21 0 227 KB
LAPORAN PENDAHULUAN DISLOKASI HIP
Disusun oleh: FIRDIYA YULIANA NIM. P27220021300
PROGRAM STUDI PROFESI NERS POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA TAHUN AKADEMIK 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN DISLOKASI HIP A. Konsep Teori Dislokasi Hip 1. Definisi Kata dislokasi merupakan gabungan dari kata dis dan lokasi yang berarti kedudukan yang salah. Dislokasi sendi adalah keadaan dimana terjadi pergeseran total permukaan tulang yang membentuk persendian. Dislokasi sendi merupakan keadaan gawat darurat di bidang ortopedi yang memerlukan penanganan segera. Dislokasi adalah keadaan di mana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi). Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi) (Rasjad, Chairuddin. 2014). Dislokasi hip atau dislokasi panggul adalah suatu keadaan dimana terjadi perpindahan permukaan caput femoris terhadap acetabulum. Dislokasi terjadi ketika caput femoris keluar dari acetabulum. Kondisi ini dapat kongenital atau didapat (acquired). Dari kedua dislokasi ini, dislokasi yang paling sering ditemukan adalah dislokasi panggul akibat trauma (dislokasi panggul traumatik). Dislokasi panggul traumatik ini dapat terjadi pada semua kelompok usia dan angka kejadiannya meningkat seiring dengan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas dan dislokasi panggul ini merupakan suatu kegawatdaruratan ortopedi yang membutuhkan tatalaksana segera (American Academy of Orthopaedic Surgeons, 2014). 2. Etiologi Etiologi dislokasi hip menurut Gammons (2018), yaitu: a. Cedera Olahraga Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olahraga yang beresiko jatuh. b. Trauma Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi. c. Terjatuh Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin. d. Patologis Terjadi ‘tear’ ligament dan capsul articuler yang merupakan komponen vital penghubung tulang.
3. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dislokasi hip menurut Gammons (2018), yaitu: a. Nyeri akut b. Perubahan kontur sendi c. Perubahan panjang ekstremitas d. Kehilangan mobilitas normal e. Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi f. Gangguan gerakan g. Kekakuan h. Pembengkakan i. Deformitas pada persendian 4. Klasifikasi Berdasarkan arah dislokasi, dislokasi hip dibagi menjadi 3 (Gammons, Matthew. 2018), yaitu: a. Dislokasi Posterior 1) Mekanisme Cedera Caput femoris keluar dari acetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diaphisis femur dimana sendi panggul dalam posisi flexi atau semiflexi. Trauma biasanya terjadi karena kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam keadaan flexi dan menabrak dengan keras benda yang ada di depan lutut. Mekanisme khas untuk dislokasi posterior adalah perlambatan dimana lutut penderita mengenai dashboard dengan menekuk lutut dan panggul. Dislokasi posterior sendi panggul biasa disebabkan oleh trauma. Ini terjadi pada axis longitudinal pada femur saat femur dalam keadaan flexi 90 derajat dan sedikit adduksi. 2) Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik Penderita biasanya datang setelah trauma yang hebat disertai nyeri dan deformitas pada daerah sendi panggul juga tidak bisa menggerakan anggota gerak bawah. Sendi panggul teraba menonjol ke belakang dalam posisi adduksi, flexi, dan rotasi interna. Terdapat pemendekan anggota gerak bawah dan teraba caput femur pada panggul. rasa nyeri diakibatkan spasme otot disekitar panggul. Caput femoris dapat berada di posisi yang tinggi (iliac) atau rendah (ischiatic), tergantung dari posisi flexi paha ketika terjadi dislokasi. Dislokasi tipe iliac: -
Panggul flexi, adduksi, endorotasi
-
Extremitas yang terkena tampak memendek
-
Trochanter major dan bokong di daerah yang mengalami dislokasi terlihat menonjol
-
Lutut extremitas yang mengalami dislokasi tampak menumpang di paha sebelahnya
Dislokasi tipe ischiatic: -
Panggul flexi
-
Panggul sangat beradduksi sehingga lutut di extremitas yang mengalami dislokasi tampak menindih di paha sebelahnya
-
Extremitas bawah tampak dalam posisi endorotasi yang ekstrim
-
Trochanter major dan bokong di daerah yang mengalami dislokasi terlihat menonjol Jika salah satu tulang panjang mengalami fraktur (biasanya femur), dislokasi
panggul seringkali tidak terdiagnosis. Pedoman yang baik adalah dengan pemeriksaan pelvis dengan pemeriksaan radiologis. Tungkai bawah juga harus diperiksa untuk mencari apakah terjadi cedera syaraf ischiadicus. b. Dislokasi Anterior Dislokasi anterior jarang terjadi jika dibandingkan dengan dislokasi posterior. Caput femoris didorong dengan paksa ke arah anteroinferior dan berpindah ke foramen obturatorium atau pubis. 1) Mekanisme Cedera Dislokasi ini dapat terjadi dalam kecelakaan lalu lintas ketika lutut terbentur dashboard ketika paha dalam posisi abduksi. Dislokasi pada satu atau bahkan kedua panggul dapat terjadi jika seseorang tertimpa benda berat pada punggungnya saat posisi kaki merentang, lutut lurus dan punggung ke depan. Caput femoris didorong dengan paksa ke arah anteroinferior acetabuli dan berpindah ke foramen obturatorium atau pubis. 2) Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik Kaki berada dalam posisi exorotasi, abduksi, dan sedikit flexi. Kaki tidak memendek karena perlekatan rektus femoris mencegah caput femoris bergeser ke atas. Bila dilihat dari samping, tonjolan anterior pada caput yang mengalami dislokasi tampak jelas. Terkadang kaki berabduksi hampir membentuk sudut sikusiku. Caput yang menonjol mudah diraba. Gerakan panggul tidak dapat dilakukan. c. Dislokasi Sentral (Pusat) 1) Mekanisme Cedera Dislokasi Sentral terjadi apabila kaput femur terdorong ke medial acetabulum pada rongga panggul. Disini kapsul tetap utuh. Fraktur acetabulum terjadi karena
dorongan yang kuat dari lateral atau jatuh dari ketinggian pada satu sisi atau suatu tekanan yang melalui femur dimana panggul dalam kedaan abduksi. 2) Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik Terdapat luka lecet atau memar pada paha, namun kaki terletak pada posisi normal. Trochanter dan daerah panggul terasa nyeri. Gerakan minimal masih dapat dilakukan. Pasien harus diperiksa dengan cermat untuk mencari ada tidaknya cedera pelvis dan abdomen. 5. Patofoiologis Pada dislokasi kongenital terdapat ketidakstabilan pinggul pada bayi dan anak dengan kondisi pinggul yang stabil dan fleksi sebagian. Ada banyak faktor yang memungkinkan kodisi dilokasi kongenital, meliputi faktos genetik, hormonal, malposisi intrauterin dan faktor pasca kelahiran dari pertolongan persalinan. Pada osteomielitis akut yang menginvasi metafsis,intrakapsular sendi pinggul juga ikut mengalami infeksi. Selajutnya, kaput dan kepala femur mengalami kerusakan dan mengalami perubahan letak akibat lepasnya kepala femur dari mangkuk asetambulum. Klien yang pernah mengalami paralisis serebral,poliomielitis dan mielomeningokel akan menimbulkan suatu kondisi paralisis yang menyebabkan ketidakseimbangan otot sehingga terjadi abduksi pinggul. Pada kondisi selanjutnya, tronkanter mayor gagal berkembang, leher femur bengkok dan keluar dari pinggul dan terjadi dislokasi/sublukasi pinggul. Perubahan letak sendi pinggul dapat menyebabkan kompresi saraf skiatika sehingga klien akan mengeluh nyeri, ketidakmampuan menggerakan sendi pinggul yang menyebabkan klien tidak dapat melakukan mobilisasi pinggul dan klien mempunyai risiko trauma. Intervensi reduksi tertutup dengan pemasangan traksi memberikan implikasi keperawatan untuk menurunkan risiko tinggi trauma dan reduksi terbuka akan menimbulkan dampak keruskan jaringan lunak
yang menyebabkan nyeri luka paska
beda sehingga menimbulkan risiko tinggi infeksi (Price & Wilson. 2012).
Pathway Cedera olahraga, trauma, terjatuh
Patologis Dislokasi sendi rahang Dislokasi sendi jari Dislokasi sendi bahu Dislokasi Posterior Caput femoris keluar dari acetabulum Ekstremitas mengalami pemendekan Gangguan mobilitas fisik
Terlepasnya jar. Tulang dari kesatuan sendi
Merobek kapsul/menyebabkan tepi glenoid teravulsi
Dislokasi Dislokasi sendi panggul Dislokasi Anterior Caput femoris didorong dengan paksa ke arah anteroinferior
Deformitas sendi panggul
Caput femoris berpindah ke foramen obturatorium
Spasme otot
Kaki berabduksi hampir membentuk sudut siku
Nyeri akut
Merusak struktur sendi, ligamen
Panggul sulit digerakkan
Dislokasi sendi patella Dislokasi Sentral Kaput femur terdorong ke medial acetabulum
Panggul terasa nyeri
Lecet dan memar pada bagian paha Kerusakan pada kulit (luka terbuka)
Risiko infeksi
Kerusakan integritas kulit
Cedera neurovaskuler Ekstremitas pucat dan dingin
Perfusi perifer tidak efektif
(Price & Wilson. 2012)
6. Pemeriksaan Diagnostik a. Pemeriksaan Sinar–X atau X-Ray Pada bagian anteroposterior akan memperlihatkan bayangan yang tumpang-tindih antara kaput humerus dan fossa Glenoid, Kaput biasanya terletak di bawah dan medial terhadap terhadap mangkuk sendi. b. Pemeriksaan Radiologi Tampak tulang lepas dari sendi. c. Pemeriksaan Laboratorium Untuk menilai apakah ada infeksi dengan peningkatan leukosit. d. CT Scan CT-Scan yaitu pemeriksaan sinar-X yang lebih canggih dengan bantuan komputer, sehingga memperoleh gambar yang lebih detail dan dapat dibuat gambaran secara 3 dimensi. Pada psien dislokasi ditemukan gambar 3 dimensi dimana sendi tidak berada pada tempatnya. e. MRI MRI merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang magnet dan frekuensi radio tanpa menggunakan sinar-X atau bahan radio aktif, sehingga dapat diperoleh gambaran tubuh (terutama jaringan lunak) dengan lebih detail. Seperti halnya CT-Scan, pada pemeriksaan MRI ditemukan adanya pergeseran sendi dari mangkuk sendi. 7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan dislokasi yaitu: (Daventport, M D. 2012) dan (American Academy of Orthopaedic Surgeons. 2014) a. Tatalaksana Dislokasi Posterior Dislokasi harus direduksi secepat mungkin di bawah anestesi umum. Reduksi harus dilakukan dalam waktu 12 jam sejak terjadinya dislokasi. Pada sebagian besar kasus dilakukan reduksi tertutup, namun jika reduksi tertutup gagal sebanyak 2 kali maka harus dilakukan reduksi terbuka untuk mencegah kerusakan caput femoris lebih lanjut. Sebelum melakukan reduksi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan neurovaskular. 1) Indikasi reduksi tertutup: - Dislokasi dengan atau tanpa defisit neurologis jika tidak ada fraktur - Dislokasi yang disertai fraktur jika tidak terdapat defisit neurologis 2) Kontraindikasi reduksi tertutup: - Dislokasi panggul terbuka 3) Dislokasi Panggul yang Tidak Tereduksi Terkadang dislokasi panggul posterior tanpa fraktur acetabulum atau caput femoris tidak dapat direduksi dengan metode reduksi tertutup. Pada dislokasi posterior, caput femoris keluar ke arah posteroinferior dari kapsul dan dapat menembus otot-otot exorotasi. Jaringan lunak yang mengelilingi collum femoris dapat mencegah relokasi dari caput
femoris. Tata laksana untuk dislokasi yang tidak tereduksi ini adalah dengan reduksi operatif (terbuka). b. Tatalaksana Dislokasi Anterior Dislokasi harus direduksi secepat mungkin di bawah anestesi umum. Reduksi harus dilakukan dalam waktu 12 jam sejak terjadinya dislokasi. Sebelum melakukan reduksi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan neurovaskular. Manuver yang digunakan hampir sama dengan yang digunakan untuk mereduksi dislokasi posterior, kecuali bahwa ketika paha yang berflexi ditarik ke atas, paha harus diadduksi. Tata laksana berikutnya mirip dengan tata laksana pada dislokasi posterior. Setelah reduksi, panggul diistirahatkan dengan pemasangan skin traction selama tiga minggu. Beberapa hari setelah reduksi, gerakan aktif dan pasif sendi panggul dapat dimulai. Pada akhir minggu ketiga, pasien diperbolehkan jalan menggunakan kruk penopang tanpa bertumpu pada sisi yang mengalami dislokasi. Selama periode ini dapat dilakukan latihan aktif terkontrol untuk mengembalikan fungsi sendi dan perkembangan tonus dan kekuatan otot. Kerja ringan dapat dilanjutkan pada minggu ke 14-16 dan aktivitas penuh dapat dilakukan 6-10 bulan setelah cedera. Ikuti perkembangan pasien selama minimal 2 tahun, setiap pemeriksaan rekam perkembangan range of motion dari sendi panggul dan lakukan pemeriksaan X-ray setiap 46 bulan untuk mengetahui ada tidaknya nekrosis avaskular dari caput femoris. Dislokasi Panggul yang Tidak Tereduksi Pada kasus yang jarang, manuver reduksi tertutup dapat gagal dalam mereduksi dislokasi panggul anterior. Jika hal ini terjadi, maka reduksi tertutup tidak boleh dipaksakan dan hal ini merupakan indikasi untuk dilakukannya reduksi terbuka. Kegagalan reduksi tertutup ini dapat disebabkan oleh : - Penetrasi caput femoris ke dalam otot iliopsoas - Ekstrusi caput femoris ke dalam lubang (buttonhole) di kapsul anterior c. Tatalaksana Dislokasi Sentral Pada kasus dislokasi panggul sentral tetap harus diusahakan untuk melakukan reduksi dan memulihkan bentuk normal panggul. Dislokasi sentral yang disertai dengan fraktur kominusi pada lantai acetabulum dapat direduksi dengan manipulasi di bawah anestesi umum. Ahli bedah menarik paha dengan kuat dan kemudian mencoba mengungkit keluar caput dengan mengadduksi paha, menggunakan bantalan keras sebagai titik tumpu. Jika cara ini berhasil, traksi longitudinal dipertahankan selama 4-6 minggu dengan pemeriksaan X-ray untuk memastikan bahwa caput femoris tetap berada di bawah bagian acetabulum yang menahan beban. Jika manipulasi gagal, kombinasi traksi longitudinal dan lateral dapat mereduksi dislokasi selama 2-3 minggu. Pada semua metode ini, gerakan perlu dimulai secepat
mungkin. Bila traksi dilepas, pasien diperbolehkan bangun dengan kruk penopang. Penahanan beban diperbolehkan setelah 8 minggu. Hasilnya terhadap fungsi lebih baik daripada yang ditunjukkan pada penampilan X-ray, tetapi semua gerakan kecuali flexi dan extensi tetap sangat terbatas, dan pada akhirnya terjadi artritis degeneratif, kecuali jika pergeseran hanya terjadi sedikit. d. Indikasi Operasi 1) Fraktur acetabulum dengan pergeseran > 2 mm di dalam kubah acetabulum 2) Fraktur dinding posterior dengan > 50% keterlibatan permukaan artikulasi sendi pada dinding posterior 3) Ketidakstabilan klinis pada flexi 900 4) Fragmen yang terjebak di dalam acetabulum setelah reduksi tertutup Beberapa penelitian menganjurkan operasi dilakukan 2-3 hari setelah cedera untuk menunggu kondisi pasien agar stabil. Idealnya reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur acetabulum seharusnya dilakukan dalam 5-7 hari setelah cedera. Reduksi anatomis akan menjadi lebih sulit setelah melewati waktu tersebut karena pembentukan hematoma, kontraktur jaringan lunak, dan pembentukan callus awal. Setelah dilakukan reduksi terbuka, dilakukan pemasangan skeletal traction. Pemasangan ini dilakukan dengan cara: 1) Masukkan threaded wire di bawah tibial tubercle. 2) Pasang bebat Thomas dengan Pearson attachment balanced dari rangka di atas kepala. 3) Panggul dan lutut sedikit diflexikan 4) Berikan beban seberat 20-25 lbs 8. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu: (Gammons. 2018) a. Komplikasi Dislokasi Posterior Dini - Cedera nervus ischiadicus Saraf ini kadang-kadang mengalami cedera, namun biasanya membaik lagi. Jika setelah mereduksi dislokasi, lesi nervus ischiadicus dan fraktur acetabulum yang tidak tereduksi terdiagnosis, maka nervus harus dieksplorasi dan fragmennya dikoreksi ke tempat asalnya (disekrupkan pada posisinya). Penyembuhan sering membutuhkan waktu beberapa bulan, dan sementara itu tungkai harus dihindarkan dari cedera dan pergelangan kaki harus dibebat untuk menghindari kaki terkulai (foot drop). - Cedera pembuluh darah Kadang-kadang arteri gluteus superior robek dan mungkin terdapat banyak perdarahan. Jika keadaan ini dicurigai, maka harus dilakukan arteriogram. Pembuluh darah yang robek mungkin perlu diligasi.
- Fraktur corpus femoris Bila ini terjadi bersamaan dengan dislokasi panggul, dislokasi biasanya terlewatkan. Maka harus digunakan pedoman bahwa pada setiap fraktur corpus femoris, bokong dan trochanter per palpasi, dan panggul harus dilakukan pemeriksaan X-ray. Lambat - Nekrosis avaskular Persediaan darah pada caput femoris sangat terganggu sekurang-kurangnya pada 10% dislokasi panggul traumatik. Jika reduksi ditunda lebih dari beberapa jam, angkanya meningkat menjadi 40%. Nekrosis avaskular terlihat pada pemeriksaan X-Ray sebagai peningkatan kepadatan caput femoris, tetapi perubahan ini tidak ditemukan sekurangkurangnya selama 6 minggu, dan kadang-kadang jauh lebih lama (sampai 2 tahun), tergantung pada kecepatan perbaikan tulang. Jika caput femoris menunjukkan tandatanda fragmentasi, mungkin diperlukan operasi. Jika terdapat segmen nekrotik yang kecil, osteotomi penjajaran tulang (realigment) merupakan metode terpilih. Sebaliknya, pada pasien yang lebih muda, pilihannya adalah antara penggantian caput femoris dengan prostesis bipolar atau artrodesis panggul. Pada pasien berusia di atas 50 tahun, penggantian panggul keseluruhan adalah pilihan yang lebih baik. - Myositis Ossificans Komplikasi ini jarang terjadi, mungkin berhubungan dengan beratnya cedera. Karena sulit diramalkan, komplikasi ini sulit di cegah. Gerakan tidak boleh dipaksa dan pada cedera yang berat, masa istirahat dan pembebanan mungkin perlu di perpanjang. Dislokasi yang tak tereduksi Setelah beberapa minggu, dislokasi yang tidak diterapi jarang dapat direduksi dengan manipulasi tertutup dan diperlukan reduksi terbuka. Insidensi kekakuan atau nekrosis avaskular sangat meningkat dan di kemudian hari pasien dapat memerlukan pembedahan rekonstruktif. Osteoartritis Osteoartritis sekunder sering terjadi dan diakibatkan oleh: - Kerusakan cartilago pada saat dislokasi - Adanya fragmen yang bertahan dalam sendi, atau - Nekrosis iskemik pada caput femoris. b. Komplikasi Dislokasi Anterior Necrosis avaskular adalah komplikasi yang dapat terjadi pada dislokasi panggul anterior dan terjadi pada 10% kasus. Persediaan darah pada caput femoris sangat terganggu sekurang-kurangnya pada 10% dislokasi panggul traumatik. Jika reduksi ditunda lebih dari beberapa jam, angkanya meningkat menjadi 40%. Nekrosis avaskular terlihat pada pemeriksaan X-ray sebagai peningkatan kepadatan caput femoris, tetapi perubahan ini tidak
ditemukan sekurang-kurangnya selama 6 minggu, dan kadang-kadang jauh lebih lama (sampai 2 tahun), tergantung pada kecepatan perbaikan tulang. c. Komplikasi Dislokasi Sentral Dini Dapat terjadi cedera viseral dan syok hebat. Cedera nervus ischiadicus dapat terjadi ketika terjadinya fraktur atau pada saat operasi. Meskipun pada saat operasi, syaraf ini dilindungi, namun tidak ada kepastian mengenai prognosisnya. Trombosis vena iliofemoral dapat terjadi dan bersifat serius dan beberapa klinik menggunakan profilaksis antikoagulan. Lambat Kekakuan sendi, dengan atau tanpa osteoartritis sering terjadi. Jika penggantian panggul keseluruhan dipertimbangkan, perlu dipastikan bahwa fraktur acetabulum telah menyatu, jika tidak maka mangkuk dapat terlepas. Pada pasien muda, lebih baik dilakukan artrodesis. Necrosis avaskular pada caput femoris dapat terjadi meskipun caput femoris tidak benar-benar mengalami dislokasi. B. Proses Keperawatan 1. Pengkajian a. Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. b. Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari dislokasi yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit. c. Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab dislokasi, serta penyakit yang pernah diderita klien sebelumnya yang dapat memperparah keadaan klien dan menghambat proses penyembuhan d. Riwayat Keluarga Penyakit yang pernah atau yang sedang diderita keluarga pasien. e. Riwayat Sosial Berisi tentang yang mengasuh pasien, pembawaaan anak secara umum, dan lingkungan rumah. f. Pengkajian Pola Fungsional Gordon Meliputi pola persepsi dan manajemen kesehatan, pola nutrisi metabolik, pola eliminasi, pola aktivitas, pola istirahat-tidur, pola persepsi-kognitif, pola konsep diri, pola
hubungan-peran, pola seksualitas, pola koping-toleransi terhadap stres, pola nilai dan keyakinan. g. Pemeriksaan Fisik h. Pemeriksaan Perkembangan Penilaian berdasarkan format DDST/Denver II) 2. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (D.0077) b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal (D.0054) c. Perfusi perifer tidak efektik berhubungan dengan penurunan arteri atau vena (D.0009) d. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan faktor mekanis (D.0139) e. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer (D.0142) 3. Intervensi Keperawatan a. Nyeri akut Nyeri Akut (D.0077) Pengertian: Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Tujuan dan Kriteria Hasil Integritas Kulit dan Jaringan Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan tingkat nyeri menurun Kriteria hasil: Meningkat
Cukup
Sedang
Meningkat
Cukup
Menurun
Menurun
Keluhan nyeri
1
2
3
4
5
Meringis
1
2
3
4
5
Gelisah
1
2
3
4
5
Kesulitan tidur
1
2
3
4
5
Cukup
Sedang
Cukup
Memburuk
Memburuk Frekuensi nadi
1
2
Membaik
Membaik 3
4
5
Pola nafas
1
2
3
4
5
Intervensi Manajemen Nyeri Observasi:
Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Identifikasi skala nyeri
Identifikasi respon nyeri non verbal
Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik:
Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi:
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
b. Gangguan mobilitas fisik
Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054) Pengertian: Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri Tujuan dan Kriteria Hasil Mobilitas Fisik Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan mobilitas fisik meningkat Kriteria hasil: Meningkat
Cukup
Sedang
Meningkat
Cukup
Menurun
Menurun
Nyeri
1
2
3
4
5
Kaku sendi
1
2
3
4
5
Gerakan
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Cukup
Sedang
Cukup
terbatas Kelemahan fisik Memburuk
Memburuk Pergerakan
Membaik
Membaik
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
ekstermitas Kekuatan otot Intervensi Dukungan Mobilisasi Observasi:
Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi
Terapeutik:
Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi:
Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
Anjurkan melakukan mobilisasi dini
Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Duduk di tempat tidur)
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim medis lain dalam memberikan tindakan fisioterapi
c. Perfusi Perifer Perfusi Perifer Tidak Efektif (D.0009) Pengertian: Penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat menganggu metabolisme tubuh Tujuan dan Kriteria Hasil Perfusi Perifer Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan perfusi perifer meningkat Kriteria hasil: Meningkat
Cukup
Sedang
Meningkat Warna
kulit
Cukup
Menurun
Menurun
1
2
3
4
5
Edema perifer
1
2
3
4
5
Kelemahan
1
2
3
4
5
Cukup
Sedang
Cukup
pucat
otot Memburuk
Memburuk Pengisian kapiler Intervensi
1
2
Membaik
Membaik 3
4
5
Perawatan Sirkulasi Observasi:
Periksa sirkulasi perifer
Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas
Terapeutik:
Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area keterbatasan perfusi
Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstermitas dengan keterbatasan perfusi
Hindari penekanan dan pemasangan torniquet pada area yang cidera
Lakukan pencegahan infeksi
Lakukan hidrasi
Edukasi:
Anjurkan berhenti merokok
Anjurkan berolahraga rutin
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim medis lain untuk menunjang perawatan pasien
d. Risiko Gangguan Integritas Kulit/Jaringan Risiko Gangguan Integritas Kulit/Jaringan (D.0139) Pengertian: Berisiko mengalami kerusakan kulit (dermis/epidermis) atau jaringan membran mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi, dan ligamen) Tujuan dan Kriteria Hasil Integritas Kulit dan Jaringan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan integritas kulit dan jaringan meningkat Kriteria hasil: Meningkat
Cukup
Sedang
Meningkat Kerusakan
Cukup
Menurun
Menurun
1
2
3
4
5
Perdarahan
1
2
3
4
5
Nyeri
1
2
3
4
5
Hematoma
1
2
3
4
5
Cukup
Sedang
Cukup
lapisan kulit
Memburuk
Memburuk
Membaik
Membaik
Elastisitas
1
2
3
4
5
Hidrasi
1
2
3
4
5
Intervensi Perawatan Integritas Kulit Observasi:
Identifikasi adanya penyebab gangguan integritas kulit
Terapeutik:
Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada kulit kering
Hindari produk berbahan alkohol pada kulit
Edukasi:
Anjurkan menggunakan pelembab
Anjurkan minum air yang cukup
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrim
Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim medis lain untuk menunjang perawatan pasien
e. Risiko Infeksi Risiko Gangguan Integritas Kulit/Jaringan (D.0139) Pengertian: Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik Tujuan dan Kriteria Hasil Integritas Kulit dan Jaringan Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam glukosa derajat infeksi menurun Kriteria hasil: Meningkat
Cukup
Sedang
Meningkat
Cukup
Menurun
Menurun
Demam
1
2
3
4
5
Kemerahan
1
2
3
4
5
Nyeri
1
2
3
4
5
Bengkak
1
2
3
4
5
Cukup
Sedang
Cukup
Memburuk
Memburuk Kadar
sel
1
2
Membaik
Membaik 3
4
5
darah putih Intervensi Perawatan Integritas Kulit Observasi:
Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik:
Batasi jumlah pengunjung
Berikan perawatan kulit pada daerah edema
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
Edukasi:
Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Ajarkan cara memeriksa luka
Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
4. Implementasi Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri(independen) dan tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri (independen)adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusansendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugaskesehatan lain. Sedangkan tindakan kolaborasi adalah tindakan yangdidasarkan hasil keputusan bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan lainnya (Tarwoto & Wartonah, 2015). 5. Evaluasi Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk dapat menemukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan untuk dapatmenemukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan. Evaluasi padadasarnya adalah membandingkan status keadaan kesehatan pasien dengantujuan atau kriteria hasil yang telah ditetapkan, (Tarwoto & Wartonah, 2015). 6.
DAFTAR PUSTAKA American
Academy
of
Orthopaedic
Surgeons.
2014.
Hip
Dislocation.
Online
http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00352 diakses pada tanggal 4 Oktober 2021 Daventport, M D. 2012. Joint Reduction, Hip Dislocation, Posterior. MedScape. Online http://emedicine.medscape.com/article/109225-overview diakses pada tanggal 4 Oktober 2021 Gammons, Matthew. 2018. Hip Dislocation. MedScape. Online http://emedicine.medscape.com/article/86930-clinical#showall diakses pada tanggal 4 Oktober 2021 Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol. 2. Jakarta: EGC Rasjad, Chairuddin. 2014. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Hal.10;346-347; 391-442. Jakarta: Yasrif Watampone Tarwoto, Wartonah. 2015. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawtan Indonesia (SDKI), Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia