Normal



Normal



Warna



Putih



Putih



Intak



Intak



Intak



Cahaya



Cone of light Cone arah jam 5



of



light



arah jam 7



Kesan: normal



TES PENDENGARAN Auricula



Pemeriksaan



Dextra



Sinistra



Tes Bisik



Normal



Normal



Tes Rinne



Positif



Positif Tidak ada lateralisasi



Tes Weber



Sama dengan pemeriksa



Tes Swabach



Sama dengan pemeriksa



Kesan: normal HIDUNG Bagian



Kelainan



Nasal Dextra



Sinistra



Keadaan



Bentuk



Normal



Normal



Luar



Ukuran



Normal



Normal



Mukosa



Tenang



Tenang



Sekret



Tidak ada



Ada



Krusta



Tidak ada



Tidak ada



Concha



Hipertrofi



Hipertrofi



Septum



Tidak deviasi



Tidak deviasi



Polip/Tumor



Tidak ada



Tidak ada



Rhinoskopi Anterior



Inferior



5



Pasase Udara



Rhinoskopi Posterior



Baik



Baik



Mukosa



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Choana



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Sekret



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Torus Tubarius Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Fossa



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Rossenmuller Adenoid



Kesan: Hipertrofi concha inferior



MULUT DAN TENGGOROKAN Bagian



Mulut



Kelainan



Keterangan



Mukosa Mulut



Tidak hiperemis



Lidah



Tidak deviasi



Palatum Mole



Dalam batas normal



Gigi Geligi



Patah (+), Berlubang (+) -7-54321|1234567-7654321|123456--



Tonsil



Uvula



Tidak deviasi



Halitosis



Tidak ada



Mukosa



Tidak hiperemis



Besar



T1/T1



6



Faring



Laring



Kripta



Tidak ada



Detritus



Tidak ada



Perlengketan



Tidak ada



Mukosa



Tidak hiperemis



Granulasi



Tidak ada



Post Nasal Drip



Tidak ada



Epiglotis



Tidak dilakukan



Kartilago Aritenoid



Tidak dilakukan



Plica Ariepiglotika



Tidak dilakukan



Plika Vestibularis



Tidak dilakukan



Plica Vocalis



Tidak dilakukan



Rima Glotis



Tidak dilakukan



Trakea



Tidak dilakukan



Kesan: gigi geraham patah SINUS PARANASAL Bagian



Kelainan



Frontalis Sphenoidalis Ethmoidalis Maxillaris



Keterangan Ada



Nyeri Tekan



Tidak ada Ada Ada



Kesan: terdapat nyeri tekan pada sinus frontalis, ethmoidalis dan maxillaris



LEHER



7



Bagian



Leher



Kelainan



Keterangan



Bentuk



Normal, trakea ditengah



Massa



Tidak ada



Nyeri Tekan



Tidak ada



Hiperemis



Tidak hiperemis



Kesan: normal



V.



PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Nasoendoskopi



Septum nasi tidak deviasi Terdapat secret mukopurulen di meatus media sinistra Hipertrofi concha inferior dan media dextra sinistra VI.



RESUME Perempuan berusia 67 tahun datang dengan keluhan nyeri daerah dahi, sekitar mata dan pipi bagian kiri sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan terusmenerus dan tidak kunjung membaik. Keluhan juga disertai adanya cairan yang tersumbat di hidung, namun kadang cairan keluar saat pasien menunduk. Cairan tersebut dirasakan berbau. Pasien mengaku terdapat gigi geraham bagian kiri atas patah. Pasien memiliki riwayat alergi sebelumnya, bersin bersin saat terkena debu. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan hipertrofi concha inferior dextra sinistra dan sekret di nasal sinistra (+). Pada pemeriksaan terdapat gigi geraham kiri atas patah dan berlubang. Pada saat pemeriksaan sinus paranasal didapatkan nyeri tekan pada sinus frontalis, esthmoidalis dan



8



maxillaris. Pada pemeriksaan Nasoendoskopi ditemukan hipertrofi concha inferior dan media dextra sinistra serta secret mukopurulen di meatus media sinistra.



VII.



VIII.



DIAGNOSIS BANDING 



Sinusitis Maxillaris e.c Suspect Infeksi Dentogen







Rhinosinusitis Akut e.c. Rhinitis Alergi



DIAGNOSIS KERJA Sinusitis Maxillaris e.c Suspect Infeksi Dentogen



IX.



X.



USULAN PEMERIKSAAN 



Skin prick test







Konsul ke dokter gigi



PENATALAKSANAAN A. Non – Medikamentosa 



Memberikan informasi kepada pasien tentang penyakit yang diderita pasien penyebabnya, faktor resiko, komplikasi, dan prognosisnya



 B.



Konsultasikkan ke dokter gigi untuk pengobatan masalah gigi pasien



Medikamentosa 



NaCl 0.9% 500cc 2 x 10cc menggunakan spuit 10cc untuk cuci hidung







Oxymetazoline Hcl Spray 15ml 2 x 1 puff







Amoksisilin 3x500 mg







Loratadin 1x 10 mg







Fluticasone 2x puff 1







Ambroxol 3x1 tab



C. Edukasi



9







Mengenakan masker untuk menutupi hidung dan mulut saat berada di lingkungan dengan polusi udara yang tinggi







XI.



Menganjurkan untuk perawatan gigi minimal 6 bulan sekali



PROGNOSIS Quo ad Vitam



: ad bonam



Quo ad Functionam



: dubia ad bonam



Quo ad Sanactionam



: dubia ad bonam



10



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Anatomi



Gambar 1. Anatomi Hidung SINUS PARANASAL Sinus paranasal adalah udara yang terdapat pada lubang-lubang tulang tengkorak tertentu. Ada empat pada setiap sisinya. Sinus paranasal klinis telah dibagi menjadi dua kelompok.  Kelompok Anterior: adalah ethmoidal anterior, maksilaris, dan frontal. Mereka semua berada di meatus media.  Kelompok Posterior: yaitu sinus ethmoidal posterior yang berada di meatus superior, dan sinus sphenoid yang ada di reses spheno-ethmoidal.



SINUS MAXILARIS Adalah sinus paranasal terbesar dan terletak di maksila. Sinus maksilaris berbentuk piramidal dengan dasar ke arah dinding lateral hidung dan apex mengarah pada lateral ke dalam prosessus zygomaticus. Rata-rata, sinus maksilaris memiliki kapasitas 15 ml pada orang dewasa.



SINUS FRONTAL



11



Sinus frontal terletak di antara bagian dalam dan luar tulang frontal di atas margin supra orbital. Sinus frontalis dapat bervariasi dalam bentuk dan ukuran dan sering dilokalisasi. Dua sinus frontal sering asimetris.



SINUS ETHMOIDALIS Sinus ethmoidal adalah rongga udara berdinding tipis pada massa lateral tulang ethmoid. Jumlahnya bervariasi dari 3 hingga 18. Ethmoidal menempati ruang antara sepertiga atas dinding hidung lateral dan dinding medial orbita. Sel ethmoidal secara klinis dibagi menjadi grup ethmoid anterior yang membuka ke meatus media dan grup ethmoid posterior yang membuka ke meatus superior.



SINUS SPHENOID Sinus sphenoid terletak pada os sphenoid. Dibagi menjadi dua yang jarang simetris dan dipisahkan oleh septum tulang tipis. Ostium dari sinus sphenoid terletak di bagian atas dinding anterior dan mengalir ke reses sphenoethmoidal.



Gambar 2. Anatomi Sinus Paranasal KOMPLEKS OSTEOMEATAL (KOM) Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal.KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmmoid anteriordan



12



frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, makan akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait. 2



2.2 Fisiologi Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdaapat mukosa bersilia da palut lender di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lender menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah mengikuti polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari sinus. Lender yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lender yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Hal ini mengakibatkan sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post-nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain 9: 1. Sebagai pengatur kondisi udara 2. Sebagai penahan suhu 3. Membantu keseimbangan kepala 4. Membantu resonansi suara 5. Peredam perubahan tekanan udara 6. Membantu produksi mucus untuk membersihkan rongga hidung



2.3 Definisi Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus paranasal. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis lebih sering terkena pada sinus maksilaris dikarenakan merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret tergantung dari gerakan silia, dasarnya adalah akar gigi, ostium sinus maksilaris terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat. Apabila mengenai



13



beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.2



2.4 Epidemiologi Sinusitis merupakan suatu gangguan kesehatan yang meluas di seluruh dunia. Menurut penelitian Zhang (2017) prevalensi sinusitis kronik di Asia terutama China pada tahun 2016 adalah 2,1% dari 36.577 individu dan di Eropa pada tahun 2011 adalah 10,9% dari 57.128 individu berusia 15-75 tahun. Prevalensi sinusitis di Indonesia menurut Health Technology Assessment (HTA) 2012 belum diketahui secara pasti namun diperkirakan cukup tinggi seiring dengan tingginya angka infeksi saluran pernafasan akut yang dapat menjadi penyebab sinusitis.10 Pasien sinusitis yang terdata di Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda Aceh pada periode April 2018 hingga April 2019 mencapai 472 orang. Penelitian pada pasien sinusitis di Poliklinik THT RSUD Meuraxa ini menunjukkan bahwa subjek perempuan lebih banyak daripada laki-laki, yaitu dengan persentase 68%. Hal ini sesuai dengan National Health Interview Survey Amerika Serikat 2010 yang melaporkan sinusitis lebih dominan pada wanita sebanyak 63%.10



2.5 Etiologi Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur. Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas; virus yang lazim menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis berjalan kontinu dengan mukosa hidung, dan penyakit virus yang rnenyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke sinus.3 Pada sinusitis bakteri, edema dan hilangnya fungsi silia nornral pada infeksi virus menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini seringkali rnelibatkan lcbih dari satu baktcri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun adalah



14



Streptococcus



pneumoniae,



Haemophilus influenzae, bakteri



anerob,



Branhamella



catarrhalis,



streptokokalfa,



oureus,



Stoplrylococcus



danStreptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronik dapat disebabkan oleh bakteri yang sama sepertiyang menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronik biasanya berkaitan dengan drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, di mana proporsi terbesar merupakan bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidakmemadai dan diperlukan pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri anaerob. Bakteri aerobyang sering ditemukan dalarn frekuensi yang makin menurun antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, Haemophilus influenzae, Neisseria flavus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcuspneumoniae, dan Escherichia



coli.



Bakteri



anaerob



termasuk



Peptostreptococcus,



Corynebacterium Bacteroides, danVeillonella. Infeksi campuran antara organisme aerob dan anaerob seringkali terjadi.2



2.6 Klasifikasi Konsensus internasional tahun 1995 membagi sinusitis hanya akut dengan batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsesus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan.9



2.7 Patogenesis Sinus biasanya steril dalam kondisi fisiologis. Sekresi yang dihasilkan di sinus mengalir oleh aktivitas silia melalui ostia dan mengalir ke rongga hidung. Pada individu yang sehat, aliran sekresi sinus selalu searah (yaitu, menuju ostia), yang mencegah kontaminasi kembali sinus. Pada kebanyakan individu, sinus maksilaris memiliki ostium tunggal (diameter 2,5 mm, 5 mm 2di area cross-sectional) yang berfungsi sebagai satu-satunya saluran keluar untuk drainase. Saluran tipis ini menduduki sebagian besar dinding medial rongga sinus dalam posisi tidak bergantung. Kemungkinan besar, edema mukosa pada



15



1- hingga 3-mm ini menjadi sesak dengan beberapa cara (misalnya alergi, virus, iritasi kimia) yang menyebabkan obstruksi stasis saluran keluar dari sekresi dengan tekanan negatif, yang menyebabkan infeksi oleh bakteri.4 Lendir yang tertahan, ketika terinfeksi, menyebabkan sinusitis. Mekanisme lain berhipotesis bahwa karena sinus bersambungan dengan rongga hidung, bakteri yang terkolonisasi di nasofaring dapat mengontaminasi sinus steril lainnya. Bakteri ini biasanya dikeluarkan dengan pembersihan mukosiliar; dengan demikian, jika pembersihan mukosiliar diubah, bakteri dapat diinokulasi dan infeksi dapat terjadi, yang menyebabkan sinusitis.4 Patofisiologi sinusitis terkait dengan 3 faktor:  Obstruksi saluran drainase sinus (sinus ostia)  Kerusakan silia  Perubahan kuantitas dan kualitas lendir



Obstruksi Drainase Sinus Obstruksi ostia sinus mencegah drainase lendir yang normal. Ostia dapat diblokir oleh pembengkakan mukosa atau penyebab lokal (misalnya, trauma, rhinitis), serta oleh gangguan sistemik dan gangguan kekebalan terkait peradangan tertentu.Penyakit sistemik yang mengakibatkan penurunan pembersihan mukosiliar, termasuk fibrosis kistik, alergi pernapasan, dan primary ciliary dyskinesia (sindrom Kartagener), dapat menjadi faktor predisposisi untuk sinusitis akut dalam kasus yang jarang.Pasien dengan defisiensi imun (misalnya, agammaglobulinemia, gabungan imunodefisiensi variabel, dan imunodefisiensi dengan penurunan imunoglobulin G [IgG] - dan imunoglobulin A [IgA] -seluruh sel) juga terdapat peningkatan risiko yang mengembangkan sinusitis akut.4 Obstruksi mekanis karena polip hidung, benda asing, septum deviasi, atau tumor juga dapat menyebabkan penyumbatan ostial. Secara khusus, variasi anatomi yang mempersempit kompleks ostiomeatal, termasuk deviasi septum, membuat area ini lebih sensitif terhadap obstruksi terhadap peradangan mukosa. Biasanya, tepi mukosa edematosa terlihat bergerigi, tetapi



16



pada kasus yang parah, lendir mungkin sepenuhnya mengisi sinus, sehingga sulit untuk membedakan proses alergi dari sinusitis infeksi. Secara karakteristik, semua sinus paranasal terpengaruh dan turbinat nasal yang berdekatan membengkak. Hipoksia di dalam sinus yang terobstruksi diduga menyebabkan disfungsi siliaris dan perubahan dalam produksi lendir, yang semakin merusak mekanisme normal untuk pembersihan lendir.4



Gangguan Fungsi Silia Bertentangan dengan model sebelumnya dari fisiologi sinus, pola drainase sinus paranasal tidak bergantung pada gravitasi tetapi pada mekanisme transpor mukosiliar. Koordinasi metakronus dari sel epitel kolumnar bersilia mendorong isi sinus ke arah ostia sinus. Setiap gangguan fungsi silia menyebabkan akumulasi cairan di dalam sinus. Fungsi silia yang buruk dapat terjadi akibat hilangnya sel epitel silia; aliran udara yang tinggi; virus, bakteri, atau ciliotoxins lingkungan; mediator inflamasi; kontak antara 2 permukaan mukosa; bekas luka; dan sindrom Kartagener. Aktivitas silia dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, seperti sindrom Kartagener.Sindrom Kartagener berhubungan dengan silia yang lumpuh dan karenanya retensi sekresi dan predisposisi terhadap infeksi sinus. Fungsi silia juga berkurang dengan adanya pH rendah, anoxia, asap rokok, racun kimia, dehidrasi, dan obat-obatan (misalnya, obat antikolinergik dan antihistamin). 4 Paparan racun bakteri juga dapat mengurangi fungsi siliaris. Sekitar 10% kasus sinusitis akut dihasilkan dari inokulasi langsung sinus dengan sejumlah besar bakteri. Abses gigi atau prosedur yang menghasilkan komunikasi antara rongga mulut dan sinus dapat menghasilkan sinusitis oleh mekanisme ini. Selain itu, aktivitas silia dapat terpengaruh setelah infeksi virus tertentu. Beberapa faktor lain dapat menyebabkan gangguan fungsi siliaris. Udara dingin dikatakan “menyengat” epitel siliaris, menyebabkan gangguan gerakan siliaris dan retensi sekresi di rongga sinus. Sebaliknya, menghirup udara kering mengeringkan lapisan mukosa sinus, yang menyebabkan berkurangnya sekresi. Setiap lesi massa dengan saluran udara hidung dan sinus, seperti polip,



17



benda asing, tumor, dan pembengkakan mukosa dari rinitis, dapat memblokir ostia dan mempengaruhi sekresi yang ditahan dan infeksi berikutnya. Trauma wajah atau inokulasi besar dari berenang dapat menghasilkan sinusitis juga. Minum alkohol juga dapat menyebabkan mukosa hidung dan sinus membengkak dan menyebabkan gangguan drainase mukosa.4



Kualitas dan Kuantitas Lendir yang Berubah Sekresi sinonasal memainkan peran penting dalam patofisiologi rinosinusitis.



Mukosa



yang



melapisi



sinus



paranasal



mengandung



mucoglycoproteins, imunoglobulin, dan sel-sel inflamasi. Mukosa ini terdiri dari 2 lapisan: (1) lapisan serosa dalam (yaitu, fase sol) di mana silia pulih dari gerakan aktif mereka dan (2) lapisan luar, lebih kental (yaitu, fase gel), yang diangkut oleh gerakan silia. Keseimbangan yang tepat antara fase sol dalam dan fase gel luar adalah sangat penting untuk pembersihan mukosiliar normal.4 Jika komposisi lendir berubah, sehingga lendir yang dihasilkan lebih kental (misalnya, seperti pada cystic fibrosis), transportasi menuju ostia melambat secara signifikan, dan lapisan gel menjadi lebih tebal.Ini menghasilkan kumpulan lendir tebal yang disimpan di sinus untuk berbagai periode.Berkurangnya sekresi atau hilangnya kelembaban di permukaan yang tidak dapat dikompensasi oleh kelenjar lendir atau sel goblet, lendir menjadi semakin kental, dan fase sol dapat menjadi sangat tipis, sehingga memungkinkan fase gel untuk memiliki kontak intens dengan silia dan menghalangi aktivitas mereka. Overproduksi lendir dapat membanjiri sistem pembersihan mukosiliar, menghasilkan sekresi yang ditahan di dalam sinus. 4



Sinusitis Akut dalam Pengaturan Perawatan Intensif Sinusitis akut pada populasi perawatan intensif adalah perwujudan yang berbeda, terjadi pada 18-32% pasien dengan periode intubasi yang lama, dan biasanya didiagnosis selama evaluasi demam yang tidak dapat dijelaskan. Kasus di mana penyebabnya adalah obstruksi biasanya jelas dan dapat mencakup adanya intubasi nasogastrik atau nasotrakeal yang berkepanjangan.



18



Selain itu, pasien dalam pengaturan perawatan intensif umumnya lemah, membuat predisposisi mereka untuk komplikasi septik, termasuk sinusitis.4



2.8 Manifestasi Klinis Gejala klinis Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.9,10 Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).11



Gambar 3. Pus pada meatus medius



19



Gambar 4. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat biasanya adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan malaise, nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip), gangguan penciuman dan pengecapan, gangguan tenggorok, gangguan telinga, gangguan ke paru (sinobronkitis), dan gastroenteritis (akibat tertelan mukopus). Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.12



2.9 Diagnosis Pemeriksaan Fisik Inspeksi Yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses. 2



Palpasi Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal yaitu



20



pada bagian medial atap orbita. Sinus etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.2



Transiluminasi Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologi tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah orbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum.2 Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksila. 2 Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus ini seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin berarti sinusitis atau hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.2



Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Radiologi Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dilakukan pemeriksaan radiologi. Posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi postero-anterior untuk menilai sinus frontal dan lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid, etmoid. Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah pemeriksaan CT Scan. Potongan CT Scan yang rutin dipakai adalah koronal dan aksial. Indikasi utama CT Scan hidung dan sinus paranasal adalah sinusitis kronik, trauma dan tumor. 2



21



Sinoskopi Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskopi. Endoskopi dimasukkan melalui lubang yang yang dibuat di meatus inferior atau fosa kanina. Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada secret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.2



2.10 Komplikasi Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah 9: Komplikasi Orbita9 Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan terjadinya komplikasi orbita ini. a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis d. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic.



22



Gambar 5. Komplikasi penyakit sinus pada orbita Komplikasi Intrakranial9 Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses otak.



23



Gambar 6. Sistem vena sebagai jalur perluasan komplikasi ke intrakranial Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis berupa 9:



Osteomielitis dan abses subperiostal Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi Kelainan Paru9 Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut sinobronkitis.



Sinusitis



dapat



menyebabkan



bronchitis



kronis



dan



bronkiektasis. Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial.



24



2.11 Tatalaksana Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan; (2) mencegah komplikasi; (3) mecegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibitoik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperlukan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotic diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotic yang sesuai untuk kuman negative gram dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgesic, mukolitik, steroid oral/topical, puncucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, akrena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. 2



Tindakan operasi Bedah Sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hamper semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan Tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur. 2



25



2.12 Prognosis Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan. Namun, sinusitis dengan komplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan, dalam kasus yang jarang, kematian. Sekitar 40% kasus sinusitis akut sembuh secara spontan tanpa antibiotik. Obat spontan untuk sinusitis virus adalah 98%. Pasien dengan sinusitis akut, ketika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat kambuh setelah pengobatan yang berhasil adalah kurang dari 5%.4 Dengan tidak adanya respons dalam waktu 48 jam atau perburukan gejala, evaluasi kembali pasien. Rinosinusitis yang tidak diobati atau tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi seperti meningitis, tromboflebitis sinus kavernosa, selulitis orbital atau abses, dan abses otak. 4 Pada pasien dengan rinitis alergi, pengobatan agresif dari tanda-tanda edema mukosa, yang dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar sinus, dapat menurunkan sinusitis sekunder. Jika adenoid terinfeksi secara kronis, menghilangkan adenoid untuk mengurangi infeksi dan dapat menurunkan infeksi sinus.4



26



DAFTAR PUSTAKA



1. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. 5th Ed. Jakarta: Gaya Baru; 2001.pp.120-124. 2. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA, editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200. 3. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm 4. Nizar W. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasalis dan Patifisiologi Sinusitis. Kumpulan Naskah Lengkap Pelatihan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional Juni 2000.p 8-9 5. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S. Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-91 6. Sobol E. Sinusitis, Acute, Medical Treatment. Available from: http://www.emedicine.com/ent/topic337.htm 7. Razek A. Sinusitis, Chronic, Medical Treatment. Available from: http://www.emidicine.com/ent/topic338.htm 8. Ballenger, J.J. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan Jilid 1 Edisi 13, halaman 232-245, Binarupa Aksara, Jakarta Indonesia 1994 9. Soepardi EA et al. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. 7th Ed. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2018 10. Rezeki S, Alibasyah ZM, Saputri D. Gambaran Status Periodontal Pada Pasien Sinusitis (Kajian Di Poliklinik THT Rumah Sakit Umum Meuraxa). Journal Of Syiah Kuala Dentistry Society. 2019;4(2):26-31. 11. Brook I et al. Acute Sinusitis. Medscape: https://emedicine.medscape.com/article/232670-overview#a6 2021 12. Brook I et al. Chronic Sinusitis. Medscape: https://emedicine.medscape.com/article/232791-overview 2019



27