9 0 221 KB
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Intervensi Trauma dan Krisis Dosen Pengampu Liyanovitasari, S.Kep., Ns., M.Kep.
OLEH: ARI WINARSIH (012191001) ADOZINDO DE JESUS MONTEIRO (012191019) RANIE ROBIATUL ADAWIYAH (012191009)
PRODI SI KEPERAWATAN TRANSFER FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO TAHUN 2020
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya yang berlimpah kami telah mampu menyelesaikan Makalah Posttraumatic Stress Disorder/PTSD Makalah yang tersusun ini adalah hasil maksimal yang dapat kami sajikan. Kami yakin proposal ini masih jauh dari sempurna, karena kami menyadari bahwa kami masih kurang berpengetahuan dalam menyajikan makalah baik dari segi penyusunan, pengolahan, maupun bahasa. Untuk menyempurnakan makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca kepada kami agar dalam penyusunan makalah selanjutnya bisa lebih baik. Dalam rangka menyusun makalah ini kami sampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman yang telah meluangkan waktu untuk bekerja sama demi tersusunnya makalah ini, dengan semangat yang tinggi serta keinginan yang keras akhirnya dapat mengatasi kesulitan-kesulitan dan terwujudlah makalah yang sederhana ini. Demikianlah semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Ungaran, Agustus 2020
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................i KATA PENGANTAR ......................................................................................ii DAFTAR ISI ....................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1 BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Definisi PTSD ........................................................................................3 2.2 Etiologi PTSD ........................................................................................4 2.3 Faktor – Faktor PTSD ............................................................................4 2.4 Gejala PTSD ..........................................................................................6 2.5 Fase - Fase PTSD ...................................................................................7 2.6 Patofosiologi PTSD ...............................................................................8 2.7 Dampak PTSD .......................................................................................9 2.8 Kriteria Diagnostik PTSD .....................................................................11 2.9 Penatalaksanaan PTSD .........................................................................13 2.10 Prognosis PTSD ..................................................................................18 BAB III PEMBAHASAN 3.1............................................................................................................Jurnal 1 ................................................................................................................27 3.2............................................................................................................Jurnal 2 ................................................................................................................28 BAB IV PENUTUP 4.1........................................................................................................Kesimpulan ................................................................................................................29 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................iv
iii
iv
BAB I PENDAHULUAN
Indikator kesehatan jiwa masyarakat adalah indikator morbiditas dan indikator disabilitas yaitu hari-hari produktif yang hilang akibat gangguan jiwa tertentu yang biasanya dinyatakan dalam DALYs Loss (Disability Adjusted Life Years), merupakan ukuran dari sebuah “Disease Burdent”, Masalah-masalah psikososial jika tidak dikenal dan ditanggulangi pada gilirannya akan berkontribusi dalam meningkatkan “Burden Disease”. Status Disabilitas Gangguan Jiwa di Indonesia belum ada penelitiannya, namun dari data studi World Bank di beberapa negara baik yang sedang berkembang maupun negara maju pada tahun 1995 menunjukkan bahwa 8,1% dari ”Global Burden of Disease” disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa, lebih besar dari tuberkulosis(7,2%), kanker(5,8%), penyakit jantung(4,4%), malaria(2,6%). Data ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa termasuk masalah psikososial, harus mendapat prioritas tinggi dalam upaya kesehatan masyarakat. Perkembangan situasi dan kondisi di berbagai negara-negara di dunia, khususnya di negara-negara berkembang, dari waktu ke waktu tidak luput dari berbagai permasalahan yang menjadi sorotan dan perhatian masyarakat internasional. Masalah tersebut mulai dari adanya konflik, kekerasan, sampai silih bergantinya berbagai bencana alam. Namun perhatian masyarakat terhadap hal tersebut, umumnya bersifat singkat atau jangka pendek, sedangkan untuk yang berjangka panjang sering kali kurang mendapat perhatian. Pada hal, bencana, konflik, dan tindakan kekerasan lain sering kali menyisakan persoalan psikologis yang dapat berjangka panjang, yaitu timbulnya Ganguan Stress Pasca Trauma GSPT (Post Traumatic Stress Disorder - PTSD). Menurut Ibrahim (Pitaloka, 2006) kemungkinan terjadiya GSPT ini dapat sampai dengan jangka 30 tahun. Bahkan menurut Rice (Fahrudin, 2005) dapat berlangsung sepanjang hayat.
1
Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Ada sebabnya beberapa orang dari mereka akan berkembang menjadi gangguan stres pasca trauma setelah mengalami peristiwa yang sama adalah tidak jelas. Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana terlibat di dalamnya, dan seberapa hebatnya bereaksi. Sementara itu penyebab sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Seseorang beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma jika seseorang mempunyai riwayat keluarga yang mengalami depresi. Banyak orang yang mengalami peristiwa traumatis merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri selama beberapa waktu. Seiring dengan berjalannya waktu dan perawatan diri, reaksi traumatis biasanya membaik. Namun dalam beberapa kasus, gejala-gejalanya dapat menjadi lebih buruk atau berlangsung selama berbulanbulan atau bahkan bertahun-tahun. Terkadang trauma dapat benar-benar mengguncang hidup. Dalam kasus seperti itu, berhati-hatilah, Anda mungkin mengalami Post-traumatic stress disorder (PTSD). Satu sepertiga orang yang mengalami perdarahan subarachnoid (jenis stroke yang melibatkan perdarahan ke otak) mengalami gejala pasca traumatic stress disorder (PSTD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PSTD sangat terpengaruh pada pemulihan pasien stroke dan kemampuan mereka untuk melanjutkan hidup normal, bahkan jika kerusakan otak yang sebenarnya disebabkan adalah kecil. Penderita stroke mengalami peningkatan resiko pasca traumatic stress disorder (PSTD). 67% dari mereka yang didiagnosis dengan PSTD setelah serangan stroke atau transient ischemic attack (TIA) tidak patuh dengan pengobatan mereka. Pasien dengan gejala PSTD biasanya akan lebih pesimistis tentang peluang mereka untuk tidak terkena stroke yang lain, serta lebih takut terkena kasus lain yang mengancam kehidupan seperti serangan jantung dan kanker paru – paru.
2
BAB II TINAUAN TEORI
2.1 Defenisi Posttraumatic Stress Disorder/PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik (Nutt, 2009). Peristiwa yang menimbulkan trauma termasuk fisik atau pelecehan seksual atau penganiayaan, cedera, kekerasan di jalanan, kecelakaan lalulintas, trauma perang, luka bakar yang parah, dan bencana alam lainnya (Nutt, 2009). Menurut Levers (2012) menyatakan bahwa Pasien yang terus mengembangkan PTSD (gangguan stres pasca trauma) setelah terpapar stres dan peristiwa traumatik menunjukkan tanda-tanda khas dari gangguan tersebut, yang meliputi reexperiencing (gejala mengalami kembali peristiwa yang menyebabkan trauma), menghindar dari lingkungan, dan hyperarousal (teragitasi). Selanjutnya, gejala ini diungkapkan dalam hubungannya dengan perasaan takut dan tidak berdaya. Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan, gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, atau cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya yang mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangan dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian.
3
2.2 Etiolgi Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres pasca trauma. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang maka tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia, ataupun akibat kecelakaan. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres pasca trauma setelah suatu peristiwa traumatik. 2.3 Faktor - Faktor PTSD A. Factor Penyebab 1. Kejadian traumatic 2. Trauma masa kecil 3. Trauma fisik 4. Prosedur medikasi 5. Jenis kepribadian introvert 6. Lingkungan kerja 7. Tingkat spiritual 8. Tingkat pendidikan 9. Pengalaman
4
B. Faktor presipitasi : Bencana alam, perang, kehilangan, kekerasan C. Faktor Psikodinamika: Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatic tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsive tidak terkendali. D. Biologis Dari hasil penelitin, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan eliminasi katekolamin yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak dapat belajar. Amigdala sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta lokasi waktu dan ruang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat otak
membuat
hubungan
perasaan
dalam
memorinya
sehingga
menyebabkan memori disimpan dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain. E. Dinamika Keluarga Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan PTSD. F. Faktor Psikologi Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada perkembangan
terjadinya
PTSD.
Stresor
yang
ekstrem
secara
tipikalmenimbulkan emosi yang negatif ( sedih, marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis ( fight or flight response).
5
Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbulrespon berupa ketakutan, berkeringat, takkardi setiap kali dia melewatitempat kejadian tersebut. Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma yang dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka iaakan berusaha untuk menghindari berada di dalam mobil. Modelling : merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orangtua terhadap pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan gejala PTSD anak. G. Faktor Sosial Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah anak mengalami kejadian traumatik.
2.4 Gejala PTSD Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah: A. Pertama, mengalami
kembali kejadian traumatic
(re-eksperience).
Seseorang kerap teringat akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadiankejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
6
B. Kedua, penghindaran (avoidance) stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma atau menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut, dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidak mampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Gejala ini menunjukkan adanya penghindaran aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadaps emua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. C. Ketiga, gejala ketegangan (hyperarousal). Gejala ini meliputi sulit tidur atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, wasapada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, termasuk meningkatnya reaktivitas fisiologis 2.5 Fase - Fase PTSD Fase-fase keadaan mental pasca bencana: A. Fase kritis Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik. B. Fase setelah kritis Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan penstabilan kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah bencana, pada fase ini telah tertanam suatu mindset yang menjadi suatu phobia/trauma akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan pengalaman terdahulunya.
7
C. Fase stressor Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma “semua telah berubah”. Periode bencana menurut Rice (1999): 1. Periode impak à hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini, korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini selalu berlangsung singkat. 2. Periode penyejukan suasana (Recoil period) à berlangsung beberapa hari selepas kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para korban mulai merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk dimakan. Mereka tidak memahami bagaimana mereka harus memulihkan keadaan dan mengganti harta benda mereka yang hilang. 3. Periode post traumatic (Recovery period) à berlangsung lama, bahkan sepanjang hayat. Periode ini berlangsung tatkala korban bencana berjuan untuk melupakan pengalaman yang terjadi berupa tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang mereka alami.
2.6 Patofisiologi PTSD Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yangmungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus,mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk
menghambat
aktivasi
rangkaian
ini,
walaupun
begitu
pada
penelitianterhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.
8
Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini kemudian memicu respon emosional termasuk “fight, flight, or freezing" dan perubahan dalam hormon stress dan katekolamin. Hipokampus dan korteks prefrontal medial mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon ketakutan akhir. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang makatubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan konsentrasi kortisol rendah orang dengan posttraumatic
stress
disorder
dan
berlawanan
menanggapi
penindasan
deksametason tes daripada yang terlihat dengan depresi berat. 2.7 Dampak PTSD Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fisik, kognitif,emosi, behavior (perilaku),dan sosial. A. Gejala gangguan fisik: 1. Pusing 2. Gangguan pencernaan 3. Sesak napas 4. Tidak bisa tidur 5. Kehilangan selera makan 6. Impotensi, dan sejenisnya.
9
B. Gangguan kognitif: 1. Gangguan pikiran seperti disorientasi 2. Mengingkari kenyataan 3. Linglung 4. Melamun berkepanjangan 5. Lupa 6. Terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan 7. Tidak fokus dan tidak konsentrasi 8. Tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana 9. Tidak mampu mengambil keputusan. C. Gangguan emosi : 1. halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan memerlukan perawatan aktif yang dini) 2. mimpi buruk 3. marah 4. merasa bersalah 5. malu 6. kesedihan yang berlarut-larut 7. kecemasan dan ketakutan. D. Gangguan perilaku : 1. Menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Contoh, duduk berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang). E. Gangguan sosial: 1. Memisahkan diri dari lingkungan 2. Menyepi 3. Agresif 4. Prasangka 5. Konflik dengan lingkungan 6. Merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.
10
2.8 Kriteria Diagnosis PTSD Kriteria untuk diagnosis menentukan faktor tentang persepsi korban dari trauma serta durasi dan dampak terkait gejala. Sebelum diagnosis PTSD dapat dibuat, gejala harus bertahan setidaknya satu bulan dan signifikan harus mengganggu aktivitas normal. Pada orang yang telah selamat dari peristiwa traumatis, sindrom kecemasan yang berlangsung selama kurang dari satu bulan disebut "gangguan stres akut", ini kondisi membutuhkan tiga atau lebih disosiatif gejala selain gejala persisten terkait dengan PTSD. Gejala PTSD yang berlangsung kurang dari tiga bulan menunjukkan kondisi akut. Diagnostik ditegakkan berdasar Kriteria Diagnostik Gangguan Stress Akut berdasar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IVRevisi atau DSM IV-R, dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang. A. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic dimana kedua dari ciri berikut ini dapat ditemukan, yaitu: 1. Orang yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cidera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain 2. Respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu dihantui perasaan takut yang berlebihan. CATATAN: Pada anak-anak, ini bukan oleh perilaku tidak teratur atau gelisah. B. Peristiwa traumatik yang terus-menerus muncul kembali melalui satu (atau lebih) dari cara berikut: 1. Teringat
kembali
akan
kejadian
trauma
menyedihkan
yang
dialaminyadan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi) 2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya(yang mencemaskan) 3. Kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yangdialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi,haluinasinya)
11
4. Kecemasan
psikologis
yangmengingatkan
dan
terhadap
fisik
bersamaan
kejadian
trauma
dengan
(kenangan
hal akan
peristiwatrauma) 5. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma danmematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum traumamasih berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini: a. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma b. Kemampuan
menghindari
aktivitas,
tempat,
orang
yang
dapatmembangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya c. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yangdialaminya d. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang e. Merasa terasing dari orang di sekitarnya f. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta) g. Perasaan bahwa masa depannya suram 6. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebihgejala di bawah ini: a. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya b. Sulit berkonsentrasi c. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya d. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan) e. Reaksi kaget yang berlebihan 7. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan 8. Gangguan/
gejala
di
atas
ini
menyebabkan
kecemasan
dan
gangguanfungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi pentinglainnya.
12
2.9 Penatalaksanaan Untuk PTSD A. Farmakologi 1. Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs) SSRIs merupakan obat line pertama dan satu-satunya obat yang direkomendasikan Food and Drug Administration (FDA) dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu) pada penderita PTSD. Obat ini secara primer mempengaruhi neurotransmitter serotonin yang penting untuk regulasi mood, anxietas, appetite, tidur, dan fungsi tubuh lainnya. Obat ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake serotonin diotak. Penelitian menunjukkan bahwa manfaat maksimal dari SSRI’s tergantug pada dosis yang cukup dan durasi pengobatan. Obat golongan SSRIs antara lain: a. Fluoxetine (Prozac) à 20mg-60mg sehari. b. Sertraline (Zoloft) à 50 mg-200mg sehari c. Citalopram (Celexa) à 20mg-60 mg sehari d. Paroxetine (Paxil) à 20mg-60mg sehari Diantara obat-obat diatas yang direkomendasikan FDA untuk first line medikasi PTSD hanya sertraline dan paroxetine. 2. Mood stabilizers à Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dangejala impulsif. a. Dosis Carbamazepine (Tegretol):6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30 mg/kg/hari>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml b. Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosisinitial dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari c. Beta adrenergic blocking agents à Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat inidapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kgBB/hari.
13
d. Antidepresan Bekerja melui komninasi neurotransmitter lain atau melaui mekanisme berbeda untuk mengubah neurotransmisi serotonin. e. Atipikal Antipsikotik Bertindak sebagai dopaninergik dan serotoninergik. Obat ini digunakan
pada
pasien
komorbidnya. Atipikal
dengan
Antipsikotik
psikotik
tidak
dianjurkan
sebagai untuk
monoterapi pada PTSD. f. Benzodiazepin Bekerja langsung pada system GABA yang menghasilkan efek menenangkan pada system saraf.
B. Non Farmakologi 1. Terapi perilaku kognitif atau CBT. Ada beberapa bagian untuk CBT, termasuk: a. Exposure therapy. Terapi ini membantu orang menghadapi dan mengendalikan ketakutan mereka. Karena menghadapkan mereka ke trauma yang mereka alami dengan cara yang aman. Menggunakan mental imagery, menulis, atau kunjungan ke tempat di mana peristiwa itu terjadi. Terapis menggunakan alat ini untuk membantu orang dengan PTSD mengatasi perasaan mereka. Terapi ini dapat dilakukan dengan 2 cara: 1) Exposure in the imagination Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya. 2) Exposure in reality Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman, tetapi ingin dihindarkan karena menyebabkan ketakutan yang
sangat
kuat.
14
Pengulangan
situasi
yang
disertai
penyadaran
yang berulang-ulang akan membantu
kita
menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya b. Kognitif restrukturisasi. Terapi ini membantu orang memahami kenangan buruk. Kadang-kadang orang mengingat kejadian berbeda dari bagaimana hal itu terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis. c. Stress inoculation training. Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajar orang bagaimana untuk mengurangi kecemasan.
Seperti
restrukturisasi
kognitif,
pengobatan
ini
membantu orang melihat kenangan mereka dengan cara yang sehat. d. Cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b). e. EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing) EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagailandasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilakukita.Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan memori
15
f. Anxiety
management,
terapis
akan
mengajarkan
beberapa
ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) Relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama 2) Breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesagesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala 3) Positive
thinking dan self-talk,
yaitu
belajar
untuk
menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor) 4) asser-tiveness
training,
yaitu
belajar
bagaimana
mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b). 6) Terapi
bermain (play
therapy)
mungkin
berguna
pada
penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b). 7) Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban -korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai
16
debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000). 8) Support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan (Anonim, 2005b). 9) Terapi psikodinamik berfokus pada membantu orang tersebut memeriksa nilai-nilai pribadi dan konflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa traumatis. 10) Terapi keluarga mungkin berguna karena perilaku orang dengan PTSD dapat memiliki mempengaruhi anggota keluarga lainnya.
17
2.10 Prognosis PTSD PTSD dapat terjadi pada semua usia, bahkan di masa kecil. Pada penderita yang menerima perawatan, durasi rata-rata gejala adalah sekitar 36 bulan. Pada pasien yang tidak menerima pengobatan, Durasi rata-rata gejala meningkat ke 64 months. Lebih dari sepertiga pasien yang memiliki PTSD pernah sepenuhnya recover. Faktor yang terkait dengan prognosis yang baik termasuk keterlibatan cepat pengobatan dini, dukungan sosial yang berkelanjutan, menghindari retraumatization, positif premorbid fungsi, dan tidak adanya gangguan kejiwaan lainnya atau substansi Data dari National Comorbidity Survey menunjukkan bahwa setidaknya tambahan satu gangguan kejiwaan hadir dalam 88,3 persen pria dan 79,0 persen wanita yang memiliki riwayat PTSD. Selain itu,59 persen pria dan 44 persen wanita yang telah PTSD memenuhi kriteria untuk tiga atau lebih kejiwaan diagnosis. Wanita yang telah PTSD 4,1 kali lebih mungkin untuk mengembangkan depresi mayor dan 4,5 kali lebih mungkin mengembangkan mania sebagai perempuan yang tidak memiliki PTSD.Men yang memiliki PTSD 6,9 kali lebih mungkin mengembangkan depresi dan 10,4 kali lebih mungkin untuk mengembangkan mania sebagai laki-laki yang tidak memiliki PTSD. Lebih dari satu setengah pria dengan PTSD juga memiliki masalah alkohol komorbid, dan signifikan sebagian pria dan wanita yang memiliki PTSD memiliki penggunaan zat terlarang-komorbid problem. Pada pasien yang memiliki PTSD, fobia cenderung lebih besar dari yang umum gangguan kecemasan atau gangguan panik, yang risiko hampir semua gangguan kecemasan meningkat nyata dalam . Tingkat percobaan bunuh diri pada pasien yang memiliki PTSD diperkirakan 20 percent.
18
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS PTSD
A. Pengkajian Pengkajian Khusus untuk klien dengan PTSD meliputi empat aspek yang akan bereaksi terhadap stress akibat pengalaman traumatis, yaitu : 1. Pengkajian Perilaku (Behavioral Assessment) a. Dalam keadaan yang bagaimana klien mengalami perilaku agresif yang berlebihan b. Dalam keadaan seperti apa klien mengalami kembali trauma yang dirasakan c. Bagaimana cara klien untuk menghindari situasi atau aktivitas yang akan menginatkan klien terhadap trauma d. Seberapa sering klien terlebit aktivitas social e. Apakah klien mengalami kesulitan dalam masalah pekerjaan semenjak kejadian traumatis 2. Pengkajian Afektif (Affective Assessment) a. Berapa lama waktu dalam satu hari klien merasakan ketegangan dan perasaan ingin cepat marah b. Apakah klien pernah mengalami perasaan panic c. Apakah klien pernah mengalami perasaan bersalah yang berkaitan dengan trauma d. Tipe aktivitas yang disukai untuk dilakukan e. Apa saja sumber-sumber kesenangan dalam hidup klien f. Bagaimana hubungan yang secara emosional terasa akrab dengan orang lain 3. Pengkajian Intelektual (Intellectual Assessment) a. Kesulitan dalam hal konsentrasi b. Kesulitan dalam hal memori c. Berapa frekuensi dalam satu hari tentang pikiran yang berulang yang berkaitan dengan trauma
19
d. Apakah klien bisa mengontrol pikiran-pikiran berulang tersebut e. Mimpi buruk yang dialami klien f. Apakah yang disukai klien terhadap dirinya dan apa yang tidak disukai klien terhadap dirinya 4. Pengkajian Sosiokultural (Sociocultural Assessment) a. Bagaimana cara keluarga dan teman klien menyampaikan tentang perilaku klien yang menjauh dari mereka b. Pola komunikasi antara klien dengan keluarga dan teman c. Apa yang terjadi jika klien kehilangan kontrol terhadap rasa marahnya d. Bagaimana klien mengontrol kekerasan terhadap system keluarganya Pengkajian Umum 1. Identitas: nama, tempat tangga lahir, alamat, agama, pekerjaa, status perkawinan, dll. 2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan utama : cemas/ ansietas b. Pengkajian fisik : 1) Aktivitas atau istirahat a) gangguan tidur b) mimpi buruk c) hypersomnia d) mudah letih e) keletihan kronis 2) Sirkulasi a) denyut jantung meningkat b) palpitasi c) tekanan darah meningkat d) terasa panas
20
3. Integritas ego a. Derajat ansietas bervariasi dengan gejal yang berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan b. Gangguan stres akut terjadi 2 hari – 4 minggu dalam 4 minggu peristiwa traumatic c. PTSD akut gejala kurang dari 3 bulan d. PTSD kronik gejala lebih dari 3 bulan e. Melambat awitan sedikitnya 6 bulan setelah peristiwa traumatic f. Kesulitan mencari bantuan atau menggerakkan sumber personal (menceritakan pengalaman pada anggota keluarga/teman) g. Perasaan bersalah, tidak berdaya, isolasi h. Perasaan malu terhadap ketidakberdayaan sendiri; demoralisasi i. Perasaan tentang masa depan yang suram atau memendek 4. Neurosensori a. Gangguan kognitif sulit berkonsentrasi b. Kewaspadaan tinggi c. Ketakutan berlebihan d. Ingatan persisten atau berbicara terus tentang suatu kejadian e. Pengendalian keinginan yang buruk dengan ledakan perilaku yang agresif tidak dapat diprediksi atau memunculkan perasaan (marah, dendam,benci, sakit hati) f. Perubahan perilaku (murung, pesimistik, berpikir yang menyedihkan, iritabel), tidak mempunyai kepercayaan diri, afek depresi, merasa tidak nyata, kehidupan bisnis tidak dipedulikan lagi g. Ketegangan otot, gemetar, kegelisahan motoric h. Nyeri atau ketidaknyamanan 5. Pernapasan a. Frekuensi pernapasan meningkat b. Dispneu
21
6. Keamanan a. Marah yang meledak-ledak b. Perilaku kekerasan terhadap lingkungan atau individu lain c. Gagasan bunuh diri 7. Seksualitas a. Hilangnya gairah b. Impotensi c. Ketidakmampuan mencapai orgasme 8. Interaksi social a. Menghindari oarang/tempat/kegiatan yang menimbulakan ingatan tentang trauma, penurunan responsif, mati rasa secara psikis, pemisahan emosi/mengasingkan diri dari orang lain b. Hilangnya minat secara nyata pada kegiatan yang signifikan, termasuk pekerjaan c. Pembatasan rentang afek, tidak ada respon emosi
B. Diagnosa Keperawatan 1. Anxietas berhubungan dengan Krisis Situasional 2. Resiko gangguan pesepsi sensorik berhubungan dengan gangguan pendengaran 3. Sindrom pasca trauma berhubungan dengan bencana
22
C. Intervensi Keperawatan No 1.
Diagnose Keperawatan Anxietas (D.0083) Katagori : Psokologis Subkataori : Integritas Ego Definisi : Kondisi emosi dan pengalaman subjektif individu terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu melakukan tindakkan untuk menghadapi ancaman Penyebab : Krisis situasional, kebutuhan tidak terpenuhi, ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, kekhawatiran mengalami kegagalan, disfungsi sistem keluarga, faktor keturunan, kurangnya terpapar informasi Gejala dan Tanda Mayor : Subjektif Merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, sulit berkonsentrasi Objektif Tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur
Tujuan dan Kriteria Hasil SLKI : Tingakt Ansietas (L.09093) Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam tingkat ansietas berkurang dengan Kriteria Hasil : 1. Keluhan pusing menurun 2. Anoreksia menurun 3. Frekuensi pernapasan menurun 4. Frekuensi nadi menurun 5. Tekanan darah menurun 6. Tremor menurun 7. Kontak mata membaik 8. Pola berkemih membaik 9. Pola tidur membaik
23
Intervensi Keperawatan SIKI : Reduksi Ansietas (I.09314) Definisi : Meminimalkan kondisi individu dan pengalaman subjektif terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu melakukan tindakkan untuk menghadapi ancaman. Tindakkan : Observasi 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah 2. Identifikasi pengambilan keputusan 3. Monitor tanda-tanda ansietas Terapeutik 1. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan 2. Temani klien untuk mengurangi kecemasan 3. Pahami situasi yang membuat ansietas 4. Dengarkan dengan penuh perhatian 5. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan 6. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan Edukasi 1. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang
2.
Gejala dan Tanda Minor Subjektif Mengeluh pusing, anoreksia, palpitasi, merasa tidak berdaya Objektif Frekuensi nafas meningkat, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, diaforesis, tremor, suara bergetar, kontak mata buruk, sering berkemih Gangguan persepsi sensori (D.0085) Katagori : Psokologis Subkataori : Integritas Ego Definisi : Perubahan persepsi terhadap stimulus baik internal maupun eksternal yang disertai dengan respon yang berkurang, berlebihan dan terdistorsi Penyebab Gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan penghiduan, gangguan perabaan, usia lanjut, penyalagunaan zat, dan hipoksia serebral Gejala dan Tanda Mayor : Subjektif Mendengar suara bisikan atau melihat
2. 3. 4. 5. 6.
SLKI : Persepsi sensori (L.09083) Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam tingkat ansietas berkurang dengan Kriteria Hasil : 1. Verbalisasi mendengar bisikan menurun 2. Verbalisasi melihat bayangan menurun 3. Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra perabaan menurun
24
mungkin dialami Informasikan secara factual mengenai diagnose, pengobatan dan prognosis Anjurkan keluarga tetap bersama pasien Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan Latih teknik relaksasi
SIKI : Manajemen Halusinasi (I.03112) Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola peningkatan keamanan, kenyamanan dan orientasi realita Tindakkan : Observasi 1. Monitor perilaku yang mengidikasikan dan stimulasi lingkungan 2. Monitor isi halusinasi Terapeutik 1. Pertahankan lingkungan yang aman 2. Lakukan tindakkan keselamatan ketika tidak dapat mengontrol perilaku 3. Diskusikan perasaan dan respon terhadap halusinasi
3.
bayangan dan merasakan sesuatu melalui indera perabaan, penciuman, atau pengecapan Objektif Distoria sensori, respon tidak sesuai, dan bersikap seolah-olah melihat, mendengar, mengecap, atau mencium sesuatu Gejala dan Tanda Minor Subjektif Menyatakan kesal Objektif Menyendiri, melamun, konsentrasi buruk, disorientasi waktu, tempat, orang atau situasi, curiga, melihat ke satuarah, mondar-mandir dan bicara sendiri Sindrom pasca trauma (D.0104) Katagori : Psokologis Subkataori : Integritas Ego Definisi : Respon maladaptive yang berkelanjutan terhadap kejadian trauma Gejala dan Tanda Mayor Subjektif Mengungkapkan secara berlebihan atau menghindari pembicaraan kejadian trauma, merasa cemas, teringat kembali kejadian traumatis
4. Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra penciuman menurun 5. Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra perabaan menurun 6. Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra pengecapan menurun 7. Distorsi sensori menurun perilaku halusinasi menurun 8. Menraik diri menurun
4. Hindari perdebatan tentang validitas halusinasi Edukasi 1. Anjurkan memonitor sendiri situasi terjadinya halusinasi 2. Anjurkan melakukan distraksi 3. Ajarkan pasien dan keluarga cara mengontrol halusinasi Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian obat antipsikotik dan antiansietas, jika perlu
SLKI : Ketahanan Personal (L.09073) Tujuan :
SIKI : Dukungan proses berduka (I.02028) Definisi : Memfalisitasi menyelesaikan proses berduka terhadap kehilangan yang bermakna Observasi 1. Identifikasi kehilangan yang dihadapi 2. Identifikasi proses berduka yang dialami 3. Identifikasi reaksi awal terhadap kehilangan Terapeutik 1. Tunjukkan sikap menerima dan empati 2. Memotivasi agar mau mengungkapkan perasaan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam tingkat ansietas berkurang dengan Kriteria Hasil : 1. Verbalisasi harapan yang positif meningkat 2. Menggunakan strategi
25
Objektif Memori masa lalu terganggu, mimpi buruk berulang, ketakutan berulang Gejala dan Tanda Minor Subjektif Tidak percaya kepada orang lain, menyalahkan diri sendiri Objektif Minat berinteraksi dengan orang lain menurun, konfusi atau disosialisai, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan, pola hidu terganggu, tidur terganggu
3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11.
koping yang efektif meningkat Verbalisasi perasaan meningkat Menunjukkan harga diri positif meningkat Mengambil tanggung jawab meningkat Mencari dukungan emosional meningkat Menganggap kesulitan sebagai tantangan meningkat Menggunakn strategi untuk menghindari bahaya meningkat Menghindari penyalagunaan obat meningkat Menghindari penyalagunaan zat meningkat Mengidentifikasi sumber daya di komunitas meningkat
26
kehilangan 3. Fasilitasi melakukan kebiasaan sesuai dengan kebudayaan, agama dan nnorma social 4. Diskusikan strategi koping yang digunakan Edukasi 1. Jelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa sikap mengingkari, marah, tawar menawar, depresi dan menerima adalah wajar dalam menghadapi kehilangan 2. Anjurkan mengidentifikasi ketakutan terbesar pada kehilangan 3. Anjurkan mengekspresikan perasaan tentang kehilangan 4. Ajarkan melewati proses berduka secara bertahap
BAB III PEMBAHASAN
3.1.
Jurnal 1 Play Therapy Untuk anak-anak Korban Bencana Alam Yang Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) Peristiwa-peristiwa bencana alam di belahan dunia mana pun tidak saja menimbulkan korban jiwa, tetapi duka yang mendalam, serta ketakutan yang mendalam. Para korban merasa berada pada kondisi yang sangat tidak tenang, merasa sangat takut, kegelisahan yang tidak berkesudahan, dan menjadi mudah mengalami panik. Kondisi-kondisi tersebut merupakan gangguan pasca trauma (Post traumatic stress disorder/PTSD) yaitu reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap pengalaman traumatis. Berbeda dengan orang dewasa, anak-anak berada dalam kondisi sangat rentan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa yang menimbulkan trauma. Anak-anak dengan PTSD kemungkinan menunjukkan kebingungan atau agitasi. Kondisi ini membawa penderitaan yang berkepanjangan, apabila tidak diberikan penanganan yang tepat. Diperlukan rancangan intervensi khusus bagi anakanak yang mengalami PTSD yakni teknik Play Therapy. Intervensi ini adalah salah satu cara yang dapat digunakan dalam memahami dunia anak-anak melalui permainan, sehingga bila digunakan pada situasi dan kondisi yang tepat dapat bermakna sebagai kegiatan fisik sekaligus sebagai terapi.
27
3.2.
Jurnal 2 Penerapan strategi penanggulangan penanganan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) pada anak-anak dan remaja Remaja dan anak yang menderita pasca traumatis atau PTSD dapat mempunyai orientasi penyelesaian masalah yang berfokus pada cara atau strategis untuk menyelesaikan masalah atau Problem Focused Coping yang diberikan oleh konselor atau orang tua mereka sebagai pendamping dan membantu dalam menggunakan strategi tersebut dalam menghadapi permasalahan tersebut. Dengan memberikan berbagai alternatif strategi coping yang harus mereka terapkan serta orang tua memberikan pengertian tentang keadaan yang dialami oleh anak mereka kepada masyarakat atau lingkungan mereka sehingga anak dan remaja akan lebih mudah dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Hal itu akan sangat membantu dalam proses penyembuhan serta proses anak dan remaja dalam menghadapi permasalahan yang terjadi sehingga anjak dan remaja dapat menyesuaikan diri dengan baik dan melupakan peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, penderita PTSD dapat merasakan perubahan yang positif terhadap apa yang mereka dapatkan
dari
lingkungan
sekitar
yaitu
dukungan
sehingga
akan
mempermudah anak dan remaja dalam menggunakan strategi tersebut dan anak serta remaja dapat menjalani kehidupan selanjutnya dengan normal sesuai dengan perkembangannya.
28
BAB IV PENUTUP
4.1.
Kesimpulan Gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, atau cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya yang mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian. Beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan resiko seseorang mengalami gangguan stress pasca trauma antara lain seberspa berat dan dekat trauma yang dialaminya, durasi trauma yang di alaminya, banyaknya trauma yang dialami pelaku kejadian trauma, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi yang rendah dan usia tua, seseorang yang mengalami ganggan sikiatrik, memiliki gangguan organik yang berat dan kronis, pasien yang berada di bawah pengaruh anastesi, seseorang yang tidak berpengalaman dan tidak memperoleh pelatihan dalam menghadapi bencan, hidup di tempat pengungsian dan kurangnya dukungan sosial.
29
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J., 1998. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 6. Alih Bahasa : Yasmin Asih. Editor Monica Aster, Jakarta : EGC. Keliat, Budi Anna. 1998. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Editor Yasmin Asih, Jakarta : EGC Townsend, M. C., 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Alih Bahas Novi Helena. Rditor Monica Ester, Jakarta : EGC. Rasmun, 2001, Kepwrawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga. Edisi Pertama, Jakarta : CV, Sagung Seto. Struart, G.W., S undeen, S.J., 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3, Jakarta Ayuningtyas, I. P. I. (2017). Penerapan strategi penanggulangan penanganan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder ) pada anak-anak dan remaja. ASEAN School Counselor Conference on Innovation and Creativity in Counseling, 47–56. http://ibks.abkin.org Nawangsih, E. (2016). Play Therapy Untuk anak-anak Korban Bencana Alam Yang Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD). Psympathic :
Jurnal
Ilmiah
https://doi.org/10.15575/psy.v1i2.475
iv
Psikologi,
1(2),
164–178.