Survei Budaya Keselamatan Pasien [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SURVEI  BUDAYA KESELAMATAN PASIEN SEBAGAI MODAL DASAR  PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN DI RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN                            KOMITE MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN RSUP DR SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN 2018       K   ABSTRAK SURVEI  BUDAYA KESELAMATAN PASIEN SEBAGAI MODAL DASAR



PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN DI RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN   Muslikhah Yuni Farkhati, Wachid Faozi Rochmad,  Siswi Oktariani Komite Mutu dan Keselamatan Pasien RSUP dr Soeradji Tirtonegoro Klaten   Abstrak . Tujuan :  Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien di tingkat rumah sakit dan unit kerja di RSUP dr Soeradji Tirtonegoro ( RSST )



Metode : Penelitian potong lintang dengan menggunakan kuesioner Hospital Survey on



Patient Safety Culture ( HSoPSC) yang telah terstandarisasi terhadap seluruh pegawai yang memenuhi kriteria secara  stratified random sampling. Hasil : Sebanyak 310 dari 331 responden telah diikutkan dalam penelitian (response



rate 93,95%). Nilai budaya positif di RS adalah 63,47% dengan dimensi dukungan manajemen , kerjasama dalam unit dan perbaikan berkesinambungan  memiliki nilai > 75%, sedang sisanya masih membutuhkan perbaikan. Pada unit yang berhubungan dengan pasien 88,3% diantaranya mempunyai nilai budaya positif kurang dari standar. Satunya – satunya faktor yang berhubungan dengan pelaporan insiden adalah jenis profesi ( p 0,023 ) Kesimpulan: Budaya keselamatan pasien di tingkat rumah sakit maupun unit kerja di RSST belum sesuai dengan standar   Kata kunci : survei , budaya keselamatan pasien , rumah sakit       BAB I PENDAHULUAN   1. Latar Belakang



  Rumah sakit merupakan tempat yang sangat kompleks, terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, berbagai alat dan teknologi, bermacam profesi dan non profesi yang memberikan pelayanan pasien selama 24 jam secara terus-menerus,



dimana keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat terjadi kejadian tidak diharapkan ( KTD ) , dimana KTD merupakan kejadian yang akan mengancam keselamatan pasien ( Depkes RI,2006 ).



Upaya peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit akan sangat berarti dan efektif



bilamana keselamatan pasien menjadi budaya kerja sehari-hari dari setiap unsur di rumah sakit termasuk pimpinan, pelaksana pelayanan dan staf penunjang   (Bea, 2013). The Institute of Medicine ( IOM ) menyatakan bahwa tantangan terbesar dalam gerakan



perubahan menuju sistem pelayanan kesehatan yang lebih aman adalah mengubah



budaya keselamatan pasien,  di mana sebuah kesalahan dianggap sebagai kesempatan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan mencegah insiden keselamatan pasien ( Doweri dkk,  2015). Sebagai respon terhadap rekomendasi IOM tersebut, organisasi



pemberi layanan kesehatan sejak tahun 2006  mulai berfokus pada budaya keselamatan



di unit kerjanya. Langkah pertama adalah dengan menetapkan status budaya keselamatan di rumah sakit (Sammer, CE dkk. 2010 ). Konsep budaya keselamatan



pasien didefinisikan sebagai produk dari nilai – nilai, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku individu maupun kelompok yang akan mempengaruhi komitmen dan kemampuan organisasi dalam mengatur manajemen keselamatan. Budaya positif telah dikaitkan dengan peningkatan keselamatan pasien ( Fujita,dkk. 2014 ) RSUP dr Soeradji Tirtonegoro ( RSST ) sebagai salah rumah sakit vertikal milik Kementerian Kesehatan telah tersertifikasi secara paripurna dalam Akreditasi Rumah



Sakit KARS pada tahun 2015. Sertifikasi ini memberikan sebuah tanggung jawab bagi RS untuk selalu melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkesinambungan melalui



metode Plan-Do-Study- Action ( PDSA ) terhadap seluruh aspek pelayanan berfokus



pasien, dengan tujuan utama adalah peningkatan mutu dan keselamatan pasien.  Meskipun kegiatan berfokus pada keselamatan pasien telah dicanangkan sejak tahun



2008, namun   belum tampak adanya perbaikan dalam penurunan  angka  insiden



keselamatan  pasien  dan pencapaian indikator mutu keselamatan pasien.  Selama tahun  2015 didapatkan  laporan insiden keselamatan pasien sebanyak 222,   lebih tinggi 73 % dibanding tahun sebelumnya dengan 9% diantaranya adalah Kejadian Tidak Diharapkan (KTD). Meskipun sebagian besar laporan adalah insiden Kejadian Potensial



Cedera (KPC), namun masalah yang terjadi adalah adalah masalah yang sama dan berulang pada bulan – bulan sebelumnya.   Salah satu alternatif langkah pertama yang



mendasar dalam menerapkan standar pelayanan berbasis keselamatan pasien di RSST  adalah dengan mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien  pada civitas  hospitalia RSST.



Survei budaya keselamatan pasien telah dilakukan sejak tahun 2000. Sebagian besar



penelitian dilakukan   terhadap beberapa rumah sakit dalam wilayah tertentu  



diantaranya adalah di Belgia ( Hellings  et al, 2007 ), Virginia  (Chtistine et al,2008), United States  (Singer et al, 2009 ),  Netherland ( Smiths et al, 2009 ), Saudi Arabia



( Alahmadi, 2010 ) , Lebanon (El Jardali dan Jafar , 2010) dan  Jepang ( Fujita S et al, 2014). Penelitian yang lain dilakukan di satu rumah sakit  diantaranya yaitu  di Riyadh  (



El Jardali , 2014),  China ( Gu dan Itoh, 2011),  Taiwan ( Chen dan Li, 2010) ,  RS  Hasan Sadikin ( Bea  IF,  Pasinringi AS, Noor B, 2013)  dan RS Masmitra  ( Puspitasari M, 2012). 



Meskipun pada penelitian tersebut sebagian besar sampel terdiri dari berbagai profesi yang dianggap mewakili  seluruh komponen RS, namun hanya satu penelitian yang menyebutkan dengan jelas cara pengambilan sample secara strafified random sampling



(Davoodi et al, 2013).  Sisanya dengan cara simple random sampling dan convenient



sampling . Beberapa penelitian tidak menyebutkan cara pengambilan sampelnya.  Di RSST sendiri  penelitian seperti ini  belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bermaksud untuk  mendapatkan data mengenai budaya keselamatan pasien di RSST.           1. Perumusan Masalah   Berdasarkan  latar  belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai  berikut: Bagaimana gambaran budaya keselamatan pasien di  RSUP dr Soeradji Tirtonegoro Klaten?   1. Tujuan Penelitian   1. Tujuan umum Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien di RSUP dr Soeradji Tirtonegoro Klaten



2. Tujuan khusus



1. Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien di unit kerja di RSST yang langsung berhubungan langsung dengan pasien



2. Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien dalam masing – masing dimensi budaya keselamatan pasien



3. Mengetahui



faktor



yang



berpengaruh



terhadap



pelaporan



insiden



keselamatan pasien di RSST   1. Manfaat Penelitian   1. Manfaat bagi pasien, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien



2. Manfaat bagi rumah sakit, penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal



dan sekaligus evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien di RSST  sehingga dapat digunakan sebagai dasar bagi pembuatan kebijakan keselamatan pasien di RSST



  BAB II TINJAUAN PUSTAKA   1. Budaya Keselamatan Pasien Keselamatan pasien merupakan komponen penting dari kualitas kesehatan. Bahkan



dengan kewaspadaan terus menerus, penyedia layanan kesehatan menghadapi banyak tantangan di lingkungan perawatan kesehatan dalam usaha  untuk  selalu menjaga pasien tetap aman.  Studi tentang keselamatan pasien sekarang menjadi subjek yang diharapkan  untuk dapat memberikan umpan balik melalui penerapan langkah-langkah



perbaikan berdasarkan identifikasi masalah. Evolusi kesehatan yang berjalan terus menerus



meningkatkan



kepedulian



tentang



pentingnya



membangun



dan



mempertahankan budaya keselamatan pasien. Budaya keselamatan pasien didefinisikan



sebagai  sebuah produk dari nilai-nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi,



kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen dan gaya serta kemampuan untuk mengatur kesehatan dan keselamatan dalam organisasi ( Sammer , 2010 ). Oleh



karena itu penelitian pada budaya keselamatan dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran tentang peran budaya dalam  mempromosikan lingkungan yang aman (Doweri et al, 2013).



Hellings et al ( 20017) menjelaskan bahwa bahwa tantangan terbesar kearah sistem



kesehatan yang lebih aman adalah mengubah budaya dari menyalahkan seseorang karena kesalahan/error yang dianggap sebagai kegagalan individu menjadikannya sebagai peluang untuk memperbaiki sistem dan mencegah cedera. Dengan demikian



mengembangkan budaya keselamatan merupakan salah satu pilar bagi kegiatan keselamatan pasien. Penerapan dari hal tersebut harus tersurat didalam organisasi,



menjadi prioritas utama dalam kegiatan dan didorong oleh prinsip kepemimpinan ( Sammer et al, 2010 ).



Keselamatan pasien adalah sebuah transformasi budaya, dimana budaya yang diharapkan adalah budaya keselamatan, budaya tidak menyalahkan, budaya lapor dan budaya belajar. Dalam proses ini diperlukan upaya transformasional yang menyangkut intervensi multi tingkat dan multi dimensional yang terfokus pada misi dan strategi organisasi, leadership style, serta budaya organisasi (Kirk et al, 2010).



Menurut Carthey &Clarke (2010),  organisasi kesehatan akan memiliki budaya keselamatan pasien yang positif, jika memiliki dimensi budaya sebagai berikut : 1. Budaya keterbukaan (open culture) Budaya ini menggambarkan semua staf RS merasa nyaman berdiskusi tentang insiden yang terjadi ataupun topik tentang KP dengan teman satu tim ataupun dengan



manajernya. Staf merasa yakin bahwa fokus utama adalah keterbukaan sebagai media pembelajaran dan bukan untuk mencari kesalahan ataupun menghukum. Komunikasi terbuka



dapat



juga



diwujudkan



staff maupun morning report.



pada



saat



serah



terima



pasien, briefing



2. Budaya keadilan (just culture) Merupakan budaya membawa atmosfer “trust” sehingga anggota bersedia dan memilki motivasi untuk memberikan data dan informasi serta melibatkan pasien dan keluarganya secara adil dalam setiap pengambilan keputusan terapi. Perawat dan



pasien diperlakukan secara adil saat terjadi insiden dan tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu tetapi lebih mempelajari secara sistem yang mengakibatkan



terjadinya kesalahan. Lingkungan terbuka dan adil akan membantu staf membuat pelaporan secara jujur mengenai kejadian yang terjadi dan menjadikan insiden sebagai pelajaran dalam upaya meningkatkan



3. Budaya pelaporan (reporting culture) Budaya dimana staf siap untuk melaporkan insiden atau near miss, sehingga dapat dinilai jenis error dan dapat diketahui kesalahan yang biasa dilakukan oleh staf serta



dapat diambil tindakan sebagai bahan pembelajaran organisasi. Organisasi belajar dari pengalaman sebelumnya dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi faktor



risiko terjadinya insiden sehingga dapat mengurangi atau mencegah insiden yang akan terjadi. 4. Budaya belajar (learning culture)



Setiap lini dari organisasi baik sharp end (yang bersentuhan langsung dengan



pelayanan) maupun blunt end (manajemen) menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar. Organisasi berkomitmen untuk mempelajari insiden yang telah terjadi, mengkomunikasikan kepada staf dan senantiasa mengingatkan staf.   5. Budaya informasi (informed culture) Organisasi mampu belajar dari pengalaman masa lalu sehingga memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan menghindari insiden yang akan terjadi karena telah belajar dan terinformasi dengan jelas dari insiden yang sudah pernah terjadi, misalnya dari pelaporan kejadian dan investigasi. Konsep tentang pelaksanaan budaya keselamatan di sebuah rumah sakit membutuhkan sebuah kerangka pikir yang komprehensif terhadap elemen – elemen yang terlibat di dalamnya. Sammer ( 2010 ) melalui reviewnya menjelaskan bahwa terdapat tujuh



subkultur yang terlibat dalam ruang lingkup budaya keselamatan pasien. Kerangka tersebut terlihat dalam gambar  1 yaitu :



1. Kepemimpinan , dimana pemimpin mengakui lingkungan kesehatan adalah lingkungan berisiko tinggi dan berusaha untuk menyelaraskan visi / misi, kompetensi staf , dan sumber daya fiskal dan manusia



2. Kerja sama tim , yaitu semangat kolegialitas, kolaborasi dan kerjasama ada di antara eksekutif, staf dan praktisi independen dengan hubungan yang berdasar keterbukaan , rasa aman , hormat dan fleksibel



3. Evidence based  memberikan kepastian bahwa pemberian layanan pada pasien berdasar pada bukti ilmiah. Standarisasi yang dilakukan akan mengurangi variasi sehingga reliabilitas tinggi dapat dicapai



4. Komunikasi , yaitu sebuah penjaminan bahwa seluruh staf mempunyai hak dan kewajiban untuk berbicara tentang segala sesuatu tentang kepentingan pasien



5. Pembelajaran terhadap kesalahan yang dilakukan dengan dilanjutkan dengan mencari peluang perbaikan. Hal ini berlaku bagi seluruh staf termasuk diantaranya adalah staf medik



6. Keadilan yaitu setiap kesalahan diartikan sebagai kesalahan sistem dan bukan pada kesalahan indivisu



7. Pelayanan berpusat pada pasien memberikan kesempatan pada pasien bukan hanya



aktif



dalam



pengobatan



dirinya



namun



penghubung antara rumah sakit dan masyarakat   Gambar 1. Kerangka Subkultur Budaya Keselamatan Pasien  



juga



berperan



sebagai



1. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien Telah diketahui dengan jelas bahwa pembentukan budaya keselamatan adalah elemen



utama dalam peningkatan mutu dan keselamatan pasien ( Weaver et al, 2013). Namun saat ini organisasi pemberi layanan kesehatan masih mempunyai keterbatasan dalam pendekatan untuk memahami apakah budaya keselamatan di unitnya telah berubah. Nieva dan Sorra ( 2003 ) menyebutkan bahwa cara terbaik untuk mengetahui adanya



transformasi budaya keselamatan  adalah dengan melakukan penilaian sebelum dan sesudah dilakukan intervensi program keselamatan pasien. Adanya  tren  dalam hasil survei



budaya



dari



waktu



ke



waktu 



menentukan



perubahan



dalam



budaya



keselamatan . Ini merupakan area yang penting sebagai fokus pada penilaian dan perbaikan di rumah sakit (AHRQ, 2009).



AHRQ telah mengajukan program Team SSTEPS dengan tujuan perubahan budaya keselamatan melalui penggunaan tim dan strategi dalam rencana aksi tiga fase (AHRQ,



2010). Pada awal proses ini, fokus organisasi adalah untuk menilai budaya keselamatan



menggunakan sebuah  metode survei yang dipilih dan  diikuti dengan perencanaan dan tindakan lanjut . Pada tahap pemeliharaan , penilaian budaya berikutnya dilakukan dengan menggunakan alat yang sama untuk mengukur tingkat perubahan budaya



keselamatan. Satu studi oleh Stead et al. (2009) yang mengikuti program Team SSTEPS



dan evaluasi menemukan peningkatan yang signifikan pada dua  dari 12 skor komposit pada



termasuk



pelaporan



acara



dan



pembelajaran



organisasi.



AHRQ



(2009)



menguraikan bahwa perubahan  sebesar 5% baik  positif atau negatif dalam survei pra dan pasca survei menunjukkan  adanya perubahan pada budaya keselamatan, Beberapa alat ukur yang sering digunakan dalam penilaian budaya keselamatan pasien di rumah sakit adalah : 1. Hospital Survey on Patient Safety Culture Alat ukur berupa kuesioner ini dikembangkan oleh Agency for Healthcare Research and



Quality Care ( AHRQ). Kuesioner terdiri dari 12 dimensi budaya keselamatan dan 42 item. Kekuatan dari alat ukur ini adalah: 1. Dapat menilai budaya organisasi 2. Dapat melihat perubahan budaya yang terjadi



3. Dapat untuk melakukan evaluasi pasca intervensi 4. Dapat menilai pada tingkat individu , unit dan organisasi 5. Dapat membandingkan dengan data negara lain



Di samping kekuatan, kelemahan yang ada pada alat ukur ini adalah penggunaannya terbatas pada konteks rumah sakit dan adanya beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa tidak semua item valid, reliabel dan dapat digeneralisir. Alat ukur ini digunakan



pertama kali di United States dan secara luas telah digunakan pada survei di berbagai



negara. Terjemahan dalam berbagai bahasa telah divalidasi termasuk di antaranya ke dalam bahasa Indonesia. 2. Manchester Patient Safety Culture Assesment Tool Alat ini dikembangkan di Inggris oleh National Patient Safety Agency  ( NPSA ) untuk menilai kematangan budaya keselamatan di organisasi . Terdapat 10 dimensi penilaian



meliputi perbaikan berkesinambungna, prioritas pada keselamatan, kesalahan sistem



dan tanggung jawab individu, pelaporan insiden, evaluasi insiden, perubahan dari pembelajaran, komunikasi, manajemen, pendidikan staf dan kerjasama tim. Kekuatan dari alat ukur ini adalah



1. Mampu menilai lima tingkat kematangan organisasi 2. Dapat digunakan pada tingkat organisasi atau tim



3. Dapat menunjukkan area prioritas untuk perbaikan Beberapa item dalam kuesioner ini sulit untuk dinilai sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk melengkapi. Dan meskipun telah digunakan di Inggris ,namun tidak banyak penelitian yang melaporkan penggunaan dari kuesioner ini. 3. Safety Attittude Questionare (SAQ) Alat ukur ini merupakan derivat dari  Flight Attitude Management Questionare ( FAMQ) yaitu metode yang dikembangkan untuk mengukur faktor manusai dalam budaya di kokpit penerbangan komersial. Alat ini dapat digunakan pada semua unit di rumah sakit. Kelebihan yang sangat menonjol dari kuesioner ini adalah cara pengisiannya yang cepat dan singkat. Selain itu dapat digunakan sebagai alat evaluasi pasca intervensi. Saat ini SAQ baru digunakan di US. Kelemahan dari alat ukur ini adalah ketidak mampuannya untuk merinci perbedaan yang terjadi di antara staf klinis dan manajer.



Berikut adalah penjelasan mengenai dimensi-dimensi budaya keselamatan pasien dari AHRQ :



1. Keterbukaan komunikasi Dengan adanya keterbukaan komunikasi diharapkan staf medis dapat berkomunikasi dengan baik dan benar pada saat serah terima/pengoperan pasien yang meliputi keluhan pasien, terapi yang sudah maupun akan diberikan serta insiden terkait keselamatan pasien jika ada dan juga merasa bebas untuk bertanya kepada yang lebih



berwenang. Keterbukaan komunikasi juga harus dilakukan antara manajer dengan staf selain diantara sesama staf untuk peningkatan keselamatan pasien 2. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan



Diartikan sebagai sejauh mana staf diberitahu tentang kesalahan yang dilakukan, menerima umpan balik masukan dari staf dan mendiskusikan upaya untuk mencegah kesalahan tidak terulang kembali.



3. Respons non-punitive (tidak menghukum) terhadap kesalahan Organisasi kesehatan harus mampu menciptakan lingkungan yang non punitive  yang tujuannya adalah supaya setiap elemen staf tidak takut untuk melaporkan kejadian.



Ketika sistem punishment dijalankan, maka staf akan enggan melaporkan insiden. Kejadian yang tidak dilaporkan membuat organisasi tidak belajar dari kesalahan dan kurang peduli terhadap pelayanan (Hamdani, 2007).



4. Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan



Organizational learning  adalah kegiatan proaktif yang dapat menciptakan serta mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi (Kreitner, 2007). Diartikan sejauh mana kesalahan akan membawa perubahan positif yang selalu dievaluasi efektifitasnya sehingga menghasilkan perbaikan yang berkelanjutan. 5. Staffing Salah satu prinsip yang direkomendasikan IOM dalam laporannya ” To Err is Human” (2000) untuk implementasi  patient safety  di RS adalah mendesain pekerjaan dengan memperhatikan faktor manusia. Ini berarti dalam penataannya harus memperhitungkan



jam kerja, beban kerja, rasio staffing  dan juga sistem  shift  dengan memperhatikan



faktor kelelahan, siklus tidur, dan lain-lain. Mendesain pekerjaan untuk safety juga termasuk melakukan training, memberi tugas pada orang yang tepat dan memposisikan seseorang pada posisi yang tepat.



6. Harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan Diartikan sejauh mana supervisor/manajer mempertimbangkan saran staf untuk peningkatan keselamatan , tidak mengabaikan masalah keselamatan dan memberi penghargaan pada staf yang menerapkan pelaksanaan keselamatan . 7. Kerjasama dalam unit Diartikan sejauh mana staf saling mendukung satu sama lain dan bekerjasama sebagai sebuah tim untuk pelaksanaan keselamatan pasien



8. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien



Diartikan sejauh mana manajemen RS menyediakan budaya kerja yang mempromosikan keselamatan pasien dan berpedoman bahwa keselamatan pasien  adalah prioritas utama.



9. Serah terima dan transisi Diartikan sejauh mana proses serah terima berjalan baik yang memuat penyampaian informasi penting yang berkaitan dengan keselamatan pasien  kepada staf lain. 10. Kerjasama antar unit Diartikan sejauh mana setiap unit dalam RS saling bekerjasama dan berkoordinasi antar unit dengan tujuan yang sama yaitu memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien. 11. Frekuensi pelaporan kejadian Diartikan sejauh mana kesalahan berikut dilaporkan . Kesalahan yang diketahui dan dikoreksi



sebelum



mempengaruhi



pasien.Kesalahan



yang



tidak



berpotensi



membahayakan pasien. Kesalahan yang dapat merugikan pasien tetapi tidak terjadi 12. Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien



Diartikan persepsi dari seluruh staf berkaitan dengan KP termasuk pemahaman tentang prosedur dan sistem yang baik untuk mencegah kesalahan.     BAB III METODE PENELITIAN   1. Rancangan Penelitian Penelitian deskriptif dilakukan dengan menggunakan rancang potong lintang ( cross



sectional ) untuk mencari gambaran budaya keselamatan pasien di RSST.   2. Populasi Penelitian



Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai RSST tanpa memandang status kepegawaian yang terdiri dari Badan Layanan Umum (BLU) Pegawai Negeri Sipil (PNS), BLU non PNS dan PPPK.



  3. Kriteria Subyek Penelitian Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah  pegawai tersebut telah bekerja selama ≥ 6 bulan di RSST dan menandatangani surat persetujuan sebagai responden. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: 1. Karyawan dengan jam kerja di RS ≤ 30 jam sesuai kebijakan , surat tugas



maupun surat keputusan Direktur  yaitu : dokter tamu, pegawai yang menjalani pendidikan di luar RS, pegawai yang sedang menjalani cuti panjang ( cuti sakit > 3 bulan, cuti melahirkan, cuti besar )



2. Tidak ada satu sesi kuesioner yang diisi dengan dengan lengkap 3. Kuesioner terisi kurang dari separuh item penilaian 4. Kuesioner diisi dengan jawaban yang sama   4. Besar Sampel Penelitian Sampel diperoleh dengan cara stratified random  sampling  yaitu  pegawai di bagi berdasar unit kerja setingkat instalasi. Kelompok lain di luar instalasi adalah kelompok struktural , komite medis ( klinisi ), pegawai administrasi . Dengan menggunakan



perbandingan proporsi jumlah pegawai di masing – masing unit tersebut didapatkan jumlah sampel di unit kerja. Stratifikasi dan randomisasi dilanjutkan di dalam unit kerja



hingga diperoleh sampel yang mewakili masing – masing profesi di dalam unit kerja .



Bila terdapat pegawai yang mempunyai tugas rangkap di beberapa unit, maka pegawai tersebut dikelompokkan ke dalam unit di mana pegawai tersebut bekerja dengan proporsi waktu terbesar. Pembagian unit kerja terlihat di tabel 1.



Estimasi besar sampel penelitian ini menggunakan  rumus untuk data deskriptif . Dengan menggunakan nilai α ( level of significance )= 0,5 , besar populasi 1206 dan



dengan mempertimbangkan respon rate 90%, maka didapatkan estimasi besar sampel sebesar  331 orang.   5. Variabel , Cara Pengukuran Variabel dan Definisi Operasional Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner budaya keselamatan pasien



dari Agency for Healthcare Research and Quality  ( AHRQ) yang telah diterjemahkan



dalam bahasa Indonesia dan disetujui penggunaannya oleh PERSI. Kuesioner yang terdiri dari 50 pertanyaan , yang mencakup 29 pertanyaan untuk dimensi tingkat unit, 11 pertanyaan untuk dimensi rumah sakit, 4 pertanyaan untuk dimensi output, dan 6



pertanyaan untuk variabel latar belakang responden. Kuesioner ini menggunakan skala



Likert  untuk 5 pilihan jawaban mulai dari “sangat tidak setuju”, sampai “ sangat setuju” atau mulai “tidak pernah” sampai “selalu”. Hasil skala Likert dalam kuesioner dibagi atas pernyataan positif ( “setuju” dan “sangat setuju” atau “ selalu” dan “sering” ) serta pernyataan negatif (“sangat tidak setuju” dan “tidak setuju” atau “ tidak pernah” dan “jarang” ). Dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu untuk kuesioner yang akan digunakan. Definisi operasional masing – masing variabel dari item penilaian kuesioner terdapat pada tabel 2.   Tabel 1. Jumlah dan proporsi sampel pegawai berdasar unit kerja No Unit kerja



Penggolongan profesi



1



Direksi







2



Struktural



4



Jumlah



Jumlah



pegawai sampel 4



1



Eselon III dan IV



24



7



Satuan pengawas internal







6



2



6



Ins Hemodialiasis







19



5



8



IRNA B



Ka Ruang , PN, AN, adm



57



16



10



Maternitas dan reproduksi



Ka Ruang , PN, AN, adm



58



16



12



Patologi Klinik







37



10



14



Ins Bedah Sentral







31



9



16



Radiologi







17



5



18



Inst Gawat Darurat







62



17



20



Anestesi







19



5



22



Gizi



81



22



23



Kamtib







7



2







9



2







28



8



3 5 7 9 11 13 15 17 19 21



24 25 26 27



Kelompok staf medis Staf kantor IRNA A



Ins rawat intensif







Ins Rawat jalan







Rehabilitasi medik



dan



Pemulasaraan











66 47



62



20 ,



pemasak,



pramusaji, administrasi



Ins Sterilisasi Sentral



29



46



– Nutrisionis



103



64



Ka Ruang , PN, AN, adm



Rekam Medis



Sanitasi



Ka Ruang , PN, AN, adm Ka Ruang , PN, AN, adm



Farmasi



IPSRS



Pelayanan , USDMP, keuangan 165



Ka Ruang , PN, AN, adm



Ins Kesehatan Anak



Jenazah



66



Ka Ruang , PN, AN, adm



IRNA C



Forensik







7



13



18 46 28 8



18 13 17 17 13 5



2



3



28



IP3







19



5



29



SIRS







13



4



31



TURP







11



3



30



Humas







Jumlah



16 1206



4 331



  6. Alur Penelitian Penelitian dilakukan dengan cara paper-based survey pada bulan Agustus – September



2016.  Untuk meningkatkan response rate, maka survei dilakukan pada satu hari melalui undangan yang disampaikan kepada responden dengan disertai lembar persetujuan mengikuti penelitian. Pelaksanaan survei adalah sebagai berikut :



1. Responden dibagi dalam 3 kelompok secara acak untuk menentukan waktu pengisian.



2. Responden mengembalikan surat persetujuan mengikuti penelitian dan mengisi daftar hadir



3. Pengisian kuesioner dilakukan bersama – sama oleh responden . Untuk menjamin independensi, jarak kursi antar masing – masing responden minimal 1 meter.



4. Cara pengisian kuesioner sesuai dengan petunjuk dari HSoPSC.   7. Analisis data Data yang telah diperoleh dari penelitian dimasukkan dan diolah dengan menggunakan



program pengolah data SPSS 20 dan Excell 2010. Jumlah respon positif dari digunakan untuk menilai budaya keselamatan pada masing – masing dimensi. Nilai budaya positif



> 75% dianggap sebagai nilai budaya yang baik, sedangkan nilai < 50% berarti bahwa dimensi tersebut membutuhkan prioritas untuk perbaikan . Tes Chi-Square digunakan untuk



menganalisis



beberapa



faktor



yang



berpengaruh



terhadap



nilai



budaya



keselamatan pasien.         Tabel 2. Definisi operasional dimensi Budaya Keselamatan Pasien (diadaptasi dari AHRQ Publication, 2007) No Variabel Independen



Definisi



Alat Ukur Hasil Ukur *



– Baik : jika per



Staf bebas berbicara bila melihat sesuatu yang 1.



Keterbukaan Komunikasi



dapat berdampak negative pada pasien, danKuesione merasa bebas bertanya kepada mereka yangr AHRQ memiliki otoritas lebih tinggi



Umpan 2.



balik



komunikasi insidens



5.



umpan



balik



tentangKuesione



cara untuk mencegah kesalahan.



Dukungan



manajemen



terhadap



keselamatan



pasien



4.



– Baik : jika per



keselamatanimplementasi perubahan, dan mendiskusikanr



pasien



3.



diberikan



menunjukkan



keselamatan



bahwa



pasien



keselamatan



danKuesione



pasienr AHRQ



Pembelajaran dan



mereka dan tidak dicatat dalam dokumen r AHRQ pribadi mereka.



perbaikanmembawa perubahan positif dan dilakukan evaluasi terhadap efektivitas perubahan .



dan