PCOS [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN



Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) atau sindrom polikistik ovarium merupakan kelainan endokrinopati yang paling banyak terjadi pada perempuan usia reproduktif dengan prevalensi hingga 12% di seluruh dunia.1 Penyebab sindrom polikistik ovarium belum diketahui dengan pasti, namun beberapa gangguan hormonal diketahui berperan dalam terjadinya PCOS, seperti hiperandrogenemia, resistensi insulin, dan hiperinsulinemia. Polikistik ovarium sendiri yaitu keadaan dimana ovarium memiliki folikel berdiameter kurang dari 10 mm dengan jumlah 12 atau lebih. Adanya PCOS dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti infertilitas, diabetes melitus tipe 2, penyakit kardiovaskular dan sindrom metabolik.2 Berbagai kriteria diagnosis diajukan untuk membantu dalam mendiagnosis PCOS, yakni kriteria National Institutes of Health (NIH) tahun 1990, kriteria Rotterdam tahun 2003, dan kriteria Androgen Excess and Polycystic Ovary Syndrome (AE-PCOS) Society tahun 2006. Kriteria diagnosis PCOS secara umum terdiri dari adanya hiperandrogenisme, oligo-anovulasi dan morfologi polikistik ovarium.2 Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi dan pemeriksaan laboratorium diperlukan dalam membantu menegakkan diagnosis PCOS. Pemeriksaan laboratorium juga berperan dalam menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang memiliki gejala yang serupa dengan PCOS.1 Pemeriksaan laboratorium yang



2



diperlukan yaitu pemeriksaan kadar thyroid-stimulating hormone (TSH), prolaktin, testosteron, dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS), androstenedion, 17α-hidroksiprogesteron, luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone (FSH), tes toleransi glukosa oral, glukosa puasa, insulin puasa, profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL), anti-Müllerian hormone (AMH), antinuclear antibodies (ANA), dan anti-double-stranded DNA (anti-dsDNA). Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai: definisi, gejala klinis, epidemiologi, etiologi, patogenesis, dan pemeriksaan laboratorium pada PCOS.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Sindrom Polikistik Ovarium Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) atau sindrom polikistik ovarium pertama kali dikemukakan oleh Irving Stein (1887-1976) dan Michael Leventhal (1901-1971) pada tahun 1935 sebagai sindrom yang terdiri dari oligomenore, hirsutisme, obesitas dan infertilitas yang berhubungan dengan pembesaran ovarium yang tampak saat laparatomi.3 Sindrom polikistik ovarium juga dikenal sebagai sindrom Stein-Leventhal. Berdasarkan konsensus endokrin di Belanda tahun 2003, sindrom polikistik ovarium adalah kelainan endokrin yang ditandai oleh disfungsi ovarium (anovulasi atau oligo-ovulasi), hiperandrogenisme, dan kista ovarium yang multipel.1 Polikistik ovarium merupakan suatu kondisi dimana ovarium memiliki folikel multipel (lebih dari 12 folikel) dan berukuran kecil (diameter kurang dari 10 mm), yang mengelilingi stroma ovarium.4 Gambar 2.1. menunjukkan polikistik ovarium dengan penebalan kapsul dan beberapa kista.5



4



Gambar 2.1. Polikistik ovarium Dikutip dari: Rojas J, et al.5



2.2. Gejala Klinis Pada perempuan dengan PCOS keluhan yang ditimbulkan diantaranya iregularitas menstruasi, infertilitas, manifestasi hiperandrogenisme atau disfungsi endokrin. Gejala klinis tampak jelas beberapa tahun setelah pubertas. Gejala klinis PCOS yaitu timbulnya akne, hirsutisme, obesitas, iregularitas menstruasi (oligomenore atau amenore), dan infertilitas.1 Pada tahun 1990 National Institutes of Health (NIH) merumuskan kriteria diagnosis PCOS, yaitu:1 (1) oligo-ovulasi dan (2) hiperandrogensime dan/atau hiperandrogenemia. Pada tahun 2003 konsensus antara the European Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE) dan the American Society for Reproductive Medicine (ASRM) menghasilkan suatu kriteria diagnosis sindrom polikistik ovarium yang



5



dikenal sebagai kriteria Rotterdam, yaitu jika ditemukan dua dari tiga gejala berikut:1 (1) manifestasi dari hiperandrogenisme, (2) disfungsi ovarium (oligo atau anovulasi), dan (3) polikistik ovarium, setelah menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan lain dengan gejala klinis serupa PCOS yaitu sindrom Cushing, keganasan ovarium, keganasan adrenal atau hiperplasia adrenal kongenital. Kriteria Rotterdam diperbaharui pada tahun 2006 oleh Androgen Excess and Polycystic Ovary Syndrome (AE-PCOS) Society. Kriteria berdasarkan AE-PCOS Society yaitu:6 (1) Hiperandrogenisme: hirsutisme dan/atau hiperandrogenemia, dan (2) Disfungsi ovarium: oligo-anovulasi dan polikistik ovarium, dan (3) Eksklusi kelainan lain yang berhubungan dengan hiperandrogenisme Hiperandrogenisme dapat diketahui dari gejala klinis atau hasil laboratorium (hiperandrogenemia). Hiperandrogenisme umumnya ditandai oleh hirsutisme, akne, dan atau alopesia androgenik. Hirsutisme yaitu pertumbuhan rambut yang kasar dan berwarna gelap yang terdistribusi dengan pola seperti pada laki-laki (di atas bibir, dagu, dada, abdomen atas, punggung, dan lain-lain). Hirsutisme dan peningkatan kadar hormon testosteron dan androstenedion dijumpai pada 70-80% perempuan dengan polikistik ovarium.1 Sebagian besar perempuan dengan PCOS memiliki siklus menstruasi yang abnormal, baik oligomenore atau amenore. Disfungsi ovarium dengan ovulasi



6



ireguler serta produksi androgen yang berlebihan oleh stroma ovarium menyebabkan gangguan siklus menstruasi.3 Polikistik ovarium diketahui dengan ultrasonografi (USG) dimana ovarium memiliki 12 atau lebih folikel berdiameter 2–9 mm dan atau peningkatan volume ovarium lebih dari 10 cm3 pada USG vaginal atau abdominal (gambar 2.2). Deskripsi polikistik ovarium tidak dapat digunakan jika pasien mengkonsumsi pil kontrasepsi oral. Waktu yang baik untuk melakukan USG pada perempuan dengan menstruasi yang teratur yaitu hari ketiga sampai kelima siklus menstruasi.7



Gambar 2.2. Polikistik ovarium pada ultrasonografi transvaginal. Dikutip dari: Schmidt J8



Sebanyak 35–50% perempuan dengan PCOS mengalami kelebihan berat badan (Indeks Massa Tubuh [IMT] 25–29,9 kg/m2) dan obesitas (IMT >30 kg/m2). Perempuan dengan PCOS yang disertai obesitas sentral memiliki faktor risiko tujuh kali lipat mengalami infark miokard. Gejala klinis PCOS lainnya yaitu timbulnya akne dan akantosis nigrikans. Akne terdapat pada ±30% penderita PCOS. Akantosis nigrikans yaitu erupsi mukokutan yang terjadi pada lipatan kulit



7



seperti leher dan aksila dimana terdapat peningkatan pigmentasi dan papilomatosis. Akantosis nigrikans berhubungan dengan resistensi insulin dan kompensasi peningkatan sekresi insulin.7



2.3. Epidemiologi Sindrom polikistik ovarium ditemukan pada 6-10% perempuan di seluruh dunia menurut kriteria diagnosis NIH, dan lebih banyak menurut kriteria Rotterdam yang lebih luas, menjadikan PCOS sebagai endokrinopati terbanyak pada perempuan usia produktif. Beberapa faktor risiko PCOS yaitu pada perempuan dengan hiperandrogenisme (hirsutisme, akne atau alopesia), disfungsi menstrual, PCO, hiperinsulinemia, dan riwayat PCOS pada keluarga.2



2.4. Etiologi Etiologi spesifik dari PCOS belum diketahui dengan pasti. Etiologi PCOS diperkirakan disebabkan oleh interaksi berbagai faktor seperti resistensi insulin, faktor genetik, faktor lingkungan dan gangguan hormonal (hiperandrogenemia dan hiperinsulinemia).9



2.5. Patogenesis 2.5.1. Resistensi Insulin-Hiperinsulinemia-Hiperandrogenemia Etiopatogenesis yang tepat untuk PCOS masih belum diketahui dengan jelas, namun kombinasi faktor lingkungan dan genetik nampaknya menyebabkan perkembangan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah suatu kondisi metabolik



8



dimana terdapat penurunan kemampuan sel untuk merespon sinyal dari insulin. Resistensi



insulin



di



kemudian



hari



akan



menimbulkan



kompensasi



hiperinsulinemia, yang kemudian akan meningkatkan sintesis androgen ovarium dengan meningkatkan frekuensi sekresi LH di hipofisis dengan merangsang transkripsi gen gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dalam sel hipotalamus.5 Insulin juga memicu hiperandrogenemia dengan mengaktifkan langsung jalur mitogenik pada sel ovarium dan meningkatkan transkripsi steroidogenic acute regulatory protein (StAR) dan beberapa enzim steroidogenik. Hiperandrogenemia adalah gangguan utama yang mendasari gambaran klinis yang khas pada PCOS. Selain itu, peningkatan produksi androgen ovarium akan memperberat resistensi insulin, sehingga menimbulkan siklus resistensi insulin-hiperinsulinemiahiperandrogenemia.5 Androgen tidak hanya mengganggu sinyal insulin secara langsung, tetapi juga memicu lipolisis sehingga meningkatkan asam lemak bebas yang beredar, yang kemudian memperberat resistensi insulin. Androgen juga mengurangi serat otot tipe I yang oksidatif dan sensitif-insulin, serta meningkatkan serat otot tipe II yang glikolitik dan kurang sensitif-insulin; yang mendukung perkembangan resistensi insulin. Selain itu, obesitas memperkuat siklus tersebut dengan meningkatkan sintesis androgen tidak hanya di ovarium, tetapi juga di jaringan lemak subkutan dan kelenjar adrenal.5 Pada penderita PCOS dengan obesitas, kadar leptin yang meningkat diketahui berperan dalam patogenesis terjadinya hiperandrogenisme PCOS. Leptin adalah peptide yang dihasilkan oleh gen obesitas (ob) di jaringan lemak. Leptin bekerja



9



di hipotalamus untuk menekan nafsu makan dan meningkatkan metabolisme. Pada obesitas selain terjadi peningkatan ekspresi gen ob pada jaringan lemak subkutan, juga terdapat gangguan transportasi leptin melewati sawar darah otak yang menyebabkan resistensi leptin, dan akhirnya menimbulkan hiperleptinemia. Hiperleptinemia menyebabkan inflamasi kronis, penunrunan kolagen ovarium, peningkatan sekresi LH dan penurunan FSH yang akhirnya meningkatkan hormon testosteron. Resistensi



insulin



dan



inflamasi



kronis



menjadi



predisposisi



untuk



berkembangnya komorbiditas pada penderita PCOS, seperti diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular.5 Mekanisme kompleks interaksi berbagai faktor tampak pada gambar 2.3. Hiperandrogenemia akan menyebabkan perubahan morfologi ovarium. Androgen berfungsi merangsang pertumbuhan folikel primer yang dipercepat dengan adanya hiperandrogenemia dibandingkan dengan ovarium yang normal. Ovarium akan menghasilkan folikel preantral yang lebih banyak dan berukuran lebih kecil dibandingkan pada ovarium normal menjadi polikistik ovarium. Pertumbuhan folikel tertahan pada ukuran 2-9 mm dan memerlukan FSH untuk pematangannya. Pada PCOS terdapat penurunan kadar FSH karena peningkatan beberapa faktor inhibitor FSH endogen (seperti folistatin, epidermal growth factor, dll). Kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang menyebabkan morfologi ovarium berkarakteristik polikistik.1



10



Diet karbohidrat dan lipid



Faktor lingkungan dan gaya hidup



Aromatase jaringan lemak subkutan/ viscera



 Androgen adrenal



Obesitas



Leptin



Gen



Resistensi Insulin  TIMF  TIIMF



 ALB



Hiperinsulinemia



Inflamasi kronik



Hiperandrogenemia ovarium



Hipofisis:  LH



Liver:  SHBG +  IGFBP-1 →  testosterone bebas +  IGF-1 bebas



Hipertensi arterial – dislipidemia – diabetes melitus tipe 2 – sindrom metabolik – penyakit kardiovaskular



Kista ovarium – gangguan menstruasi - hirsutisme



Gambar 2.3. Interaksi antara resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan hiperandrogenemia pada etiopatogenesis PCOS. Dikutip dari: Rojas J, et al.5 Keterangan: ALB: Asam lemak bebas LH: Luteinizing hormone TIMF: Type I muscle fibers TIIMF: Type II muscle fibers SHBG: Sex hormone binding globulin IGFBP-1: Insulin-like growth factor binding protein-1 IGF-1: Insulin-like growth factor-1



11



Gangguan



folikulogenesis



yang



terjadi



menyebabkan



peningkatan



pembentukan folikel preantral dan antral yang kecil sehingga terjadi pula peningkatan kadar anti-Müllerian hormone (AMH). Anti-Müllerian hormone (AMH) merupakan hormon yang disekresikan dari sel granulosa pada perkembangan folikel preantral dan antral fase awal hingga diameter folikel mencapai 6 mm, dan kadarnya menurun sejalan dengan perkembangan folikel. Peningkatan AMH dapat menjadi penanda potensial adanya morfologi polikistik ovarium dan PCOS.10 Peningkatan insulin dan LH, akan meningkatkan produksi androgen dari sel teka



ovarium,



akibatnya



ovarium



akan



melepaskan



testosteron



dan



androstenedion. Peningkatan androgen juga menyebabkan peningkatan estrogen perifer melalui konversi androgen oleh aromatase menjadi estrogen. 1 Anovulasi



pada



perempuan



dengan



PCOS



disebabkan



dari



sekresi



gonadotropin yang tidak sesuai. Perubahan sekresi GnRH menyebabkan ketidakseimbangan produksi LH dibandingan FSH. Penyebab perubahan tersebut belum diketahui, apakah akibat disfungsi hipotalamus sebagai penyebab primer PCOS atau sekunder akibat umpan balik steroid.1



2.5.2. Proses Autoimun Beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan PCOS dengan proses autoimun. Peneliti menggambarkan kista pada ooforitis autoimun berhubungan dengan antibodi antiovarian pada perempuan dengan PCOS. Penelitian lain menyebutkan peningkatan kadar androgen pada penderita PCOS nampaknya



12



memberikan dampak protektif terhadap perkembangan penyakit autoimun, namun beberapa mekanisme yang terkait efek estrogen pada sistem imun berlawanan dengan hal tersebut.11 Estrogen meningkatkan sekresi IL-4 oleh limfosit Th2, IL-1 oleh monosit, IL-6 oleh limfosit T dan interferon-γ oleh sel Th1. Pada siklus ovulasi normal, fase folikular ditandai oleh peningkatan IL-6, dimana kadarnya akan menurun pada fase luteal. Efek stimulasi estrogen pada sistem imun dapat dihambat oleh progesteron. Pasien PCOS memiliki kadar progesteron yang rendah karen oligo/anovulasi sehingga sistem imun dapat terstimulasi berlebihan menimbulkan produksi autoantibodi.11



2.6. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium pada PCOS diperlukan untuk mendukung diagnosis dan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan lain dengan gejala klinis serupa PCOS seperti sindrom Cushing, keganasan ovarium, keganasan adrenal atau hiperplasia adrenal congenital, namun belum ada pemeriksaan laboratorium yang sensitif dan spesifik untuk PCOS. Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya:



thyroid-stimulating



dehydroepiandrosterone



sulfate



hormone



(TSH),



(DHEAS),



prolaktin,



testosteron,



androstenedion,



17α-



hidroksiprogesteron, luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone (FSH), tes toleransi glukosa oral, glukosa puasa, insulin puasa, profil lipid (kolesterol, HDL, LDL), anti-Müllerian hormone (AMH), antinuclear antibodies (ANA), dan anti-double-stranded DNA (anti-dsDNA).12



13



2.6.1. Thyroid-Stimulating Hormone (TSH) Pemeriksaan TSH dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan tiroid. Pada kelainan tiroid dimana kadar TSH meningkat, sering dijumpai disfungsi menstruasi yang serupa dengan penderita PCOS.1 Pemeriksaan TSH menggunakan metode immunochemiluminometric dengan spesimen serum atau plasma. Spesimen yang digunakan bebas dari hemolisis dan lipemia, stabil selama 5 hari dengan penyimpanan pada suhu 2-8°C dan selama 1 bulan jika dibekukan. Konsentrasi TSH dipengaruhi oleh irama sirkadian dimana kadar puncak tercapai pada malam hari antara pukul 02.00-04.00, dan kadar terendah pada sore hari antara pukul 17.00-18.00. Nilai normal TSH pada dewasa usia 21-54 tahun 0,3-4,5 mIU/L dan pada usia 55-87 tahun 0,5-8,9 mIU/L.13



2.6.2. Prolaktin Hiperprolaktinemia ringan dapat ditemukan pada 5-30% penderita PCOS. Hiperprolaktinemia umumnya bersifat sementara, dan dapat ditemukan menetap pada 3-7% penderita PCOS.14 Hiperprolaktinemia juga diketahui sebagai penyebab iregularitas menstruasi, amenore, dan anovulasi. 1 Pemeriksaan prolaktin menggunakan spesimen serum dengan stabilitas 24 jam pada suhu 4°C dan 1-2 hari jika dibekukan. Pemeriksaan prolaktin dilakukan dengan metode imunometrik. Sampel darah harus diambil dalam 3-4 jam setelah pasien bangun tidur karena kadar prolaktin meningkat selama tidur dan mencapai puncak pada dini hari. Kadar prolaktin dipengaruhi oleh stress, kegiatan fisik, dan konsumsi protein, sehingga pengambilan spesimen dilakukan setelah puasa



14



sepanjang malam saat pasien istirahat. Nilai normal prolaktin pada wanita dewasa yaitu 3,2-20 μg/L.15



2.6.3. Testosteron Testosteron yang beredar dalam sirkulasi darah terdiri dari tiga bentuk yang berbeda: bentuk bebas, terikat lemah (dengan albumin), dan terikat kuat (dengan sex hormone binding globulin). Kadar testosteron yang dapat diperiksa yaitu testesteron total (seluruh bentuk testosteron di dalam darah) dan testosteron bebas.16 Pemeriksaan testosteron total dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding neoplasma androgen-secreting seperti tumor ovarium dan tumor adrenal. Peningkatan kadar testosteron bebas ditemukan pada 70-80% perempuan dengan PCOS.



Pemeriksaan



testosteron



bebas



lebih



sensitif



sebagai



indikator



hiperandrogenisme dan bermanfaat dalam pemantauan terapi. Namun, karena standar pemeriksaan testesteron bebas tidak seragam antar laboratorium, maka pemeriksaan testosteron total masih menjadi pilihan utama. 1 Pemeriksaan testosteron total atau bebas dilakukan dengan metode immunoassay, baik yang menggunakan label enzim, zat fluoresen, ataupun chemiluminescence yang sudah terautomasi. Spesimen yang digunakan berupa serum atau plasma heparin yang stabil selama 3 hari pada suhu 4-8°C dan selama 1 tahun pada suhu -20°C. Testosteron memiliki variasi diurnal, dimana kadar puncak tercapai pada pukul 04.00-08.00, sehingga sebaiknya menggunakan



15



spesimen yang diambil pada pagi hari. Nilai normal testosteron pada wanita dewasa yaitu 0,06–0,82 ng/mL.16



2.6.4. Dehydroepiandrosterone Sulfate (DHEAS) Dehydroepiandrosterone Sulfate (DHEAS) dihasilkan di kelenjar adrenal, sehingga peningkatan kadar DHEAS ≥800 μg/dL (21,7 μmol/L) menandakan adanya neoplasma adrenal.1 Pada penderita PCOS terjadi sedikit peningkatan kadar DHEAS, sehingga DHEAS dapat digunakan untuk menyingkirkan adanya neoplasma adrenal.12 Pemeriksaan



DHEAS



yang



telah



tersedia



menggunakan



metode



radioimmunoassay (RIA), immunofluorescence dan immunochemiluminescence. Spesimen yang digunakan yaitu serum atau plasma EDTA yang stabil selama 14 hari pada suhu 4-8°C dan selama >1 tahun pada suhu -20°C.16



2.6.5. Androstenedion Hormon androstenedion dihasilkan di kelenjar adrenal dan gonad yang berperan pada tahapan pembentukan hormon testosteron dan estrogen. Pengukuran androstenedion serum menjadi penanda biosintesis androgen. Hormon androstenedion meningkat pada PCOS, hiperplasia adrenal, tumor adrenal, dan tumor ovarium. Nilai normal hormon androstenedion 600–3.400 ng/ml. Pemeriksaan hormon androstenedion menggunakan metode ELISA kompetitif dimana hormon androstenedion dalam serum berkompetisi dengan hormon androstenedion berlabel dalam reagen.12



16



2.6.6. 17α-Hidroksiprogesteron (17-OHP) Hormon 17α-hidroksiprogesteron merupakan prekursor hormon yang akan dikonversi menjadi kortisol. Kadar 17-OHP yang dilakukan saat pagi hari dan puasa