Paper Obgyn Pprom [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Ketuban pecah dini preterm merupakan komplikasi kehamilan pada 1-2% dari seluruh wanita hamil dan menyebabkan 30-40% persalinan preterm (kurang dari 37 minggu). Sebagai dokter harus dapat mempertimbangkan risiko yang akan dihadapi dan keuntungan yang mungkin didapat apabila dilakukan terminasi kehamilan ataukah harus dilakukan manajemen ekspektatif sampai kehamilan aterm dengan mempertimbangkan komplikasi yang terjadi. Tujuan penatalaksanaan pada ibu dengan ketuban pecah dini preterm adalah memaksimalkan manfaat pematangan janin dengan menghindari semua hal yang membahayakan keadaan janin dalam kandungan.1,2 Ketuban pecah dini menimbulkan banyak komplikasi seperti misalnya ascending infection, persalinan prematur, hipoksia dan asfiksia, dan sindrom deformitas janin. Mungkin ketuban pecah dini preterm yang dikelola dengan manajemen ekspektatif dengan menunggu sampai waktu persalinan spontan berlangsung meningkatkan risiko untuk terjadinya komplikasi pada janin. Hal ini dikaitkan dengan semakin lamanya paparan infeksi terhadap janin intrauterin. Namun dengan terminasi kehamilan lebih awal juga memiliki risiko pada ketuban pecah dini preterm dengan usia kehamilan antara 34-37 minggu. Bahkan, risiko terjadinya prematuritas iatrogenik sangat signifikan berhubungan dengan persalinan sebelum 34 minggu. 1,2 Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran berupa prematuritas dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi ibu. Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi atau komplikasi pada ibu dan janin serta adanya tandatanda persalinan. Saat aterm, 8-10 % wanita hamil datang dengan ketuban pecah dini yang akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami infeksi intrauterin jika jarak waktu antara pecahnya ketuban dan persalinan memanjang. Pemberian antibiotika pada ketuban pecah dini preterm secara signifikan memperbaiki morbiditas neonatal



1



maupun morbiditas maternal, dimana kehamilan dapat dipertahankan lebih lama, risiko infeksi dapat diturunkan dan penggunaan terapi oksigen dapat diturunkan. 2,3 Delapan puluh lima persen dari morbiditas dan mortalitas neonatus merupakan akibat dari prematuritas. Preterm Prematur Rupture Of Membrans (PPROM) atau ketuban pecah dini preterm (terjadi pada sekitar 1% dari semua kehamilan) berhubungan dengan 30% sampai 40% kelahiran preterm dan merupakan penyebab utama dari kelahiran preterm yang dapat teridentifikasi. Tiga faktor risiko ketuban pecah dini preterm yang paling umum adalah merokok, kelahiran preterm sebelumnya, serta perdarahan vaginal dalam masa kehamilan. 2,3



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Ketuban dikatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina/seviks.1 Ketuban pecah dini prematur (PPROM) pada pertengahan trimester, didefinisikan sebagai pecahnya selaput janin sebelum usia kehamilan 28 minggu, mempersulit kira-kira 0,4% -0,7% dari semua kehamilan.5 2.2 Etiologi Membran fetus yang normal adalah sangat kuat pada awal kehamilan. Kombinasi akibat peregangan membran dengan pertumbuhan uterus, seringnya kontraksi uterus dan gerakan janin memegang peranan dalam melemahnya membran amnion. Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm merupakan variasi fisiologis, namun pada kehamilan preterm melemahnya membran merupakan proses yang patologis. Ketuban pecah dini sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya infeksi.1,2 2.2.1Anatomi selaput korio-amnion Amnion terdiri dari lima lapisan. Dari dalam terdekat ke janin ke luar yang berdekatan dengan uterus ibu rongga, lapisan-lapisan itu termasuk (1) epitel ketuban bagian dalam lapisan, terdekat janin (2) membran dasar, (3) lapisan kompak, (4) lapisan fibroblast dan (5) perantara lapisan yang bersentuhan dengan chorion . Chorion lebih tebal dari amnion tetapi memiliki daya tarik kurang kekuatan. Ini terdiri dari lapisan reticular dengan tipe kolagen I, III, IV, V dan VI, membran dasar (kolagen tipe IV, fibronectin dan laminin) dan sel trofoblas dengan polaritas diarahkan menuju desidua ibu .5 Faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini adalah: 1. Infeksi Adanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah cukup untuk melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat bakteri patogen di 3



dalam vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis, infeksi neonatal akan meningkat 10 kali. 2. Defisiensi vitamin C Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen. Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu. 3. Faktor selaput ketuban Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan atau terjadi peningkatan tekanan yang mendadak di dalam kavum amnion, di samping juga ada kelainan selaput ketuban itu sendiri. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. 4. Faktor umur dan paritas Paritas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya ketuban pecah dini, karena makin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan amnion akibat rusaknya struktur serviks akibat persalinan sebelumnya. 2.3. Patogenesis Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa daya regang selaput ketuban yang diperiksa setelah persalinan normal adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan selaput dari seksio sesarea tanpa tanda inpartu. Daya regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen matriks ekstraseluler pada selaput ketuban. 2.3.1 Infeksi Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa mekanisme. Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus, dan Trikomonas vaginalis mensekresi protease yang akan menyebabkan terjadinya degradasi membran dan akhirnya melemahkan selaput ketuban.3 Respon terhadap infeksi berupa reaksi inflamasi akan merangsang produksi sitokin, MMP, dan prostalglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan



4



tumor nekrosis faktor α yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion.3 Komunitas bakteri dari rongga ketuban bisa berbeda dari yang diidentifikasi dalam budaya serviks. Baldwin et al. diperlihatkan, bahwa microbiome plasenta pasien PPROM memiliki variabilitas individu yang tinggi dan korelasi yang lemah dengan microbiome vagina ibu [43]. Para penulis dapat mengidentifikasi kesamaan patogen seperti Prevotella spp. dan Peptoniphilus spp. pada pasien PPROM. Perawatan antibiotik, diberikan untuk PPROM, tidak menghilangkan kehadiran ini spesies patogen sampai waktu pengiriman, seperti yang dilakukan defisiensi pada spesies Lactobacilli.5



2.3.2 Hormon Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ekstraseluler pada jaringan reproduktif. Kedua hormon ini didapatkan menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks dari kelinci percobaan. Tingginya konsentrasi progesteron akan menyebabkan penurunan produksi kolagenase pada babi walaupun kadar yang lebih rendah dapat menstimulasi produksi kolagen. Ada juga protein hormon relaxin yang berfungsi mengatur pembentukan jaringan ikat diproduksi secara lokal oleh sel desidua dan plasenta. Hormon ini mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh progesteron dan estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam membran janin. Aktivitas hormon ini meningkat sebelum sebelum persalinan pada selaput ketuban manusia saat aterm. Peran hormon-hormon tersebut dalam patogenesis pecahnya selaput ketuban belum dapat sepenuhnya dijelaskan.6



2.3.3 Kematian Sel Terprogram Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian sel terpogram (apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan selaput ketuban. Pada korioamnionitis telihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan granulosit, yang menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian sel. Kematian sel yang terprogram ini terjadi setelah proses degradasi matriks 5



ekstraseluler dimulai, menunjukkan bahwa apoptosis merupakan akibat dan bukan penyebab degradasi tersebut. Namun mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum diketahui dengan jelas.6 2.3.4 Peregangan Selaput Ketuban Overdistensi uterus seperti pada polihidramnion dan kehamilan multipel dapat meningkatkan risiko ketuban pecah dini. Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor di selaput ketuban seperti prostalglandin E 2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga merangsang aktivitas MMP-1 pada membran. Interleukin-8 yang diproduksi dari sel amnion dan korionik bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas kolegenase. Hal-hal tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan proses sintesis dan degradasi matriks ektraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya selaput ketuban.6,7



Gambar 2



Diagram berbagai mekanisme multifaktorial yang diteorikan sebagai penyebab ketuban pecah dini9



6



2.4.



Epidemiologi



Ketuban pecah dini berkisar antara 3% sampai 18% dari seluruh kehamilan. Variasi yang luas ini disebabkan oleh adanya perbedaan definisi (dengan atau tanpa fase laten) dan variasi insiden yang berbeda pada populasi yang berbeda. Sekitar 5-10% dari kehamilan aterm mengalami ketuban pecah dini2,4,5,7. Hampir 30-40% persalinan preterm disebabkan oleh ketuban pecah dini.8 Sedangkan prevalensi ketuban pecah dini preterm adalah sekitar 2% dari seluruh kehamilan, dan 25% dari seluruh kasus ketuban pecah dini. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya risiko morbiditas pada ibu ataupun janin. Komplikasi seperti korioamnionitis dapat terjadi sampai 30% dari kasus ketuban pecah dini, sedangkan solusio plasenta berkisar antara 4-7%. Komplikasi pada janin berhubungan dengan kejadian prematuritas dimana 80% kasus ketuban pecah dini preterm akan bersalin dalam waktu kurang dari 7 hari. Risiko infeksi meningkat baik pada ibu maupun bayi. Insiden korioamnionitis 0,5-1,5% dari seluruh kehamilan, 315% pada ketuban pecah dini prolonged, 15-25% pada ketuban pecah dini preterm dan mencapai 40% pada ketuban pecah dini < 24 minggu. Sedangkan insiden sepsis neonatus 1 dari 500 bayi dan 2-4% pada ketuban pecah dini prolonged.2,6 2.5



Gejala Klinis



Pasien dengan ketuban pecah dini umumnya datang dengan keluhan keluarnya cairan dalam jumlah cukup banyak secara mendadak dari vagina. Mungkin juga merasakan ‘kebocoran’ cairan yang terus menerus atau kesan ‘basah’ di vagina atau perineum. Pemeriksaan yang terbaik untuk diagnosis pasti adalah melalui observasi langsung keluarnya cairan amnion dari lubang vagina. Gejala klinis dan diagnosis dapat juga ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik antara lain: 1. Anamnesis: a. Kapan keluarnya cairan, warna dan baunya. b. Adakah partikel-partikel dalam cairan (lanugo dan verniks). 2. Inspeksi: keluar cairan pervaginam. 3. Inspekulo: bila fundus uteri ditekan atau bagian terendah digoyangkan, keluar cairan dari ostium uteri internum (OUI). 4. Pemeriksaan dalam: 7



a. Ada cairan dalam vagina. b. Selaput ketuban sudah pecah. Catatan: Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada ketuban pecah dini adalah: 1. Saat ketuban pecah ditentukan berdasarkan anamnesis diketahui pasti kapan ketuban pecah. 2. Bila anamnesis tidak dapat memastikan kapan ketuban pecah, maka saat ketuban pecah adalah saat penderita masuk rumah sakit. Bila berdasarkan anamnesis pasti bahwa ketuban sudah pecah > 12 jam, maka dikamar bersalin dilakukan observasi selama dua jam. Bila setelah dua jam tidak ada tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi kehamilan.2,4,5 2.6 Diagnosis Untuk mendiagnosa ketuban pecah dini dapat dengan berbagai cara. Pertama, dengan melakukan anamnesis yang baik dan teliti kapan mulai keluar air, jumlahnya, merembes ataukah tiba-tiba banyak, konsistensinya encer ataukah kental, baunya. Kemudian dengan melakukan pemeriksaan fisik, sebagai berikut.2,4,5,9 -



Semua wanita dengan keluhan keluar air pervaginam harus dilakukan pemeriksaan inspekulo steril. Pemeriksaan serviks mungkin memperlihatkan keluarnya cairan amnion dari lubang serviks.



-



Jika meragukan apakah cairan berasal dari lubang serviks atau cairan pada forniks posterior vagina, dilakukan pemeriksaan pH dari cairan tersebut (cairan amnion akan merubah lakmus menjadi berwarna biru karena bersifat alkalis). Cairan vagina dalam keadaan normal bersifat asam. Perubahan pH dapat terjadi akibat adanya cairan amnion, adanya infeksi bahkan setelah mandi. Tes nitrazine kuning dapat menegaskan diagnosa dimana indikator pH akan berubah berwarna hitam, walaupun urine dan semen dapat memberikan hasil positif palsu.



-



Melihat cairan yang mengering di bawah mikroskop, cairan amnion akan menunjukkan fern-like pattern (gambaran daun pakis), walaupun tes ini sedikit rumit dan tidak dilakukan secara luas.



8



-



Jangan lakukan pemeriksaan dalam, untuk mencegah ascending infection. Lakukan vaginal swab tinggi. Jika curiga terjadi infeksi, periksa darah lengkap, cRP, MSU dan kultur darah. Berikam antibiotika spektrum luas.



-



Pemeriksaan lebih lanjut seperti USG digunakan untuk melihat organ interna dan fungsinya, juga menilai aliran darah uteroplasenta. USG yang menunjukkan berkurangnya volume likuor pada keadaan ginjal bayi yang normal, tanpa adanya IUGR sangat mengarah pada terjadinya ketuban pecah dini, walaupun volume cairan yang normal tidak mengeksklusi diagnosis.



-



Pada masa yang akan datang, tes seperti cairan prolaktin atau alphafetoprotein, dan penghitungan fibronektin bayi mungkin dapat menentukan dengan lebih tepat adanya ketuban pecah dini.



2.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan ketuban pecah dini mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: -



Kehamilan, keadaan kesehatan secara umum, dan riwayat kesehatan



-



Keparahan kondisi akibat ketuban pecah dini



-



Toleransi terhadap obat-obatan, tindakan atau terapi yang diberikan



-



Ekspektasi dari keadaan pasien



-



Pendapat atau pilihan pasien



Risiko terbesar pada bayi setelah terjadinya ketuban pecah dini pada kehamilan preterm dihubungkan dengan komplikasi prematuritasnya. Oleh karena itu, penatalaksanaan ditujukan untuk memperpanjang kehamilan untuk pasien yang belum ada tanda-tanda persalinan, tidak mengalami infeksi dan tidak menunjukkan adanya tanda gawat janin. Terdapat beberapa penatalaksanaan alternatif yang dapat dikembangkan.10 Secara umun penatalaksanaan ketuban pecah dini pada kehamilan preterm adalah sebagai berikut: Dirawat di Rumah Sakit Satu dari alasan penting perlunya merawat pasien dengan di rumah sakit adalah pada saat persalinan dimulai terdapat insiden yang tinggi dari gawat janin terutama yang berasal dari kompresi tali pusat. Seperti yang telah digambarkan, gawat janin pada kehamilan yang sangat preterm dapat sangat berbeda dengan gawat janin pada kehamilan aterm. Pada janin dapat mengalami variable 9



deselerasi dari ringan sampai berat dengan cepat, variabilitas denyut jantung janin dapat hilang dengan lebih cepat dan terdapat korelasi antara denyut jantung yang abnormal dengan depresi dari Apgar skor, asidosis tali pusat dan komplikasi neonatal. Oleh karena itu, adalah perlu untuk mengevaluasi keadaan janin secara tepat sebelum pasien mengalami persalinan dan untuk melakukan persalinan yang lebih cepat jika ditemukan tanda gawat janin. Manajemen ekspektatif Penatalaksanaan yang paling banyak diterima untuk pasien dengan umur kehamilan 36 minggu dengan ketuban pecah dini namun dengan janin yang viable adalah dengan manajemen ekspektatif di rumah sakit. Dilakukan penilaian yang terdiri dari observasi dari tanda-tanda infeksi, tanda-tanda persalinan, atau gawat janin dalam upaya untuk menambah waktu bagi janin untuk tumbuh dan maturasi. Pada saat MRS, diagnosis dikonfirmasikan dengan pemeriksaan menggunakan spekulum. Pasien dievaluasi dengan monitoring denyut jantung janin dan kontraksi uterus (untuk 12 sampai 24 jam). Jika timbul tanda-tanda persalinan dan infeksi atau terjadi gawat janin, maka persalinan dibenarkan; namun pada kasus yang lain, pasien diobservasi di ruangan. Penilaian meliputi evaluasi klinis setiap hari, non stress test dan evaluasi profil biofisik. Jika umur kehamilan sudah mencapai 36 atau 37 minggu, maka persalinan diindikasikan. Penatalaksanaan lain meliputi penggunaan manajemen ekspektatif yang selektif. Pada algoritma ini, pasien dievaluasi maturitas paru-paru janinnya dan persalinan diindikasikan jika adanya maturitas dapat dibuktikan. Hal ini masuk akal untuk diterima bahwa maturitas paru adalah tidak baik pada umur kehamilan kurang dari 31 minggu dan pasien pada grup ini dapat dilakukan manajemen ekspektatif. Pada umur kehamilan 32 minggu atau lebih, pemeriksaan PG dari cairan di pool vagina dengan menggunakan rapid slide agglutination test. Pada pasien dengan hasil PG negative, amniocentesis dapat dipertimbangkan dan jika pada pemeriksaan cairan amnion didapatkan bukti maturitas paru-paru janin maka persalinan dapat diinduksi. Cairan yang diperoleh dari amniocentesis harus dilakukan pemeriksaan Gram dan penentuan kadar glukosa. Penemuan adanya infeksi merupakan indikasi untuk dilakukan persalinan dan pemberian 10



antibiotika. Paru-paru janin yang masih imatur dan tidak ada infeksi adalah indikasi untuk dilakukan manajemen ekspektatif. Risiko yang dialami ibu dan fetus pada manajemen ekspektatif berbeda-beda tergantung umur kehamilan saat pecah ketuban dan konsekuensi terhadap infeksi uterin dan sepsis. Jika bermaksud untuk melakukan manajemen ekspektatif sebelum 25 minggu, pertimbangan tambahan perlu diberikan untuk risiko oligohidramnion pada fetus dengan diserta hipoplasia pulmonal dan deformitas akibat penekanan anggota badan. Terapi Antimikroba Pemberian antibiotika pada ketuban pecah dini preterm dihubungkan dengan penundaan persalinan yang secara statistik signifikan dan penurunan morbiditas neonatal (walaupun bukan mortalitasnya). Penundaan persalinan ini memberikan waktu yang cukup bagi timbulnya efek kortikosteroid profilaksis pada prenatal. Dari penelitian tersebut diatas, erithromycin merupakan antibiotika pilihan utama.2,4,5,6 Penelitian-penelitian belakangan ini



telah memeriksa adanya efikasi dari



pemendekan pemberian terapi dan kombinasi antimikroba lainnya. Tiga hari perawatan dibandingkan dengan 7 hari perawatan menggunakan baik ampicillin atau ampicillin-sulbactam menunjukkan efektifitas yang sama. Pemberian terapi antimikroba yang lama pada kehamilan semacam ini dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Terdapat potensi terjadinya resistensi terhadap bakteri. Bagaimanapun, sepsis karena infeksi Streptococcus grup B mengalami penurunan dari periode tahun 1991 – 1993 dibandingkan dengan periode tahun 1998-2000 (5,9 menjadi 1,7 per 1000 kelahiran), sepsis oleh karena E. coli meningkat dari 3,2 menjadi 6,8 per 1000 kelahiran. Hampir 85% coliform terisolasi pada penelitian kohort dengan pasien yang resisten ampicillin Perbaikan Membran Beberapa kemungkinan yang menggembirakan untuk terapi definitif meliputi pembedahan untuk menutup membran telah dikembangkan. Pada penelitianpenelitian pendahuluan, membran ditutup dengan graft kolagen, platelet dan kriopresipitat, dan fibrin dan atau trombin sampai spon gelatin. Penggunaan spon 11



gelatin untuk menyumbat servik telah digambarkan oleh O”Brien dkk (2002) pada 15 wanita dengan pecah ketuban pada awal midtrimester. Tehnik ini masih dalam investigasi. Amnioinfusion Membran dari kantong amnion biasanya pecah saat persalinan. Apabila ketuban pecah sebelum usia kehamilan kurang dari 37 minggu akan meningkatkan risiko infeksi, juga meningkatkan risiko terjadinya penekanan tali pusat yang dapat mengurangi pasokan nutrisi dan oksigen ke janin dan amnionitis. Amnioinfusion dilakukan untuk mencegah ataupun mengurangi penekanan tali pusat dengan memasukkan cairan ke dalam kavum uteri. Larutan saline dapat dimasukkan dengan kateter secara transervikal ke kavum uterus, ataupun transabdominal dengan menyuntikkan jarum spinal pada membran yang intak. Teknik ini digunakan pada kasus oligohidramnion maupun terapi terhadap penurunan denyut jantung janin akibat adanya penekanan tali pusat. Steroid Pemberian kortikosteroid prenatal ditujukan untuk meningkatkan produksi surfaktan janin dan pematangan paru. Jika diberikan dalam sedikitnya 24- 48 jam sebelum kelahiran, dapat menurunkan kejadian sindroma gagal nafas, perdarahan intraventricular dan kematian janin sampai 50%. Efek steroid bertahan sampai 1 minggu. Tidak ditemukan keuntungan dari pemberian dosis steroid ulangan.2,4,6



12



Tokolisis Penekanan kontraksi uterus dapat menjadi solusi yang nyata dari masalah persalinan preterm. Bagaimanapun, tokolitik tidak bekerja secara efektif untuk lebih dari 48 jam, kemungkinan oleh karena tachyphylaxis. Penggunaan utamanya untuk penundaan persalinan untuk memberikan waktu bagi kortikosteroid sampai ke fetus untuk meningkatkan pelepasan surfaktan pada paru fetus. Efek ini hanya signifikan untuk umur kehamilan diatas 34 minggu. Bagaimanapun, terdapat banyak situasi dimana penggunaan tokolitik tidak diperlukan. Dari 3000 persalinan dalam 1 tahun, hanya sekitar 50 wanita yang cocok dengan tokolitik. Banyak tokolitik yang belakangan ini dipakai. Simpatomimetik seperti ritodrine dan salbutamol digunakan secara umum sebagai pilihan yang paling aman untuk ibu dan janin, walaupun dapat menimbulkan takikardi dan edema paru jika diberikan dalam dosis yan berlebihan. Indomethacin dapat menimbulkan penutupan prematur pada duktus arteriosus jika digunakan setelah 32 minggu yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal yang signifikan. Alkohol dan isoxuprine hydrochloride tidak lagi digunakan. Calcium channel blocker seperti nifedipin dapat menimbulkan hipotensi yang signifikan. Atosiban, suatu oksitosin antagonis, dapat memberikan harapan seperti halnya dengan nimesulide, suatu inhibitor selektif dari siklooksigenase tipe 2, nitric oxide seperti glyceryl trinitrate juga telah dievaluasi. Dari penelitian tidak ditemukan keuntungan dengan pemberian tokolitik profilaktik pada kehamilan trimester 1 dan 2. Jika terjadi pecah ketuban, penggunaan tokolitik masih kontroversial. Kontraksi dapat terjadi akibat dari korioamnionitis dan dengan menunda persalinan dapat meningkatkan penyebaran infeksi. Jika tokolitik digunakan pada situasi ini, maka harus diberikan antibiotika spektrum luas secara intravena2,4,6,10. 2.8. Komplikasi Ketuban pecah dini dapat menimbulkan komplikasi yang bervariasi sesuai dengan usia kehamilan. Kurangnya pemahaman terhadap kontribusi dari komplikasi yang mungkin timbul dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal bertanggung



13



jawab terhadap kontroversi dalam penatalaksanaannya. Beberapa komplikasi yang berhubungan dengan ketuban pecah dini antara lain. 2,3,4 -



Infeksi Risiko infeksi meningkat baik pada ibu maupun bayi. Infeksi pada ibu dapat berupa ascending infection yang insidennya sekitar 30% dan korioamnionitis. Insiden korioamnionitis bervariasi sesuai dengan populasi. Insidennya 0,51,5% dari seluruh kehamilan, 3-15% pada ketuban pecah dini prolonged, 1525% pada ketuban pecah dini preterm dan mencapai 40% pada ketuban pecah dini dengan usia kehamilan kurang dari 24 minggu. Sedangkan insiden sepsis neonatus 1 dari 500 bayi dan 2-4% pada ketuban pecah dini prolonged.



-



Persalinan preterm Pada kehamilan aterm 90% kasus akan bersalin dalam 24 jam. Sedangkan pada ketuban pecah dini dengan usia kehamilan 28-34 minggu, 50% melahirkan dalam 24 jam, 80-90% dalam waktu seminggu. Sebelum 26 minggu, 50% akan melahirkan dalam waktu seminggu.



-



Hipoksia dan atau asfiksia sekunder oleh karena penekanan tali pusat dan atau disertai solusio plasenta.



-



Peningkatan persalinan perabdominal dengan Apgar skor lima menit pertama yang rendah.



-



Oligohidramnion, menyebabkan hipoplasia paru pada neonatus



-



Peningkatan insiden retensio plasenta, dan kejadian perdarahan postpartum primer ataupun sekunder.



-



Pecahnya vasa previa dapat menyebabkan kematian janin antara 33-100%



Pemecahan ketuban secara sengaja masih kontroversial karena dapat menyebabkan komplikasi dan dianggap tindakan yang tidak perlu dilakukan. Sedangkan pendapat lain mengatakan amniocentesis dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keuntungan, indikasi yang jelas dengan monitoring ketat keadaan bayi, serta mencegah partus lama. Indikasi 



Induksi persalinan







Augmentasi persalinan



14







Monitoring bayi saat persalinan : monitoring likuor, fetal scalp electrode, contoh darah bayi.



Komplikasi 



Peningkatan rasa nyeri pada ibu







Gawat janin







Sepsis pada ibu ataupun janin







Prolaps tali pusat







Kesalahan dalam perhitungan hari pertama haid terakhir dapat menyebabkan terjadinya prematuritas







Pecahnya vasa previa dapat menyebabkan kematian janin antara 33-100%.



15



DAFTAR PUSTAKA 1. Saifuddin, A. B. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2. Allahyar Jazayeri. 2011. Premature http://www.emedicine.medscape.com.



Rupture



of



Membranes.



3. Medina, Tanya M. and Hill, Ashley D. Preterm Premature Rupture of Membranes: Diagnosis and Management. Am Fam Physician 2006;73:659-64. 4. Wirdasari. 2011. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini pada Kehamilan Preterm dan Aterm. Program Pendidikan Profesi Dokter. Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Setjonegoro Wonosobo. 5. Tchirikov M, Schlabritz-Loutsevitch N, Maher J, Buchmann J, et al. 2018. Midtrimester preterm premature rupture of membranes (PPROM): etiology, diagnosis, classification, international recommendations of treatment options and outcome. J Perinat Med 2018 : 46(5): 465–488.



16