Refarat Morbus Hansen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Penyakit Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan basil mycobacterium leprae, yang bersifat obligat intraseluler.1 Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874.2,3,4 Dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat di diagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta.3 Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat asimptomatik. Sebagian kecil terlambat didiagnosis dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat. Tetapi diagnosis dapat dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang spesifik pada pasien.Penyakit ini disebarkan melalui droplet infeksi dan mempunyai masa tunas yang panjang.4



1



1.2



Tujuan Dimana tujuan penulit ini untuk menguraikan mengenai defenisi, epidemiologi,



etiologi,



pathogenesis,



gejala



klinis,



pemeriksaan



penunjang, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis Morbus Hansen untuk membantu menentukan diagnosis serta memberikan terapi yang tepat.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Definisi Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraseluler. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit selanjutnya dapat menyebar ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1



2.2



Epidemiologi Jumlah penderita kusta yang dilaporkan dari 38 negara di semua regional WHO adalah sebanyak 176.176 kasus di akhir tahun 2015 atau 0,18 kasus per 10.000 penduduk. 5 Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid Syarat perhitungan IM adalah : -



Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,



-



I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan



-



Mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.



2. Pemeriksaan histopatologi Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk



27



menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.6,9 Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 9 Tampakan histopatology Morbus Hansen : 1) Tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil.9



Gambar 2.23 dua gambar lesi tipe tuberkuloid, Langhan’s giant cells, epithelioid tubercles, a dense lymphocytic infiltrate and a brisk exocytosis into the epidermis. (H&E, 20× objective.)6 2) Tipe borderline tuberkolid Pada pemeriksaan borderline tuberkoloid terdapat epiteloid akan tetapi mantel limofisitiknya lebih sedikit dibandingkan dengan tipe TT. Sel



28



raksasa tipe langhans tidak konstan dan juga terdapat epidermal eksositosis fokal.6



gambar 2.24 Perineural fibrosis with lamellar or onion skin pattern; more circumscription of the granulomatous response, more lymphocytes and closer relationship to nerves6 3) Tipe Mid Borderline Pada pemeriksaan histopatologi tipe BL ditemukan granuloma makrofag, beberapa sel menunjukkan perubahan menjadi foamy cell, dan ditemukan banyak limfosit. Beberapa sel epiteloid kadang-kadang dapat ditemukan. Saraf-saraf dermis berisi beberapa infiltrat selular dan kadang-kadang perineurium memiliki gambaran seperti kulit bawang. Zona papillary jernih, banyak bakteri yang tersebar tunggal atau berkelompok.7 4) Tipe Borderline Tuberkoloid Pada tipe ini respon kulit yang muncul infiltrat limfosit padat yang relatif. Terbatas pada rongga yang ditempati sama makrofag, pada repson tipe BL tampak laminas perinum dengan infiltrasi sel radang. Bisa terdapat sel plasma dan bakteri basil yang mudah ditemukan.6



Gambar 2. 25 gambaran histopatologi borderline tuberkuloid6



29



5) Tipe Lepromatous Leprosy Pada tipe LL lesi nodular dengan makrofag yang tidak berdiferensiasi digantikan oleh dermis dan menghilangnya adneksa kulit. Epidermis ditekan oleh nodul dan terdapat lapisan dermis (grenz zone) yang memisahkan. Pada kulit terjadi infiltrat padat seperti busa.6



Gambar 2. 26 gambaran histopatologi lepromatous leprosy6 A thin



epidermis, Elongated epithelioid tubercles near the epidermis, Confluence of tubercles, Lymphoid infiltrate around tubercles 3. Pemeriksaan serologik Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis. 9



4. Tes Lepromin Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam / 2 hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi



30



dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis. 9 Reaksi Mitsuda bernilai : 0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang + 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm + 2Papul berdiameter 7 – 10 mm + 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi.9 2.9 Diagnosis Banding a. Pitriasis Vesikolor Ptiriasis



versikolor,



disebabkan



oleh



Malaize



furfur.



Patogenesisnya adalah terdpat flora normal yang berhubungan dengan Ptiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita sedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin. Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna – warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball). 9



31



Gambar 2.27 Diagnosis Banding Morbus Hansen ; Pitriasis Vesikolor.8 b. Lichen Planus Ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku – siku. Lokasinya di ekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi virus.9



Gambar 2.28 Diagnosis Banding Morbus Hansen ; Lichen Planus.9 32



c.



Psoriasis Vulgaris Penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengan adanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaruh terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikuler dan dapat konfluen. 9



Gambar 2.29 Diagnosis Banding Morbus Hansen ; Psoriasis Vulgaris.9



33



d. Tinea Korporis Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama,



kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing. 9



Gambar 2.30 Diagnosis Banding Morbus Hansen ; Tinea Corporis.9 e. Psoriasis Psoriasis memiliki gambaran klinis seklias menyerupai mobus hansen yaitu bercak merah berbatas tegas dan sisik sisik berlapis.



Gambar 2.31 diagnosis banding Mobus Hansen ; Psoriasis9



34



2.10



Penatalaksanaan Tatalaksana Lepra menyesuaikan dengan tipe sebagai berikut : A. Lepra tipe PB Jenis dan obat untuk orang dewasa : Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas) 1) 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg) 2) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang) 1) 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan Lama pengobatan : Selama 6-9 bulan.4,8,9 B. Lepra tipe MB Jenis dan dosis untuk orang dewasa : Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas) 1) 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg) 2) 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg) 3) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28 1) 1 tablet Lampren 50 mg 2) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Lama Pengobatan : Selama 12-18 Bulan. 3,7,8



Gambar 2.32 Regimen MDT 35



regimern pengobatan multi drug therapy (MDT) dipergunakan di indonesia, regimen ini berdasarkan rekomendasi WHO, yaitu: 4 1. Penderita pausi basiler (PB) a. Penderita PB lesi 1 diberikan dosis tunggal ROM (rimfampisin, ofloxacin dan minosikilin) dewasa 50-70 : rifampisin 300 mg, ofloxacin 200 mg dan minosiklin 50 mg pemberian pengobatan hanya sekali saja dan penderita digolongkan dalam kelompok RFT(release from treatment). dalam program kusta di indonesia, penedrita PB dengan 1 lesi diobati seperti pada PB dengan 2-5 lesi. b. penderita PB lesi 2-5 dewasa : rimpafisin 600 mg,dapson 100 mg (diminum hari pertama di depan petugas) dan dapson 100 mg (diminum di rumah 2-28). lama pengobatan : 6-9 bulan (6 blister).



2. Penderita multi basiler (MB) dewasa : rimpafisin 600 mg, clofazimin 300 mg, dapson 100 mg (diminum hari pertama di depan petugas) dan clofamizin 50 mg, dapson 100 mg (diminum di rumah 2-28). lama pengobatan 12-18 bulan (12 blister) sedangkan anak dibawah umur 10 tahun, dosis MDT berdasarkan berat badan yaitu 10-15 mg/kg BB, dapson 1-2 mg/kg BB dan clofazimin 1 mg/kgBB.4



36



1. Dapsone Bentuk : Obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100mg/tablet. Sifat : Bakteriostatik yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta. Dosis : dewasa 100 mg/hari, anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari. Efek : Anemia hemolitik. Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi terhadap obat ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk dipertimbangkan apakahobat harus distop. 3,7,8 2. Rifampisin Bentuk : Kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg. Sifat



: Bakteriosid (Mematikan kuman kusta)



Dosis : Untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada regimen pengobatan MDT. Untuk anak-anak dosisnya adalah 10-15 mg/kg berat badan. Efek samping : Air seni berwarna merah, dapat menimbulkan kerusakan pada hati dan ginjal. Sebelum pemberian obat ini perludilakukan tes fungsi hati apabila ada gejala-gejala yang mencurigakan. Perlu diberitahukan kepada penderita bahwa air seni akan berwarna merah bila minumobat. Efek samping lain adalah tanda-tanda seperti influenza (flu Syndrom). 3,7,8



3. Klofazimine Bentuk : kapsul warna coklat.Ada takaran 50 mg/kapsul dan 100 mg/kaps. Sifat : bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta dan anti reaksi(menekan reaksi). Dosis : untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada regimen pengobatan MDT. Efek samping : Perubahan warna kulit menjadi coklat dan gangguan pencernaan berupa diare, nyeri pada lambung.3,7,8



37



Obat Alternatif 1. Ofloksasin Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup sebesar 99.99%.9 Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk Insomnia, nyeri kepala, Dizziness, Nercousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat . 9



2. Minoksiklin Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis stsandar harian 100mg. efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang mengenai kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran



cerna dan susunan saraf pusat, termasuk



dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anakanak atau selama kehamilan. 9 3. Klaritomisin Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap myobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita Kusta lepramtosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare. 9



2.12



Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik.Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody 38



(humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.2 a.



Reaksi Reversal Gejala klinis reaksi reversal yaitu sebagian atau seluruh lesi yang telah ada menjadi lebih banyak dan aktif dalam waktu singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi eritema menjadi semakin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, dan lesi lama bertambah luas. Umumnya gejala konstitusi lebih ringan daripada ENL. 2



gambar 2.33 gambaran reaksi reversal 6 Reaksi ini terjadi karena adanya peningkatan hebat dan tiba-tiba dari respons imun seluler, yang menyebabkan respons inflamasi atau peradangan kulit atau saraf pada pasien tipe borderline (BT, BB, dan BL). Walaupun pencetus utama belum diketahui, tetapi diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan peningkatan sel tumor necrosis factor (TNF) di kulit dan saraf selama reaksi tipe 1 dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian di India, didapatkan respons antibodi ke antigen 18kDa secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan reaksi tipe 1 dibandingkan pasien TT atau borderline tanpa reaksi tipe 1. 2



39



b. Reaksi ENL ( Eritema Nodusum Leprosum ) Reaksi tipe 2 adalah komplikasi imunologis paling serius pada pasien BL dan LL. Pada reaksi ini terjadi peningkatan deposit kompleks imun di jaringan. Lebih jauh, pada ENL terjadi peningkatan sementara respons imunitas yang diperantarai sel dengan ekspresi pada sitokin tipe Th1. Sel T mayor pada ENL adalah CD4+; TNF dan IL-6 juga muncul pada lesi kulit ENL, sementara kadar IL-4 yang rendah mendukung peran Th1 pada reaksi ini.3,14 Kejadian ini umumnya timbul pada tipe lepromatosa polar dan BL, makin tinggi tingkat multibasilernya, makin besar risiko terjadinya ENL. Gejala konstitusional yang muncul berupa demam, menggigil, nyeri sendi, mual, sakit saraf, dan otot dari ringan sampai berat.



Gambar 2.34 lesi papulas ENL pada wajah6 Pada reaksi tipe 2 perubahan efloresensinya berupa nodus eritema dan nyeri dengan tempat predileksi lengan dan tungkai. Pada kasus berat dapat menyerang sistemik, sehingga menyebabkan iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan proteinuria. 2



40



Tabel 2.5. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2.7 No. Gejala/tanda



Tipe I (reversal)



Tipe II (ENL)



1



Baik atau demam ringan



Buruk, disertai malaise



Kondisi umum



dan febris 2



Peradangan



di Bercak



kulit



kulit



lama Timbul



nodul



menjadi lebih meradang kemerahan, lunak, dan (merah),



dapat



timbul nyeri tekan. Biasanya



bercak baru



pada



lengan



dan



tungkai. Nodul dapat pecah (ulserasi) 3



Waktu terjadi



Awal pengobatan MDT



Setelah



pengobatan



yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan 4



Tipe kusta



PB atau MB



MB



5



Saraf



Sering terjadi



Dapat terjadi



Umumnya berupa nyeri tekan



saraf



dan



atau



gangguan fungsi saraf 6



Keterkaitan



Hampr tidak ada



Terjadi



organ lain



KGB,



pada



mata,



sendi,



ginjal,



testis, dll 7



Faktor pencetus







Melahirkan







Obat-obat



yang







Emosi







Kelelahan



meningkatkan



stress



kekebalan tubuh



lainnya 



dan fisik



kehamilan



41



Tabel .2.6. Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2.8 No Gejala/tanda



Tipe I Ringan



1.



Kulit



Tipe II Berat



Ringan



Berat



Bercak



: Bercak



: Nodul



: Nodul



:



merah,



merah,



merah,



merah, panas,



tebal,



tebal,



panas,



nyeri



panas,



panas,



nyeri



bertambah



Nyeri



nyeri



parah sampai



yang



pecah



yang



bertambah parah sampai pecah 2



3



Saraf tepi



Keadaan



Nyeri pada Nyeri



Nyeri



Nyeri



perbaan (-)



pada



pada



perabaan (+)



perabaan



perabaan



(+)



(-)



Demam



Demam



(+)



(+)



-



-



Demam (-)



umum 4



Keterlibatan organ lain



-



pada



Demam (+)



+ Terjadi peradangan pada : 



mata



:



iridocycli tis 



testis



:



epididim oorchitis 



ginjal



:



42



nefritis 



kelenjar limpa



:



limfadeni tis 



gangguan pada tulang, hidung, dan tenggoro kan



1) Fenomena Lucio Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.8 Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.8



43



2) Pengobatan reaksi reversal Bila reaksi ini tidak disertai neuritis akut, maka tidak perlu diberi obat tambahan. Bila ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg/hari yang dosisnya diturunkan secara bertahap. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgesik dan sedatif kalau diperlukan dapat diberikan.2,8,9 Pada pasien ini diberikan terapi morbus hansen sesuai dengan regimen MDT-MB dari WHO dan diberikan kortikosteroid oral untuk mengatasi reaksi ENL yang terdapat pada pasien ini. Pada pasien ini juga diberikan antihistamin. Antihistamin



yang dipilih disini adalah



antihistamin golongan sedatif misalnya Klorfeniramin maleat 2 x 4 mg. Obat ini dipilih karena murah serta mudah didapat, namun dapat menyebabkan kantuk karena memiliki efek sedatif. 2,8,9



3) Pengobatan reaksi ENL Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya 15-30 mg/hari dan dosisnya diturunkan bertahap.3,9



Minggu Pemberian



Dosis harian yang dianjurkan



Minggu 1 - 2



40 mg



Minggu 3 – 4



30 mg



Minggu 5 - 6



20 mg



Mimggu 7 - 8



15 mg



Minggu 9 - 10



10 mg



Minggu 11 - 12



5 mg



44



Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Dosisnya antara 200-300mg/hari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid dan dapat dipakai untuk melepaskan ketergantungan kortikosteroid.3 2.13



Relaps Relaps adalah kembalinya penyakit secara aktif pada pasien yang sesungguhnya telah menyelesaikan pengobatan yang telah ditentukan dan karena itu pengobatannya telah dihentikan oleh petugas kesehatan yang berwenang.8 1) Relaps pada kusta pasibasilar dapat bermanifestasi: a.



Terjadinya pada kulit dan saraf dengan klasifiasi tipe kusta yang sama seperti asalnya.



b.



Manifestasi relaps mungkin secara klinis dan imunologis lebih buruk dari klasifikasi asalnya, contoh: pasien dengan klasifikasi asal BT dapat relaps dengan ciri-ciri BB atau BL.



c.



Dapat bermanifestasi dalam bentuk yang lebih baik, contoh: pasien yang asalnya BT dapat relaps dalam bentuk TT. 8



2)



Relaps pada kusta multibasilar dapat bermanifestasi: a.



Relaps dapat terjadi dalam bentuk tipe klasifikasi yang sama dengan asalnya.



b.



Dapat bermanifestasi lebih buruk, contoh: pasien dengan bentuk asal BB atau BL dapat relaps dengan gambaran LL.



c.



Dapat bermanifestasi lebih baik, contoh: pasien dengan bentuk asal LL dapat relaps dalam bentuk lepra borderline, misalnya BL, BB atau BT.



d.



Tipe lesi yang disebut histoid dapat terjadi pada beberapa kasus. Relaps yang khas ini disebabkan oleh resistensi obat (terutama terhadap dapson). 8



45



3) Gejala klinis Relaps adalah: a. Meluasnya lesi yang telah ada, menebal, eritematosa atau terjadinya infiltrat pada lesi yang sebelumnya telah menghilang, atau terbentuknya lesi yang baru. b.



Penebalan atau kekakuan saraf, atau adanya saraf baru yang terkena.



c.



Ditemukan bakteri pada tempat yang sebelumnya negatif dan atau positif pada lesi yang baru. 8



Tabel 2.7. Perbedaan Reaksi Tipe 1 dan Relaps kusta No. Gejala/tanda



Reaksi Tipe 1



Relaps



1



Umumnya dalam 4



1 tahun atau lebih



minggu–6 bulan



setelah RFT ;



pengobatan atau dalam 6



PB : 3 tahun pada non



bulan setelah RFT. Pada



lepramatosa



reaksi berulang sampai 2



Borderline : 5 tahun



tahun setelah RFT



MB : 9 tahun



Mendadak, cepat



Lambat, bertahap



2



Interval/Onset



Timbulnya gejala



3



Tipe Kusta



BT,BB,BL



Semua Tipe



4



Lesi lama



Beberapa atau seleuruh



Eritem dan plak di tepi



lesi menjadi berkilap,



lesi ; lesi bertambah



eritematosa dan bengkak



dan meluas



; nyeri tekan (+) ; konsistensi lunak.Terjadi perubahan tipe ke arah yang lebih baik ; edema tangan dan kaki (+) 5



Lesi Baru



Jumlah beberapa,



Jumlahnya banyak



morfologi sama 6



Ulserasi



(+) pada reaksi berat



(-)



46



7



Keterlibatan



Neuritis akut yang nyeri



Terjadi keterlibatan



Saraf



; ada nyeri spontan ;



saraf baru ; tanpa nyeri



abses saraf ; tiba-tiba ada spontan ; nyeri tekan



8



Gangguan



paralisis otot disertai



positif ; ganggua



meluasnya gangguan



motoris dan sensoris



sensorik



terjadi lambat/ perlahan



Mungkin (+)



Mungkin (-)



Terjadi Penurunan BI.



BI mungkin positif



Peningkatan bentuk



pada pasien dengan BI



granuler



yang sebelumnya



Sistemik 9



BTA



negatif 10



Tes Lepromin



Reaksi fernandez positif



Hasil Tes bergantung



pada tipe BL dan BB



pada tipe saat relaps



yang menjadi secara berurutan menjadi BB dan BT 11



Respon terhadap Excellent : Lesi



Respon tidak ada atau



pemberian



membaik dalam 2-4



sedikit



steroid



minggu ; tetap membaik dengan pengobatan 2 bulan



2.14



Pencegahan Cacat Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut.4



47



Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan berlanjut. 4,8 Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan syaraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah. 4,8,9 WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta:



4,8,9



Cacat pada tangan dan kaki Tingkat 0



: Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat.



Tingkat 1



: Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.



48



Tingkat 2



: Terdapat kerusakan atau deformitas.



Cacat pada mata Tingkat 0



: Tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus)



Tingkat 1



: Ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang.



Tingkat 2



: Ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan kornea) dan atau visus sangat terganggu.



2.15 Rehabilitasi Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya secara kosmetik dapat diperbaiki.8 Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan). 8



2.16 Komplikasi Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.5,8



49



2.17



Prognosis Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.6,9



50



DAFTAR PUSTAKA



1.



PERDOSKI. 2014 Paduan Layanan Klinis Dokter spesialis dermatologi dan venereologi. Jakarta



2.



Ramaswari, N, 2015. Masalah reaksi reversal dan eritema nodosum leprosum pada penyakit kusta. Vol. 42 No.9. Fakultas Kedokteran Udayana, Denpasar ; Bali. Diakses tanggal 26 februari 2018



3.



Tangkidi, D, dkk, 2015. Morbus hansen multibasiler relaps dengan reaksi eritema nodosum leprosum bulosa pada seorang anak. Jurnal biomedik (JBM), Volume 7, No 3. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi ; Manado. Diakses tanggal 26 februari 2018.



4.



Tiarasari, R, 2014. Rehabilitation and Disability Limitation Of Youth 22 Years Old Morbus Hansen. Jurnal Medula Unila. Volume 3 No 3. Fakultas Kedokteran, Univeristas Lampung. Diakses tanggal 26 februari 2018.



5.



Kementrian kesehatan indonesia. 2017. Profil kesehatan Indonesia tahun 2016. Jakarta diaskes dari (www.depkes.go.id/.../profil-kesehatanindonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2016.pdf) tanggal 1 maret 2018



6.



Goldsmit at all, Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Eight Edition. Volume one. Mc Graw Hill.



7.



Gunawan,dkk. 2011. Satu Kasus Kusta Multibasiler Tipe Borderlie Lepromatous Pada Geriatri yang diterapi Dengan Rejimen RifampisinKlaritromisin. Vol 38. SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, FK Universitas Sam Ratulangi/RSU Prof.dr. R.D Kandou; Manado. Diakses tanggal 26 februari 2018.



8.



Kementerian Kesehatan RI, 2012. Pedoman Nasional Pengendalian Program Penyakit Kusta ; Jakarta



9.



Menaidi, S, dkk, 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Cetakan Pertama 2016. FKUI ; Jakarta



51



10. Mudatsir, 2013. Perkembangan Terkini Penelitian Kusta Secara Biologi Molekular. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Volume 13. Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala banda Aceh. Diakses tanggal 26 february 2018 11. Solikhah, A, dkk, 2015. Hubungan tingkat pengetahuan tentang kusta (leprosy) dengan perawatan diri pada penderita kusta di wilayah kabupaten Sukoharjo. Dosen Keperawatan FIK UMS ; Surakarta. Diakses tanggal 26 februari 2018 12. Paulsen,J & Waschke, J, 2012. Sobotta Altas Anatomi Manusia. Edisi 23. Jilid 3. EGC ; Jakarta 13. Noviastuti R, & Soleha.2017. Mobus Hansen Tipe Multibasiler (mid borderline) dengan reaksi kusta reversal dan kecatatan tingkat I.; Bandar Lampung. vol7 no.2 diaskes tanggal 26/02/2018



52