Referat Somatoform [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1.



Latar Belakang Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani soma yang artinya tubuh. Gangguan ini



merupakan kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen utama dari tanda gejalanya adalah tubuh. Gangguan ini mencakup interaksi tubuh-pikiran (body-mind). Pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan adanya kaitan dengan keluhan pasien. Pada DS-IV ada 5 kategori penting dari gangguan ini meliputi : (1). Gangguan somatisasi, (2). Gangguan konversi, (3). Hipokondriasis, (4). Body dysmophic disorder, (5). Gangguan nyeri.1 Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik, dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor psikologis atau konflik. Karena gejala tak spesifik dari beberapa sistem organ dapat terjadi pada penderita anxietas maupun penderita somatoform disorder, diagnosis anxietas sering disalah diagnosiskan menjadi somatoform disorder, begitu pula sebaliknya. Adanya somatoform disorder, tidak menyebabkan diagnosis anxietas menjadi hilang.2 Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.3



1



BAB 2 PEMBAHASAN 2.1.



Definisi Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik



(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat.1 Pada gangguan somatoform, orang memiliki simptom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.1 2.2.



Etiologi Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang



mempunyai tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non dominan.1 Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut:1 a. Faktor-faktor Biologis Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis (biasanya pada gangguan somatisasi). b. Faktor Psikososial Penyebab gangguan melibatkan interpretasi gejala sebagai suatu tipe komunikasi sosial, hasilnya adalah menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi atau untuk mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan (contoh: nyeri pada usus seseorang). 2.3.



Manifestasi Klinis Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang



berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya.1,2 Beberapa orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau menelan, atau ada yang “menekan di dalam tenggorokan”. Masalah-masalah seperti ini dapat merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf otonomik, yang dapat 2



dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah simptom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti “kelumpuhan” pada tangan atau kaki yang tidak konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam kasus-kasus lain, juga dapat ditemukan manifestasi dimana seseorang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit yang serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.1,4 Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.3 Dalam kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.1 2.4.



Klasifikasi dan Diagnosis



Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi:3 F.45.0 gangguan somatisasi F.45.1 gangguan somatoform tak terperinci F.45.2 gangguan hipokondriasis F.45.3 disfungsi otonomik somatoform F.45.4 gangguan nyeri somatoform menetap F.45.5 gangguan somatoform lainnya F.45.6 gangguan somatoform YTT DSM-IV, ada tujuh kelompok, lima sama dengan klasifikasi awal dari PPDGJ ditambah dengan gangguan konversi, dan gangguan dismorfik tubuh. Pada bagian psikiatri, gangguan yang sering ditemukan di klinik adalah gangguan somatisasi dan hipokondriasis. 1. Gangguan Somatisasi Definisi Gangguan somatisasi (somatization disorder) dicirikan dengan keluhan somatik yang beragam dan berulang yang bermula sebelum usia 30 tahun (namun biasanya pada usia remaja), bertahan paling tidak selama beberapa tahun, dan berakibat antara menuntut perhatian medis atau mengalami hendaya yang berarti dalam memenuhi peran sosial atau pekerjaan.1 Keluhan-keluhan yang diutarakan biasanya mencakup sistim-sistim organ yang berbeda seperti nyeri yang samar dan tidak dapat didefinisikan, problem menstruasi/seksual, orgasme



terhambat,



penyakit-penyakit



neurologik,



gastrointestinal,



genitourinaria, 3



kardiopulmonar, pergantian status kesadaran yang sulit ditandai dan lain sebagainya. Jarang dalam setahun berlalu tanpa munculnya beberapa keluhan fisik yang mengawali kunjungan ke dokter. Orang dengan gangguan somatisasi adalah orang yang sangat sering memanfaatkan pelayanan medis. Keluhan-keluhannya tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik atau melebihi apa yang dapat diharapkan dari suatu masalah fisik yang diketahui. Keluhan tersebut juga tampak meragukan atau dibesar-besarkan, dan orang itu sering kali menerima perawatan medis dari sejumlah dokter, terkadang pada saat yang sama.3 Etiologi Belum diketahui. Teori yang ada yaitu teori belajar, terjadi karena individu belajar untuk mensomatisasikan dirinya untuk mengekspresikan keinginan dan kebutuhan akan perhatian dari keluarga dan orang lain.4 Epidemiologi -



Wanita : pria = 10 :1, bermula pada masa remaja atau dewasa muda



-



Rasio tertinggi usia 20- 30 tahun



-



Pasien dengan riwayat keluarga pernah menderita gangguan somatoform (berisiko 10-20 kali lebih besar dibanding yang tidak ada riwayat).5



Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi menurut DSM-IV Untuk gangguan somatisasi, diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:1 A. Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan atau hendaya dalam fungsi soaial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya B. Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan pun selama perjalanan dari gangguan:  4 gejala nyeri: sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi)  2 gejala gastrointestinal: sekurangnya dua gejala selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)



4



 1 gejala seksual: sekurangnya satu gejala selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)  1 gejala pseudoneurologis: sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, sulit menelan, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan). C. Salah satu (1) atau (2):  Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)  Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium D. Gejala-gejalanya tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau pura-pura). Gangguan somatisasi didiagnosis sesuai dengan pedoman Diagnostic Statistic Manual (DSM) IV-Text Revision (TR) dengan kriteria berikut: (1) riwayat keluhan fisik yang sering terjadi selama beberapa tahun yang dimulai sebelum usia 30 tahun dengan hendaya yang nyata walaupun pengobatan telah dilakukan, (2) dalam suatu masa sakit harus ada empat gejala/gangguan yang setidaknya di empat fungsi yang berbeda; setidaknya terdapat dua gejala sistem gastrointestinal, setidaknya satu keluhan seksual selain nyeri berhubungan badan misalnya disfungsi ereksi yang terjadi kadang-kadang, setidaknya satu gejala pseudoneurologi yang tidak terbatas pada nyeri misalnya kelemahan, kebutaan, kejang, dan amnesia. Untuk semua keluhan tersebut, pemeriksaan medis fisis secara objektif gagal untuk menemukan penyebab fisis keluhan yang dialami, ataupun jika memang terdapat kondisi penyakit, keluhan yang dilaporkan oleh pasien melebihi apa yang sebenarnya terjadi pada penyakit tersebut. Kondisi di atas perlu diingat bukanlah merupakan bagian dari sindrom Munchaunsen (factitious disorder) atau malingering.5 Menurut literatur dari negara-negara barat, gangguan somatisasi lebih banyak terjadi pada perempuan, namun pada praktiknya sering ditemukan sama banyak antara perempuan dan laki-laki. Kepribadian pasien yang biasanya erat kaitannya dengan gangguan somatisasi adalah kepribadian histrionik. Pasien 5



dengan gangguan tersebut secara dramatis memperlihatkan kebutuhan yang berlebihan untuk mencari pertolongan, terkadang tanpa berpikir panjang menyetujui semua pertolongan yang ditawarkan untuk mengatasi “penyakit”nya. Dalam wawancara yang menanyakan tentang lamanya keluhan pasien, biasanya mereka menjawab sepanjang hidupnya.6 Perjalanan Penyakit dan Prognosis Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis biasanya ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimulai saat remaja. Masalah menstruasi biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada wanita. Keluhan seksual sering kali berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan. Periode keluhan yang ringan berlangsung 9-12 bulan, sedangkan gejala yang berat dan pengembangan dari keluhankeluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan. Sebelum setahun biasanya pasien sudah mencari pertolongan medis. Adanya peningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan eksaserbasi gejala-gejala somatik.1 Terapi Penanganan sebaiknya dengan satu orang dokter, sebab apabila dengan beberapa dokter pasien akan mendapat kesempatan lebih banyak mengungkapkan keluhan somatiknya. Interval pertemuan sebulan sekali. Meskipun pemeriksaan fisik tetap harus dilakukan untuk setiap keluhan somatik yang baru dokter atau terapis harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medik.1 Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok akan menurunkan pengeluaran dana perawatan kesehatannya terutama untuk rawat inap di rumah sakit. Psikoterapi membantu pasien untuk mengatasi gejala-gejalanya, mengekspresikan emosi yang mendasari dan mengembangkan strategi alternatif untuk mengungkapkan perasaannnya. Terapi psikofarmakologi dianjurkan apabila terdapat gangguan lain (komorbid). Pengawasan ketat terhadap pemberian obat harus dilakukan karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat-obatan berganti-ganti dan tidak rasional. 2. Gangguan Konversi Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. Hal ini secara khas terjadi dengan adanya stress dan memunculkan disfungsi berat. Kumpulan gejala yang saat ini



6



disebut dengan gangguan konversi dengan gangguan somatisasi, dikenal dengan sebutan histeria, reaksi konversi atau reaksi disosiatif.1 Epidemiologi Beberapa gejala-gejala konversi yang tidak cukup parah untuk dapat di diagnosis sebagai gangguan konversi dapat terjadi pada 1/3 populasi umum pada suatu hari dalam hidupnya. Satu komunitas melaporkan insidens tahunan sebesar 22 per 100.000 orang. Beberapa penelitian melaporkan terdapat 5-15% kasus gangguan konversi pada konsultasi psikiatrik di rumah sakit umum, dan 25%-30% dari pasien yang dirawat di sebuah rumah sakit veteran (Amerika). DSM IV-TR memberikan kisaran dari yang paling rendah 11 kasus sampai yang tertinggi 500 kasus gangguan konversi per 100.000 populasi.1 Rasio wanita dibanding pria 2:1 sampai 10:1. Pada anak-anak, anak perempuan juga lebih tinggi angka kejadiannya dibandingkan anak laki-laki. Pria dengan gangguan ini sering mengalami kecelakaan kerja atau kecelakaan militer. Onset gangguan konversi dapat terjadi kapan pun, dari usia kanak-kanak sampai usia tua, namun yang tersering pada remaja dan dewasa muda. Gangguan ini juga terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan strata pendidikan yang rendah, tingkat kecerdasan yang rendah, kelompok sosioekonomi rendah,, dan anggota militer yang pernah terpapar dengan situasi peperangan. Gangguan ini sering bberkormobiditas dengan gangguan depresi, gangguan cemas, skizofrenia, dan frekuensinya meningkat pada keluarga yang anggotanya menderita gangguan konversi.1 Etiologi Faktor Psikoanalitik Menurut teori psikoanalitik gangguan konversi disebabkan oleh represi konflikkonflik intrapsikik yang tak disadari dan dari kecemasan ke dalam gejala fisik. Konflik terjadi antara dorongan insting (agresi atau seksual) melawan larangan untuk mengekspresikan hal tersebut. Pasien mendapat kesempatan mengekspresikan sebagai dorongan atau hasrat terlarang tersebut lewat gejala-gejala yang muncul namun tersamar, sehingga secara sadar pasien dapat menghindar dari konfrontasi terhadap impuls terlarangnya. Jadi, gejala pada konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tak disadari. Misalnya vaginismus melindungi pasien untuk tidak mengekspresikan hasrat seksual yang terlarang. Gejala gangguan konversi juga memberi peluang bagi pasien untuk mengatakan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan penanganan khusus. Gejala semacam itu berfungsi



7



sebagai pemberitahuan secara nonverbal bahwa pasien memiliki kontrol dan manipulasi terhadap orang lain.1



Teori Pembelajaran Menurut conditional learning theory, gejala konversi dapat dilihat sebagai perilaku yang dipelajari secara klasik conditioning. Gejala-gejala penyakit yang dipelajari sejak masa kanak akan digunakan sebagai coping dalam situasi yang tak disukainya.1 Faktor Biologis Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme di daerah hemisfer dominan dan hipermetabolisme di hemisfer non dominan, yang berdampak pada terganggunya komunikasi antar hemisfer sehingga menimbulkan gejala konversi. Gejala dapat disebabkan karena area korbital terangsang berlebihan sehingga menimbulkan umpan balik negatif antara korteks serebral dan formasi retikuler batang otak. Sebaliknya output kortikofuga yang meningkat akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi tubuh, yang menjelaskan mengapa pada pasien konversi terdapat defisit sensorik. Tes neuropsikologis kadang-kadang menunjukkan gangguan cerebral ringan dalam komunikasi, daya ingat, kewaspadaan, afek dan atensi pada pasien gangguan konversi.1 Gambaran Klinis Gejala gangguan konversi yang paling sering muncul adalah paralisis, buta, dan mutisme. Gangguan konversi seringkali berkaitan dengan gangguan kepribadian pasifagresif, dependen, antisosial, dan histrionik. Gejala depresi dan cemas sering menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien-pasien ini berisiko tinggi mengalami bunuh diri.1 Gejala sensorik Pada gangguan konversi gejala yang sering timbul adalah anestesi dan parestesi, terutama pada ekstremitas. Semua modalitas sensorik dapat terkena, dan distribusinya tidak sesuai dengan penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala yang khas misalnya anestesi kaus kaki pada, anestesi sarung tangan atau hemianestesia dari tubuh yang bermula tepat di garis tengah tubuh.1,2 8



Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ sensorik khusus dan menimbulkan ketulian, kebutaan, dan penglihatan terowongan (tunnel vision). Gejalanya dapat unilateral dan bilateral, namun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intak. Pada gangguan sensorik dengan kebutaan, pasien bberjalan tanpa menabrak atau mencederai diri, pupil bereaksi terhadap cahaya, dan bangkitan potensial kortikal juga normal.1 Gejala motorik Gejala motor terdiri dari gerak abnormal, gangguan gaya berjalan, kelemahan dan paralisis. Mungkin terdapat tremor ritmik kasar, gerak koreoform, tik dan menghentakhentak. Gerakan ttersebut memburuk ketika pasien mendapat perhatian. Gangguan gaya berjalan yang tampak pada gangguan konversi adalah astasia-abasia, yaitu gerak batang tubuh berupa ataksia hebat, terhuyung-huyung, kasar, tak beraturan dengan sentakan-sentakan, disertai gerak lengan seperti membanting dan melambai. Pasien dengan gejala ini jarang jatuh, dan kalaupun jatuh tidak terluka.1 Gangguan motor yang sering adalah paralisis dan paresis yang mengenai satu, dua atau seluruh anggota tubuh,, meskipun demikian distribusi dari otot yang terlibat tidak sesuai dengan jaras persarafan. Refleks-reflesk tetap normal. Tidak terdapat fasikulasi maupun atrofi otot, kecuali setelah paralisis konversinya terjadi sudah lama. Elektromiografi normal.1 Gejala Bangkitan Pseuudo-seizures merupakan gejala yang mungkin didapat pada gangguan konversi. Dokter yang merawat mmungkin akan menemukan kesulitan membandingkan pseudo-seizure dari bangkitan yang sebenarnya bila hanya berdasarkan observasi klinis. Namun sekitar 1/3 pasien dengan pseudo-seizure juga disertai dengan gangguan epilepsi. Pada pseudoseizure pasien dapat tergigit lidahnya, inkontinensia urin dan cedera karena terjatuh, meskipun gejala ini jarang sekali ditemui. Refleks tercekik dan pupil dapat bertahan setelah pseudo-seizure dan tak terjadi peningkatan konsentrasi prolaktin pasca-bangkitan.1 Gambaran klinis lainnya Beberapa gejala psikologis yang berkaitan dengan gangguan konversi: Keuntungan primer (primary gain)



9



Pasien memperoleh keuntungan primer dengan mempertahankan konflik internal diluar kesadarannya. Gejala memiliki nilai simbolik, yang mencerminkan konflik psikologis dibawah sadar. 1 Keuntungan sekunder (secondary gain) Pasien akan memperoleh keuntungan nyata dengan menjadi sakit,, misalnya: dibebaskan dari kewajiban dalam situasi kehidupan yang sulit, mendapat dukungan dan bimbingan yang dalam situasi normal tak akan didapatkannya,, dapat mengontrol perilaku orang lain.1 La belle indifference La belle indifference adalah sikap angkuh yang tidak sesuai dengan gejala serius yang dialaminya. pasien tampaknya tidak peduli dengan hendaya berat yang dialaminya. pada beberapa pasien sikap tak acuh mungkin kurang tampak. Sikap seperti ini juga bisa didapat pada pasien yang menderita penyakit medis yang serius yang menunjukkan sikap tabah. Adanya atau tak adanya La belle indifference ukan dasar penilaian yang akurat untuk menegakkan gangguan konversi.1 Identifikasi Pasien dengan gangguan konversi secara tak disadari meniru gejalanya dari seseorang yang bermakna bagi dirinya. Misalnya, orangtua atau seseorang yang baru saja meninggal menjadi model bagi pasien untuk mengembangkan gejala konversi terutama selama reaksi berkabung yang patologis.1 Diagnosis Kriteria Diagnosis menurut DSM IV:1 A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mempengaruhi sistem motorik volunter atau fungsi sensorik yang merujuk pada kondisi neurologis atau medis umum lainnya . B. Faktor psikologis dinilai terkait dengan gejala atau defisit karena konflik atau stres lainnya mendahului inisiasi atau eksaserbasi dari gejala atau defisit. C. Pasien tidak pura-pura atau sengaja memproduksi gejala atau defisitnya.



10



D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penyelidikan yang tepat, sepenuhnya dijelaskan oleh kondisi medis umum, dengan efek langsung dari zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang dilarang oleh budaya. E. Gejala atau defisit menyebabkan distress atau gangguan yang signifikan secara klinis pada fungsi social atau okupasional, atau area penting lainnya atau yang memerlukan evaluasi medis. F. Gejala ini tidak terbatas pada rasa sakit atau adanya gangguan pada fungsi seksual dan tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain. Sebutkan jenis gejala atau defisit: Dengan gejala atau defisit motorik Dengan gejala atau defisit sensorik Dengan angkitan atau kejang Dengan gejala campuran Penatalaksanaan Pada dasarnya, tatalaksana dari gangguan konversi adalah menggunakan penjelasan dan sugesti. Setelah dilakukan diagnosis, dokter sebaiknya menginformasikan kepada pasien, secara lembut dan tidak menghakimi, tetapi cukup tegas, bahwa pemeriksaan atau tes diagnostic tidak menunjukkan adanya kelainan. Lalu dokter dapat menjelaskan bahwa meskipun ilmu medis tidak dapat menjelaskan penyebab gejala tersebut, biasanya pasien akan pulih dalam beberapa minggu. Dengan dukungan dan keyakinan tersebut, mayoritas pasien akan mengalami remisi selama berada di rumah sakit, dan remisi ini lebih mungkin terjadi jika onset gejala bersifat akut dan durasinya singkat, diikuti oleh pencetus yang jelas.1 Pada berapa kasus, beberapa sesi bersama terapis fisik dapat membantu perbaikan gejala. Terapis harus menghindari pernyataan seperti “Tidak ada yang salah dengan diri anda”, karena dapat merusak hubungan dokter-pasien. Jika langkah-langkah tersebut gagal, teknik alternatif dapat digunakan. Hipnosis dapat menyebabkan remisi, akan tetapi cenderung terjadi relaps.3 Dapat juga dilakukan cognitive-behavioral therapy untuk meningkatkan cara adaptif pasien untuk menghadapi stress dan kecemasan. Dapat juga dilakukan terapi psikodinamik untuk mendapatkan insight dari konflik unconscious yang mendasari keluhannya.3 3. Hipokondriasis Definisi 11



Hipokondriasis adalah gangguan mental dimana pasien meyakini bahwa dirinya sedang mengalami penyakit yang serius, mungkin suatu penyakit yang mengancam jiwanya. Kriteria diagnosisnya ialah sekurang-kurangnya 6 bulan pasien mengalami preokupasi pikiran berupa ketakutan akan memiliki penyakit akibat dari interpretasi yang salah terhadap gejala penyakit yang dialaminya. Istilah hipokondriasis mengacu pada hipokondrium, dimana kebanyakan pasien mengeluh nyeri pada daerah hipokondrium. 7 Berbeda dengan gangguan somatisasi, gangguan hipokondriasis hanya mengeluhkan satu ‘penyakit’ yang dirasakan berat. Keluhan itu terus dikeluhkan walaupun berbagai macam pemeriksaan telah membuktikan tidak adanya penyebab fisis yang mendasarinya.6 Etiologi Menurut Klein, perkembangan di masa-masa awal kehidupan diyakini merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya hipokondriasis atau jenis somatoform lain di kemudian hari. Kegagalan proses splitting atau kemampuan untuk membedakan objek baik dan buruk menyebabkan ketidakmampuan otak untuk merepresi kecemasan yang dirasakan, sehingga kelak timbul abnormal splitting mechanism yang membantu anak untuk mengatasi confusional anxiety.7 Menurut Schilder, terjadi fiksasi hypochondriacal state pada fase narsistik pada perkembangan anak, dimana pada masa itu terjadi perkembangan awal pemikiran tentang tubuh. Fase oral, sadistic, dan sadomasokistik juga turut mempengaruhi terjadinya hipokondriasis di kemudian hari karena seluruh proses ini melibatkan sensasi nyeri dalam perkembangannya.8 Proteksi yang berlebihan dari orang tua pada masa anak-anak juga menjadi pencetus hipokondriasis. Di samping itu, penyakit yang pernah diderita juga memunculkan kecemasan yang berlebihan terhadap kekambuhan sehingga memunculkan gejala hipokondriasis.8 Klasifikasi DSM-V mengkategorikan hipokondriasis sebagai bagian dari kelainan somatoform. Hipokondriasis, kelainan somatisasi (somatization disorder), kelainan somatoform tak terdiferensiasi (undifferentiated somatoform), dan kelainan nyeri (pain disorder) adalah termasuk ke dalam Somplex Somatic Symptom Disorder/ CSSD. Sedangkan reaksi konversi diklasifikasikan menjadi kelainan somatoform lain, BDD dklasifikasikan menjadi new anxiety and obsessive-compulsive spectrum disorders.8 Gejala klinis 12



Pasien hipokondriasis meyakini bahwa mereka memiliki penyakit serius yang masih belum terdeteksi meskipun telah dilakukan pemeriksaan lab dengan hasil yang negatif. Pada permulaan mungkin diawali dengan satu penyakit, namun seiring berjalannya waktu, kayakinan ini dapat ditransfer ke penyakit yang lain. Namun demikian, keyakinan mereka tidak seperti pada waham. Pada umumnya ditemukan pula gangguan kecemasan dan depresi.7 Meskipun kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sekurangkurangnya 6 bulan, namun “hypochondriacal-states” juga dapat terjadi setelah terjadi stress mayor, misalnya kematian orang terdekat pasien akibat penyakit tertentu. Pada umumnya kondisi ini akan sembuh dengan sendirinya, namun dapat pula menjadi kronis. 8 Diagnosis Kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sebagai berikut A. Preokupasi pikiran ketakutan akan memiliki, atau munculnya ide bahwa dirinya memiliki penyakit yang serius akibat dari kesalahan interpretasi gejala tubuhnya. B. Keluhan tidak kunjung membaik meskipun sudah mendapatkan pertolongan medis. C. Keyakinan pada kriteria A adalah bukan merupakan suatu waham seperti yang ditemukan pada gangguan waham, atau masalah dengan penampilan seperti yang ditemukan pada BDD/ Body Dysmorphic Disorder. D. Preokupasi pikiran akan penyakitnya membuat pasien mengalami gangguan dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan perilaku bermasyarakat. E. Gangguan berdurasi sekurang-kurangnya selama 6 bulan. F. Preokupasi pikiran ini tidak ditemukan pada gangguan kecemasan, kelainan obsesifkompulsif, gangguan panic, episode depresif mayor, kecemasan akibat perpisahan, atau kelainan somatoform yang lain. Spesifik bila: Dengan daya tilik buruk: apabila dalam tiap episodenya, pasien tidak menyadari bahwa penyakit serius yang diyakini dia miliki adalah suatu ketakutan yang tidak beralasan. (From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright 2000, with permission.) Diagnosis banding 1. Penyakit-penyakit non-psikiatri yang menunjukkan gejala yang tidak spesifik sehingga sulit terdiagnosis (misalnya pada penyakit AIDS, endokrinopathy, 13



myasthenia gravis, sklerosis multiple, penyakit saraf degenerative, SLE, dan lainlain.) 2. Somatization disorder (somatization disorder lebih menekankan pada banyaknya gejala yang dikeluhkan pasien jika dibandingkan dengan hipokondriasis, somatization terjadi mayoritas pada wanita sedangkan hipokondriasis seimbang antara pria dan wanita, onset hipokondriasis umumnya